Senin, 27 Desember 2021

Mafia Tanah

 

Mafia Tanah[1]

Oleh: Dr. Sutaryono[2]

 

Di penghujung tahun 2021 ini, publik disuguhi wacana dan fakta adanya kejahatan yang hingga saat ini masih sangat meresahkan dan masih menjadi ancaman bagi kita semua, yakni mafia tanah. Mafia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Menteri ATR/Kepala BPN, Bapak Sofyan A. Djalil menyebutkan bahwa mafia tanah adalah penjahat yang menggunakan tanah sebagai objek kejahatan. Berdasarkan hal di atas, dapat kita pahami bahwa mafia tanah adalah persekongkolan yang melibatkan berbagai pihak untuk melakukan kejahatan dengan tanah sebagai objek utamanya. Mengapa tanah menjadi sasaran objek kejahatan bagi para mafia?

Paling tidak terdapat 4 (empat) alasan mengapa tanah menjadi objek mafia, yakni: (a) tanah merupakan properti yang paling bernilai, di mana nilainya tidak akan pernah turun seperti properti lainnya; (2) tanah mempunyai sifat scarcity atau langka, artinya keberadaan dan ketersediannya terbatas, sementara hampir semua pihak membutuhkannya; (3) tanah mempunyai sifat transferability atau mudah untuk dipindahtangankan; (4) sistem administrasi pertanahan yang belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan bagi pemegang hak atas tanah.

Adanya keempat hal di atas memunculkan aktifitas mafia tanah yang melibatkan berbagai pihak. Biasanya mafia tanah melibatkan oknum pegawai BPN, oknum kepala desa, oknum notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), oknum aparat penegak hukum, serta oknum pada Lembaga peradilan. Oknum-oknum tersebut menjalankan operasinya menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, yang dilakukan secara terorganisir, rapi dan sistematis. Dalam hal ini jelas bahwa praktik mafia tanah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan pertanahan sangat memadai dan mempunyai berbagai akses terhadap data dan informasi (dokumen) pertanahan.

Hingga Oktober 2021, Business Insight mencatat adanya sejumlah 732 pengaduan mafia tanah yang penanganannya masih berlangsung. Banyaknya kasus mafia tanah yang terlapor mendorong Kementerian ATR/BPN telah melakukan berbagai upaya serius untuk mengantisipasi dan menangani mafia tanah. Salah satunya bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah pada Tahun 2018.

Mengingat praktik mafia tanah selalu berhubungan dengan dokumen kependudukan, maka Kementerian ATR/BPN juga telah bekerjasama dengan instansi yang menangani data kependudukan untuk melakukan pencegahan pemalsuan data kependudukan, utamanya KTP dan NIK.

Untuk memperbaiki sistem administrasi pertanahan guna mengantisipasi adanya praktik mafia tanah Kementerian ATR/BPN telah melakukan upaya-upaya transformasi digital. Dalam hal ini ke depan, seluruh data dan informasi pertanahan diolah dan disimpan dalam bentuk digital. Untuk sertipikat tanahnya-pun ke depan berupa sertipikat elektronik, yang penerapannya dilakukan secara bertahap (Analisis KR, 08-02-2021).

Antisipasi Mafia dari Desa

Antisipasi dan penanganan mafia tanah perlu dilakukan melalui kolaborasi multipihak, yakni seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN, kepolisian, kejaksaan, catatan sipil, pemerintah desa hingga para pemegang hak atas tanah.  Dalam konteks ini upaya antisipasi munculnya mafia tanah lebih dikedepankan.

Antisipasi munculnya mafia tanah dapat diawali dari desa, dengan aktor utama pemegang hak atas tanah dan pemerintah desa. Pemegang hak atas tanah harus memastikan bahwa tanahnya sudah terdaftar dan bersertipikat. Pemerintah desa sebagai organ pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat harus memiliki dan/atau dapat mengakses data pertanahan secara lengkap.

Program Desa Lengkap yang menjadi agenda Kementerian ATR/BPN harus segera diwujudkan. Dalam hal ini Desa Lengkap adalah desa yang seluruh bidang-bidang tanah yang berada di wilayah tersebut sudah memenuhi syarat lengkap dan valid baik secara spasial maupun yuridis. Secara spasial seluruh bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh subjek hak dan seluruh bidang-bidang tanah yang terbentuk dari unsur geografis (sungai, jalan, gang, fasum, fasos, sempadan, dan lain-lain) telah terpetakan. Secara ringkas dikatakan sebagai Desa Lengkap apabila luas wilayahnya sama dengan total luas bidang-bidang tanahnya. 

Apabila pemerintah desa dan masyarakat desa sudah mengetahui pemilik bidang-bidang tanah di seluruh wilayah desanya melalui Desa Lengkap maka peluang munculnya mafia tanah dapat diantisipasi.



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 27 Desember 2021

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Selasa, 09 November 2021

Era Baru Penataan Ruang

 

Era Baru Penataan Ruang[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Selamat Hari Tata Ruang. Hari ini (8 November) adalah Hari Tata Ruang Nasional, berdasarkan  Keppres 28/2013. Tidak banyak yang merayakannya, tetapi peringatan Hari Tata Ruang ini perlu dijadikan momentum untuk menjadikan rencana tata ruang (RTR) sebagai guidance pembangunan sekaligus menjadi acuan agar terwujud tertib ruang dan terjaga kelestarian lingkungan. Mengapa? Karena hingga saat ini RTR belum menjadi mainstream (arus utama) dalam pembangunan, bahkan ada kecenderungan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat investasi.

Sewindu peringatan Hari Tata Ruang ini, penataan ruang menapaki babak baru. Terbitnya Undang-undang 11/2020 tentang Cipta Kerja yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, memberikan beberapa terobosan kebijakan penataan ruang dan implementasinya. Pertama, penyederhanaan produk RTR melalui: (a) penghapusan RTR Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota; (b) terintegrasinya RTR darat dan laut; (c) pemanfaatan peta dasar selain peta rupa bumi, dengan rekomendasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Kedua, percepatan proses penetapan RTRW melalui: (a) pembatasan jangka waktu penyusunan dan penetapan; (b) pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ke dalam materi teknis RTRW; (c) penetapan RDTR melalui peraturan kepala daerah, bukan lagi peraturan daerah.

 Ketiga, penghapusan izin pemanfaatan ruang dan menggantinya dengan mekanisme Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Untuk setiap kegiatan dikenakan mekanisme konfirmasi KKPR pada wilayah yang sudah ada RDTR-nya dan persetujuan KKPR untuk wilayah yang belum ada RDTR-nya. Keempat, mengembangkan pengendalian pemanfaatan ruang melalui: (a) penilaian pelaksanaan KKPR; (b) penilaian perwujudan RTR; (c) pemberian insentif – disinsentif; (d) pengenaan sanksi; dan (e) penyelesaian sengketa penataan ruang. Kelima, pelibatan masyarakat dalam penataan ruang melalui pembentukan Forum Penataan Ruang (FPR), baik pada level pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. FPR ini beranggotakan unsur pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi akademisi dan tokoh masyarakat.

Beberapa terobosan kebijakan di atas diharapkan mampu menempatkan RTR sebagai guidance pembangunan, mendukung dan sinergis dengan iklim usaha sekaligus mampu mewujudkan tertib ruang. Namun demikian, terdapat beberapa terobosan kebijakan yang dinilai hanya mempertimbangkan ranah ekonomi dan mengesampingkan ranah sosial dan ekologis.

Terkait dengan hal tersebut, Kertas Kebijakan Catatan Kritis terhadap UUCK (FH UGM, 2020) memuat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: (a) penghapusan perizinan,  yang sebelumnya berupa izin pemanfaatan ruang, izin lingkungan, hingga izin mendirikan bangunan diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha melalui mekanisme KKPR berdasarkan pada peta RDTR. Mekanisme ini dikhawatirkan mereduksi kompleksitas dan realitas sosial di lapangan yang berpotensi memunculkan konflik; (b) hilangnya kewajiban penyusunan dan validasi KLHS dalam penyusunan RDTR, dikhawatirkan aspek lingkungan terabaikan; (c) penghilangan kriteria kawasan hutan minimal 30% dalam RTRW, berpotensi mengurangi luas Kawasan hutan demi kepentingan investasi; (d)   penambahan satu kriteria untuk melakukan peninjauan kembali tata ruang kurang dari 5 (lima) tahun karena adanya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis; (e) adanya pengurangan ruang partisipasi masyarakat, dalam penyusunan dan penetapan RDTR, karena RDTR cukup ditetapkan dengan peraturan kepala daerah; dan (f) adanya perubahan pengenaan sanksi yang lebih mengarah kepada sanksi administratif.

Hal-hal di atas perlu diletakkan sebagai bagian dari upaya produktif dan konstruktif agar penyelenggaraan penataan ruang mampu mendukung kepentingan investasi tetapi tetap berorientasi pada terwujudnya tertib ruang menuju pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu beberapa hal perlu dilakukan, seperti: (a) terobosan kebijakan terkait penyusunan dan penetapan RTR perlu direspon secara serius melalui peningkatan kualitas RTR; (b) kemudahan pemanfaatan ruang melalui KKPR, perlu dijawab melalui proses-proses konfirmasi dan persetujuan yang inklusif dan taat azas; (c) pembentukan dan optimalisasi Forum Penataan Ruang untuk menguatkan partisipasi publik dalam penataan ruang; (d) keterbukaan data dan informasi terkait penataan ruang, utamanya untuk kepentingan investasi agar publik dapat terlibat dalam pengendalian dan pengawasan; dan (e) mengarusutamakan penataan ruang sebagai upaya bersama untuk mewujudkan tertib ruang dan pembangunan berkelanjutan.      



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 8 November 2021

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM.

Era Baru Penataan Ruang

 


Senin, 23 Agustus 2021

Daulat Atas Ruang Hidup

 

Daulat Atas Ruang Hidup

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

Peringatan 76 tahun Indonesia Merdeka perlu dijadikan momentum bersama untuk memaknai kembali arti kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia di tengah suasana pandemi Covid-19. Apakah kemerdekaan yang kita rasakan bersama ini, juga memberikan jaminan atas ruang hidup bagi seluruh warga negara dan bangsa Indonesia? Mengingat ruang hidup seluruh rakyat Indonesia saat ini, kian hari ada kecenderungan semakin sempit, akibat menguatnya tekanan global dan dunia internasional yang tanpa batas. Menyempitnya ruang hidup tersebut secara kualitatif ditandai oleh: (1) ketersediaan pangan kita belum sepenuhnya mampu disediakan secara mandiri; (2) dengan luas daratan sekitar 1,9 juta km2 kita bermasalah dengan petani landless dan konflik baik konflik tanah, kawasan hutan, pertambangan maupun Kawasan perkebunan; (3) dengan lapangan kerja terbatas, angkatan kerja melimpah, kita masih kebanjiran tenaga kerja asing; serta (4) dengan tersedianya ruang hidup yang sangat luas, kita belum mampu mewujudkannya untuk kesejahteraan dan  sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 Hak Hidup

Secara tegas dan jelas konstitusi kita (UUD 1945) mengamanahkan bahwa ‘Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A)’. Untuk dapat mempertahankan hidup, disebutkan bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2)’. Sistem perekonomian diselenggarakanpun berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Konstitusi menegaskan pula bahwa  ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah jaminan hak hidup bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hak hidup setiap warga negara sebagaimana di atas, memerlukan ruang yang memadai dan sesuai dengan kondisi wilayah yang ditempatinya sebagai ruang hidup (lebensraum). Ruang hidup tidak hanya dimaknai sebagai wilayah atau ruang fisik belaka, tetapi juga ruang mental dan ruang sosial. Secara normatif, ruang fisik telah dipahami sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (UU 26/2007). Ruang mental merupakan mindset dan pola pikir yang bersifat personal yang didasarkan pada keyakinan dan stock of knowledge yang dimilikinya, sedangkan ruang sosial adalah ruang fisik atau non fisik (virtual) yang merupakan media interaksi sosial dan dibentuk oleh tindakan sosial baik bersifat individual maupun kolektif.

Hal di atas menunjukkan bahwa ruang hidup yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini adalah kemerdekaan akses terhadap sumberdaya wilayah (ruang fisik) sebagai penopang hidup dan penghidupannya, kebebasan berkeyakinan, berpikir, berkreasi dan berinovasi sesuai dengan mindset yang dimiliki (ruang mental) serta kebebasan untuk berinteraksi baik secara horizontal kepada sesama sebagai makhluk sosial maupun secara vertikal kepada pemerintah sebagai warga negara (ruang sosial).  

 Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh

Kita ketahui Bersama bahwa tema Peringatan HUT RI ke-76 ini adalah 'Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh'. Tema tersebut mendeskripsikan nilai-nilai ketangguhan, semangat pantang menyerah untuk terus maju bersama dalam menempuh jalan penuh tantangan, agar dapat mencapai masa depan yang lebih baik. Tema tersebut juga merepresentasikan adanya 'ruang' yang melambangkan negara memberikan ruang demokrasi kepada rakyat untuk turut berkontribusi dalam pembangunan Indonesia dalam mengupayakan  pertumbuhan yang berkesinambungan.

Dalam konteks ini implementasi dan internalisasi tema Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh ini membutuhkan kemerdekaan dan kebebasan setiap warga negara dan bangsa Indonesia sebagai prakondisinya. Bukan sekedar kebebasan dari belenggu penjajahan, tetapi kebebasan dan kedaulatan terhadap ruang hidup yang diberikan negara kepada setiap warga negara. Apabila negara melalui pemerintah yang berkuasa mampu berdaulat dan memberikan ruang hidup bagi seluruh warga negara maka terwujudnya Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang saya maksudkan sebagai daulat atas ruang hidup. Semoga.



[1] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM, Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 18 Agustus 2021 Hal 11

 

Selasa, 10 Agustus 2021

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

BAB VI. PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN - ppt download:

PERENCANAAN TATAGUNA LAHAN 

1. Penggunaan lahan dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan 

2. Konsep penatagunaan lahan 

3. Metode dan sistem perencanaan tataguna lahan

Jumat, 30 April 2021

Pawonsari dan Geopark Gunung Sewu

 

Pawonsari dan Geopark Gunung Sewu[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

Pawonsari merupakan akronim dari tiga wilayah pesisir Jawa bagian selatan, yakni Pacitan, Wonogiri dan Wonosari (Gunungkidul), yang mulai dikenal sejak tahun 1986 dan baru secara legal ditetapkan pada tahun 2002. Pada tahun tersebut telah disepakati Kerjasama pembangunan wilayah Pawonsari melalui Keputusan Bersama Bupati Pacitan, Bupati Wonogiri dan Bupati Gunungkidul No. 272 Tahun 2002, Nomor 05 Tahun 2002, Nomor 240/KPTS/2002 tentang Kerjasama Antar Daerah Kabupaten Pacitan, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Gunungkidul. Kerjasama tersebut dapat dimaknai sebagai kesadaran bersama berkenaan dengan kondisi wilayah dan masyarakatnya yang serba terbatas dan cenderung termarjinalkan. Namun demikian, hampir dua dekade kesepakatan Kerjasama tersebut dibangun, belum menunjukkan perubahan yang memuaskan, utamanya dilihat dari angka kemiskinan.

Permasalahan Wilayah

Angka kemiskinan di ketiga kabupaten dalam lima tahun terakhir masih berada di atas rata-rata nasional dan rata-rata provinsi. Data BPS menunjukkan bahwa Pacitan tahun 2016 mempunyai jumlah penduduk miskin 85 ribu jiwa(15,49%). Pada akhir 2020, angka kemiskinan masih 80,82 ribu jiwa (14,54%). Padahal angka kemiskinan di Provinsi Jawa Timur hanya sebesar 11,46% dan angka kemiskinan nasional sebesar 10,19%. Demikian pula untuk Wonogiri. Pada tahun 2016 angka kemiskinan mencapai 124,8 ribu jiwa (13,12%) dan tahun 2020 sebesar 104,3 ribu jiwa (10,86%).

Dari ketiga wilayah tersebut, angka kemiskinan Kabupaten Gunungkidul menduduki peringkat tertinggi, baik dari jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 2016 mencapai 139,15 ribu jiwa (19,34%) dan pada tahun 2020 mencapai 127,61 ribu jiwa (17,07%). Padahal rata-rata angka kemiskinan DIY pada tahun 2020 hanya 12,8%.

Penyebab utama tingginya angka kemiskinan di ketiga kabupaten tersebut adalah kondisi fisiografis wilayah yang didominasi oleh perbukitan karst (batu kapur) yang relatif kurang subur dan aksesnya terbatas. Bahkan wilayah perbukitan di Kabupaten Pacitan mencapai sekitar 85% dari seluruh luas wilayahnya.

Selain permasalahan kemiskinan dan kondisi fisiografis yang terbatas, pada Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY pada awal April lalu, teridentifikasi permasalahan utama yang menghambat percepatan pembangunan, yakni: (1) tata ruang yang kurang adaptif dengan perkembangan; (2) infrastruktur yang belum memadai; dan (3) minimnya investor yang masuk di ketiga wilayah.

Peluang dan Tantangan

Kondisi wilayah yang karst yang berbukit dan berbatasan dengan wilayah pantai, disamping sebagai kendala juga memberikan peluang yang luar biasa. Keunikan ketiga wilayah tersebut menyimpan potensi wisata yang tinggi, industri kreatif dan UMKM yang mulai menggeliat, seni budaya dan tradisi yang masih melekat di masyarakat serta potensi sumberdaya alam yang melimpah. Untuk dapat mengelola berbagai potensi dan memanfaatkan berbagai peluang tersebut perlu intervensi pemerintah secara intensif, baik dalam kebijakan, percepatan pembangunan infrastruktur, investasi maupun pemberdayaan masyarakat.

Dalam konteks ini pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sebagai K/L yang mengkoordinasikan pelaksanaan GTRA telah memberikan rekomendasi penyelesaian masalah dan proyeksi untuk pengembangan wilayah Pawonsari, melalui: (1) menyelaraskan tata ruang dengan perkembangan; (2) Kerjasama pembangunan insfrastruktur seluruh pemangku kepentingan; (3) mendatangkan investor melalui potensi wilayah; (4) mendukung terbentunya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pawonsari.

Rekomendasi dan niat baik pemerintah tersebut harus dibaca sebagai tantangan bagi wilayah Pawonsari melalui Badan Kerjasama Antar Daerah Pawonsari yang sudah lama terbentuk. Keberhasilan dalam Kerjasama mewujudkan Geopark Gunung Sewu menjadi Gunung Sewu Unesco Global Geopark pada akhir 2015 lalu dapat dijadikan spirit sekaligus model kerjasama ketiga wilayah untuk masa depan Pawonsari. Oleh karena itu beberapa hal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah kabupaten di ketiga wilayah tersebut antara lain: (1) penguatan kelembagaan badan Kerjasama Pawonsari; (2) pemetaan potensi secara terintegrasi di ketiga wilayah; (3) perencanaan pembangunan infrastruktur terintegrasi; serta (4) peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat agar dapat merespon dan beradaptasi terhadap perubahan, tanpa harus tercerabut dari ruang hidupnya akibat hadirnya investasi di berbagai akitifitas perekonomian. 



[1] Dimuat dalam SKH Kedaulatan Rakyat, 29 April 2021 Hal 11

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak Geografi UGM