Senin, 16 Januari 2017

RA untuk Kedaulatan Pangan


Pembaruan Agraria untuk Kedaulatan Pangan



Pembaruan Agraria untuk Kedaulatan Pangan[1]

Oleh: Sutaryono*


          Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengklaim bahwa sepanjang tahun 2016 mampu meningkatkan produksi pangan strategis sehingga volume impor menurun, bahkan tidak ada impor untuk beras, cabai dan bawang merah. Di luar itu, pembangunan pertanian diklaim telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani dan dicita-citakan pada tahun 2045 menjadi lumbung pangan dunia.  Sebagai sebuah nation state dengan mayoritas penduduknya bergantung di sektor agraria dan potensi lahan pertanian berlimpah, kondisi di atas adalah sebuah keniscayaan.
Masih dalam ingatan bahwa 5 tahun silam krisis pangan sempat menghantui bangsa ini, dimana setiap tahun mengimpor lebih 200.000 ekor sapi, 40% kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71% kebutuhan kedelai, 90% kebutuhan susu dan ratusan ribu - jutaan ton beras (KR, 28-8-2012). Bahkan dalam pekan ini kita dikejutkan dengan melambungnya harga cabai, meskipun telah diklaim bebas impor.
Berbeda dengan hal di atas, data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi padi tahun 2015 hingga 2016 naik 11%, jagung naik 21,8%, cabai naik 2,3%, bawang merah naik 2,3%, daging sapi naik 5,31%, daging ayam naik 9,4%, telur ayam naik 13,6% dan beberapa komoditas perkebunan juga mengalami kenaikan.

Implementasi Program Nawacita
         
Keberhasilan diatas menunjukkan bahwa terdapat trend positif dalam implementasi Program Nawacita di bidang pangan. Implementasi program yang memberikan pengaruh positif dalam peningkatan produksi antara lain terealisasinya perbaikan saluran irigasi seluas 3,05 juta hektar, asuransi pertanian untuk 674.650 ha (naik 100%), pengembangan benih unggul seluas 2 juta ha serta pembangunan embung dan dam-parit mencapai 3.771 unit. Data lain juga menunjukkan pergerakan yang positif, seperti terbangunnya lumbung pangan perbatasan, pengembangan integrasi jagung-sawit, kebijakan sapi indukan wajib bunting, pengendalian impor dan pembangunan Toko Tani Indonesia.
Namun demikian, implementasi program tersebut belum linear dengan program pembaruan agraria yang sering disebut dengan reforma agraria, yakni peningkatkan kesejahteraan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat dan petani, perwujudan kedaulatan pangan melalui pembukaan 1 juta hektar sawah baru serta jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah dan penyelesaian sengketa dan konflik agraria.
Realisasi redistribusi tanah untuk petani, baru mencapai 36.000 hektar dan konflik agraria justru meningkat di tahun 2016. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya terjadi 450 kasus sepanjang tahun 2016, padahal pada tahun 2015 tercatat hanya 252 kasus. Konflik tersebut terjadi pada wilayah dengan luas 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 rumah tangga yang tersebar di semua provinsi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan dalam peningkatan produksi pangan belum ditopang oleh agenda pembaruan agraria yang merupakan prasyarat terwujudnya kedaulatan pangan.
         
Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Keinginan Pemerintah untuk daulat pangan sekaligus menjadikan Indonesia Lumbung Pangan Dunia pada tahun 2045,  akan sulit terealisasi apabila agenda pembaruan agraria tidak diupayakan secara serius, mengingat basis utama produksi pangan kita adalah tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Kedaulatan pangan yang dimaknai sebagai suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar, mensyaratkan ketersediaan tanah bagi petani untuk dapat berproduksi secara memadai.
Ketersediaan tanah bagi petani untuk berproduksi secara memadai hanya dapat diwujudkan melalui redistribusi tanah melalui agenda pembaruan agraria. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan kedaulatan pangan, disamping melakukan langkah-langkah peningkatan produksi dan perbaikan infrastruktur sebagaimana sudah dilakukan, diperlukan kebijakan dan langkah-langkah yang mendorong terealisasikannya pembaruan agraria, seperti: (1) menerbitkan regulasi yang mengatur pembaruan agraria/reforma agraria; (2) mempercepat inventarisasi tanah-tanah objek reforma agraria; (3) mempercepat proses pemberian asset tanah kepada masyarakat melalui redistribusi tanah yang diikuti dengan fasilitasi akses terhadap permodalan dan pasar; (4) mengkonsolidasikan seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung agenda pembaruan agraria; dan (5) menjalankan agenda pembaruan agrarian. Apabila agenda tersebut dapat direalisasikan, maka perwujudan kedaulatan pangan dan lumbung pangan dunia menjadi sebuah keniscayaan.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 16-01-2017
* Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM.

Rabu, 04 Januari 2017

Kembalinya Hutan Adat



Kembalinya Hutan Adat[1]
Oleh: Sutaryono[2]

Di penghujung tahun 2016 ini, kehadiran negara betul-betul dirasakan oleh sebagain masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidak sekedar pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, tetapi lebih dari itu. Negara melalui pemerintah yang berkuasa mengukuhkan dan menyerahkan pengelolaan seluas 13.122 hektar kawasan hutan adat kepada 9 (Sembilan) masyarakat hukum adat. Kesembilan wilayah hutan adat yang dikukuhkan tersebut adalah Hutan Adat: (1) Desa Rantau Kermas Kabupaten Merangin, Jambi: (2) Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulsel; (3) Wana Posangke Kabupaten Morowali Utara, Sulteng; (4) Kasepuhan Karang Kabupaten Lebak, Banten; (5) Bukit Sembahyang, Kabupaten Kerinci, Jambi; (6) Bukit Tinggi Kabupaten Kerinci, Jambi; (7) Tigo Luhah Permenti Yang Berenam Kabupaten Kerinci, Jambi; (8) Tigo Luhah Kemantan Kabupaten Kerinci, Jambi; dan (9) Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.


Bentuk Komitmen
Agenda pengukuhan dan penyerahan hak pengelolaah hutan adat kepada masyarakat hukum adat tersebut merupakan bentuk  komitmen Pemerintah Jokowi – JK untuk merealisasikan janji Nawacita-nya. Paling tidak memuat tiga komitmen di bidang keagrariaan yang hendak dilakukan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3)  mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.   Agenda tersebut secara jelas tertuang dalam RPJM Nasional 2015-2019, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat dan petani yang tidak memiliki tanah. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain merupakan objek redistribusi tanah (4,1 juta ha berasal dari pelepasan kawasan hutan).
Pengukuhan hutan adat tersebut merupakan langkah awal pengembalian eksistensi dan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum adat setelah selama ini eksistensi hutan adat tidak diakui oleh Undang-undang Kehutanan.
Memberikan Pengakuan
Berakhirnya dominasi negara melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap hutan adat bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012 yang menegaskan bahwa hutan hak adalah hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah dan hutan adat bukan lagi hutan negara. Klausul ‘Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat’ dalam UU Kehutanan dibatalkan. Konsekuensinya adalah hutan adat merupakan bagian dari hutan hak yang harus dilepaskan dari kawasan hutan.
Pasca putusan MK tersebut, sebagai tindaklanjutnya pada tahun 2014 telah disepakati Peraturan Bersama (Perber) 4 Menteri, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum Dan Kepala BPN Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan. Namun demikian, Perber tersebut tidak operasional. Argumen yang dikedepankan untuk tidak menjalankan agenda tersebut adalah tidak dikenalnya Perber dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan, lemahnya koordinasi dan keterbatasan anggaran untuk agenda lintas sektor.
Empat tahun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dan dua tahun setelah terbitnya Perber, tepatnya tanggal 30 Desember 2016 Presiden Republik Indonesia memberikan pengakuan dan menyerahkan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum adat. Momentum tersebut menunjukkan bahwa Negara secara serius benar-benar mengakui eksistensi masyarakat hukum adat sekaligus memberikan kembali ruang hidup-nya (hutan adat), yang selama ini telah diambil oleh Negara. Lebih dari itu, Negara harus mengikuti kebijakan ini dengan memberikan perlindungan berkenaan dengan kepastian hak atas tanahnya, keberlanjutan pengelolaannya dan kelestarian lingkungannya.
Kepastian haknya perlu dilakukan melalui pendaftaran tanah agar kepastian hukum penguasaan tanahnya tidak mudah diokupasi ataupun diklaim oleh badan hukum lain, utamanya perusahaan-perusahaan besar yang selama ini diberikan hak secara luas oleh Negara. Pendampingan dan fasilitasi dalam pengelolaan hutan perlu diberikan agar keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian lingkungannya dapat terjaga.      


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 03-01-2017 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM