Senin, 08 Januari 2018

Kontestasi Ruang



Kontestasi  Ruang[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

Baru saja kita mengakhiri keceriaan sekaligus hiruk pikuk liburan sekolah yang bertaut dengan libur natal dan tahun baru dengan ‘macet’ sebagai icon-nya. Kenapa? Karena liburan yang diisi dengan berbagai agenda travelling (baca: jalan-jalan) tengah menjadi trend baru bagi masyarakat jaman now. Travelling dalam rangka liburan ini, mampu menggerakkan seluruh aktifitas perekonomian yang bertumpu pada sektor pariwisata, baik aktifitas utama pada destinasi wisata maupun aktifitas pendukungnya seperti layanan transportasi, akomodasi, kuliner maupun industri kreatif lainnya. Nah, agenda travelling inilah yang memberikan dampak yang significant terhadap kontestasi atau perebutan ruang.
Dalam konteks ini, kontestasi ruang dimaknai sebagai perebutan ruang, baik ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial yang diorientasikan untuk mendukung eksistensi pihak-pihak yang terlibat. Kontestasi ruang fisik, ditunjukkan oleh serasa sempitnya seluruh ruas jalan serta penuhnya setiap sudut ruang untuk parkir kendaraan bermotor para pelancong. Akibatnya macet yang luar biasa dan seluruh ruang yang ada dikomersialkan dan nyaris tidak tersisa lagi ruang-ruang publik yang dapat dinikmati secara bebas baik oleh penduduk setempat maupun oleh para pelancong. Aktifitas parkir, pedagang kaki lima dan pedagang asongan dadakan yang cenderung illegal menjadi semakin ketatnya kontestasi ruang fisik ini. Pembangunan berbagai prasarana pendukung pariwisata seperti berbagai macam dan bentuk penginapan (hotel maupun home stay), rumah makan dan tempat kuliner, pusat jajan dan oleh-oleh merupakan kontestasi ruang fisik yang berproses secara lebih massif dan berdampak lebih lama dibanding aktifitas perparkiran dan pedagang asongan.    
Kontestasi ruang mental mewujud dalam perubahan polapikir, mind set dan tradisi masyarakat. Kemewahan dan hedonisme gaya hidup para pelancong berkontes dengan kesederhanaan dan kebersahajaan masyarakat setempat. Berbagai gaya swafoto (selfie) dan royalnya pelancong dalam membelanjakan uangnya untuk berbagai kebutuhan dan gaya hidupnya dimaknai sebagai gambaran kesuksesan. Di sisi lain, berkah rejeki melimpah yang didapat selama liburan bagi penduduk setempat, memunculkan imaji untuk segera membelanjakan benda-benda modern yang dibawa para pelancong sebagai simbol masyarakat jaman now, maupun mengikuti budaya kuliner pada rumah makan dan restoran yang menyediakan aneka penganan modern. Kontestasi ruang mental ini secara efektif mampu menggeser tradisi masyarakat tradisional menjadi masyarakat konsumtif.  
Kemacetan yang luar biasa sebagai akibat kontestasi ruang fisik, menginspirasi pengambil kebijakan tentang perlunya ruas jalan baru. Akibatnya kebijakan pembangunan jalan tol dan pelebaran jalan menjadi pilihan, tanpa memperhitungkan dampak negatifnya. Disisi lain, bertemunya masyarakat pelancong- dengan membawa uang dan simbol-simbol kesejahteraan – dengan masyarakat lokal yang mind set-nya mulai bergeser ke arah konsumerisme memunculkan kasak-kusuk transaksional. Penduduk lokal di daerah tujuan wisata alam di perdesaan yang masih mempunyai tanah melimpah, dengan ‘tampilan’ miskin mulai rela untuk menukar sepetak tanahnya dengan sebagian uang yang ditawarkan oleh sebagian pelancong maupun pemodal yang membutuhkan tanah untuk kepentingan investasinya. Inilah yang disebut dengan kontestasi ruang sosial.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa liburan dengan berbagai agenda travelling benar-benar memberikan implikasi pada kontestasi ruang yang meneguhkan semakin kuatnya komersialisasi ruang dan semakin menjauhkan masyarakat dalam mengakses ruang-ruang publik atau bahkan memisahkan masyarakat dengan aset-aset tanah yang dimilikinya.   
Beberapa alternatif yang dapat dilakukan agar kontestasi ruang tidak memunculkan kemacetan dan kesemrawutan, meminggirkan masyarakat dan tidak memunculkan kebijakan pro pada komersialisasi ruang antara lain: (a) saatnya mengembangkan transportasi publik yang melayani kebutuhan masyarakat, termasuk yang menghubungkan daerah-daerah tujuan wisata; (b) zonasi ruang secara ketat agar ruang-ruang publik tetap dapat diakses oleh publik secara nyaman; (c) meninjau kembali gagasan penambahan ruas-ruas jalan melalui pembangunan jalan tol; (d) melindungi penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat melalui pengembangan model share holding dalam pembangunan ekonomi dan kepentingan investasi; (e) perlunya pengarusutamaan konsep hamemayu hayuning bawana sebagai ‘roh’ pembangunan berkelanjutan yang melindungi dan memelihara keberlanjutan lingkungan bagi seluruh pemangku kepentingan, utamanya para pengambil kebijakan.   



[1] Dimuat dalam Analisis KR, Sabtu 06-01-2018 Hal 1
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan  Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM