Rabu, 04 Januari 2017

Kembalinya Hutan Adat



Kembalinya Hutan Adat[1]
Oleh: Sutaryono[2]

Di penghujung tahun 2016 ini, kehadiran negara betul-betul dirasakan oleh sebagain masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidak sekedar pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, tetapi lebih dari itu. Negara melalui pemerintah yang berkuasa mengukuhkan dan menyerahkan pengelolaan seluas 13.122 hektar kawasan hutan adat kepada 9 (Sembilan) masyarakat hukum adat. Kesembilan wilayah hutan adat yang dikukuhkan tersebut adalah Hutan Adat: (1) Desa Rantau Kermas Kabupaten Merangin, Jambi: (2) Ammatoa Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulsel; (3) Wana Posangke Kabupaten Morowali Utara, Sulteng; (4) Kasepuhan Karang Kabupaten Lebak, Banten; (5) Bukit Sembahyang, Kabupaten Kerinci, Jambi; (6) Bukit Tinggi Kabupaten Kerinci, Jambi; (7) Tigo Luhah Permenti Yang Berenam Kabupaten Kerinci, Jambi; (8) Tigo Luhah Kemantan Kabupaten Kerinci, Jambi; dan (9) Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.


Bentuk Komitmen
Agenda pengukuhan dan penyerahan hak pengelolaah hutan adat kepada masyarakat hukum adat tersebut merupakan bentuk  komitmen Pemerintah Jokowi – JK untuk merealisasikan janji Nawacita-nya. Paling tidak memuat tiga komitmen di bidang keagrariaan yang hendak dilakukan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3)  mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.   Agenda tersebut secara jelas tertuang dalam RPJM Nasional 2015-2019, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang akan diredistribusikan pada rakyat dan petani yang tidak memiliki tanah. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain merupakan objek redistribusi tanah (4,1 juta ha berasal dari pelepasan kawasan hutan).
Pengukuhan hutan adat tersebut merupakan langkah awal pengembalian eksistensi dan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum adat setelah selama ini eksistensi hutan adat tidak diakui oleh Undang-undang Kehutanan.
Memberikan Pengakuan
Berakhirnya dominasi negara melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap hutan adat bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012 yang menegaskan bahwa hutan hak adalah hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah dan hutan adat bukan lagi hutan negara. Klausul ‘Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat’ dalam UU Kehutanan dibatalkan. Konsekuensinya adalah hutan adat merupakan bagian dari hutan hak yang harus dilepaskan dari kawasan hutan.
Pasca putusan MK tersebut, sebagai tindaklanjutnya pada tahun 2014 telah disepakati Peraturan Bersama (Perber) 4 Menteri, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum Dan Kepala BPN Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada Dalam Kawasan Hutan. Namun demikian, Perber tersebut tidak operasional. Argumen yang dikedepankan untuk tidak menjalankan agenda tersebut adalah tidak dikenalnya Perber dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan, lemahnya koordinasi dan keterbatasan anggaran untuk agenda lintas sektor.
Empat tahun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dan dua tahun setelah terbitnya Perber, tepatnya tanggal 30 Desember 2016 Presiden Republik Indonesia memberikan pengakuan dan menyerahkan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum adat. Momentum tersebut menunjukkan bahwa Negara secara serius benar-benar mengakui eksistensi masyarakat hukum adat sekaligus memberikan kembali ruang hidup-nya (hutan adat), yang selama ini telah diambil oleh Negara. Lebih dari itu, Negara harus mengikuti kebijakan ini dengan memberikan perlindungan berkenaan dengan kepastian hak atas tanahnya, keberlanjutan pengelolaannya dan kelestarian lingkungannya.
Kepastian haknya perlu dilakukan melalui pendaftaran tanah agar kepastian hukum penguasaan tanahnya tidak mudah diokupasi ataupun diklaim oleh badan hukum lain, utamanya perusahaan-perusahaan besar yang selama ini diberikan hak secara luas oleh Negara. Pendampingan dan fasilitasi dalam pengelolaan hutan perlu diberikan agar keberlanjutan pengelolaan dan kelestarian lingkungannya dapat terjaga.      


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 03-01-2017 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar