Jumat, 15 Mei 2020

Masa Depan Sleman


Masa Depan Sleman[1]
Oleh: Sutaryono[2]

Di tengah Pandemi Covid-19 ini, Kabupaten Sleman memperingati hari jadinya yang ke-104 (1916 – 2020). Tema yang diangkat dalam peringatan ini adalah “Menguatkan Potensi  Ekonomi Lokal Untuk Kesejahteraan Masyarakat”. Tema tersebut menunjukkan bahwa Sleman berkehendak untuk hadir dan menempatkan potensi ekonomi lokal sebagai basis dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tema ini sangat relevan dengan spirit keistimewaan DIY maupun Visi Kabupaten Sleman. Spirit hamemayu hayuning bawana, dimana pembangunan wilayah Sleman perlu diorientasikan untuk melindungi, memelihara, serta menjaga keberlanjutan lingkungan alam menjadi dasar untuk Kembali melihat potensi lokalnya.
Sebagai daerah otonom terdepan di Indonesia, Kabupaten Sleman telah meraih berbagai penghargaan dalam berbagai bidang, baik pada level nasional maupun internasional. Disamping berbagai prestasi yang disandangnya, Kabupaten Sleman juga memiliki berbagai macam permasalahan seperti: (1) Kemiskinan; (2) Ketimpangan Pendapatan; (3) Ketimpangan Wilayah; (4) Daya Saing Potensi Ekonomi Lokal masih rendah; dan (5) Tata Kelola Pemerintahan (RPJMD 2016-2021).
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Sleman, angka kemiskinan di Kabupaten Sleman pada tahun 2019 tercatat sebesar 8,33%, hanya turun 0,24% dari tahun 2018 (8,57%) dan turun 1,15% dari tahun 2017 (9,48%). Meskipun angka ini lebih rendah dari angka kemiskinan di DIY dan nasional, namun angka ini menunjukkan bahwa Sleman belum berhasil mengatasi kemiskinan.
Permasalahan kemiskinan dipengaruhi oleh adanya ketimpangan pendapatan. Meskipun berada pada indeks ketimpangan sedang (0,41), namun hal ini menunjukkan bahwa terdapat gap yang cukup besar antara penduduk berpenghasilan tinggi dan penduduk dengan penghasilan rendah. Hal ini sangat terkait dengan kondisi penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. Mengingat wilayah Sleman adalah primadona property di DIY, maka pasar tanah menjadi meningkat. Peningkatan pasar tanah berakibat pada terjadinya peralihan hak atas tanah, dari warga Sleman ke warga luar Sleman. Ketika Sebagian besar warga Sleman menggantungkan sektor agraris, sementara penguasaan pemilikan sudah bergeser ke warga luar Sleman, maka sudah sepantasnya ketimpangan pendapatan akan semakin tinggi.
Ketimpangan wilayah di Kabupaten Sleman juga menjadi persoalan yang sangat serius. Wilayah-wilayah pinggiran cenderung jauh tertinggal dari wilayah-wilayah yang dekat dengan Perkotaan Yogyakarta. Salah satu penyebab ketimpangan wilayah ini adalah terkonsentrasinya kegiatan perekonomian pada wilayah-wilayah tertentu saja.
Pada lima tahun terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB terus mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sector pertanian untuk menopang penghidupan warga Sleman semakin menurun. Namun sayang, penurunan sektor pertanian tidak diikuti dengan naiknya daya saing potensi ekonomi lokal lainnya, seperti sektor pariwisata dan perdagangan/jasa yang dilakukan oleh kelompok UMKM.
Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah tata Kelola pemerintahan yang harus terus menerus dilakukan. Meskipun indeks kepuasan masyarakat (IKM) selalu meningkat dan nilai akuntabilitas kinerja pemerintahan mendapatkan predikat A, tetapi masih memiliki berbagi persoalan seperti: (1) potensi keuangan daerah belum tergali secara optimal; (2) kompetensi sebagian pegawai belum sesuai dengan kebutuhan riil; (3) penegakan hukum belum efektif; (4) produk hukum daerah masih banyak yang tidak sesuai dengan perkembangan keadaan; (5) pelayanan perijinan belum optimal; (6) hasil-hasil pengawasan belum sepenuhnya menjadi input perencanaan pembangunan. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Sleman harus senantiasa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar lebih efisien, efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
  Berkenaan dengan hal-hal diatas, beberapa agenda yang dapat dilakukan untuk Masa Depan Sleman lebih sejahtera sebagaimana tema hari jadi tahun ini antara lain: (a) meningkatkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan pada masyarakat secara partisipatif, transparan, responsif dan akuntabel; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang pro poor dengan tetap memperhatikan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan iklim investasi yang berbasis potensi lokal; (c) membatasi peralihan hak atas tanah dan alih fungsi lahan secara ketat; (d) menumbuhkan kembali semangat gotong-royong, toleransi dan kohesifitas sosial; dan (e) mengembalikan Sleman sebagai wilayah yang gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kartaraharja.


[1] Dimuat dalam Opini SKH Kedaulatan Rakyat, Jumát 15 Mei 2020
[2] Dr. Sutaryono, Pengajar pada STPN Yogyakarta dan Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Sleman

Masa Depan Sleman


Jumat, 08 Mei 2020

Ruang Sosial


Ruang Sosial[1]

Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

Pada awal masa pandemi Covid-19 hingga sekarang, kita disuguhi perdebatan penggunaan istilah social distancing dan physical distancing. Mengapa? Karena kedua istilah tersebut seolah-olah mempunyai orientasi yang berbeda, padahal sejatinya kedua istilah itu tujuannya sama. Merujuk pada berbagai sumber, baik social distancing dan physical distancing merupakan tindakan pembatasan segala bentuk kerumunan, menjaga jarak, menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang dengan tujuan untuk mengurangi penularan virus. Dalam konteks ini, kedua istilah tersebut objeknya adalah ruang sosial.

Penanganan Covid-19

Ruang sosial, menurut Lefebvre (1991) merupakan salah satu bentuk ruang di samping ruang fisik dan ruang mental. Ruang mental berupa mindset dan pola pikir, sedangkan ruang sosial adalah ruang fisik atau non fisik (virtual) yang merupakan media interaksi sosial dan dibentuk oleh tindakan sosial baik bersifat individual maupun kolektif.
Situasi ruang sosial masyarakat dalam penanganan Covid-19 saat ini pada posisi yang rentan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, kondisi perekonomian masyarakat, referensi informasi yang digunakan, perbedaan daya tangkap dan pemahaman terhadap terhadap pesan edukasi dalam penanganan Covid-19 hingga pada sentimen pribadi. Faktor-faktor tersebut apabila tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan kegaduhan bahkan konflik antar anggota masyarakat.
Tingkat Pendidikan memberikan pengaruh terbesar dalam pensikapan situasi ini. Pemahaman dan kesadaran untuk menjalankan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan penularan Covid-19 diterima sebagai hal yang rasional dan perlu dilakukan. Hal ini dijumpai pada komunitas masyarakat dengan tingkat pendidikan yang baik, misal pada komplek-komplek perumahan. Pada masyarakat yang ada di kampung-kampung dengan tingkat pendidikan yang beragam, situasinya jauh berbeda. Praktik-praktik lockdown kampung secara ketat adalah salah satu wujudnya. Pihak luar ataupun pihak-pihak yang tidak dikenal dilarang keras memasuki kampung dengan alasan apapun. Ironisnya, pos-pos penjagaan digunakan sebagai tempat ngumpul-ngumpul para relawan yang justru kontraproduktif dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Bahkan dalam situasi tersebut para relawan banyak yang tidak mengenakan masker.
Kondisi perekonomian masyarakat secara jelas tergambar aktifitas anggota masyarakatnya. Stay at home dan work from home hanya bisa direalisasikan oleh anggota masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Sementara itu, anggota masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung harus tetap melakukan aktifitas harian guna pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Referensi informasi yang digunakan dan daya tangkap pesan dari pihak eksternal menjadi faktor penentu dalam pengambilan kebijakan di masyarakat. Faktor ini menjadi titik krusial terjadinya perbedaan persepsi yang berujung pada disharmoni sosial. Utamanya pada berbagai aktifitas keagaamaan dan mudik. Ketidakkompakan antar berbagai pihak dalam mensikapi himbauan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menjadikan praksis keber-agama-an dan respon terhadap pemudikpun berbeda-beda. Penentuan kondisi kampung termasuk zona hijau, kuning atau bahkan merah, juga berbeda-beda antar pemuka agama dan tokoh masyarakat. Yang paling mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan menyepelekan protokol Kesehatan dan himbauan pemerintah.
Di samping beberapa faktor di atas, kepentingan dan sentimen pribadi terkadang menyelinap dan mempengaruhi keputusan para relawan di lapangan maupun keputusan para tokoh masyarakat. Hal ini sangat tampak pada aktifitas keseharian masyarakat. Para petani yang biasanya bebas keluar masuk dengan jalan terdekat, terpaksa harus memutar melalui pintu masuk yang dijaga relawan. Warung-warung di dalam kampung yang biasanya pelanggan dari luar kampung bisa masuk, akibat kebijakan lockdown lokal, menjadi tidak bisa.
Kegagalan dalam mengelola berbagai faktor di atas dapat menimbulkan permasalahan baru yang justru bisa berdampak panjang pasca pandemi Covid-19 ini. Oleh karena itu evaluasi terhadap berbagai praksis penanganan dan penanggunalang Covid-19 di masyarakat perlu dilakukan secara serius, baik oleh para anggota masyarakat yang terlibat maupun oleh institusi pemerintah, utamanya pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa. Jangan sampai modal sosial dan kegotongroyongan dalam penanggulangan pandemi Covid-19, yang ditunjukkan oleh Sebagian besar masyarakat kita, berubah menjadi gejala-gejala disharmoni sosial yang kontraproduktif.


[1] Dimuat dalam Kolom Analisis, SKH Kedaulatan Rakyat, Jumát 6 Mei 2020 halaman 1
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM