Senin, 11 November 2013

Kontestasi Ruang Keistimewaan



KONTESTASI  RUANG KEISTIMEWAAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

Kontestasi politik berkenaan dengan Keistimewaan DIY telah berakhir dengan terbitnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Namun demikian, bukan berarti kontestasi ruang berkenaan dengan keistimewaan DIY telah berakhir, justru kontestasi bergeser ke DIY. Kontestasi ruang ini ditunjukkan oleh dinamisnya (baca: tarik ulur) dalam penyusunan dan pembahasan perdais sebagai tindak lanjut UU Keistimewaan, hingga terbitnya Perdais Nomor  1  Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 8 Oktober 2013.
          Dalam konteks ini kontestasi ruang dimaknai sebagai perebutan ruang antar berbagai pihak yang berkepentingan, yang mengiringi dinamika wilayah berdasarkan keanekaragaman kebutuhan. Keanekaragaman kebutuhan menyebabkan terjadinya conflict of interest antar berbagai pihak, yang teramati dari pilihan kebijakan yang diambil. Kebijakan Keistimewaan DIY telah memunculkan arena baru dalam kontestasi ruang. Tidak hanya sekedar kontestasi ruang fisik belaka, tetapi juga ruang mental dan ruang sosial, yang ujungnya adalah conflict of interest antar pemangku kepentingan terhadap hak-hak yang melekat sebagai daerah istimewa.
       Kontestasi tidak terlepas dari perencanaan dan pembangunan wilayah. Dalam hal ini pihak-pihak yang berkepentingan terhadap wilayah ditarik ke dalam proses kontestasi (Haughton & Counsel, 2004). Keterlibatan berbagai pihak dalam kontestasi ruang tidak terlepas dengan pemaknaan keistimewaan. Kontestasi ini meliputi ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial (Lefebvre, 1991) yang melibatkan stake holder yang berkepentingan terhadap keistimewaan DIY. Kontestasi ruang fisik berkenaan dengan keberadaan SG-PAG adalah kontestasi kasat mata dan paling mudah teramati. Belum adanya data tunggal berkenaan dengan jumlah bidang dan luas wilayah SG-PAG,  munculnya klaim terhadap objek SG-PAG baik yang sudah dikuasai oleh masyarakat ataupun belum, serta belum terformulasinya objek SG-PAG secara jelas menunjukkan adanya kontestasi ruang fisik. Adanya alokasi anggaran APBN sebagai konsekuensi penetapan UU Keistimewaan, yang kemudian memunculkan persoalan baru, merupakan kontestasi ruang fisik yang lain.
      Kontestasi ruang fisik ini secara otomatis berpengaruh pada ruang mental masyarakat. Pada ruang mental, mindset masyarakat ‘dipaksa’ untuk memahami makna keistimewaan- yang tentu sangat beragam. Bagi masyarakat dan pihak-pihak yang memahami makna hamemayu hayuning bawana sebagai filosofi perikehidupan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat maka makna keistimewaan adalah hak dan kewajiban istimewa untuk melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi ambisi pribadi atau golongan. Tetapi apabila keistimewaan dimaknai secara pragmatis, maka mindset yang muncul adalah teralokasinya dana keistimewaan sebagai hak masyarakat yang harus di ambil. Dalam hal ini, realitas menunjukkan bahwa pemaknaan pragmatislah yang muncul di permukaan. Adanya tuntutan alokasi dana keistimewaan ke desa atau bahkan ke padukuhan, berjibunnya proposal kegiatan masyarakat yang masuk ke Pemda DIY sebagai instrumen meraih dana keistimewaan serta ‘bergairah’-nya kelompok seni dan budaya di perdesaan yang selama ini ‘mati suri’ menunjukkan perubahan mindset masyarakat. Perubahan ini membawa konsekuensi munculnya kontestasi ruang mental dalam merespon keistimewaan.
      Perubahan ruang fisik dan mental dalam memaknai keistimewaan ternyata berkaitan dengan kontestasi ruang sosial. Kontestasi ruang sosial mewujud dalam berlarut-larutnya pembahasan perdais terhadap lima kewenangan istimewa, padahal regulasi tersebut dibutuhkan untuk mempercepat akselerasi cairnya dana keistimewaan. Selain itu, kontestasi ruang sosial mewujud pula pada tingginya animo masyarakat dalam mengajukan proposal kegiatan dengan tajuk ‘keistimewaan’ serta munculnya keresahan sebagian masyarakat yang menggunakan SG-PAG.
     Kontestasi ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial dalam memaknai keistimewaan perlu mendapatkan ruang dialog yang cukup agar tidak berkembang menjadi konflik yang kontraproduktif dengan ‘roh’ keistimewaan. Esensi hamemayu hayuning bawana dan tahta untuk rakyat sebagaimana telah ditunjukkan Ngersodalem Sultan perlu dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan yang akan dituangkan dalam kelima perdais yang mengatur kewenangan keistimewaan. Apabila hal ini bisa dilakukan, kontestasi ruang keistimewaan akan berkembang secara produktif, menghasilkan penyelesaian yang konstruktif & win-win solution bagi segenap stake holder yang berkepentingan, serta semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 11-11-2013 hal 9
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

4 komentar:

  1. Saya sepakat bila para stakeholder dalam kontestasi ruang belum sepenuhnya mempunyai memahami hamemayu hayuning bawana, tetapi mereka memaknai sebagai capital space yang menguntungkan dalam berinvestasi di Jogja.....
    Menurut saya para stakeholder seharusnya benar-benar mendapat ijin (fisik, sosial dan budaya) dari Gubenur Jogja (Sultan Hamengku Buwono) dalam berinvestasi bukan hanya sekedar ijin tertulis.
    Selanjutnya dalam kontestasi ruang di Jogja juga memperhatikan tata wilayah kawasan jogja yang sudah dari zaman dulu terbentuk cluster-cluster kawasan, seperti kawasan perbelanjaan berada di Malioboro yang seharusnya bebas dari hotel/losmen/restoran/minimarket dari investor asing

    BalasHapus
  2. Terimakasih responnya....beberapa hal yg saudara harapkan, saat ini sedang dalam proses kajian, salah satunya di Bapeda DIY. Yakni soal heritage city dan monitoring & evaluasi tata ruang keistimewaan, yg kebetulan saya terlibat di dalamnya. Hasil kajian ini menjadi rekomendasi dalam pengambilan kebijakan penataan ruang keistimewaan. Soal filosofi keistimewaan yg perlu disosialisasikan dan diinternasliasikan kepada segenap stake holder adalah hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawulo gusti....agar keistimewaan meberikan kemaslahatan bagi masyarakat DIY

    BalasHapus
  3. Bagus artikelnya Pak, kalau boleh saya usul, pada setiap pergantian paragraf sebaiknya diberi jarak 1 paragraf dan format paragrafnya dibuat Align Justify, supaya tulisan terlihat rapi dan tulisannya teratur Pak. terima kasih.

    Berarti itu baru peraturan awal ya Pak? kalau mengacu pada SG dan PAG, berarti hanya ada di sebagian wilayah di sekitaran kota Yogyakarta saja Pak, sementara di daerah yang belum termasuk dalam SG dan PAG tersebut belum termasuk dalam peraturan yang telah berlaku... Terima kasih

    BalasHapus
  4. thank masukannya Mas Arfika Anang....
    Betul, akan ada aturan baru yang berupa Perdais Tata Ruang dan Perdais Pertanahan yang mengatur ruang istimewa (SG & PAG) di seluruh DIY. Yang tidak termasuk SG & PAG tidak diatur dengan Perdais itu

    BalasHapus