Selasa, 31 Maret 2020


RUU Cipta Kerja dan Investasi


RUU Cipta Kerja dan Investasi[1]

Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

Saat ini di berbagai elemen masyarakat sedang terjadi pro kontra terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang sering disebut sebagai RUU Omnibus Law. Pemerintah dan banyak tokoh dari berbagai kalangan menyambut positif rencana pemerintah yang menginisiasi sebuah RUU tentang Omnibus Law, dengan argumen akan menggabungkan banyak aturan ke dalam satu UU yang mencakup keseluruhan yang berorientasi pada penyederhanaan berbagai peraturan perundang-undangan menjadi lebih efektif. Namun demikian, banyak tokoh dari berbagai kalangan menyatakan menolak omnibus law, yang dipandang sebagai RUU yang terlalu berpihak kepada pelaku usaha dan investasi. Terkait UMKM ada peluang positif, meskipun ada potensi memarginalkan  (OPini KR, 21-3-2020). Kondisi ini menempatkan gagasan Omnibus Law dalam bentuk RUU Cipta Kerja berada di simpangjalan.

Mengapa Omnibus Law?
Kondisi saat ini, menunjukkan bahwa kemudahan berusaha di Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asean lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam. Laporan Ease of Doing Business (EoDB) Tahun 2020 oleh World Bank menunjukkan bahwa Indonesia berada pada ranking 73 dan masih berada di bawah Vietnam yang menempati ranking 70. Kondisi ini diyakini disebabkan oleh adanya regulasi dan institusi yang tidak mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, bahkan cenderung  membatasi, khususnya pada regulasi yang mengatur tentang investasi, tenaga kerja dan perdagangan.
Hal di atas, apabila tidak segera diatasi dengan regulasi yang mengatur dan mensinkronkan berbagai regulasi maka akan mengganggu iklim investasi dan dunia usaha di Indonesia. Sebagai negara dan pemerintahan yang masih menganut growth paradigm, maka ketiadaan iklim investasi dan berusaha yang kondusif akan kontraproduktif dengan upaya penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah memandang perlunya menghadirkan omnibus law yang mampu mengharmonikan berbagai regulasi yang menghambat iklim investasi.  Dalam hal ini omnibus law diorientasikan untuk memperbaiki  regulasi dalam rangka pengembangan iklim investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan roda perekonomian.
Beberapa konsideran dalam RUU Cipta Kerja menunjukkan adanya semangat untuk menciptakan dunia kerja yang berujung pada peningkatan kesejahteraan, seperti: (a) mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur, melalui berbagai upaya pemenuhan hak warga atas pekerjaan dan penghidupan yang layak; (b) untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan dan perlindungan UMKM, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; (c) upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan dan perlindungan usaha, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, diperlukan terobosan hukum melalui omnibus law yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam satu Undang-Undang secara komprehensif.
Hal diatas menunjukkan bahwa pemerintah berkehendak menciptakan iklim kondusif untuk investasi yang dapat menciptakan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan termasuk kemudahan dan perlindungan UMKM. Oleh karena itu, pengaturan di dalam RUU Cipta Kerja harus dipastikan benar-benar sesuai dengan orientasi yang dicantumkan dalam konsiderannya.
Beberapa klausula dalam RUU Cipta Kerja yang perlu dicermati karena berpotensi menimbulkan kegaduhan baru antara lain: (a) pengaturan penataan ruang, yang salah satunya menarik kewenangan daerah apabila pemerintah daerah belum menerbitkan RDTR pada lokasi investasi; (b) pemberian hak atas tanah di atas HPL selama 90 tahun, yang bertentangan dengan putusan MK tentang perkara No. 21-22/PUU-V/2007 (Arizona, 2014); (c) pemberian hak milik satuan rumah susun kepada warga negara asing; (d) pembentukan bank tanah, yang seolah merancukan penyediaan tanah untuk investasi dan redistribusi; (e) dalam hal pengadaan tanah, pemberian ganti kerugian perlu diperluas kepada pihak yang terdampak, tidak hanya pihak yang berhak.
Hal-hal di atas, hanyalah sebagian kecil dari kompleksitas persoalan yang perlu dicermati berkenaan dengan RUU Cipta Kerja. Gagasan yang mulia dan progresif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan dalam RUU Cipta Kerja perlu dipastikan pengaturan substansinya tidak memunculkan permasalahan baru yang kontraproduktif.   


[1] Dimuat dalam Opini SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 30 Maret 2020 halaman 11
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Grografi UGM

RUU Cipta Kerja dan Investasi