Kamis, 28 November 2013

Sinkronisasi Keistimewaan TR - Pertanahan



SINKRONISASI KEISTIMEWAAN TATA RUANG & PERTANAHAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]


Penghujung tahun 2013 ini, pasca terbitnya Perdais Nomor  1  Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan babak baru implementasi kewenangan keistimewaan bagi DIY.  Babak baru ini ditandai oleh kegiatan yang dirancang, dibiayai dan diorientasikan dalam rangka keistimewaan. Dalam hal ini Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Berkenaan dengan hal tersebut, dua kewenangan dalam urusan keistimewaan yang berimplikasi luas, berkelanjutan serta membutuhkan sinkronisasi yang kuat dan ketat adalah kewenangan urusan tata ruang dan pertanahan. Mengapa? Karena, kedua keistimewaan ini mempunyai objek, pemangku kepentingan dan dampak kepada masyarakat luas yang hampir sama. Persoalannya adalah, bagaimana dua urusan yang interseksinya sangat kuat, diurusi oleh lembaga yang berbeda dengan budget & bentuk kegiatan berbeda serta berdampak luas ini dapat disinkronkan?
          Pertanyaan di atas harus mendapatkan jawaban dan alternatif solusi yang tepat agar kewenangan urusan keistimewaan dapat berkontribusi positif dalam terwujudnya kesejahteraan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa persoalan dan isu yang perlu mendapat perhatian yang seksama adalah: (1) objek keistimewaan. Pasal 34 (1) UU 13/2012 menyebutkan bahwa kewenangan kasultanan dan kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan tanah kadipaten, padahal secara keruangan objek SG-PAG tidak secara masif berada pada satu lokasi. Pasal 32 (4) UU 13/2012 menyebutkan Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY, dimana secara fisik dan yuridis belum secara nyata dapat teridentifikasi di lapangan; (2) kewenangan urusan keistimewaan ada pada Pemda DIY, sementara wilayah secara administratif dan keruangan adalah kewenangan daerah otonom (kabupaten/kota); (3) kelembagaan yang mengatur, mengelola dan memonitor keberadaan SG-PAG di setiap wilayah kabupaten/kota tidak seragam, meskipun secara khusus SG dikelola oleh Penghageng Wahana Sartakriya (Panitikisma) dan PAG dikelola oleh Kawedanan Kaprajan; (4) kedudukan RTRW Kabupaten/Kota dihadapan kebijakan tata ruang keistimewaan, mengingat kebijakan tata ruang keistimewaan berada pada level Pemda DIY; (5) penggunaan dan pemanfaatan ruang/tanah oleh perorangan maupun badan hukum yang saat ini masih eksis, baik yang sudah dilandasi oleh suatu alas hak ataupun yang belum.
          Berbagai persoalan dan isu di atas perlu dibingkai dalam satu koridor yang dipahami dan disepakati oleh berbagai stake holders yang berkepentingan terhadap ruang dan/atau tanah dalam konteks keistimewaan. Kesepahaman terhadap prinsip dan filosofi dasar keistimewaan merupakan prasyarat bagi terselenggaranya sinkronisasi yang baik antara urusan tata ruang dan pertanahan.  Paling tidak terdapat 4 prinsip dan filosofi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam sinkronisasi, yakni: (1) hamemayu hayuning bawana, yang merupakan hak dan kewajiban istimewa untuk melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi ambisi pribadi atau golongan; (2) sangkan paraning dumadi, yakni pemahaman terhadap asal mula manusia dan tujuan terakhirnya yang sangat erat dengan kuasa ilahiyah; (3) manunggaling kawula lan Gusti, merupakan prinsip kepemimpinan demokratis dan  humanisme, yang tentunya diorientasikan untuk kemaslahatan masyarakat luas; (4) tahta untuk rakyat, yang esensinya adalah kebersamaan dan orientasi kekuasaan untuk kepentingan masyarakat luas.
Apabila prinsip dan filosofi di atas dijadikan dasar dalam sinkronasi dan dapat terinternalisasi dalam setiap pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan dalam rangka keistimewaan maka sinkronisasi sudah mulai dilakukan. Sinkronisasi berikutnya tinggal bersifat teknis administratif seperti pembedaan objek kewenangan dalam tata ruang & pertanahan, mekanisme penyelenggaraan kegiatan, kedudukan tata ruang keistimewaan dengan RTRW kab/kota, serta pembedaan kelembagaan yang mengelola tata ruang dan pertanahan pada semua kab/kota. Hal ini bisa dilakukan agar agenda keistimewaan dapat berproses secara produktif, konstruktif & semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Kamis 28-11-2013 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Senin, 11 November 2013

Kontestasi Ruang Keistimewaan



KONTESTASI  RUANG KEISTIMEWAAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

Kontestasi politik berkenaan dengan Keistimewaan DIY telah berakhir dengan terbitnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Namun demikian, bukan berarti kontestasi ruang berkenaan dengan keistimewaan DIY telah berakhir, justru kontestasi bergeser ke DIY. Kontestasi ruang ini ditunjukkan oleh dinamisnya (baca: tarik ulur) dalam penyusunan dan pembahasan perdais sebagai tindak lanjut UU Keistimewaan, hingga terbitnya Perdais Nomor  1  Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 8 Oktober 2013.
          Dalam konteks ini kontestasi ruang dimaknai sebagai perebutan ruang antar berbagai pihak yang berkepentingan, yang mengiringi dinamika wilayah berdasarkan keanekaragaman kebutuhan. Keanekaragaman kebutuhan menyebabkan terjadinya conflict of interest antar berbagai pihak, yang teramati dari pilihan kebijakan yang diambil. Kebijakan Keistimewaan DIY telah memunculkan arena baru dalam kontestasi ruang. Tidak hanya sekedar kontestasi ruang fisik belaka, tetapi juga ruang mental dan ruang sosial, yang ujungnya adalah conflict of interest antar pemangku kepentingan terhadap hak-hak yang melekat sebagai daerah istimewa.
       Kontestasi tidak terlepas dari perencanaan dan pembangunan wilayah. Dalam hal ini pihak-pihak yang berkepentingan terhadap wilayah ditarik ke dalam proses kontestasi (Haughton & Counsel, 2004). Keterlibatan berbagai pihak dalam kontestasi ruang tidak terlepas dengan pemaknaan keistimewaan. Kontestasi ini meliputi ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial (Lefebvre, 1991) yang melibatkan stake holder yang berkepentingan terhadap keistimewaan DIY. Kontestasi ruang fisik berkenaan dengan keberadaan SG-PAG adalah kontestasi kasat mata dan paling mudah teramati. Belum adanya data tunggal berkenaan dengan jumlah bidang dan luas wilayah SG-PAG,  munculnya klaim terhadap objek SG-PAG baik yang sudah dikuasai oleh masyarakat ataupun belum, serta belum terformulasinya objek SG-PAG secara jelas menunjukkan adanya kontestasi ruang fisik. Adanya alokasi anggaran APBN sebagai konsekuensi penetapan UU Keistimewaan, yang kemudian memunculkan persoalan baru, merupakan kontestasi ruang fisik yang lain.
      Kontestasi ruang fisik ini secara otomatis berpengaruh pada ruang mental masyarakat. Pada ruang mental, mindset masyarakat ‘dipaksa’ untuk memahami makna keistimewaan- yang tentu sangat beragam. Bagi masyarakat dan pihak-pihak yang memahami makna hamemayu hayuning bawana sebagai filosofi perikehidupan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat maka makna keistimewaan adalah hak dan kewajiban istimewa untuk melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi ambisi pribadi atau golongan. Tetapi apabila keistimewaan dimaknai secara pragmatis, maka mindset yang muncul adalah teralokasinya dana keistimewaan sebagai hak masyarakat yang harus di ambil. Dalam hal ini, realitas menunjukkan bahwa pemaknaan pragmatislah yang muncul di permukaan. Adanya tuntutan alokasi dana keistimewaan ke desa atau bahkan ke padukuhan, berjibunnya proposal kegiatan masyarakat yang masuk ke Pemda DIY sebagai instrumen meraih dana keistimewaan serta ‘bergairah’-nya kelompok seni dan budaya di perdesaan yang selama ini ‘mati suri’ menunjukkan perubahan mindset masyarakat. Perubahan ini membawa konsekuensi munculnya kontestasi ruang mental dalam merespon keistimewaan.
      Perubahan ruang fisik dan mental dalam memaknai keistimewaan ternyata berkaitan dengan kontestasi ruang sosial. Kontestasi ruang sosial mewujud dalam berlarut-larutnya pembahasan perdais terhadap lima kewenangan istimewa, padahal regulasi tersebut dibutuhkan untuk mempercepat akselerasi cairnya dana keistimewaan. Selain itu, kontestasi ruang sosial mewujud pula pada tingginya animo masyarakat dalam mengajukan proposal kegiatan dengan tajuk ‘keistimewaan’ serta munculnya keresahan sebagian masyarakat yang menggunakan SG-PAG.
     Kontestasi ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial dalam memaknai keistimewaan perlu mendapatkan ruang dialog yang cukup agar tidak berkembang menjadi konflik yang kontraproduktif dengan ‘roh’ keistimewaan. Esensi hamemayu hayuning bawana dan tahta untuk rakyat sebagaimana telah ditunjukkan Ngersodalem Sultan perlu dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan yang akan dituangkan dalam kelima perdais yang mengatur kewenangan keistimewaan. Apabila hal ini bisa dilakukan, kontestasi ruang keistimewaan akan berkembang secara produktif, menghasilkan penyelesaian yang konstruktif & win-win solution bagi segenap stake holder yang berkepentingan, serta semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 11-11-2013 hal 9
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM