Senin, 06 Januari 2014

Jogja 'BERHENTI' Nyaman




JOGJA ‘BERHENTI’ NYAMAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]


Penghujung tahun 2013 hingga awal 2014, bertepatan dengan liburan sekolah, natal dan tahun baru sungguh merupakan berkah bagi pelaku pariwisata dan institusi kepariwisataan di Yogyakarta. Betapa tidak, Yogyakarta yang Istimewa, bak magnet yang menarik dengan kuatnya para wisatawan, baik wisatawan manca negara maupun domestik. Terlebih dengan julukan sebagai Kota Ternyaman di Indonesia (The Most Liveable City) dan sebagai Kota Pusaka, Yogyakarta semakin kukuh sebagai Kota Istimewa yang menjadi tujuan utama wisata di Indonesia. Tepat kiranya slogan Yogyakarta Berhati Nyaman (bersih, sehat, asri dan nyaman) dijadikan trade mark (merek dagang) untuk ‘menjual’ Yogyakarta. Namun demikian, persoalan yang muncul dari berkah pariwisata tersebut adalah hal yang sangat paradoks. Jogja ‘Berhenti’ Nyaman adalah sebuah Kerisauan seorang kawan yang menginspirasi tulisan ini. Mengapa?
          Kemacetan yang luar biasa pada beberapa pekan ini, penggenangan di sana-sini saat hujan, sampah visual yang semakin tidak karuan, tindak kriminal yang membuat was-was warga dan ketidakjelasan penataan ruang kota ke depan merupakan fakta yang mengindikasikan terganggunya kenyamanan Kota Yogyakarta bagi warganya. Apabila kondisi demikian tidak segera mendapatkan perhatian sekaligus aksi untuk menyelesaikannya maka Jogja ‘berhenti’ nyaman adalah sebuah keniscayaan.
          Satu dekade yang lalu dalam konteks penataan ruang kota, Pemda DIY telah memunculkan gagasan tentang Greater Yogyakarta, dimana kawasan tumbuh cepat di DIY yang melibatkan Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta  dipandang sebagai satu kawasan perkotaan. Strategi pengembangannya dilakukan melalui pembangunan: (1) New international airport dan Fish Port di Kulon Progo; (2) Jogja – Bawen dan Jogja – Solo Toll Road; (3) Jogja outer Ring Road; (4) Bus Rapid Transit di Jombor; (5) Multimoda Terminal di Kota Yogyakarta; (6) Southern Highway di Pantai Selatan (Pansela) ; dan (7) Tunnel Toll antara Parangtritis dan Baron. Dari tujuh agenda besar tersebut, pembangunan yang sudah terealisasi (meskipun fungsinya belum optimal) adalah terminal bus di Jombor dan jalur lintas selatan di Pansela. Bandara internasional dan fish port di Kulon Progo sudah mulai berproses, dan yang lainnya tampaknya belum ada tindaklanjutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap masa depan Greater Yogyakarta seakan terlupakan. Bahkan beberapa gagasan dan permasalahan pada Kawasan Perkotaan Yogyakarta dewasa ini belum juga mendapatkan alternatif solusinya. Misal, pembangunan area parkir di eks Bioskop Indra masih belum dapat diwujudkan, gagasan revitalisasi Stasiun Tugu dan pembangunan parkir di bawah alun-alun terhenti di tengah jalan serta masih adanya tumpang-tindihnya penataan ruang kota antara Pemerintah Kota dan Pemda DIY. 
          Ternyata untuk mengukuhkan Yogyakarta Berhati Nyaman sebagai salah satu ikon keistimewaan tidak cukup dengan terbitnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY dan diterapkannya prinsip dan filosofi hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, serta tahta untuk rakyat. Tetapi lebih dari itu, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan seluruh masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat- yang salah satunya adalah terwujudnya Yogyakarta Berhati Nyaman secara berkelanjutan- dibutuhkan strategi penataan ruang yang secara makro mampu mengakomodasi kebutuhan ruang pada kawasan Greater Yogyakarta dan secara mikro mampu membentuk tata kota dan tata bangunan yang mendukung terwujudnya kota pusaka, mendisain rekayasa transport yang mampu mengurai kemacetan, mengendalikan menjamurnya sampah visual di seluruh sudut-sudut kota, mengefektifkan saluran drainase dan ruang terbuka hijau untuk antisipasi genangan dan banjir serta mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan ancaman kriminalitas.
Hal-hal di atas hanya dapat terwujud apabila semua pemangku kepentingan terhadap masa depan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, duduk bersama untuk menentukan kebijakan strategis  dan menyelenggarakannya secara bersama-sama, tanpa saling menafikan satu dengan yang lainnya. Strategi penataan ruang dan pembangunan wilayah yang dulu pernah ada perlu dicermati kembali agar ada ketersambungan kebijakan. Hal ini harus segera dilakukan agar agenda keistimewaan Yogyakarta dapat berproses secara produktif tanpa adanya kekhawatiran munculnya istilah Jogja ‘Berhenti’ Nyaman.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 6 Januari 2014 hal 14
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar