Kamis, 13 Februari 2014

Ganti Untung Pengadaan Tanah



‘GANTI UNTUNG’ TANAH UNTUK BANDARA

Oleh: Sutaryono[1][2]

Reaksi sebagian masyarakat yang menentang pembangunan bandara di Kulon Progo yang diwujudkan melalui pencabutan patok titik koordinat tanah calon lokasi bandara, perlu disikapi secara arif dan tidak emosional. Masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui informasi detail berkenaan dengan wilayah yang akan dijadikan kawasan bandara, bahkan masyarakat mempunyai hak untuk mengajukan keberatan terhadap lokasi yang diajukan oleh instansi yang membutuhkan tanah. Hak-hak tersebut sesuai dengan azas keadilan, keterbukaan, kesepakatan dan keikutsertaan sebagaimana diamanahkan dalam  UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Melalui pendekatan secara persuasif yang ‘nguwongke’, menyampaikan secara gamblang berkenaan dengan hak dan kewajiban serta wilayah terdampak, termasuk urgensi pembangunan bandara untuk masa depan Ngayogyakarta Hadiningrat dan masyarakatnya, maka keberlanjutan pengadaan tanah untuk bandara di Kulon Progo ini perlahan tetapi pasti akan segera terealisasi, mengingat Ijin Penetapan Lokasi (IPL) sudah diterbitkan (KR, 21-1-2014). Penetapan Lokasi inilah yang menjadi dasar dalam pengadaan tanah untuk bandara, yang pelaksanannya dilakukan oleh lembaga pertanahan.
Tahapan pengadaan tanah yang paling krusial adalah musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian antara instansi yang membutuhkan tanah dengan masyarakat pemilik tanah. Perlu disadari bersama bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Layak dan adil adalah kata kuncinya, atau dapat dikatakan sebagai standar minimal dalam pemberian ganti kerugian. Bahkan apabila memungkinkan, masyarakat yang terkena dampak justru merasa mendapatkan ‘ganti untung’ bukan ganti rugi. ‘Ganti Untung’ ini sangat mungkin diperoleh oleh masyarakat terkena dampak, apabila tanah yang dibebaskan memberikan implikasi pada tetap terjaminnya: (a) rumah tinggal untuk hunian; (b) sumber penghidupan secara berkelanjutan; serta (c) relasi sosial kemasyarakatan dengan kerabat dan handai taulan.  
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu dicarikan solusi cerdas agar nilai ganti kerugian dari instansi yang membutuhkan tanah mampu memberikan makna sebagai ‘ganti untung’ bagi masyarakat terkena dampak. Dalam hal ini bentuk ganti kerugian tidak harus berbentuk uang- yang bisa jadi dalam waktu yang tidak terlalu lama akan habis untuk kebutuhan konsumsi masyarakat terdampak. Ganti kerugian dalam bentuk lain yang diperbolehkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk lain ini dapat berupa gabungan dari beberapa bentuk yang sudah disebutkan, dengan catatan mendapat persetujuan keduabelah pihak.
Gagasan Pemkab Kulon Progo untuk merelokasi masyarakat terdampak ke dalam satuan rumah susun, sebagaimana telah terpublikasi melalui media ini beberapa waktu lalu perlu mendapatkan apresiasi dan ditindaklanjuti dengan kajian lebih mendalam agar feasibilitasnya dapat diketahui. Apabila satuan rumah susun ini merupakan jaminan untuk hunian sekaligus jaminan terjaganya relasi sosial antar warga masyarakat, maka yang perlu dipikirkan adalah jaminan penghidupan secara berkelanjutan.
Apabila masyarakat terdampak adalah petani, maka peluang yang dapat dilakukan untuk memberikan jaminan penghidupan dengan tetap taat azas adalah memberikan tanah pertanian pengganti dan atau memberikan ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan saham pada instansi yang membutuhkan tanah, dalam hal ini adalah pihak Angkasa Pura. Pemberian tanah pertanian pengganti memungkinkan masyarakat terdampak untuk melanjutkan kehidupan dan penghidupannya sebagai petani, sedangkan pemberian pengganti dalam bentuk kepemilikan saham memungkinkan masyarakat terdampak mendapatkan sumber penghidupan baru sekaligus memiliki sense of belonging terhadap keberadaan bandara.
Gagasan di atas dan gagasan lain yang memungkinkan  berdasarkan regulasi yang berlaku, perlu dipertimbangkan untuk direalisasikan dengan tetap memperhatikan aspirasi masyarakat terdampak, kelayakan dan kemampuan instansi yang akan memberikan ganti kerugian serta terjaganya suasana kondusif dalam semua tahapan pengadaan tanah. Prinsip dan filosofi  hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawula lan Gusti, perlu dijadikan landasan dalam setiap tahapan pengadaan tanah untuk bandara di wilayah istimewa ini.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 10 Pebruari 2014
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM.