Kamis, 29 Agustus 2013

Takhta Untuk Rakyat



 TAHTA UNTUK RAKYAT ala JOKOWI[1]

                                         Oleh:
                                      Dr. Sutaryono
Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN dan
Prodi Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi UGM, di Yogyakarta

          Kontestasi politik menjelang 2014, eskalasinya cenderung meningkat. Gaya memikat yang dilakukan Jokowi- dengan ikon blusukan- baik pada masa pengenalan diri dan program-programnya, maupun dalam keseharian memimpin pemerintahan menjadi ‘inspirasi’ bagi banyak aktor yang berkeinginan menjadi lebih populer dan sukses dalam perhelatan demokrasi sebagaimana sosok Jokowi. Maka tidak perlu heran apabila saat ini dan nanti muncul apa yang disebut Sahabat saya Riawan Tjandra sebagai ‘Kloning Gaya Jokowi’ (Koran Tempo, 14-08-2013).              
          Gaya Jokowi pada dasarnya dapat dilakukan oleh semua pemimpin, apabila benar-benar memahami dan memaknai bahwa sejatinya kekuasaan akan didedikasikan dan diabdikan untuk rakyat atau terminologi tepatnya adalah Tahta Untuk Rakyat.   Terminologi ini mengingatkan kembali sosok raja yang merakyat dengan dedikasi dan komitmen luar biasa untuk rakyat dan bangsa Indonesia, Sri Sultan HB IX. Buku “Takhta Untuk Rakyat (suntingan Atmakusumah), mengelaborasi bagaimana tahta betul-betul didedikasikan untuk rakyat dan Bangsa Indonesia. Tahta untuk rakyat dan bangsa Indonesia tergambar secara jelas pada tulisan berjudul ‘Apa yang Akan Terjadi dengan Republik Jika Tidak Ada Hamengku Bowono IX?’ tulisan Mohamad Roem pada buku di atas. Tidak ada yang menyangsikan peran Sultan HB IX bagi rakyat dan bangsa ini, sehingga apa yang disebut dengan Tahta Untuk Rakyat adalah kebenaran sejarah.
Ngersodalem Sultan telah memperagakan dan mencontohkan perwujudan tahta untuk rakyat, baik secara personal maupun secara kelembagaan melalui kraton. Bahkan secara khusus tanah-tanah Sultan (Sultan Grond-SG) juga diorientasikan untuk rakyat dan bangsa ini. Secara nyata hingga saat ini tanah-tanah Sultan banyak dimanfaatkan untuk: (1) tanah keprabon, merupakan tanah Kasultanan yang dimanfaatkan untuk bangunan istana dan kelengkapannya; (2) rumah jabatan, tempat tinggal kerabat kraton, dan tanah-tanah yang dikuasai atau diberikan kepada pihak ketiga dengan seijin kraton (dede keprabon); dan (3) kepentingan pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini secara historis, yuridis dan sosiologis, sampai saat ini eksistensi tanah Sultan  masih ada dan diakui keberadaannya oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat mengakui bahwa SG masih menjadi hak milik atau domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana dengan Jokowi? Apakah benar Jokowi sedang memperagakan perwujudan Tahta untuk Rakyat? Apabila ini benar, maka ‘reinkarnasi’ kepemimpinan di awal berdirinya republik ini sebagaimana statemen Riawan Tjandra (Koran Tempo, 14-08-2013), mendapatkan konteksnya.
Hamemayu Hayuning Bawana yang dimaknai sebagai kewajiban melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia, wilayah dan masyarakatnya serta lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi adalah filosofi dasar tahta untuk rakyat. Filosofi inilah yang tampaknya secara konsisten dipegang, dihayati dan diimplementasikan ke dalam kebijakan dan agenda kerja sejak menjabat sebagai Wali Kota hingga saat ini sebagai Gubernur DKI Jakarta. Model blusukan ala Jokowi dapat dimaknai sebagai simbol sekaligus manifestasi manunggaling kawulo gusti.
Apabila dilihat dengan kacamata the production of spaces-nya Lefebvre, model blusukan tersebut dapat dimaknai sebagai implementasi interaksi pada tiga ruang sekaligus. Ruang atau spaces, tidak hanya dimaknai sebagai ruang fisik belaka (phisycal spaces), tetapi  juga mental spaces dan social spaces, yang secara resiprokal saling berkaitan dan mempengaruhi. Kehadiran secara fisik sosok pimpinan, pasti mendapatkan apresiasi lebih dari masyarakat karena memberikan kesejukan, kedekatan, kebersamaan dan empati yang mewujud. Inilah ruang fisik yang diproduksi oleh Jokowi melalui blusukan. Interaksi ruang fisik ini, secara langsung diikuti dengan interaksi ruang mental. Mind set, pola pikir dan benak segenap rakyat pasti mengikuti ‘atmosfer’ yang dibangun oleh Sang Pemimpin saat berinteraksi secara wadaq. Nuansa kebersamaan inilah yang memberikan kekuatan interaksi ruang mental bagi ‘raja’ dan rakyatnya. Setelah berproses dan berproduksinya ruang fisik dan ruang mental, tinggallah interaksi ruang sosial sebagai eksekutornya, mengingat interaksi sosial inilah wujud nyata bahwa kekuasaan benar-benar diorientasikan untuk rakyat.
Kita ingat betul bahwa kedatangan dan kemenangan Jokowi menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta dapat dibaca sebagai menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, bahkan menggunakan kesaktian tanpa ajian dan kekayaan tanpa kemewahan. Artinya Jokowi telah memainkan peran sebagai sosok pimpinan yang betul-betul mempunyai etika seorang pemimpin, yang berkiprah tanpa merendahkan pihak-pihak yang berseberangan, tanpa menggunakan pasukan untuk menundukkan pihak-pihak yang akan diatur. Keberhasilan awal untuk menata kawasan Tanah Abang tanpa hiruk pikuk yang berarti, menunjukkan hal itu. Tidak digunakannya tradisi open house saat lebaran, tetapi justru malah bertandang dan merayakan lebaran bersama rakyatnya adalah bukti nyata wujud tahta untuk rakyat yang diperagakan Jokowi.  
Hasil survey dari berbagai lembaga survey yang menempatkan Jokowi sebagai calon presiden paling populer dan tawaran berbagai partai politik terhadapnya untuk perhelatan tahun 2014, hanya direspon dengan senyuman. Jokowi menyatakan ingin berkonsentrasi membenahi Jakarta. Keinginan untuk  tetap menjalankan tanggungjawabnya sebagai gubernur ini dapat dimaknai bahwa dedikasi dan komitmen untuk rakyat belum tergoyahkan. Inilah yang dimaknai sebagai Tahta untuk Rakyat ala Jokowi.


[1] Dimuat pada KORAN TEMPO, Rabu 28 Agustus 2013 hal A11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar