Senin, 25 September 2023

GTRA Summit Karimun 2023

 Dipublikasikan pada Kolom OPINI

SKH Kedaulatan Rakyat

Selasa, 29 Agustus 2023 Hal 11

 

GTRA Summit

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

 

Reforma Agraria adalah Program Strategis Nasional yang sudah diamanahkah lebih dari dua dekade yang lalu melalui  Tap No. IX/MPR/2001, tetapi hingga saat ini masih menghadapi berbagai persoalan dalam implementasinya. Kendala regulasi yang bersifat operasional dan sering dipersoalkan tidak lagi menjadi kendala ketika telah diterbitkan  Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria  (Opini KR, 22-10-2018). Terbitnya Perpres 86/2018 tersebut bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan bagian pemenuhan janji politik pemerintah. Janji politik presiden dalam Nawacita yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 yang terus berlanjut dalam RPJMN 2020-2024 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha untuk diredistribusikan.

Berdasarkan regulasi tersebut reforma agraria tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai redistribusi tanah belaka, tetapi jauh lebih luas. Reforma agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Adapun penataan asset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan penataan akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek reforma agrarian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga sebagai pemberdayaan Masyarakat.

Untuk menjalankan agenda reforma agraria tersebut dibentuklah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang merupakan Lembaga lintas sektor melibatkan sejumlah 17 (tujuhbelas) kementerian/Lembaga terkait. Di daerah, mengingat strategisnya agenda reforma agraria,  GTRA dipimpin langsung oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Hal ini menunjukkan bahwa agenda Reforma Agraria adalah agenda Bersama seluruh elemen bangsa yang membutuhkan partisipasi aktif seluruh stake holder terkait.

Dalam implemetasinya agenda reforma agraria sudah berjalan dengan baik dan kontributif dalam memberikan kepastian hukum melalui penataan asset dan meningkatkan perekonomian subjek reforma agraria melalui penataan aksesnya. Namun demikian, dipenghujung berakhirnya RPJMN 2020-2024 ini capaian kinerja reforma agraria masih perlu digenjot lagi. Kementerian ATR/BPN telah mengidentifikasi adanya 4 (empat) tantangan yang harus dihadapi dalam rangka reforma agraria, yakni: (1) penguatan legalisasi aset permukiman di atas air, pulau-pulau kecil dan pulau kecil terluar; (2) penyelesaian konflik agraria yang berkaitan dengan kewenangan lintas sektor, seperti masalah penguasaan lahan oleh masyarakat di atas aset tanah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD) dan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD); (3) penyelesaian masalah dan pemenuhan target sertipikat tanah transmigrasi; serta (4) menyangkut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari Pelepasan Kawasan Hutan. Disamping ke-4 hal tersebut, penguatan kelembagaan GTRA di daerah juga mutlak diperlukan.

 

Komitmen Bersama

Untuk mengatasi tantangan dan menyelesaikan berbagai persoalan implementasi reforma agraria, maka dibutuhkan komitmen Bersama antar pemangku kepentingan yang terlibat. Oleh karena itu Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2023 ini diselenggarakan. Acara yang akan digelar pada tanggal 29 – 31 Agustus 2023 di Karimun dan dihadiri langsung oleh Presiden ini mengambil tema “Transformasi Reforma Agraria: Mewujudkan Kepastian Hukum, Keberlanjutan Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat”.

Tema di atas dipilih mengingat persoalan pertanahan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah transmigrasi, tanah-tanah yang dikuasai oleh BUMN/BUMD dan tanah-tanah pada kawasaan hutan masih belum terselesaikan dan belum secara optimal berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komitmen bersama yang diwujudkan melalui kolaborasi multipihak dan berbagi peran antar stake holder ini merupakan prasyarat bagi terselesaikannya berbagai persoalan yang menghambat implementasi reforma agraria. Yang muaranya adalah terwujudnya kepastian hukum penguasaan dan pemilikan tanah, keberlanjutan Pembangunan serta kesejahteraan Masyarakat. Oleh karena itu agenda GTRA Summit 2023 ini merupakan momentum yang sangat tepat dan kuat untuk mengatasi hambatan pelaksanaan sekaligus meneguhkan komitmen Bersama untuk menuntaskan Program Strategis Nasional Reforma Agraria.



[1] Staf Pengajar pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar