Selasa, 02 September 2014

Vertical Housing



 VERTICAL HOUSING

     Chapin & Kaiser (1997) menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan kondisi kota-kota di Indonesia? Dengan keterbatasan ruang yang ada, fungsi ruang kota sudah sesuai dengan yang dimaksud Chapin & Kaiser? Apakah agenda vertical housing sudah urgent untuk dilakukan? 
    Nah....silahkan didiskusikan dalam perspektif Perencanaan Penggunaan Lahan, paling tidak berkenaan dengan: (1) teori Chapin & Kaiser; (2) konsep vertical housing; (3) urgensi vertical housing & fakta-fakta pendukungnya; dan (4) strategi penerapan vertical housing di Indonesia.
      (Catatan: Jangan lupa tuliskan Nama & NIM)

     

111 komentar:

  1. Etika Nnovitasari
    12/330963/GE/07310

    Kota merupakan pusat dari kegiatan sosial, politik maupun ekonomi masyarakat. Hal tersebut menjadikan kota-kota di Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang tinggi contohnya seperti kota metropolitan di Indonesia yaitu Jakarta. Menurut jurnal “Vertical Low Cost Housing Units untuk Kalangan Pekerja di Bendungan Hilir, Jakarta” yang ditulis oleh Dr. Ruly Darmawan , M. Sn menyebutkan bahwa pada tahun 2010 penduduk kota Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dengan kepadatan penduduk 12,978,2 jiwa/km2 dan merupakan kota terpadat kedua di dunia. Kepadatan penduduk terseut berbanding lurus dengan kebutuhan lahan untuk perumahan maupun fasilitas yang lain. Seiring bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan lahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kota menjadi semakin berkurang.

    Menurut saya, agenda vertical housing menjadi agenda yang urgent dan perlu ditanggapi dengan serius untuk kota-kota yang memiliki persediaan lahan yang kian terbatas dengan jumlah penduduk yang padat. Penggunaaan vertical housing dapat menghindari pemborosan lahan akibat kian melebarnya permukiman yang ada. Lahan yang kian habis serta tanpa adanya penataan perumahan oleh perintah maupun pihak lain dapat menyebabkan berkembangnya permukiman liar maupun permukiman kumuh seperti yang terjadi di sepanjang sungai serta rel kereta di kota Jakarta (Jakarta merupakan kota yang memiliki jumlah permukiman kumuh tertinggi di Indonesia tahun 2008 berdasarkan web. DPU http://ciptakarya.pu.go.id/bangkim/kumuh/main.php?module=home). Permukiman liar mapun permukiman kumuh tersebut tidak sesuai dengan sustainable development karena tidak memenuhi unsur estetika maupun kelestarian lingkungan serta pemborosan sumber daya alam terutama lahan. Lahan untuk perumahan dapat dihemat dan sebagian difungsikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) sehingga kawasan perkotaan dapat menjadi kawasan yang ekologis sesuai dengan konsep sustainable city. Salah satu stategi penerapan vertical housing di Indonesia adalah dengan pengadaan rusun/ rusunawa bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah, sedangkan untuk masyarakat kalangan menengah ke atas adalah melalui pengadaan apartemen maupun condominium.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Ketika berbicara mengenai perkotaan, kita dapat melihat pengertian kota menurut beberapa ahli. John Brickerhoff Jackson (1984) mengatakan bahwa kota merupakan suatu tempat tinggal manusia yang merupakan manifestasi dari perencanaan dan perancangan yang dipenuhi oleh berbagai unsur seperti bangunan, jalan, dan ruang terbuka hijau. Sebenarnya memang benar teori perkotaan yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1977), bahwasanya kota berfungsi menjadi tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. Memang, komponen – komponen tersebut menjadi indikator kehidupan di suatu kota. Dan jika melihat kondisi kota – kota di Indonesia, dapat dikatakan bahwa tidak semua kota di Indonesia dapat memenuhi beberapa kriteria tersebut, terutama kota – kota besar. Banyak kasus suatu kota telah memiliki fasilitas tempat tinggal, tempat hiburan, tempat bekerja yang kompleks dan memadai, namun dari aspek lingkungannya mereka sangat kurang. Hal ini tentunya menjadi perhatian yang sangat mendalam bagi kita semua, karena suatu kota tidak akan menjadi nyaman apabila memiliki kondisi lingkungan yang buruk.

    Sebenarnya mengapa kota menjadi sangat kompleks, yaitu karena kota harus menyediakan pusat-pusat pelayanan , pusat perekonomian, perdagangan, serta pusat-pusat lainnya. Kondisi semacam inilah yang mengundang para transmigran untuk datang bahkan tinggal menetap di kota – kota besar. Karena semakin banyaknya penduduk yang ada, adanya alih fungsi lahan yang dilakukan secara besar – besaran, maka ruang terbuka di kota ini akan menjadi sangat menipis. Jika kita tengok, ruang terbuka yang ada di Jakarta saat ini hanya 10 % dari luas wilayahnya (Tempo.co, Rabu 11 Desember 2013. Sungguh hal yang sangat ironis bukan?

    Konsep vertical housing rupanya menjadi satu solusi utama dalam mengatasi permasalahan lahan yang minim di kota ini. Vertical house, yang menerapkan konsep pembangunan gedung atau perumahan secara bertingkat, dengan jumlah tingkat (lantai) yang bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan. Vertical house menjadi sangat penting karena perannya yang mampu menghemat penggunaan lahan yang akan dibangun di kota. Lahan di kota yang semula akan dibangun seluas 1000 m2, dapat diminimalisir menjadi 600 m2 dengan menerapkan prinsip vertical house. Prinsip vertical house sekarang juga telah banyak dilakukan oleh beberapa kota, bahkan kota kecil, yang memang karena pertimbangan efisiensi lahan yang begitu menarik. Contoh real vertical house yang ada di kota cukup beragam, mulai dari rumah susun, apartemen, dan living house lainnya. Urgensi penting lain dari vertical house yaitu dengan keistimewaannya yang mampu membuka celah lahan yang dapat dijadikan sebagai ruang terbuka hijau.

    Namun, penerapan vertical house juga memerlukan strategi dan kebijakan yang mengatur. Melalui strategi yang tepat, misalnya dengan pembatasan jumlah tingkat (lantai), kewajiban memiliki area tumbuh pohon sebagai vegetasi hijau, serta sistem saluran pembuangan air/limbah yang sesuai. Komponen – komponen harus diperhatikan secara mendetail sehingga bangunan tinggi yang ada tidak hanya menjadi bangunan yang “ menjulang tinggi” tanpa kebermanfaatan apapun, namun dapat pula memberikan sumbangsih bagi lingkungan demi menjaga keseimbangan ekosistem dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

    BalasHapus
  4. Diana Febrita - 12/330856/GE/07272

    Vertikal housing merupakan salah satu strategi untuk mengatasi keterbatasan lahan ditengah semakin padatnya jumlah penduduk dan tingginya permintaan terhadap bangunan, terutama permukiman. Vertical housing juga dapat menjadi solusi untuk efisiensi ruang di pusat kota mengingat adanya peluang ekonomi yang besar di pusat kota, permintaan lahan di pusat kota yang tinggi, tetapi jumlahanya yang terkadang terbatas, sehingga untuk memperoleh sebidang tanah di pusat kota mahal. Vertical housing di Indonesia dapat diterapkan di kota-kota besar dengan kepadatan penduduk tinggi, seperti Jakarta. Vertical housing juga dapat diberlakukan di kota kecil dan menengah, terutama di pusat kota, dengan maksimal tinggi banggunan yang disesuaikan kemampuan dan kebutuhan. Tujuannya yaitu efisiensi penggunaan ruang pusat kota. Misalnya di pusat kota Bandar Lampung, peluang kegiatan ekonomi besar, tetapi harga tanahnya tinggi. Sehingga untuk efisiensi pemanfaatan ruang dan mendukung kegiatan ekonomi wilayah dapat memberlakukan bangunan vertikal tingkat dua atau tiga. Penerapan vertikal housing juga dapat mulai diterapkan di kota-kota yang berkembang cepat dengan kepadadatan penduduk belum begitu padat tetapi semakin meningkat. Tujuannya untuk mengantisipasi bangunan-bangunan liar yang dapat timbul akibat kepadatan penduduk yang semakin tinggi seiring permintaan terhadap kebutuhan papan yang semakin meningkat, seperti Bandung, Yogyakarta, Surakarta, dan Bogor (MI/RIZ. 2014. http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/3007/Bangunan-Vertikal-belum-Jadi-Solusi-Perkotaan/2014/08/14) .

    Hal yang penting diperhatikan dalam penerapan vertical housing yaitu kebutuhan dan kemampuan ruang. Misalnya di Jakarta dan Yogyakarta yang memiliki jumlah kepadatan penduduk yang berbeda, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap ruang yang berbeda, kondisi geografis yang berbeda, dan kemampuan lahan yang berbeda, maka standar vertical housing dikedua wilayah seharusnya berbeda. Analisis daya dukung lingkungan dan dampak lingkungan terhadap vertical housing dapat dilakukan sebelum menetapkan standar tinggi bangunan maupun luas maksimal bangunan vertikal di suatu wilayah. Memperhatikan standar untuk bangunan vertikal di suatu wilayah juga penting untuk memimalkan dampak lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya, misalnya terkait dengan ketersediaan air tanah.

    Saya setuju dengan adanya bangunan vertikal di kota-kota besar maupun kota-kecil dan menengah. Tetapi, hal yang penting ditinjau dalam penerapannya yaitu standar untuk vertical housing di setiap wilayah sebaiknya ada perbedaan. Standar disesuaikan dengan daya dukung lahan dan kebutuhan masing-masing wilayah.

    BalasHapus
  5. Lusia Chrisma P.P
    12/334235/GE/07429

    Kota dan perkembangannya memang tidak bisa dipisahkan dari permasalahan-permasalah yang terkait dengan ketersediaan lahan khususnya lahan terbangun. Hal ini dikarenakan di setiap perkembangan kota diikuti pula dengan peningkatan jumlah penduduk. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin meningkat pula permintaan atau demand akan kebutuhan perumahan. Akan tetapi sayangnya kondisi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah lahan yang tersedia, justru sebaliknya lahan yang ada semakin terbatas dan harga lahan pun semakin meninggi.

    Kondisi lahan di perkotaan yang sudah mengalami keterbatasan tersebut seharusnya perlu mendapatkan perhatian khusus untuk segera diatasi. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya berpenghasilan rendah. Selain itu menurut Teori Chapin dan Kaiser dalam suatu kota harus bisa memenuhi fungsi lokasi ruang yang terkait dengan living areas yakni perumahan sebagai pemenuhan kebutuhan primer yang juga harus dapat dijangkau oleh masyarakat. Maka dari itu salah satu upaya pemerintah sebagai solusi mengatasi keterbatasan lahan khususnya untuk perumahan di perkotaan adalah melalui vertical housing.

    Konsep Vertical housing merupakan suatu gedung atau hunian yang strukturnya dibuat vertikal yang tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal saja tetapi bisa juga terdiri atas bagian-bagian yang memiliki fungsional sebagai perkantoran, perdagangan, rekreasi, dan sebagainya. Jika sekilas mendengar tentang vertical housing memang selalu diidentikan dengan kepemilikan oleh orang-orang yang berpenghasilan tinggi. Namun adapun contoh dari vertical housing ini tidak hanya rumah-rumah bertingkat yang mewah, condominium, dan apartemen saja tetapi juga termasuk rusunawa. Sehubungan dengan vertikal housing ini tentu saja fungsi ruang kota dapat dikatakan sesuai teori Chapin dan Kaiser yang mengatakan fungsi lokasi (ruang) kota dalam kontek sustainable city sebagai work areas, living areas, shoping and leisure-time or entertainment center areas sekalipun lahan yang ada mengalami keterbatasan. Vertical housing ini juga cocok untuk diterapkan di Indonesia khususnya di kota-kota yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang amat pesat seperti, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bogor, Bandung, dll.

    Urgensi dari vertical housing sejatinya memang perlu dilakukan tidak hanya karena keterbatasan lahan di kota saja tetapi juga dapat meminimalisir dari dampak yang ditimbulkan dari pertumbuhan penduduk yang amat pesat. Dampak tersebut antara lain meningkatnya permukiman-permukiman kumuh tidak layak huni yang notabene ditempati oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah. Maka dari itu artinya bahwa pembangunan hunian bertingkat vertical housing dapat membawa perkembangan hunian yang lebih layak tetapi sebaiknya tidak hanya bagi mereka yang memiliki penghasilan tinggi tetapi juga perlu diperhatikan peruntukannya bagi mereka masyarakat yang berpenghasilan rendah agar perkembangan suatu kota tidak hanya membawa implikasi negatif pada yang lemah tetapi dapat terus berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh masyarakatnya.

    BalasHapus
  6. Terimakasih kawan2 yang sudah submit tugas, perlu diketahui bahwa setiap submit skor-nya satu....jadi peserta bisa submit lebih dari satu kali, shg nilainya bisa bertambah. Secara substansial, realitas menunjukkan bahwa pembangunan vertical housing di Yogyakarta justru banyak yang bermasalah....bagaimana ini? Silahkan didiskusikan lagi

    BalasHapus
  7. Nama : Efendi
    NIM : 12/330788/GE/07242
    Bicara tentang kota tidak bisa terlepas dari hingar bingar padatnya dan sibuknya aktifitas penduduknya. Selain itu pula kota memiliki daya tarik yang sangat kuat untuk berdatangnya penduduk mencari pekerjaan guna jaminan masa depan. Hal inilah yang mengakibatkan banyaknya investor berdatangan untuk memajukan usahanya guna mendapatkan keuntungan yang besar. Hal ini berbanding lurus dengan pesatnya pembangunan diwilayah perkotaan yang semakin maju. Selain itu pula pembangunan infrastruktur dan layanan yang sangat menjamin dan menjadi alasan terbesar datangnya penduduk dan investor ke kota. Namun dari semua itu tidak diimbangi dengan kesiapan lingkungan yang akan menampung pesatnya pembangunan dan datangnya penduduk kekota. Karena hal inilah kebutuhan akan hunian menjadi salah satu factor terpenting dalam pembangunan perkotaan, mengingat setiap tahunnya penduduk diwilayah perkotaan semkain bertambah padat. Sehingga dalam proses pembangunan yang pesat tersebut factor lingkungan menjadi tidak bagitu diperdulikan.
    Dengan peningkatan jumlah penduduk diwilayah perkotaan yang semakin padat hal inilah yang menjadi salah satu alasan para pengembangan property khususnya dibidang hunian tempat tinggal baik yang dimulai dari criteria kelas bawah sampai kelas atas. Hal ini bisa kita lihat di kota Yogyakarta yang terkenal dengan julukan kota pendidikan. Bertambahnya penduduk kota ini didominasi oleh para pendatang dari luar kota maupun luar provinsi yang sedang menempuh pendidikan dikota ini. Pembangunan hunian yang ditargetkan untuk para mahasiswa yang memiliki gaya hidup ‘wah’ menjadi salah satu factor terkuat untuk para pengembang property berlomba-lomba untuk mengembangkan usaha mereka. Hal ini bisa kita lihat di (http://jogja.tribunnews.com/2014/03/17/pengembang-berebut-pasar-apartemen-di-yogya/) yang menuliskan tentang pembangunan apartemen di Yogyakarta dengan berbagai macam fasilitas memadai dan cara pemasaran yang menjanjikan diskon besar-besaran. Namun tidak semua pembangunan apartemen itu berjalan mulus karena ada banyak sekali konflik yang timbul baik itu dari masyarakat sekitar yang menolak adanya pembangunan apartemen dan masih belum siapnya Pemerintah Daerah dengan Peraturan Daerah yang mengatur pembangunan dan pengadaan apartemen, hal ini bisa kita baca di (http://www.harianjogja.com/baca/2014/05/13/warga-tolak-apartemen-dprd-minta-izin-apartemen-uttara-ditangguhkan-507489)
    Sebaiknya dalam pengembangan vertical housing atau permukiman bertingkat dikota-kota besar di imbangi dengan memperhatikan dampak lingkungan dan dampak sosial yang akan ditimbulkan dari pembangunan proyek tersebut. Karena sekarang ini bukan hanya dampak lingkungan yang menjadi ancaman namun dampak sosial juga dapat menjadi ancaman yang sangat besar bila muncul dan tidak adanya antisipasi. Karena hal ini akan menimbulkan masalah-masalah baru ditengah-tengah masyarakat yaitu akan memunculkan kesenjangan sosial yang besar pula.

    BalasHapus
  8. Maulana Ghani Yusuf 12/334272/GE/07446

    Menurut saya, agenda vertikal housing sudah cukup urgent untuk diterapkan pada kota besar atau megapolitan di Indonesia. Faktor pemicu yang menyebabkan hal ini adalah bahwa semakin berkembang suatu kota maka akan diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk di kota tersebut. Kemudian dengan adanaya peningkatan jumlah penduduk di suatu kota akan menyebabkan keterbatasan lahan yang berpengaruh pada tingginya harga tanah.

    Salah satu konsep yang dapat digunakan sebagai suatu formula untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pembangunan perumahan dengan konsep vertikal house. Sebenarnya, wacana pembangunan perumahan bertingkat sudah berkembang sejak tahun 1990-an. Bahkan, sejumlah pengembang (developer) yang tergabung dalam Realestat Indonesia (REI) terus memprovokasi pemerintah agar peduli masalah kebutuhan hunian dan mempertimbangkan konsep vertical housing, bahkan tidak sedikit pengembang studi banding ke beberapa negara yang industri propertinya lebih maju dari Indonesia.

    Contoh nyata dari permasalahan di atas adalah yang ada di sekitar kita yakni di Kota Yogyakarta. Dalam Tribunjogja.com, Remigius Edy, Ketua DPD REI DIY, menuturkan bahwa saat ini yang bisa menjadi solusi atas permasalahan seperti di atas adalah harus mulai direncanakannya pembangunan vertical housing di Yogyakarta. Menurutnya, vertikal housing sangat cocok diterapkan di kota-kota yang semakin sempit lahannya.

    "Pembangunan vertical housing itu sebenarnya mengacu pada efektivitas. Sehingga dengan adanya vertical housing itu menjadi solusi bagi lahan sempit," kata Remigius

    Selain itu, menurut Remigius, dengan adanya vertical housing, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mensiasati harga tanah yang mahal dan berimbas juga pada pengurangan kemacetan. Sesuai dengan tujuannya, yaitu efektivitas, maka vertikal housing biasanya membidik lokasi-lokasi yang dekat dengan pusat kegiatan. Sehingga penghuni yang tinggal di bangunan vertical housing tak perlu membuang waktu menuju tempat kegiatan.

    "Efektivitas sebuah vertical housing itu dibuktikan dengan pembangunan di lokasi-lokasi strategis. Misalnya perkantoran, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain. Jika jarak tempuh semakin pendek, maka kemacetan pun bisa berkurang," jelas Remigius.

    Tetapi hal penting yang harus digaris bawahi adalah jika vertikal housing ingin diterapkan di suatu kota besar atau megapolitan perencanaannya harus matang, terutama dari segi fisik bangunan dan budaya penghuni bangunan. Umumnya masyarakat lebih suka tinggal di rumah yang luas dengan halaman dan ruang keluarga, sehingga memungkinkan mereka melakukan sosialisasi secara maksimal. Mereka, terutama keluarga besar, merasa kurang nyaman tinggal di apartemen yang space-nya terbatas. Sebaliknya, mereka lebih suka tinggal di rumah dengan konsep landed housing ketimbang vertical housing.

    BalasHapus
  9. Bayu Putra Yanuar Wijaya
    12/330956/GE/07308

    Berbicara tentang kota tentu saja berbicara dengan dinamika perkembangan kota itu sendiri. Kota tentu saja mengalami permasalahan-permasalahan yang kian kompleks seperti masalah kependudukan, urabanisasi, kemacetan, bahkan sampai ke taraf tata ruang. Seperti halnya kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogya dan lainnya, kota memiliki permasalahan tentang semakin minimnya lahan terbuka sedangkan untuk permintaan lahan untuk dibangun semakin tinggi. Seperti halnya Kota Yogya. Kota Yogya memiliki daya tarik luar biasa dalam hal pariwisata dan pendidikan. Pariwisata mendorong investor-investor untuk membuka lahan di Yogya untuk dijadikan pusat perbelanjaan dan hotel. Sementara kota Yogya sendiri sudah tidak mampu menyediakan lahan kosong untuk dijadikan area terbangun. Sementara itu daya tarik Yogya yang sangat kuat membuat banyak orang diluar Yogya untuk bermukim dan membangun rumah hunian.Belum lagi kedatangan para pelajar dari luar Kota Yogya untuk bersekolah di Yogya juga mendatangkan permasalahan sendiri karena jika dirata-rata, pelajar yang lulus tiap tahunnya lebih kecil daripada pelajar yang mendaftar dan diterima di Yogya. Permasalah meningkatnya jumlah penduduk ini tidak dibarengi dengan penyediaan lahan yang cukup. Ruang yang terbagi-bagi untuk kepentingan publik, pertokoan/kawasan perekonomian, permukiman dan lain-lain memicu adanya perubahan struktur bangunan. Konsep vertical housing nampaknya sudah harus diterapkan di Yogya. Bangunan yang dibangun keatas lebih banyak menampung masyarakat yang menghuni Kota Yogya. Vertical housing untuk area permukiman seperti pembuatan apartmen, rusun, dan untuk menyokong aktivitas perekonomian dapat diterapkan dalam pembangunan ruko.

    Vertical Housing tentu saja dapat memperkecil luasan lahan yang akan dibangun namun dapat sedikit mengurangi permasalah di Kota yaitu tentang minimnya ruang. Apartmen-apartmen yang mulai marak dibangun di Yogya nampaknya merupakan sebuah bukti bahwasannya ketersediaan ruang di Yogya sudah semakin kecil. Jika pembangunan tidak diarahkan untuk vertical, maka hal ini dapat berdampak pada daerah-daerah disekitar Kota Yogya yaitu Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul. Daerah-daerah pinggiran Kota Yogya yang notabene adalah daerah penyokong Kota Yogya akan mengalami dampak positif dan negatif, Dampak positifnya adalah daerah tersebut berpotensi untuk menjadi pusat-pusat baru, namun dampak negatifnya adalah daerah-daerah tersebut ujung-ujungnya mengalami perubahan penggunaan lahan. Lahan yang dulunya digunakan sebagai pertanian dan perkebunan nantinya akan berubah menjadi kawasan permukiman dan pertokoan jika pembangunan banyak yang bermodel horizontal.

    Konsep vertical housing tentu saja harus didasar dengan perencanaan yang matang dalam hal ini adalah perencanaan bangunan secara fisik. Hal ini didasarka pada kondisi geografis Kota Yogyakarta dan sekitarnya merupakan wilayah yang berada pada batas lempeng bumi. Oleh karena itu Kota ini sering mengalami gempa. Belum lagi ditambah dengan adanya Gunung Merapi yang juga berpotensi terjadi gempa vulkanik. Jika perancangan bangunan tidak melihat aspek tersebut bukan tidak mungkin bangunan tersebut akan terbengkalai karena minat masyarakat untuk menerapkan vertical housing tersebut kurang. Kondisi semacam inilah yang perlu dikaji lebih lanjut jika ingin menerapkan vertical housing di Kota Yogyakatra. Namun secara garis besar, Kota Yogya sudah saatnya menerapkan vertical housing karena daya tampung Kota Yogya sudah overload. Jika hal ini terus dibiarkan, maka daerah-daerah sekitar Yogya akan mengalami dampak perubahan penggunaan lahan. Sehingga kebijakan pemerintah mengenai tata ruang harus diperjelas lagi untuk membatasi izin bangunan dan menata kembali seperti perencanaan tata ruang dan tata wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

    BalasHapus
  10. Kawan2 yang baik,
    Bagaimana dengan problem penolakan dari masyarakat terhadap apartemen atau kondotel yang merupakan salah satu dari vertical housing? apakah masyarakat yang belum siap atau pihak pengembang yang tidak melihat kondisi masyarakat?

    BalasHapus
  11. Asvriadhi Pradhana Putra
    12/333872/GE/07381

    Kondisi kota di Indonesia seperti apa yang didalam pernyatan Chappin & Kaiser menurut saya belum semua terpenuhi. Dikatakan bahwa pernyatan tersebut kota sebagai tempat tinggal, tempat bekerja, tempat berbelanja atau tempat hiburan, dan sebagai tempat terbuka untuk taman atau melindungi lingkungan hidup. Tetapi berbeda dengan kenyataanya, contohnya di Kota Yogyakarta dimana keberadaan open space area atau tempat terbuka untuk taman kota tidak terdapat di kota ini walaupun di peraturan perundang-undangan pemerintah sudah ditempatkan bahwa terdapat taman kota namun berbeda dengan kenyataan yang ada. Hal ini menandakan bahwa perkembangan kota Yogyakarta sendiri termasuk mulai berkembang sehingga mempengaruhi penggunaan lahan yang terdapat di seluk beluk kota Yogyakarta. Dikenalnya dulu sebagai kota kebudayaan dan kota yang paling nyaman, namun karena banyaknya tempat wisata dan banyak menarik wisatawan asing atau lokal sehingga saat ini mulai banyaknya berdiri suatu hotel-hotel yang memadati setiap sudut kota. Keterbatasan lahan mulai terlihat di Kota Yogyakarta ini karena termakan perkembangan kota Yogyakarta sendiri, sudah mulai banyak hotel yang membumbung tinggi, oleh karena itu oleh perintah pemerintah daerah bahwa perijinan pembangunan suatu hotel di Yogyakarta sudah dibatasi dengan beberapa peraturan dan syarat yang harus terpenuhi.
    Vertical Housing di Indonesia ini mulai terkenal di kota-kota besar di Indonesia ini, dimana mulai merambah di Ibukota Jakarta yang besar dan dengan lahan yang terbatas sehingga mendorong bahwa pembangunan tidak secara horizontal tetapi vertical sehingga banyak gedung bertingkat, apartemen, kondotel, dan rumah susun, serta segala bangunan yang mulai menjulang tinggi hingga berpuluh-puluh lantai. Pembangunan secara vertical ini sebenarnya bagus terhadap suatu kota besar di Indonesia, karena menunjukkan perkembangan suatu kota ini sudah lebih maju sehingga banyak orang yang tinggal di apartemen dan kondotel yang menunjukkan tingkat perekonomian pendapatan perkapita sudah meningkat, dari aspek perencanaan penggunaan lahan vertical housing bagus karena dapat meminimalkan luas lahan untuk pembangunan dan memberikan space bagi pembangunan yang lainnya. Vertical housing sendiri diterapkan karena sudah mulai berkurangnya lahan yang kosong di suatu daerah dan biasanya akan tumbuh di kota-kota besar karena terlalu banyaknya lahan yang diperuntukkan sebagai bangunan.
    Di Indonesia sendiri menurut saya belum waktunya untuk menggunakan vertical housing dan belum cukup urgent. Vertical housing lebih baik dilakukan hanya dibawah suatu persyaratan yang harus terpenuhi oleh suatu bangunan dimana harus ditentukan di kawasan mana saja yang diperbolehkan berdirinya suatu vertical housing. Masih banyak lahan yang terbuka di seluruh Indonesia ini sehingga belum perlu adanya vertical housing. Apabila vertical housing ini digalakan di Indonesia maka akan memperburuk tata ruang di kota di Indonesia ini karena akan memberikan faktor penarik bagi masyarakat desa dan menuju ke kota sehingga akan memberikan efek terjadinya ledakan penduduk dan lingkungan kota akan semakin sempit dan kumuh sehingga ruang terbuka untuk taman juga tidak ada dan memberikan dampak kerusakan lingkungan. Sehingga lebih baik pembangunan di Indonesia ini dibatasi untuk pembangunan vertical housing karena dapat mengancam kelestarian lingkungan di kota dan menjaga kestabilan fenomena sosial di daerah kota serta menghindarkan jatuh korban yang banyak apabila terjadi suatu fenomena bencana alam gempa bumi di Indonesia karena di Indonesia berada di jalur lempeng dunia.

    BalasHapus
  12. Asvriadhi Pradhana Putra
    12/333872/GE/07381

    Pembangunan vertical housing di Yogyakarta kerap terjadi permasalahan dengan masyarakat sekitar, hal ini terjadi akibat tidak adanya komunikasi antara developer dengan masyarakat sekitar atau kata lain developer tidak melihat kondisi masyarakat sekitar. Faktanya terhadap pembangunan apartemen mahasiswa yang berada di daerah jalan kaliurang seperti apa yang diceritakan Bapak Sutaryono didalam kelas bahwa warga menolak adanya pembangunan apartemen tersebut karena dapat meresahkan masyarakat sekitar dan dianggap dapat mengurangi pendapatan masyarakat yang mengelola kos-kosan untuk mahasiswa.

    Pembangunan vertical housing di Yogyakarta ini belum saatnya dilakukan, namun melihat juga posisi strategis dan persyaratan apakah dapat terpenuhi atau tidak yang sesuai dengan peraturan pemerintah sendiri. Pembangunan vertical housing di Yogyakarta ini pengembang hanya memperhatikan aspek perekonomian saja namun belum melihat kondisi masyarakat dimana di Yogyakarta ini dikenal dengan masyarakat dengan hidup bergotong royong dan jarak kota antar daerah lain masih dapat terjangkau dengan transportasi yang ada. Penggunaan vertical housing menggambarkan kehidupan bermewah-mewahan sehingga belum cocok di masyarakat Yogyakarta sendiri, sehingga vertical housing biasanya dihuni bagi orang luar provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau digunakan sebagai ladang investasi saja.

    Pengembang vertical housing seharusnya memperhatikan kondisi masyarakat sekitar daerah yang akan dibangun suatu bangunan vertikal tersebut, dengan cara komunikasi yang baik dan harus memperhatikan hubungan timbal balik terhadap masyarkat sekitar. Namun untuk Yogyakarta sendiri menurut saya seharusnya tetap dibatasi untuk pembangunan vertical housing ini, karena dilihat dari segi ketersediaan lahan, pembangunan ini akan banyak memakan lahan terbuka di setiap bagian Yogyakarta sehingga berdampak semakin padatnya Yogyakarta ini dan menciptakan lingkungan yang kumuh dan menghindarkan adanya kesenjangan sosial yang terjadi terhadap masyarakat Yogyakarta. Dilihat dari keamananya yang akan membahayakan apabila terjadi gempa bumi yang kerap sekali melanda Yogyakarta ini dimana dapat mengancam bangunan di sekitar dan masyarakat yang tinggal di vertical housing tersebut, sehingga harus diperhatikan rangka bangunan yang harus kuat terhadap gempa bumi sendiri dan adanaya jalur evakuasi didalam gedung.

    BalasHapus
  13. Halim Safar Hs
    12/331007/GE/07331

    Teori Chapin & Kaiser yang menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Pada kenyataannya fungsi lokasi yang disebutkan oleh Chapin & Caiser sangat sulit sekali untuk dapat di aplikasikan di Indonesia ini dengan melihat pada dua alasan utama yaitu jumlah penduduk yang terus bertambah baik dari pertumbuhan penduduk itu sendiri dan juga atau arus migrasi yang masuk pada suatu kota dan juga disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan ruang yang ada. Sedangkan beberapa faktor eksternal lainnya yang menyebabkan fungsi lokasi (ruang) adalah kebijakan oleh pemerintah daerah atau pusat.
    Konsep vertical housing guna pemanfaatan ruang yang tersedia dengan semaksimal mungkin dengan memperhatikan aspek pembangunan yang berkelanjutan dapat diterapkan di beberapa kota yang ada di Indosesia bukan seluruh kota yang ada di Indonesia, dalam hal ini konsep vertical housing tentu saja harus memperhatikan daya dukung wilayah, daya dukung tanah, dan tata guna air. Dimana ketika kita berbicara mengenai penggunaan lahan maka pemanfaatan atau penggunaan air juga merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Keadaan geologi di beberapa kota di Indonesia berbeda-beda, tentunya hal tersebutlah yang menjadikan konsep vertical housing tidak dapat sepenuhnya diterpakan di seluruh kota Indonesia. Seperti kota-kota yang rentan terhadap gempa bumi, letusan gunung api, bahaya tsunami, banjir bandang, banjir rob, dan ketersediaan air yang terbatas.
    Pembangunan vertical housing guna sebagai langkah antisipasi terhadap keterbatasan lahan yang dapat digunakan untuk hunian atau tempat tinggal, dinilai tingkat kebutuhan akan vertical housing sudah memasuki tahap urgent untuk dibeberapa kota. Akan kemudian yang menjadi persoalannya adalah ketika pembangunan vertical housing tidak menggunakan strategi perencanaan pengembangan wilayah, maka yang akan terjadi adalah bangunan-bangunan yang dapat merusak system ekologi. Tidak tidak setiap lahan memiliki fungsinya masing-masing, hal yang pokok dalam upaya perlindungan fungsi-fungsi lahan (baik ekologis maupun produksi) adalah dengan evaluasi sumber daya lahan. Evaluasi lahan itu sendiri adalah kemampuan lahan dimana menggambarkan kapasitas dari sumber daya lahan untuk mendukung penggunaannya secara umum dan kesesuaian lahan yakni mencerminkan kesesuaian satuan lahan bagi penggunaan yang spesifik. Vertical housing dihindari atau tidak, tetap akan menjadi topic utama pembangunan hunian tempat tinggal khususnya pada daerah-daerah yang memiliki keterbatasan lahan. dalam pandangan saya mengenai urgentkah vertical housing ini? Maka jawabannya adalah masih belum urgent. Dikarenakan belum teroptimalkannya seluruh wilayah baik yang di pusat dan pinggiran untuk dimanfaatkan keberadaannya guna langkah preventif dari dampak adanya pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang begitu pesat. Adapun hal yang harus kita bersama ingat adalah dalam perencanaan pengembangan wilayah sebagian besar aktivitasnya meliputi rencana tata guna lahan, yang harus bersifat proaktif, jangka panjang, dan juga strategis, dan di dasarkan pada konsep pemafaatan lahan dalam ruang wilayah secara berkelanjutan. Strategi penerapan vertical housing diantaranya dapat menerapkan perencanaan pengembangan wilayah secara terpadu (integrated regional development planning disingkat IRDP). Pendekatan ini biasa juga dikenal sebagai fungsi-fungsi perkotaan pada pembangunan pedesaan (urban functions in rural development, UFRD) atau pendekatan desentralisasi terkonsentrasi. Dan juga dapat menerapkan pembangunan territorial (Baja, 2012).

    Sumber: Baja, sumbangan. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Penerbit Andi: Yogyakarta

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  16. Penolakan pembangunan dengan adanya pembangunan apartemen dan kondotel dapat terjadi karena adanya perasaan merugi masyarakat sekitar dengan adanya pembangunan apartemen atau kondotel. Belum adanya kesepakatan antara masyarakat dan pihak pengembang. Sebagian masyarakat beranggapan bahawa dengan adanya pembangunan apartemen dan kondotel dapat merugikan mereka karena akan berkurangnya ketersediaan air yang dimiliki masyarakat akibat pembangunan apartemen dan kondotel.

    Mengantisipasi permasalahan penolakan masyarakat dapat dengan memberlakukan “Ganti Untung”. Pihak dari pengembang apartemen dan kondotel dapat membangunkan sumur umum yang dapat mengalirkan air ke masyarakat-masyarakat sekitar. Pembangunan sumur umum dapat meniru sumur umum yang ada di beberapa lokasi di Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung. Sumur umum merupakan salah satu proyek pemerintah untuk mengatasi minimnya air di wilayah tersebut. Masyarakat tidak perlu mengambil air dari sumur umum secara langsung, karena air dilirkan melalui pipa-pipa. Total anggaran galian 100 meter (kurang lebih) 35 juta. Pemasangan pipa masing-masing rumah tangga 1,5 juta. Jika terdapat sekitar 200 rumah dengan penggalian 100 meter, pengembang apartemen membutuhkan dana 335 juta sebagai dana negoisasi. Anggaran 335 juta menurut saya tidak begitu memberatkan bagi pengembang karena untuk yang akan diperoleh dari pembangunan apartemen dan kondotel dapat berkali-kali lipat dari anggaran tersebut.

    Pengmbang juga dapat bekerjasama dengan masyarakat terkait lapangan pekerjaan. Pengembang dapat membuka beberapa lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar sebagai salah satu upaya “mencuri hati” masyarakat sekitar (strategi). Sehingga, meskipun terdapat penolakan dari sebagian masyarakat, sebagian masyarakat lainnya yang akan dipekerjakan dan terlibat dalam pembangunan apartemen dapat mendukung pengembang.

    BalasHapus
  17. Menurut saya, dalam perencanaannya kota-kota di Indonesia sudah di buat untuk mendekati fungsi kota dalam konteks sustainable city seperti yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1997). Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan, hal tersebut sangatlah jauh dari yang diharapkan . Hal tersebut dikarenakan kebanyakan kota-kota di Indonesia masih mengutamakan Works Areas, Living Areas, Shopping, Leisure-time dan masih mengesampingkan fungsi kota sebagai Open Space System and Environmental Protection. Atau dengan kata lain, kelima fungsi tersebut tidak bisa berjalan secara beriringan dan masih berat di salah satu fungsi saja. Kondisi seperti itu memang bukan kondisi yang di harapkan agar tercipta Sustainable City karena sebagai upaya dalam menciptakan Sustainable City, semua fungsi kota harus berjalan beriringan dan harus mampu menciptakan hubungan atau relasi yang baik agar kesemua fungsi kota tersebut bisa terwujud.
    Kebanyakan kota-kota di Indonesia masih saja mengesampingkan fungai kota sebagai Open Space System and Environmental Protection. Sebagai contoh, masih banyak segala jenis kegiatan dan aktivitas perekonomian, perindustrian, jasa, dan lain sebagainya yang pengelolaan limbah hasil produksinya masih kurang optimal. Hal tersebut bisa di sebabkan oleh kurang matangnya perencanaan yang dibuat, saluran limbah yang hanya di buat begitu saja tanpa memilih lokasi pembuangan yang tepat dan lain sebagainya. Kondisi tersebut jelas menjadi masalah yang akan menghambat Sustainable City untuk kedepannya.
    Selanjutnya untuk program Vertical Housing, menurut saya merupakan salah satu usaha yang dapat digunakan untuk membantu menciptakan Susitanable City. Hal tersebut mengingat ruang dan lahan di kota-kota Indonesia semakin menurun dan terbatas akibat meningkatkan penggunaan lahan baik untuk lahan terbangun maupun untuk lahan tidak terbangun. Program tersebut sepertinya cocok di realisasikan di Kota-kota yang memang sudah padat penduduk, sudah minim sekali lahan kosong, dan sudah ada ancaman kerusakan lingkungan. Program tersebut kelak juga harus di rencanakan dengan matang agar ketika program di realisasikan tidak akan menimbulkan masalah baru.
    Adapun strategi penerapan Vertical Housing di Indonesia menurut saya harus ada study kelayakan terlebih dahulu. Study tentang kondisi lingkungan, kondisi ketahanan bangunan, kondisi biaya yang harus di persiapkan, kondisi tenaga kerja yang di butubkan, kondisi tentang ketahanan bangunan akan gangguan, ketepatan dalam memilih lokasi yang mau dijadikan tempat berlangsungnya Vertical Housing dan lain sebagainya. Harapannya, dengan study tersebut akan di hasilkan kebijakan yang selanjutkan akan dijadikan pertimbangan dan faktor penting dalam realisasi Vertical Housing tersebut agar kelak program ini benar-benar menjadi solusi yang tepat dan ketika telah berhasil di realisasikan tidak akan menimbulkan masalah baru. Dengan demikian, Sustainable City akan terwujud bahkan fungsi kota sebagaimana yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1997) akan tercipta, dimana setiap fungsi kota akan berjalan bersama-sama. Tak lupa juga bahwa program Sustainable City ini harus dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia agar nantinya tidak tercipta kesenjangan anatra wilayah. Estin Sulistyani (12/336228/GE/07476)

    BalasHapus
  18. Menanggapi problem penolakan masyarakat terkait adanya pembangunan apartemen dan kondotel:
    Menurut saya hal tersebut terjadi karena di kalangan masyarakat terjadi sebuah keresahan. Keresahan tersebut bisa dikarenakan oleh rasa nyaman masyarakat yang mungkin akan terganggu dengan pembangunan tersebut atau mungkin dikarenakan masyarakat merasa bahwa kelak nantinya pembangunan akan merugikan masyarakat selaku warga yang bertempat tinggal di sekitar pembangunan. Setuju dengan pendapat saudara Diana Febrita,bahwa masyarakat takut akan kehilangan aset yang dimiliki yang salah satunya aset sumber mata air, atau bahkan aset yang lain misalnya kenyamanan dalam hidup sehari-hari, lahan yang ingin dijadikan area pembangunan, askes yang akan terganggu.
    Sebenarnya problem penolakan tersebut tidak akan pernah terjadi ketika pembangunan apartemen atau kondotel tersebut benar-benar tepat dalam memilih lokasi, lokasi dimana segala hal tidak akan terganggu termasuk masyarakat dan lokasi dimana proyek pembangunan bisa berjalan lancar. .
    Menanggapi penolakan tersebut, seharusnya pihak pengembang juga melakukan koordinasi kepada masyarakat terkait apa yang masih diragukan masyarakat dan apa yang masih menjadi keresahan masyarakat. Dengan demikian apa yang ada di pikiran masyarakat bisa di pahami oleh pihak pengembang dan sebaliknya. Harapannya ketika semua pihak terbuka satu sama lain, maka akan ditemukan titik akhir yang kemudian dijadikan solusi.
    Estin Sulistyani (12/336228/GE/07476)

    BalasHapus
  19. problem penolakan dari masyarakat terhadap apartemen atau kondotel yang merupakan salah satu dari vertical housing? apakah masyarakat yang belum siap atau pihak pengembang yang tidak melihat kondisi masyarakat?
    Tanggapan:

    dalam hal ini apabila bertanya pada kesiapan masyarakat itu sendiri, tentu rasanya sangat sulit untuk di ungkapkan. hal yang menyebabkan ini terjadi salah satunya adalah Budaya. budaya masyarakat Indonesia yang lebih dikenal dengan budaya Timur. siap atau tidaknya masyarakat terhadap pembangunan vertical housing itu bergantung kepada hasil mufakat bersama antar semua stake holder yang terkait.

    Banyaknya penolakan yang terjadi di beberapa kota di Indonesia terhadap pembangunan vertical housing saya rasa yang paling bertanggung jawab atas ini semua adalah pemerintah daerah dan pemerintah pusat. mengapa demikian? karena vertical housing pada umumnya didirikan di tempat yang dekat dengan pusat-pusat pendidikan dan industri. permasalahan yang seharusnya dapat di cegah yaitu membangun daerah peri urban atau pinggiran.
    apabila pada kenyataannya Indonesia suatu hari nanti akan seperti Eropa pada umumnya, dimana vertical housing tidak dapat di elakkan lagi, maka pembangunan cerdas berkelanjutan perlu dilakukan dengan dan tanpa merugikan masyarakat. biasanya konflik yang terjadi antar pengembang dan masyarakat terjadi karena komunikasi dan kesepakatan yang tidak baik.

    BalasHapus
  20. (Sri Bintang Pamungkaslara-12/330982/GE/07316)

    Kota secara umum merupakan wadah yang menyediakan berbagai kebutuhan kegiatan manusia dan menjadi pusat dari segala aktivitas kegiatan manusia baik pemerintahan, ekonomi, tempat bermukim, tempat bekerja, dan mempunyai konsentrasi jumlah penduduk yang sangat tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Kota mempunyai fungsi sebagai pusat produksi, pusat perdagangan, pusat pemerintahan, pusat kebudayaan, dan pusat kesehatan dan pusat rekreasi. Adanya fungsi kota sebagai pusat kegiatan menyebabkan adannya keberagaman fungsi ruang kota sehingga membuat kebutuhan akan lahan sangat tinggi untuk menjaga keseimbangan dari ruang kota tersebut.
    Kondisi kota di Indonesia sekarang adalah banyak kota-kota di Indonesia yang mengalami perkembangan akibat pertambahan jumlah penduduk yang penyebab utamanya adalah tingginya arus urbanisasi. Banyaknya para pendatang dari luar kota menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal untuk hunian semakin meningkat, sehingga secara tidak langsung mengakibatkan kebutuhan akan lahan yang tinggi. Selain itu untuk mendukung kegiatan ekonomi penduduk, pembangunan pusat-pusat kegiatan ekonomi di kota juga semakin intensif. Pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan untuk kegiatan ekonomi yang sangat tinggi di kota menyebabkan banyak kota-kota di Indonesia khusunya kota-kota besar dan kota metropolitan melakukan pembangunan yang sangat intensif. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan kawasan hunian di kota-kota metropolitan dan juga kota-kota besar di Indonesia, akan tetapi penyediaan lahan untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dan juga RTH (Ruang Terbuka Hijau) semakin berkurang akibat tekanan dari kebutuhan lahan yang besar untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan kegiatan ekonomi . Apabila mengacu pada 3 konsep dasar yang mendasari RTR (Rencana Tata ruang) yaitu (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi (2) pemenuhan kebutuhan dasar, dan (3) konservasi lingkungan (Muta’ali, 2013), maka memperjelas bahwa ruang kota di Indonesia masih belum bisa memenuhi kriteria konsep dasar RTR karena masih didominasi untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan ekonomi dan kurang memperhatikan kebutuhan akan keberlanjutan pangan dan kebutuhan akan ruang publik dan ruang terbuka hijau. Hal ini memperjelas juga bahwa fungsi ruang kota di Indonesia masih belum bisa dikatakan sesuai dengan teori Chapin dan Khaiser karena belum maksimalnya fungsi ruang kota sebagai Open space system and environmental Protection akibat minimnya RTH dan ruang publik untuk menunjang sustainable city.

    BalasHapus
  21. Lanjutan
    Beberapa kota di Indonesia di masa sekarang sudah mengalami perkembangan akibat tingginya arus urbanisasi, sehingga menyebabkan munculnya kota-kota metropolitan. Muta’ali (2013) menambahkan apabila dilihat dari realitanya bahwa Indonesia sekarang memiliki 9 kota metropolitan dengan penduduk di atas 1 juta jiwa ( Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang, Palembang, dan Makasar) dan 9 kota besar (Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar). Hal ini tentunya bisa dijadikan sebagai acuan bahwa dengan adanya kota-kota metropolitan dan juga kota-kota besar di Indonesia di masa sekarang menunjukkan bahwa tingginya jumlah penduduk yang tidak hanya disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang disebabkan kelahiran saja, akan tetapi juga diakibatkan oleh tingginya arus urbanisasi. Sehingga kebutuhan akan lahan juga semakin tinggi dan membutuhkan ruang yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan akan ruang kota itu sendiri dalam mengakomodasi kegiatan manusia.
    Bertambahnya jumlah penduduk yang tidak diikuti oleh pertambahan lahan akan mengganggu keseimbangan fungsi ruang kota, khususnya fungsi ruang kota sebagai penyedia ruang publik dan juga RTH (ruang terbuka hijau). Kebutuhan akan lahan yang tinggi akibat pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan penggunaan lahan sebagian besar hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, hal tersebut dikarenakan kebutuhan akan tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat berkegiatan ekonomi maupun sosial yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk kota, mengakibatkan kebutuhan akan lahan yang tinggi, sehingga menekan dan mengurangi penyediaan lahan untuk membuat mendukung penyediaan ruang publik dan ruang terbuka hijau. Hal tersebut akan berakibat pada ketidakberfungsinya ruang kota sebagai open space System and environmental Protection seperti yang dikemukakan oleh Chapin dan dan Kaiser. Oleh karena itu vertikal housing bisa menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan yang juga berpengaruh pada penyediaan ruang untuk memenuhi dan mengakomodir kebutuhan akan lahan dan kegiatan perekonomian penduduk meskipun tidak mutlak untuk dilakukan karena tidak semua kota di Indonesia mempunyai karakter yang sama dan juga mempunyai kebutuhan akan ruang yang berbeda. Vertical Housing bisa menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan dan ruang apabila diterapkan pada kota-kota dengan jumlah kepadatan penduduk yang tinggi khusunya untuk kota-kota metropolitan dan juga kota-kota besar meskipun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan di kota-kota kecil dengan bergantung pada peran sentalitas kota terhadap daerah sekitarnya dan selain itu perlu adanya batasan dalam pembangunan vertikal housing untuk mengendalikan pembangunan yang berlebihan melalui peraturan atau kebijakan pemerintah agar pemenuhan kebutuhan ruang tetap terpenuhi tanpa merusak keseimbangan ruang kota yang diakibatkan pembangunan yang berlebihan.

    BalasHapus
  22. Thank kawan2....gagasan bagus Diana Febrita, tampaknya belum ada yg merespon...Oya, tampaknya konsep atau definisi tentang vertical housing sendiri belum ada yang memunculkan....Silahkan kawan2 yang lain masuk!

    BalasHapus
  23. Ika Agustina ( 12/330868/GE/07277 )

    Kota indentik dengan pusat dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan jasa sosial dan kegiatan ekonomi, dan lain-lain, sebagai dampaknya akan hal tersebut kota memiliki kekuatan yang kuat untuk menarik para penduduk untuk melakukan migrasi ke kota. Hal tersebut dikarenakan adanya anggapan bahwa di kota tersedia banyak kesempatan kerja, sehingga banyak penduduk mengadu nasib ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Urbanisasi yang tidak terkontrol dan ketersediaan lahan di kota yang terbatas, menyebabkan timbulnya masalah perkotaan, sehingga perlu adanya upaya perbaikan atau solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di kota. Dalam teorinya, Chapin dan Kaiser ( 1997 ) menyebutkan bahwa fungsi lokasi kota adalah sebagai area kerja, tempat tinggal, belanja, tempat hiburan, system tempat terbuka dan proteksi lingkungan. Berdasarkan teori tersebut, maka kota sebagai pusat akan segala pelayanan yang mana akan menarik banyak penduduk untuk ke kota. Padahal, pada kenyataannya lahan yang tersedia di kota sangatlah terbatas dan harga tanah di kota sangatlah mahal bila dibandingkan di desa ataupun di pingiran kota, terutama untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi penduduknya. Salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman di kota akibat keterbatasan lahan yang tersedia dapat dilakukan melalui vertical housing atau hunian bertingkat. Selama ini , kebanyakan vertical housing berupa bangunan apartemen atau kondotel yang kebanykan diperuntukan untuk kalangan menengah keatas.
    Di DKI Jakarta, keberdaan vertical housing yang diperuntukan bagi kalangan menengah ke bawah diberikan sebagai ganti rugi yang diberikan atas pembebasan lahan untuk dilakukan revitalisasi lahan-lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat tinggal. Vertical housing harus disesuaikan dengan tata ruang, dikarenakan setiap daerah memiliki konsep tata ruang yang berbeda. Selain itu, penerapan vertical housing harus dikaji secara mendalam, hal ini karena vertical housing identik dengan bangunan tinggi , sehingga perlu adanya studi terkait vertical housing untuk meminimalisir dampak seperti adanya bencana gempa terutama untuk daerah-daerah yang rawan akan gempa seperti Kota Yogyakarta ataupun keberadaan bandara di kota tersebut. Lokasi dari vertical housing sendiri harus disesuaikan dengan kemampuan lahan sekaligus disesuaikan dengan kebutuhan akan vertical housing yang mana harus disesuaikan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga untuk setiap kota jumlah dari vertical housing dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhannya. Lokasi yang tepat untuk dibangunnnya vertical housing dapat dibangun di lokasi-lokasi strategis, seperti di dekat dengan perkantoran, sekolah, pasar, rumah sakit dan lain-lain untuk meminimalisir jarak yang harus ditempuh supaya lebih pendek, hal ini dimaksudkan untuk mengurang kemacetan yang sering terjadi di kota serta sebagai solusi untuk mengatasi masalah transportasi kota yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan dan kenyamanan masyarakat. Konsep vertical housing juga harus memperhatikan aspek fisik bangunan, dimana didalamnya terdapat fasilitas dan jaringan yang mencukupi kebutuhan bagi aktivitas penduduk yang tinggal pada vertical housing.

    BalasHapus
  24. Ika Agustina ( 12/330868/GE/07277 )

    Lanjutan

    Penerapan vertical housing di Indonesia harus disesuaikan dengan tata ruang masing-masing daerah, hal tersebut dikarenakan berdasarkan aspek geografi, setiap daerah memiliki karateristik fisik yang berbeda, sehingga perlu adanya studi untuk menerapkan ikonsep vertical housing, selain itu juga perlu adanya sosialisasi terkait vertical housing, dikarenakan masih banyak presepsi masyarakat yang beranggapan bahwa vertical housing hanya diperuntukan bagi kalangan menengah ke atas. Penolakan akan vertical housing terutama berupa bangunan apartemen atau kondotel dikarenakan oleh warga bisa jadi dikarenaka dengan adanya bangunan tersebut akan mengganggu kenyamanan sekaligus keamanan warga yang yang tinggal disekitar apartemen atau kondotel, selain itu juga mungkin dengan adanya apartemen atau kondotel memungkinkan munculnya kelas-kelas sosial di kalangan masyarakat yang mungkin dapat memecahkan persatuan warga.

    BalasHapus
  25. Naomi Klara
    12/330804/GE/07253

    Menurut Chapin dan Kaiser (1979, dalam Priyandono,2001:5) kebutuhan penggunaan lahan dalam struktur tata ruang kota/wilayah berkaitan dengan 3 sistem yang ada :
    a) Sistem kegiatan, manusia dan kelembagaannya untuk memenuhi kebutuhannya yang berinteraksi dalam waktu dan ruang.
    b) Sistem pengembangan lahan yang berfokus untuk kebutuhan manusia dalam aktivitas kehidupan.
    c) Sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik dengan air, udara dan material.

    Keadaan geografis di Indonesia yang beragam dan cenderung berpulau-pulau membuat pembangunan kurang merata, terutama di Indonesia bagian timur. Kota-kota besar cenderung merupakan ibukota provinsi, seperti Jakarta,Medan,Surabaya,Pekanbaru,dsb. Fungsi ruang kota yang di jelaskan oleh Chapin dan Kaiser ialah sebagai area bekerja,area untuk tempat tinggal,area pusat perbelanjaan dan tempat hiburan, system ruang terbuka, dan perlindungan bagi lingkungan. Kota-kota di Indonesia sebagian besar hampir memenuhi konsep yang di miliki Chapin dan Kaiser. Namun hampir semua kota di Indonesia juga melalaikan ruang terbuka serta perlindungan lingkungan. Ketidakpedulian terhadap lingkungan ini tentu akan merugikan penduduk kota yang tinggal didalamnya. Polusi udara,polusi air,polusi tanah,dan polusi suara dalam jangka panjang akan membuat kota-kota di Indonesia tidak layak untuk dihuni. Oleh sebab itu, beberapa tahun belakangan ini kota-kota besar di Indonesia sedang giat membangun ruang terbuka hijau, taman kota, hutan lindung, dsb.
    Permukiman masa depan harus dibuat lebih padat dan kompak, bukan melebar ( horizontal ) dan boros lahan. Konsep perumahan masa depan berbentuk hunian vertikal (vertical housing) misalnya dalam skala menegah ke bawah rumah susun, untuk skala menengah ke atas apartemen dan condominium. Dengan hunian yang padat dan kompak, tersedia banyak lahan untuk pohon, resapan air, taman, dan pedestrian. Investasi untuk infastruktur dan transportasi pun bisa lebih murah, hemat energi, dan minim polusi. Fasilitas dan utilitas bisa disediakan di satu lokasi sehingga cukup diakses dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Sementara menuju kawasan lain orang tinggal naik bus atau kereta. Hunian vertical ini sudah mulai diminati dan menjadi investasi menjajikan bagi banyak orang diperkotaan. Jika melihat banyaknya orang yang tinggal di perkotaan, membuat hunian vertical menjadi salah satu cara untuk menampung permintaan hunian penduduk yang sangat tinggi. Namun jika melihat ke daerah perdesaan, hunian vertical ini belum cocok di berlakukan karena masih banyaknya lahan kosong di pedesaan.
    Namun menurut saya, konsep vertical housing ini belum urgent dilakukan di Yogyakarta. Masyarakat kota Jogja yang masih sangat memegang erat kebudayaan tradisional, dirasa belum cocok jika harus tinggal di hunian berkonsep vertical housing. Banyak factor yang membuat vertical housig belum/tida cocok di terapkan di Kota Jogja, sebagai contoh harga sebuah apartemen yang sangat mahal membuat masyarakat lebih memilih membeli rumah yang terletak di pinggiran kota Jogja, Hidup di sebuah apartemen menumbuhkan sikap individualistis yang sangat tinggi padahal warga jogja telah terbiasa menganut system gotong royong dan berbaur dengan tentangga atau warga sekitar komplek, dan adanya beberapa ancaman bencana alam seperti gempabumi dan gunung meletus yang membuat warga merasa tidak aman jika tinggal di hunian berlantai tinggi. Pembangunan apartemen di Jogja serigkali bermasalah, hal ini di karenakan kurang sosialisasi kepada masyarakat sekitar. Pada proses pembangunan hingga apartemen telah terbangun, waga sekitar seringkali mengalami kerugian seperti pasokan air bersih yang semakin berkurang, tempat usaha mereka yang tidak lagi laku, terjadi kesenjangan social dan ekonomi yang sangat jelas,dsb.

    BalasHapus
  26. Woro Prawidini Muttaqiyatin
    12/331069/GE/07354

    Pengertian Kota menurut undang-undang penataan ruang tahun no. 26 tahun 2007 Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
    Perkembangan perkotaan di Indonesia cenderung mengarah terbentuknya kawasan perkotaan yang semakin besar dan terintegrasi, ini terlihat dari semakin luasnya daerah yang menunjukkan ciri perkotaan di kawasan suburban yang telah menyatu dengan kota intinya. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada kota besar, tetapi juga pada kota-kota kecil yang berada di antara koridor kota besar, salah satunya terjadi pada koridor Surakarta-Yogyakarta. Dimana koridor tersebut memperlihatkan kaburnya batas antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Adanya fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, perubahan aktivitas penduduk serta meningkatnya pergerakan orang dan aliran barang yang terjadi antar pusat aktivitas maupun dengan wilayah lain. (http://eprints.undip.ac.id/4065/1/Bab_1.pdf). Sehingga perlu diterapkannya konsep vertical housing. Pengertian hunian-vertikal (vertical housing) sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
    • hunian merupakan tempat tinggal; kediaman (yg dihuni);
    • vertikal adalah tegak lurus dari bawah ke atas atau kebalikannya, membentuk garis tegak lurus (bersudut 90º) dengan permukaan bumi, garis horizontal, atau bidang datar.
    Jadi pengertian hunian-vertikal menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia adalah merupakan sebuah tempat tinggal atau kediaman yang dihuni, yang arah pertumbuhannya tegak lurus membentuk garis tegak lurus (bersudut 90º) dengan permukaan bumi.
    Menurut saya agenda vertical housing untuk kota-kota besar di indonesia sudah urgent untuk di lakukan. Vertical housing juga terdengar seperti solusi yang cukup baik. Saat segenap penduduk memiliki kebutuhan yang sama atas lahan untuk bertempat tinggal. Konsep vertical housing juga sudah harus mulai diterapkan di kota-kota besar yang penduduknya belum terlalu padat. Akan tetapi Pengembangan hunian ke arah vertikal tentu harus memperhatikan berbagai aspek yang mengikutinya, seperti struktur ruang, aksesbilitas, ketinggian bangunan dan memperhatikan kondisi lingkungan sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerusakan lingkungan serta hemat energi.
    Sedangkan di Yogyakarta sendiri akan di terapkan vertical housing karena keterbatasan lahannya, akan tetapi terdapat problem penolakan dari masyarakat terhadap apartemen atau kondotel yang di anggap akan merugikan warga sekitar. Warga mengkhawatirkan berkurangnya ketersedian air tanah di sekitar lokasi. Sebab dipastikan apartemen tersebut akan menggunakan air tanah serta terjadinya pencemaran lingkungan lainnya. Menurut saya masalah tersebut terjadi dikarenakan pengembang belum semuanya mengetahui manajemen vertical housing tersebut dan belum memahami secara utuh manajemen building serta kebijakan mengenai vertical housing.

    BalasHapus
  27. Divia Singi Joyanda
    12/331012/GE/07335

    Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak terbangun. Lahan terbangun terdiri dari perumahan, industri, perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedangkan lahan tak terbangun terbagi menjadi lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi, transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas kota (pertanian, perkebunan, area perairan, produksi dan penambangan sumber daya alam). Chapin & Kaiser (1997) menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Penerapan fungsi kota tersebut di Indonesia menurut pendapat saya belum merata di seluruh kota di Indonesia. Penerapan fungsi kota menurut Chapin & Kaiser hanya terdapat di ibukota-ibukota provinsi dan kota-kota besar terutama di pulau Jawa dan sekitar nya. Hal ini di sebabkan oleh ketimpangan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap kebutuhan akan lahan.

    Jumlah penduduk di pulau Jawa adalah 60 % dari total penduduk di Indonesia, sedangkan luas pulau Jawa adalah 1,70 % dari luas Indonesia (BPS Jawa Tengah, 2010). Hal ini menyebabkan ke langkah an jumlah lahan di pulau Jawa, terutama kota metropolitan seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Akibat keterbatasan tersebut lahan tersebut, muncul istilah “Vertical Housing”.

    Vertical Housing adalah bagian dari gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpisah yang berfungsi sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M2007 di http://eprints.uns.ac.id/68/1/169821111201009071.pdf).

    Urban Vertical Housing merupakan salah satu respon yang muncul dari permasalahan perkotaan dimana lahan yang terbatas namun bertolak belakang dengan kebutuhan hunian yang semakin meningkat pesat dan mahalnya harga lahan. Oleh sebab itu, vertical housing merupakan salah satu alternatif yang dapat di kembangkan terutama untuk mengatasi permintaan hunian di kota-kota besar seperti di Yogyakarta, Jakarta dan Surabaya. Kelebihan dari vertical housing ini adalah efektivitas dari segi lahan. Sedangkan kelemahan nya adalah terjadi pe¬nyedotan air tanah berlebihan oleh gedung-gedung bertingkat tersebut sehingga terjadi nya kekurangan air tanah oleh masyarakat di sekitar gedung, selain itu juga dapat menyebabkan pe¬nu¬runan permukaan tanah. Oleh sebab itu, pemerintah harus tegas mengatur pendirian gedung-gedung ber¬tingkat tersebut dengan memperhatikan pengaturan letak, tata ruang dan memperhatikan aspek-aspek teknik pembangunan nya, termasuk analisis kelayakan yang salah satu nya adalah analisis stakeholder terkait (terutama penduduk di sekitar daerah pembangunan tersebut).

    BalasHapus
  28. RIZKY HADWIYANTI 12/330838/GE/07265

    Menurut Bintarto (1983), kota dari segi geografi dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan meterialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. Menurut Yunus (1987), permasalahan permukiman perkotaan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara, dan tanah. Bintarto (1983) melihat kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup kota dari dua segi, yakni (1) dari segi fisis, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam, seperti air yang sudah tercemar dan udara yang sudah tercemar, serta (2) dari segi masyarakat atau segi sosial, berupa gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri dan dapat menimbulkan kehidupan yang tidak tenang dan tidak tenteram. Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan seringkali menumbuhkan pemukiman kumuh (Keman 2005).

    Kebijakan mengenai perumahan dan pemukiman di Indonesia dirasa belum maksimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, penanganan dan pembagian porsi penggarapan sektor ini masih dapat dimaksimalkan. Angka Kekurangan perumahan yang mencapai angka 15 juta merupakan tantangan besar harus diselesaikan oleh pemerintah. Konsep vertical housing atau hunian vertikal adalah solusi guna mensiasati masalah keterbatasan lahan untuk perumahan di perkotaan. Pemerintah saat ini gencar merencanakan vertical housing mulai dari kelas atas hingga kelas bawah sebagai strategi pemerintah untu mengatasi masalah kualitas lahan yang berbanding terbalik dengan jumlah penduduknya

    Namun pada saat ini tantangan yang dihadapi untuk penerapan vertical housing adalah masih tingginya minat dan sugesti masyarakat indonesia terhadap budaya untuk memiliki sebuah hunian yang landed hausing sebagai sebuah kemampuan sosial. Kehilangan suasana dan penilaian yang terkadang subyektif akan land housing akan sangat menghambat usaha pemerintah dalam penerapan vertical housing. Sehingga mereka memiliki pola pikir bahwa kesejahteraan salah satunya dapat dilihat dari besar kecil hingga dimana letak rumah yang mereka miliki. Pola pikir inilah yang akan menjadi sebuah tantangan dalam penerapan vertical housing di tengah semakin menipisnya stok lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warganya. Dapat dilihat pada penerapannya saat ini di daerah daerah seperti surabaya, semarang, dan beberapa daerah lainnya. Vertical housing yang dibangun pemerintah untuk masyarakat kalangan menengah- keatas banyak yang tidak berpenghuni. Masyarakat enggan menempati vertical housing yang telah disediakan pemerintah dengan berbagai alasan. Ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran hingga adanya kelebihan supply membuat banyak unit unit yang kosong.

    BalasHapus
  29. RIZKY HADWIYANTI 12/330838/GE/07265

    LANJUTAN

    Perencanaan mengenai vertical housing belum mencapai sebuah titik maksimal walaupun terlihat dapat menjawab permasalahan permukiman di indonesia mengenai kepadatan penduduk serta berkurangnya ketersediaan lahan untuk permukiman. Sehingga selain kuantitas dalam penyediaan rumah, strategi penerapan vertical housing yang dilakukan oleh pengembang maupun pemerintah juga tetap harus memperhatikan kualitas vertical housin yang baik dan layak yang dilihat dari aspek keruangan, fasilitas, lokasi, serta kemampuan penghuninya untuk menjangkau tempat kerjanya. Dengan pemenuhan tersebut apartement, rusunawa, rusunami, atau program pemerintah lainnya mengenai vertical housing dapat menarik masyarakat untuk menempati vertical housing dan perlahan dapat merubah maindset masyarakat terhadap vertical housing sehingga kemudian mereka perlahan meninggalkan lahan lahan yang mungkin tidak diperuntukkan sebagai lahan permukiman dapat terlaksana dan membatu implementasi sebuah rencana tata kota dan penggunaan lahan yang lebih baik dan teratur.

    BalasHapus
  30. Eva Latifah P S
    12/330942/GE/07302

    Pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Hal ini tentu saja mempengaruhi kebutuhan hunian mereka sebagai kebutuhan dasar pokok manusia, yaitu papan, sandang, dan pangan. Hanya saja, dewasa kini, masyarakat Indonesia tidak semuanya mampu untuk memiliki papan atau hunian tersebut. Tidak sedikit dijumpai di kota-kota besar yang memilih bermobilitas atau berpindah (tidak menetap) dengan gerobak mereka beserta keluarga. Pemandangan dari fenomena ini pastinya cukup memprihatinkan apalagi hal-hal semacam itu terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Menanggapi hal tersebut, perlu adanya cara untuk menanggulangi permasalahan rumah atau papan untuk dijadikan hunian oleh masyarakat, contohnya adalah Vertical Housing.

    Menurut sepemahaman saya, vertical housing adalah suatu bentuk bangunan yang dibangun secara vertikal untuk pemenuhan hunian baik hunian bagi kalangan menengah maupun ke bawah yang dirancang dan didesain sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap hunian. Vertical housing ini dibangun untuk mengurangi pemborosan penggunaan lahan kosong yang digunakan untuk membangun sebidang petak rumah di Indonesia. Rata-rata pembuatan bangunan rumah, ruko, atau semacamnya yang kurang efektif di pinggir-pinggir jalan menambah sempitnya lahan di perkotaan.

    Teori tentang perkotaan ini salah satunya dapat dikaitkan dengan pendapat dari Chapin & Kaiser yaitu, fungsi ruang di kota sebagai ruang kerja, ruang tempat tinggal, ruang shopping (belanja), pusat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan. Dari hal-hal tersebut, kebutuhan ruang-ruang di perkotaan bisa dibilang sangat tinggi, hanya saja lahannya yang kurang memadai. Menurut saya, vertical housing ini adalah salah satu penanganan terhadap kebutuhan warga Indonesia terhadap hunian. Jika dikaitkan dengan pembangunan hotel, apartemen, atau condotel di Yogyakarta hal tentang hunian ini masih menuai banyak konflik, terutama muncul dari warga yang menentang pembangunan-pembangunan tentang gedung tinggi. Adat istiadat warga Yogyakarta tentang pemahaman mereka yang masih melekat tentang adanya aturan “Tidak Boleh Ada Bangunan yang Melebihi Tinggi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat” dinilai masih berlaku. Padahal sebenarnya mental space yang seperti ini pada jaman sekarang ini dapat diubah untuk pembaharuan pembangunan di Indonesia termasuk pembangunan hunian, tetapi pengadaan hunian yang makin marak di Yogyakarta macamnya lebih banyak untuk orang-orang yang menengah ke atas. Kepemilikan tanah dan sawah masih dipandang merupakan salah satu aset orang desa terutama yang banyak tinggal di Yogyakarta untuk memiliki hunian berjenis vertical housing ini. Perlunya ada komunikasi dan sosialisasi tentang hunian ini seharusnya lebih digencarkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Hal kepemilikan tersebut yang juga menjadi salah satu masalah yang tidak kunjung selesai untuk beberapa pembangunan vertical housing. Masalah yang timbul dari pihak developer seperti sikap mereka yang masih nekat walaupun beberapa perijinan dari pemerintah daerah belum selesai dan pembebasan beberapa tanah warga dinilai masih menjadi kendala yang cukup serius. Komunikasi yang terbangun baik antara developer, warga, dan pemerintah sangat diperlukan terlebih lagi masalah pembangunan vertical housing dan beberapa fasilitas umum yang menggunakan lahan warga. Selain itu, unsur-unsur lingkungan di sekitar daerah pembangunan juga harus diperhatikan. Jangan sampai pembangunan vertical housing di Yogyakarta merusak lingkungan bahkan hingga terjadi degradasi. Hal ini bisa diatasi apabila pemerintah juga turut menegaskan adanya peraturan tentang Ruang Terbuka Hijau dan penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan karena bagaimanapun juga, pembangunan gedung-gedung tinggi juga harus dibarengi juga dengan pengadaan lingkungan yang baik sehingga terciptanya Vetical Housing yang ramah lingkungan.

    BalasHapus
  31. Aisyah Kusuma R 12/334244/GE/07434
    Selamat pagi. Menambahkan opini mengenai diskusi yang sedang berjalan.
    Ruang sebagai tempat untuk tinggal. Hunian vertikal (vertical housing) adalah proyek pembangunan atau rehabilitasi gedung beberapa lantai, atau sekelompok bangunan, yang digunkan untuk keperluan perumahan. Konsep vertical housing sendiri sudah banyak dilakukan oleh Negara-negara dengan lahan sempit, misalnya Singapura. Menurut sejarah yang terjadi di New York Amerika Serikat pada abad ke-20, vertical housing lahir akibat adanya kesadaran pemerintah akan penyediaan hunian bagi warga tunawisma. Vertical housing ini awalnya diperuntukkan untuk kalangan menengah. Hunian vertikal mulai dijadikan alternatif akibat pesatnya pertumbuhan populasi manusia yang dihadapkan dengan keterbatasan lahan.
    Masyarakat Indonesia sendiri terbiasa dengan kondisi dimana tanah merupakan salah satu aset berharga yang biasa diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Tanah telah menjadi komoditas menjanjikan karena terbukti dari tahun ke tahun selalu menunjukkan kenaikan harga yang drastis. Kondisi ini membuat banyak orang berfikir bahwa tanah merupakan sesuatu barang yang sangat bernilai. Persoalan hunian sering terjadi akibat hal ini, banyak orang yang akhirnya tidak mendapatkan lahan untuk bermukim, namun sebagian lainnya memiliki lahan yang berlebih. Negara sosialis telah banyak menyadari hal ini, semakin lama orang akan semakin egois dalam mengelola aset yang ia miliki, sehingga lahan (tanah) telah menjadi satu komoditas penting seperti air, yang pengelolaannya berada pada tangan pemerintah.
    Konsep yang ditawarkan oleh hunian berbentuk vertikal memang menjanjikan bagi mereka yang tidak sanggup untuk membeli tanah yang cukup untuk membangun suatu hunian layak. Namun lambat tahun, nampaknya perkembangan hunian vertikal ini sudah mulai bergeser menjadi suatu tren simbol modernitas masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk apartemen. Saya pribadi cenderung setuju dengan adanya hunian vertikal, dengan syarat, hunian tersebut dibangun dengan tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan hunian atau dengan kata lain hunian yang dibangun diperuntukkan bagi masyarakat tunawisma. Konsep inilah yang sedang dikembangkan oleh Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya dalam bentuk RUSUNAWA atau RUSUNAMI.

    BalasHapus
  32. Lanjutan
    Pembangunan hunian vertikal di Indonesia sering kali hanya menawarkan keindahan arsitektur tanpa melihat kondisi lingkungan yang dirugikannya. Di Negara seperti Indonesia hunian vertikal sudah mulai dikembangkan terutama dikota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Contoh pembangunan apartemen di daerah Monumen Jogja Kembali. Sekilas tidak ada yang salah dengan pembangunan apartemen tersebut, namun jika dilihat lebih teliti, terutama lingkungan yang ada disekitarnya, terdapat beberapa rumah yang posisinya sangat berhimpitan dengan tembok apartemen. Hal in akan tentunya akan berdampak ketika rumah-rumah kecil disampingnya cenderung akan kekurangan sinar matahari akibat adanya tembok tinggi yang menghalangi. Saya ingat iklan yang ditawarkan oleh apartemen tersebut ditunjukan untuk para mahasiswa yang sekiranya dapat membeli (berinvestasi), tinggal di apartemen dianggap lebih menguntungkan dari pada harus tinggal tempat-tempat kos pada umumnya. Jika memang pada akhirnya hunian ini ditujukan pada para pendatang yang notabene sudah memiliki rumah di daerah asalnya, berarti akan semakin banyak lagi penduduk yang kekurangan lahan akibat adanya kepemilikan lahan berlebih oleh orang-orang tertentu.
    Harapannya otonomi daerah maupun otonomi desa sedikit banyak dapat mengatasi keterbatasan masyarakat dalam memperoleh hunian yang layak. Vertical housing merupakan produk arsitektur dengan teknologi yang tinggi, banyak sumber daya yang harus dipertimbangkan dalam pembangunannya, terutama analisis dampak lingkungan (AMDAL). Pemilihan lokasi, kesesuaian lahan, dan konsep pembangunan harus sangat dipikirkan. Jika migrasi atau penyebaran penduduk ke area desa atau daerah-daerah berkepadatan penduduk rendah masih dapat dilakukan tanpa mempersempit daerah pertanian, saya rasa vertical housing belum begitu diperlukan. Perketat pajak tanah dan bangunan lebih penting dibandingkan mengijinkan investor untuk mengembangkan vertical housing yang ditujukan untuk kalangan menengah ke atas. Selain dampak terhadap lingkungan dampak pergeseran sosial juga menjadi pertimbangan penting sebelum melakukan pembangunan hunian vertikal.

    BalasHapus
  33. menanggapi mengenai apa yang saat ini terjadi dimana pengembang dan masyarakat berseteru mengenai adanya vertical housing ini. Saya rasa hal ini merupakan kesalahan dari pengembang. Dimana pengembang tidak dapat melihat kondisi masyarakat yang ada. masyarakat yang lebih dahulu datang seharusnya menjadi orang pertama yang WAJIB diajak untuk berdiskusi mengenai hal ini. jika lokasi hunian disesuaikan dengan kondisi sekitar nampaknya kasus seperti ini tidak akan terjadi. masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas.

    BalasHapus
  34. Agus Setiawan
    12/331058/GE/07350

    Sesuai dengan teori perkotaan yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1977), bahwasanya kota berfungsi menjadi tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. Untuk saat ini untuk sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan masih kurang diperhatikan. Perencanaan penggunaan lahan di perkotaan tetap harus menekankan kepada adanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan demi mewujudkan daya dukung untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik daripada sebagai benda budaya. Perangkat rencana kota masih ditemukan kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga dimensi sehingga belum sepenuhnya mengendalikan wujud kota, serta mampu memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban,baik situasi dan kondisi masyarakat yang ada.
    Vertical housing atau perumahan vertikal dapat disebut sebagai solusi yang dinilai baik untuk saat ini ataupun kedepannya. Saat banyaknya jumlah penduduk memiliki kebutuhan yang sama akan tempat tinggal kenapa tidak disatukan saja. Himawan Arief (Dirut Perumnas) pernah menjelaskan bahwa tren pembangunan perkotaan di Indonesia saat ini masih kepada kota terbuka, dapat dilihat dengan masih maraknya pembangunan di sepanjang jalan, dan itu tidak bagus dibandingkan di luar negeri sepanjang jalan antar kota itu tidak ada bangunan-bangunan seperti ruko-ruko atau perumahan, jadi pembangunan mereka terkonsep. Permasalahan yang berkaitan dengan keterbatasan lahan hanya bisa diatasi dengan konsep vertical housing. Menurut saya vertical housing memang begitu mendesak untuk dilakukan tapi khusus di kota-kota besar karena kesadaran akan masalah pengendalian dan pemanfaatan ruang kota itu sendiri. Kepadatan penduduk yang tinggi dibarengi oleh tingkat perekonomiannya, berdampak langsung terhadap perkembangan kota yang sifatnya dinamis. Perkembangan fisik di perkotaan yang begitu pesat ini berpengaruh besar terhadap ketersediaan lahan perkotaan yang kian lama kian minim. Tahun ini, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan diperkirakan telah mencapai 54 persen. Jika saat ini penduduk Indonesia sudah lebih dari 240 juta, artinya paling sedikit ada 129,6 juta orang yang menyesaki perkotaan.Angka ini melambung tinggi dibandingkan hasil sensus penduduk 2010. Saat itu, sebanyak 49,8 persen dari 237,6 juta penduduk Indonesia tinggal di kota. (http://nasional.kompas.com/read/2012/08/23/21232065/%20Hampir.54.Persen.Penduduk.Indonesia.Tinggal.di.Kota). Bertambahnya penduduk kota sebenarnya dapat memberi dampak positif bagi kota. Namun, banyak pemerintah kota tidak mengantisipasi hal itu dengan infrastruktur yang memadai sehingga dampak positif dari makin besarnya jumlah penduduk justru menjadi bencana.

    BalasHapus
  35. Agus Setiawan
    12/331058/GE/07350
    (Lanjutan)
    Penerapan vertical housing sendri dapat dijumpai di Yogyakarta. Diketahui bahwasannya lahan di Kota Yogyakarta semakin sempit maka pembangunan vetical housing mulai populer. Menurut Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti bahwa wilayah kota Yogyakarta memang tidak terlalu luas dan membutuhkan konsep pertumbuhan kota yang tepat, salah satunya mengarahkan perumahan agar tumbuh vertikal. Strategi banyak dimainkan oleh pemerintah agar dapat menyampaikan konsep-konsep pengembangan perumahan vertikal tersebut kepada pihak pengembang. Walapun sampai saat ini sudah banyak lahan terbangun yang sempat menjadikan pro dan kontra di kalangan masyarakat kota Yogyakarta, tapi saya mendukung Pemerintah Kota Yogyakarta yang akan melakukan kajian daya dukung lingkungan. Kajian daya lingkungan disebutkan aakan menjadi dasar penentuan konsep yang tepat untuk pertumbuhan Kota Yogyakarta. Tapi untuk saat ini dari pandangan saya belum perlu untuk pembangunan vertikal di Kota Yogyakarta, hal ini juga masih adanya banyak persepsi di masyarakat bahwa bangunan vertikal hanya diperuntukkan oleh kalangan menengah keatas. Menurut Walikota Yogyakata sendiri, apabila suatu saat di Kota Yogyakarta hanya diperbolehkan membangunan bangunan vertikal seperti rumah susun atau apartemen, rumah susun tersebut harus mampu menampung masyarakat berpenghasilan rendah, minimal 20 persen dari total rumah yang ada di rumah susun tersebut.

    BalasHapus
  36. Arif Kurniawan
    12/333914/GE/07382
    Ketika berbicara mengenai perkotaan, maka akan menyangkut segala aspek kehidupan dari masyarakat. Kota merupakan bagian dari peradaban kehidupan masyarakat sebagai perkembangan dari suatu desa atau bahkan dari lahan yang kosong. Kota berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Suatu kota dapat berkembang disebabkan adanya kegiatan perekonomian. Adanya lapangan kerja akan menarik minat penduduk dari daerah lain untuk datang ke kota tersebut. Di Indonesia, semakin bermunculan kota-kota besar yang dulunya hanya kota kecil biasa. Beberapa kota di Indonesia sekarang sudah mengalami perkembangan akibat tingginya arus urbanisasi, sehingga menyebabkan munculnya kota-kota metropolitan diantaranya Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar.
    Berbicara mengenai kondisi kota di Indonesia, apakah sudah sesuai dengan teori yang dimaksud Chapin & Kaiser? Menurut saya dari segi perencanaannya sudah akan tetapi dalam kenyataannya masih belum seperti yang diharapkan. Sebagian besar kota di Indonesia masih mengutamakan Works Areas, Living Areas, Shopping, Leisure-time dan masih mengesampingkan fungsi kota sebagai Open Space System and Environmental Protection. Hal ini menurut saya disebabkan oleh rendahnya kesadaran akan pentingnya ruang terbuka hijau. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kota adalah tempat untuk bekerja saja dan bukan untuk mencari kenyamanan, padahal ruang terbuka hijau ini sangat penting kaitannya dengan Sustainable City. Fungsi kota berkaitan erat dengan penggunaan lahan di wilayah perkotaan itu sendiri. Maka dari itu untuk mewujudkan Sustainable City diperlukan suatu kebijakan dan landasan hukum yang kuat untuk dapat mengatur penggunaan lahan di perkotaan sehingga fungsi-fungsi kota yang diungkapkan oleh Chapin & Kaiser dapat terpenuhi.
    Mengenai teori vertical housing menurut salah satu sumber yang saya baca Vertical Housing adalah bagian dari gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpisah yang berfungsi sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama (http://eprints.uns.ac.id/68/1/169821111201009071.pdf ). Sedangkan mengenai apakah vertical housing sudah saatnya dikembangkan di kota-kota di Indonesia ? menurut saya hal ini masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam lagi, harus benar-benar diperhitungkan efektivitas dan efisiennya terhadap penggunaan lahan dan mengenai keselamatan dan kenyamanan penggunanya. Seperti yang telah dikatakan oleh Saudara Bayu diatas, mengingat bahwa kondisi secara fisik di Indonesia merupakan daerah pertemuan lempeng dimana terdapat banyak gunung-gunung berapi dan peluang terjadinya bencana gempa bumi yang cukup besar maka dari itu rencana vertical housing ini harus benar-benar dirancang secara matang agar memenuhi persyaratan aman dan nyaman untuk ditempati. Memang, jika di lihat dari minimnya lahan yang tersedia di perkotaan ditambah dengan semakin tingginya kebutuhan akan lahan terutama untuk hunian nampaknya vertical housing sudah sangat dibutuhkan akan tetapi harus diingat bahwa keselamatan dan kenyamanan penghuni harus benar-benar diperhatikan. Hal ini karena tingkat keamanan dan kenyamanan itulah yang akan mempengaruhi minat dan pandangan masyarakat terhadap vertical housing.

    BalasHapus
  37. Arif Kurniawan
    12/333914/GE/07382
    LANJUTAN.....
    Mengenai permasalahan pembangunan vertical housing di Yogyakarta, mengapa pembangunan selalu bermasalah dan mendapat penolakan dari warga masyarakat yang tinggal di sekitar area rencana pembangunan ? menurut saya hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang cenderung negatif terhadap setiap pembangunan yang dilakukan di lingkungan mereka. Rasa takut dan resah akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan terutama terhadap pembangunan gedung-gedung bertingkat masih sangat kuat. Seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa rekan sebelumnya bahwa ada anggapan bahwa vertical housing hanya diperuntukan untuk golongan menengah ke atas, hal ini menambah rasa kekhawatiran mereka sehingga cenderung kontra terhadap setiap pembangunan yang dilakukan. Pembanguna vertical housing di Yogyakarta juga sering terkendala oleh masalah pembebasan lahannya. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan suatu keselarasan semua stake holder termasuk masyarakat sekitar area rencana terbangun. Saya setuju dengan strategi yang ditawarkan oleh Saudari Diana, menurut saya hal tersebut dapat dijadikan suatu negosiasi dengan masyarakat sekitar.
    Ketersediaan lahan di Yogyakarta memang cukup sempit hal ini berlawanan dengan tingkat kebutuhan lahan yang cukup tinggi seiring dengan semakin berkembangnya kota Yogyakarta akibat kegiatan perekonomian, pendidikan, dan wisata. Dorongan terhadap penggunaan vertical housing semakin kuat akan tetapi hal ini masih menjadi pro kontra dikalangan masyarakat. Saya sependapat dengan Saudara Agus yang mengatakan bahwa belum perlu untuk pembangunan vertikal di Kota Yogyakarta, kalaupun pada waktunya nanti sudah diperlukan vertical housing maka perlu kajian mengenai daya dukung lingkungan serta efisiensi dan efektivitasnya sebagai tujuan dari pembangunan vertical housing itu sendiri.

    BalasHapus
  38. Agus Setiawan
    12/331058/GE/07350
    Problem penolakan dari masyarakat terhadap apartemen atau kondotel memang sering kali terjadi karena bedanya kepentingan. Saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh teman-teman, berbagai penolakan kemungkinan besar terjadi karena disebabkan oleh faktor lingkungan dalam pemilihan lokasi dan kurangnya komunikasi dengan masyarakat setempat. Proses perencanaan, pengambilan keputusan dan program pembangunan yang dilakukan oleh pengembang kerap kali dilakukan dengan sistem dari atas kebawah (top-down). Sistem perencanaan pembangunan top-down bersifat sentralistik ,menyebabkan hampir tidak adanya keterlibatan masyarakat. Masyarakat disini perlu untuk mengetahui sekaligus dilibatkan dalam mengambil keputusan. Partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada saat pelaksanaan tetapi juga mulai dari tahap perencanaan bahkan pengambilan keputusan.

    BalasHapus
  39. 12/331035/GE/07345
    Ulul'azmi Husna R

    berdasarkan teori yang di kemukakan oleh Chapin dan Keiser (1997) mengenai fungsi kota (ruang) dalam sustainable city menurut saya apabila di kaitakan dengan kondisi kota-kota di Indonesia tentunya fungsi kota yang telah di kemukakan tersebut belum sepenuhnya dapat di temukan di Indonesia. Perlu di sadari bahwa pada kenyataannya pertumbuhan kota sangatlah di pengaruhi oleh peningkatan faktor ekonomi yang secara sadar maupun tidak hal tersebut akan menyebabkan pertumbuhan penduduk di kota semakin meningkat. peningkatan jumlah penduduk inilah yang kemudian menimbulkan masalah-masalah yang menyebabkan fungsi kota yang kaitanya dengan kota yang berkelanjutan tidak sepenuhnya dapat di wujudkan. sebagai negara berkembang, saat ini investasi dari pihak asing seakan-akan berlomba-lomba untuk dapat masuk ke kota-kota di Indonesia yang kemudian menyebabkan laju ekonomi di kota tersebut akan semakin meningkat. layaknya pepatah ada gula ada semut ketika laju ekonomi suatu kota itu terus meningkat maka akan sejalan pada pertumbuhan penduduknya. peningkatan jumlah penduduk ini tentunya akan sangat mempengaruhi fungsi ruang itu sediri. Kota dengan fungsi sebagai work area,living area,shoping and leisure tim/ entertaiment center dan open space system and enviromental protection tentunya perlu memiliki lahan yang luas, namun pada kenyataannya di Indonesia kota-kota di Indonesia memiliki luas yang tidak sepadan dengan total jumlah penduduk di Indonesia. Alhasil permasalan keterbatasan lahan merupakan masalah yang crusial yang ada di kota-kota di Indonesia saat ini. keterbatasan lahan ini yang terkadang mengabaikan beberapa fungsi ruang khususnya mengenai open space system and envirometal protection yang menurut saya ini sangat berkaitan dengan salah satu fungsi kota lainnya yaitu sebagai living area. E howard pernah mengatakan bahwasanya kota besar bukanlah tempat yang cocok untuk tempat tinggal jika persoalan lingkungan di abaikan dimana Geddes juga mengungkapkan bahwa alam merupakan unit terpenting bagi kelangsungan aktivitas kota. keterbatasan lahan inilah yang kemudian mengabaikan salah satu fungsi ruang yang menurut saya sangat mempengaruhi kualitas kota itu sendiri khususnya pada fungsi open space system and envirometal protection. Beberapa survey di lakukan untuk mengetahui kota mana saja yang layak untuk ditinggali dan memiliki tingka kenyamanan untuk beraktifitas di kawasan tersebut. ikatan ahli perencanaan indonesia menyebutkan terdapat 7 kota besar yang dianggap nyaman untuk di tinggali meliputi balikpapan,solo, malang,yogyakarta, makasar,palembang dan bandung (kompas,12 agt 2014). penentuan ketujuh kota tersebut dilakukan berdasarkan kruteria-kriteria yang telah di tentukan meliputi aspek fisik lingkungan,aspek keamanan dan keselamatan,aspek ekonomi, aspek kesehatan aspek utilitas, aspek transportasi, aspek penataan kota dan aspek-aspek lainya yang menurut saya sebagian kriteria tersebut sudah mencakup dari beberapa fungsi ruang seperti yang teori chapin dan keiser mengenai fungsi kota dalam sustainable city. sehingga secara garis besar sebagian besar kota di indonesia hanya sebagian kecil yang hampir memenuhi fungsi kota seperti teori yang telah di kemukakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sumber: Tesis Fenti Novita, Pengaruh Perkembangan Ekonomi Kota Bandar Lampung
      Terhadap Perkembangan Kawasan Pesisir (Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Deponegoro Tahun 2003 http://perencanaankota.blogspot.com/2011/11/pembangunan-kota-yang-berkelanjutan.html

      Hapus
  40. lanjutan..

    mengenai vertical housing yang saat ini di anggap sebagai gagasan yang dapat menyelesaikan masalah keterbatasan lahan di kota-kota di Indonesia menurut saya gagasan ini tidak sepenuhnya sesuai dan urgent untuk di terapkan di kota-kota di Indonesia. konsep vertical housing dimana bangunan di buat dalam bentuk vertical memiliki tujuan untuk dapat mengurangi permasalahan keterbatasan lahan khususnya untuk menampung jumlah penduduk yang ada di Kota tersebut. Kebijakan ini mungkin akan tepat apabila di terapkan di kota yang sudah modern atau kota metropolitan dengan jumlah penduduk melebihi 1 juta orang seperti Jakarta dan Surabaya, alasannya di kota-kota tersebut space merupakan masalah yang krusial. Seperti yang telah di kemukakan teman-teman sebelumnya bahwa pembuatan vertical housing akan memberikan manfaat untuk dapat menciptakan ruang terbuka dan menyelesaikan masalah lingkungan. Namun menurut saya ini dapat di terapakan apabila kondisi kota yang ada memang sudah tidak memiliki celah untuk membuat RTH atau wilayah yang cenderung kumuh dan tidak tertata dimana kondisi ini cenderung berada pada kota-kota yang berbasis industri sedangkan di indonesia kota yang seperti ini jumlahnya sangatlah kecil seperti yang saya sebutkan sebelumnya yaitu jakarta dan surabaya yang kita ketahui lahan di daerah tersebut hampir semuanya merupakan lahan terbangun. Kenyataan yang ada kebanyakan kota di Indonesia tidaklah seperti itu, contohnya Yogyakarta kota yang berkembang sebagia kota edukasi dan budaya. Apabila masalah keterbatasan lahan di selesaikan menggunakan gagasan vertical housing hasilnya kota ini akan meninggalkan identitasnya. Yang terjadi bangunan-bangunan yang bernilai budaya mulai tertutupi bangunan dengan bentuk vertical housing. Selain masalah tersebut gagasan mengenai vertical housing juga harus memperhatikan aspek geografisnya akankah gagasan ini tidak akan menimbulkan masalah lingkungan baru. Ketika tujuannya untuk dapat membuat ruang terbuka hijau akankan pebuatan vertical housing ini tidak akan menimbukan masalah lainnya berkaitan dengan muka air tanah, kesuburan tanah,daya dukung lahan,becana dan sebagainya serta kaitannya dengan masyarakat asli di sekitarnya. Sehingga kaitannya dengan urgency dari pembangunan vertical housing menurut saya tidak semua kota di indoensia bisa di terapkan gagasan ini.

    BalasHapus
  41. Menanggapi juga masalah penolakan vertical housing yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut saya kejadian ini muncul ketika warga merasa tidak nyaman dengan pembuatan vertical housing, bukan masalah siap atau tidak siap namun karena adanya kekhawatiran dari masyarakat dengan gagasan vertical housing. Seperti yang terjadi di Yogyakarta yang terjadi akhir-akhir ini dimana vertical housing mulai merajalela di pusat-pusat kota. Menurut saya masyarakat cenderung tidak nyaman dengan pembangunan vertical housing alasannya dari aspek lingkungan saja pembangunan ini tentunya akan menyebabkan kondisi air tanah di daerah tersebut akan berkurang sehingga masayrakat seakan-akan berebut air yang selama ini mereka gunakan sehari-hari dengan bangunan-bangunan tersbut. Selain itu pembangunan vertical housing akan menimbulkan kesenjangan ekonomi antar masyarakat serta ketakutan-ketakutan lain yang menghantui mereka. Serta ketakutan akan hilangnya aspek budaya dan kerusakan lingkungan yang ada di kota Yogyakarta Akibatbya kenyamanan untuk bertempat tinggal di kota ini menjadi berkurang. Sedangkan mengenai pihak pengembang yang tidak melihat kondisi masyarakat menurut saya hal tersebut bisa saja terjadi namun kesalahan bukan berarti hanya di karenakan pengembang itu sediri namun juga berkaitan dengan pemberian izin atau lembaga-lembaga yang ikut andil di dalamnya pembanguan vertical housing. Karena keberlangsungan bangunan ini tidak akan berjalan ketika izin dari pihak-pihakt terkait tidak di keluarkan dimana salah satu aspek pemberian izin ini adalh adanya kesepakatan antara pengembang dan masyarakat sekitar terjadi, dengan kata lain problem penolakan dari masyarakat yang terjadi terhadap pembangunan apartemen atau kondotel tersebut di akibatakan kurangnya penkajian ulang mengenai penentuan kawasan maupun aspek lingkungan yang menyebabkan masyarakat menolak pembuatan vertical housing karena mereka menganggap vertical housing tidak terlalu urgent bila di terapkan di kota Yogyakarta sebab secara ide gagasan vertical housing ini baik adanya namun hanya saja tidak semua kawasan sesuai untuk di terapkan pembangunan vertical housing. Sebagai contohnya pembangunan di kota jakarta yang masyarakatnya menganggap vertical housing merupakan gagasan yang tepat untuk mengatasi keterbatasan lahan di kota mereka.

    BalasHapus
  42. Nama : Naslia Fauzana
    NIM : 12/330995/GE/07325

    Pembangunan kota yang dicanangkan oleh pemerintah maupun swasta, dilakukan untuk berbagai tujuan serta kepentingan tertentu. Pandangan bermunculan tentang proses vertical housing di berbagai wilayah kota besar di Indonesia.
    Otpimalisasi terhadap pemanfaatan lahan terbatas serta gaya hidup dengan kemajuan zaman menuntut berbagai investor baik pengembang negeri/ swasta untuk melakukan vertical hosusing. Kondisi tersebut dapat disikapi dengan kontribusi terhadap pembatas diantaranya :
    1. Optimalisasi perenacanaan tata ruang dengan baik
    2. Melakukan analisis SWOT terhadap lokasi yang akan didirikan vertical housing
    3. Memperhitungkan kualitas lingkungan
    4. Memperhatikan kesesuain lahan
    5. Analisis terhadap kemungkinan terjadi bencana ( mengingat seringkali di Indonesia sering terjadi bencana)
    6. Pemerintah memilih vendor setiap melakukan project pembangunan dengan penuh dedikasi pembangunan berkelanjutan serta mampu kontribusi penuh bagi manfaat luas.
    Diskripsi yang telah disebutkan akan dapat membantu menjawab pertanyaan dalam permasalahan pembangunan vertical housing di berbagai Kota di Indonesia :
    “ pada dasarnya pembangunan tetap harus di jalankan guna menjadikan Indonesia negara maju, akan tetapi faktor keseimbangan sumberdaya akan perlu diperhatikan serta dibutuhkan peran serta masyarakat luas untuk memantau serta melakukan berbagai kajian khususnya di bidang pendidikan untuk andil membantu proses pembangunan”
    Sehingga tidak salah untuk melakukan vertical housing tetapi konsekuensi secara matang tanpa menghilangkan ciri khas bumi pertiwi serta konseptual berwawasan kedepan akan memberikan kontribusi penuh bagai pembangunan di Indonesia.

    BalasHapus
  43. RHEINY ALDILA PUTRI WIKA
    12/330880/GE/07282

    Sebuah kota digambarkan dengan pusat-pusat pertumbuhan wilayah, simpul pelayanan sosial, budaya, ekonomi, dan/atau administrasi masyarakat. Selanjutnya, Chapin & Kaiser (1997) menyebutkan bahwa fungsi ruang di kota sebagai ruang kerja, ruang tempat tinggal, ruang shopping (belanja), pusat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan. Kegiatan perkotaan cenderung memusat dan mengakibatkan faktor jarak terhadap pusat, aksesbilitas dan lokasi merupakan hal penting dalam menentukan nilai lahan, dimana semakin dekat lokasi lahan dengan pusat kota maka nilai lahan akan semakin tinggi.
    Perkembangan dan pertumbuhan penduduk semakin meningkat setiap tahunnya, kota-kota besar menjadi tujuan utama dilakukannya urbanisasi untuk mencari pekerja bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga menyebabkan lahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat kota menjadi semakin berkurang.
    Langkanya lahan kosong mendorong pemerintah kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta untuk merubah konsep-konsep hunian dari hunian horizontal ke hunian vertikal. Vertical housing adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (No 16 UU Tahun 1985). Konsep hunian vertikal tersebut seperti membangun rumah susun yang dapat dijangkau oleh masyarakat di kota-kota besar yang memiliki tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi. Pada kenyataannya kondisi Kota-kota di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan Vertical Housing (perumahan vertikal perkotaan) hal ini diakibatkan lahan yang sangat terbatas di setiap Kota yang ada di Indonesia. Lahan menjadi salah satu pemicu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk saling bersinergi.

    BalasHapus
  44. LANJUTAN .. (RHEINY ALDILA PUTRI WIKA 07282)

    Minimnya lahan dan sumber energi merupakan permasalahan besar yang dihadapi dunia saat ini. Ini menimbulkan kecenderungan pembangunan secara vertikal dan berakibat pada berkurangnya rasio area terbuka hijau terhadap area terbangun. konsep vertical housing guna pemanfaatan ruang yang tersedia dengan semaksimal mungkin dengan memperhatikan aspek pembangunan yang berkelanjutan dapat diterapkan di beberapa kota yang ada di Indosesia, bukan seluruh kota yang ada di Indonesia. Dalam hal ini konsep vertical housing tentu saja harus memperhatikan daya dukung wilayah, daya dukung tanah, dan tata guna air. Dimana ketika kita berbicara mengenai penggunaan lahan maka pemanfaatan atau penggunaan air juga merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Keadaan geologi di beberapa kota di Indonesia berbeda-beda, tentunya hal tersebutlah yang menjadikan konsep vertical housing tidak dapat sepenuhnya diterpakan di seluruh kota Indonesia. Seperti kota-kota yang rentan terhadap gempa bumi, letusan gunung api, bahaya tsunami, banjir bandang, banjir rob, dan ketersediaan air yang terbatas. Hal ini sebagai antisipasi terus menyusutnya luasan dan mahalnya harga tanah akibat pesatnya industrialisasi dan perdagangan dan keterbatasan lahan yang dapat digunakan untuk hunian atau tempat tinggal, dinilai tingkat kebutuhan akan vertical housing sudah memasuki tahap urgent untuk dibeberapa kota. Kemudian yang menjadi persoalannya adalah ketika pembangunan vertical housing tidak menggunakan strategi perencanaan pengembangan wilayah, maka yang akan terjadi adalah bangunan-bangunan yang dapat merusak system ekologi. Tidak setiap lahan memiliki fungsinya masing-masing, hal yang pokok dalam upaya perlindungan fungsi-fungsi lahan (baik ekologis maupun produksi) adalah dengan evaluasi sumber daya lahan. Evaluasi lahan itu sendiri adalah kemampuan lahan dimana menggambarkan kapasitas dari sumber daya lahan untuk mendukung penggunaannya secara umum dan kesesuaian lahan yakni mencerminkan kesesuaian satuan lahan bagi penggunaan yang spesifik. Vertical housing dihindari atau tidak, tetap akan menjadi topic utama pembangunan hunian tempat tinggal khususnya pada daerah-daerah yang memiliki keterbatasan lahan. Jadi dengan menggunakan konsep Vertical housing ini dapat meningkatkan intensitas pendahayagunaan lahan, infrastruktur, perdagangan, perkantoran, rekreasi dan tempat tinggal.

    BalasHapus
  45. LANJUTAN ..
    Strategi penerapan vertical housing diantaranya dapat menerapkan perencanaan pengembangan wilayah secara terpadu (integrated regional development planning disingkat IRDP). Pendekatan ini biasa juga dikenal sebagai fungsi-fungsi perkotaan pada pembangunan pedesaan (urban functions in rural development, UFRD) atau pendekatan desentralisasi terkonsentrasi. Dan juga dapat menerapkan pembangunan territorial (Baja, 2012).

    BalasHapus
  46. Dewi Gafuraningtyas
    12/334252/GE/07437

    Kondisi di beberapa kota di Indonesia saat ini terutama kota-kota besar tidak memenuhi seluruh kriteria mengenai kota yang disampaikan oleh Chapin & Kaiser (1997) yang menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Kota menjadi sasaran penduduk terutama penduduk pedesaan karena mereka selalu dibombardir dengan kehidupan yang ‘katanya’ serba mudah di kota karena berbagai fasilitas yang memadai dan aksesibilitas yang tinggi untuk mendapatkan pelayanan. Tak heran apabila kota mengalami pertumbuhan yang tinggi tiap tahunnya. Contoh yang paling mudah dianalisa adalah Ibukota Jakarta yang saat ini sudah sangat penuh sesak oleh kepadatan penduduk yang berimbas pada penggunaan lahan terbangun yang berlebihan sehingga fungsi living area, open space system and environmental protection sangat sulit untuk dirasakan di Jakarta.
    Saat ini konsep landed housing sudah sangat tidak cocok diterapkan di kota yang sudah mengalami keterbatasan lahan, untuk itu solusi tepat guna bagi kota saat ini adalah menerapkan konsep vertical housing seperti yang sudah diterapkan dibeberapa negara dengan kepadatan penduduk tinggi salah satunya adalah Tiongkok. Pengertian vertical housing (hunian-vertikal) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah tempat tinggal atau kediaman yang dihuni, yang arah pertumbuhannya tegak lurus membentuk garis tegak lurus (bersudut 90º) dengan permukaan bumi (dilansir dari http://iffahzzhaffi.blogspot.com/). Vertical housing diantaranya adalah apartemen dan rusunawa. Apartemen lebih diperuntukkan untuk kalangan menengah keatas sedangkan rusunawa diperuntukan bagi kalangan bawah yang berpendapatan rendah yang sering tinggal di pemukiman kumuh dan liar sehingga pemerintah dapat mengganti pemukiman kumuh dengan RTH agar fungsi open space system and environmental protection di kota dapat terpenuhi. Dengan menggunakan konsep ini maka pembangunan tempat tinggal dapat dilakukan disekitar CBD dengan harga yang tidak terlalu tinggi sehingga penduduk yang bekerja di pusat kota tidak perlu menjadi commuter yang mencari tempat tinggal yang jauh dari tempat kerjanya akibat harga tanah yang mahal dan akan mengurangi biaya transportasi bagi masyarakat. Dengan demikian perekonomian di kota akan semakin meningkat.

    BalasHapus
  47. (Lanjutan)

    Walaupun konsep ini dapat mengurangi keterbatasan tempat tinggal tetapi pembangunannya bukan tanpa masalah dibeberapa kota di Indonesia. Konsep vertical housing ini di beberapa kota besar yang masih kental budayanya seperti Yogyakarta akan sulit untuk dikembangkan karena adanya benturan kultur budaya. Banyak warga menolak untuk pembangunan secara vertical housing karena dianggap akan mengurangi nilai budaya dan menjadikan kota Jogja seperti Jakarta yang semakin lama mengalami ‘kelunturan’ pada budaya aslinya yaitu budaya betawi berganti dengan pola hidup masyarakat kota yang individualis. Dengan pembangunan konsep vertical housing ini dianggap akan dapat mengurangi sosialisasi antar warga. Selain itu, pembangunan berkonsep vertical housing perlu memperhatikan kerawanan suatu wilayah terhadap bencana terutama gempa karena dapat menjadi ancaman dikemudian hari. Oleh sebab itu, pada setiap pembangunan vertical housing perlu diperhatikan kondisi geografis wilayahnya dan harus sesuai dengan kebutuhan serta daya lahannya. Dari segi arsitektur bangunannya pun harus mencerminkan budaya pada wilayahnya sehingga kultur budayanya tidak hilang dan bahan bangunan disesuaikan dengan kemungkinan adanya ancaman/bencana di wilayah tersebut. Taman atau ruang terbuka harus ada disekitar bangunan agar dapat menjadi tempat bagi sosialisasi warga dan melakukan berbagai aktivitas diluar bangunan rusun/apartemen yang memiliki space terbatas.

    BalasHapus
  48. Satria Perdana Amiwaha
    12/334330/GE/07462
    Perkembangan wilayah sangat terkait dengan faktor jumlah fasilitas sarana sosial ekonomi wilayah, kependudukan dan aksesibilitas wilayah. Pada kenyataannya fasilitas-fasilitas sarana sosial ekonomi justru terkonsentrasi di pusat kota yang menjadikan daerah pusat ini akan semakin dipadati penduduk yang menuntut lebih banyak lagi fasilitas sarana sosial ekonomi. Arus masuk penduduk ke pusat kota tersebut merupakan dampak utama dari perkembangan suatu wilayah. Kebutuhan penduduk wilayah di luar pusat kota yang belum terpenuhi mendorong arus penduduk menuju ke pusat-pusat fasilitas sarana sosial ekonomi, yaitu di pusat kota.
    Salah satu kebutuhan penduduk akan fasilitas sosial ekonomi yaitu kebutuhan akan hunian yang layak. Perkembangan wilayah yang turut diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan keterbatasan lahan yang berpengaruh pada tingginya harga lahan. Semakin dekat dengan pusat perekonomian, harga lahan akan semakin tinggi. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya area yang memiliki kemudahan aksesnya menuju pusat. Harga lahan yang sangat tinggi tersebut tentu saja menjadi masalah bagi sebagian masyarakat pelaku ekonomi di pusat kota terutama yang memiliki penghasilan rendah. Semakin jauh dari pusat kota, berarti semakin besar pula dana yang dikeluarkan untuk menjangkau pusat kota. Masyarakat sudah tidak lagi memikirkan aspek seperti kelayakan, kenyamanan bahkan keamanan dan kelestarian lingkungan akan tetapi lebih mengutamakan kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan akan hunian, sehingga akan menimbulkan permukiman kumuh.
    Penggunaan lahan menggambarkan ragam aktivitas ekonomi suatu daerah serta mencerminkan besarnya kegiatan ekonomi suatu daerah. Perubahan penggunaan lahan seperti dari pertanian menjadi permukiman bukan hanya fenomena berkurangnya luas lahan untuk pertanian melainkan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek-aspek kehidupan masyarakat atau dengan kata lain sosial ekonomi masyarakat. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan meningkatnya permintaan akan ruang sertasumberdaya alam, pada gilirannya jika tidak dikendalikan secara bijaksana akan mempengaruhi sumberdaya alam dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
    Solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasi keterbatasan penggunaan lahan di pusat kota salah satunya dengan vertical housing seperti apartemen dan rumah susun. Vertical housing dapat meningkatkan intensitas pendayagunaan lahan, infrastruktur, perdagangan, perkantoran, rekreasi dan tempat tinggal. Selain itu itu vertical housing di pusat kota dapat mengurangi penggunaan kendaraan oleh penghuninya. Akan tetapi tidak mudah untuk langsung menerapkan solusi ini. Pada umumnya masyarakat lebih suka tinggal di rumah yang luas dengan halaman. Bahkan pandangan masyarakat mengenai vertical housing masih cenderung negatif. Hal ini memerlukan sosialisasi dan penanaman pemahaman mengenai vertical housing untuk mengubah cara pandang masyarakat tersebut dan mencegah terjadinya konflik bagi masyarakat yang kontra. Selain itu vertical housing perlu memperhatikan dampaknya bagi lingkungan seperti tinggi maksimal dari bangunan.

    BalasHapus
  49. Nama:Rahma Fitriayu Sari
    NIM: 12/330991/GE/07322
    Indonesia sebagai negara berkembang memiliki ciri pertumbuhan penduduk yang posotif sepanjang tahunnya, terutama di daerah perkotaan karena luas wilayah tetap ,tidak bertambah, dengan penduduk yang terus bertambah. Dengan adanya pertambahan penduduk yang cukup pesat di daerah perkotaan ini, otomatis membuat kebutuhan akan papan manusia semakin tinggi yang diikuti kelangkaan serta mahalnya harga tanah. Hal ini menyebabkan pembangunan perumahan baru layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah cenderung menjauh dari tempat kerja, sehingga dampak lain yang ditimbulkan yaitu munculnya permukiman illegal dan kumuh pada pusat kota. Permasalahan mobilitas manusia dan barang dalam hal ini menimbulkan kemacetan lalu lintas, penurunan produktifitas kerja, serta penurunan kondisi sosial serta kualitas lingkungan. Dari permasalahan keterbatasan ruang kota inilah lahir kebijakan mengenai vertical housing di daerah perkotaan serta daerah padat penduduk lainnya. Dimana masyarakat penghasilan menengah kebawah direncanakan pembangunan rumah susun sederhana di pusat-pusat kota, dengan intensitas bangunan tinggi diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas yang efektif dan efisien serta pro rakyat. Sedangkan untuk penduduk dengan penghasilan menengah ke atas pembangunan rumah vertical ini dalam bentuk apartemen, kondotel, dsb.
    Rumah vertical ini sendiri merupakan sejumlah rumah yang disusun secara vertical dalam bentuk bangunan gedung dimana di dalamnya terdapat interaksi dan utilitas, sarana, prasarana pribadi dan public guna mensiasati keterbatasan lahan. Sebagai contoh, bangunan rumah vertical ini dapat kita jumpai di kawasan Kali Code dalam bentuk rusunawa (rumah susun sederhana sewa). Dimana pembangunan rumah susun ini memang berusaha untuk mengatasi keterbatasan lahan di Kawasan Kali Code yang memang secara tata ruang kurang tepat karena berada di daerah bantaran sungai. Namun, kita perlu untuk melihatnya dari aspek ruang lainnya. Rumah vertical di Code dirancang sebagai bangunan tunggal dengan konektor jalur pedestrian antara satu hunian dan lainnya. Pada titik-titik tertentu juga dirancang ruang-ruang publik seperti pos ronda, balai RT, sekolah, dan ruang-ruang terbuka tempat bermain dan berkumpulnya warga. Rancangan rumah vertical ini juga memperhatikan faktor bencana banjir dengan memperhatikan muka air maksimal, ini adalah antisipasi untuk menghadapi kondisi darurat pada saat terjadi bencana.
    Dikaitkan dengan teori yang diungkapkan oleh Chapin dan Kaiser bahwa bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection sepertinya tidak akan terwujud di kota yang penuh dengan pemukiman. Dalam hal ini, ruang di kota memiliki kelemahan dalam pemenuhan system pengembangan lahan dan system lingkungan. Seperti banyak terjadi di kota besar bahwa banyak ruang di kota-kota besar di Indonesia yang penataannya semrawut dan banyak difungsikan untuk kegiatan ekonomi, infrastruktur, dan pemukiman, sedangkan lingkungan serta RTRW banyak yang diabaikan. Proporsi antara ruang hijau dan bangunan di kota besar Indonesia sudah tidak seimbang. Sustainable city seperti yang diungkapkan Chapin dan Kaiser hanya mampu dipenuhi kota besar Indonesia untuk ruang bekerja, tempat tinggal, belanja, serta hiburan, dan ruang untuk lingkungan kurang tersedia.

    BalasHapus
  50. lanjutan....
    Vertical housing ini, menurut saya belum terlalu urgent untuk dilakukan di Indonesia, karena perataan penduduk dan penekanan terhadap angka kelahiran adalah solusi pertama yang perlu dilakukan pemerintah guna mengatasi tingginya kepadatan penduduk di kota. Namun, apabila jumlah penduduk Indonesia kedepannya terus bertambah pesat setiap tahunnya, keberadaan rumah vertical ini memiliki urgensi besar dalam menata kota dan meminimalisasi pemborosan lahan untuk kebutuhan papan di kota beasar. Sehingga sisa lahan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum lainnya, seperti untuk pembangunan ruang terbuka hijau, taman kota, hutan kota, pusat belanja, infrastruktur yang menunjang kegiatan penduduk, serta untuk usaha lainnya. Di Jakarta contohnya, tahun 2010 kepadatan penduduk Jakarta mencapai 14.469 jiwa perkilometer persegi. Dimana dapat dibayangkan bahwa didalamnya sangat sesak penduduk dan ruang terbuka sedikit. Pada tahun tersebut sudah mulai banyak dibangun rumah vertical untuk mengatasinya seperti rusun, rusunawa, kondotel, maupun apartemen.
    Perencanaan penggunaan lahan di kota sebaiknya memang benar-benar menerapkan teori-teori keruangan agar kebutuhan ruang tiap warganya terpenuhi. Pembangunan rumah vertical ini agaknya perlu direncanakan sejak dini guna mengantisipasi adanya keterbatasan dan mahalnya lahan di kota yang diprediksi kepadatannya akan menyerupai Jakarta, seperti Bandung, Surabaya, Lampung, dll. Kedepannya mungkin, vertical housing ini dapat dibangun di daerah pusat kota agar masyarakat tertarik untuk menempatinya, karena dekat dengan pusat kegiatan dan menghemat biaya transportasi. Pembangunan vertical housing ini perlu untuk memperhatikan aspek lingkungan karena biasanya kebutuhan air kurang terpenuhi, air tanah tidak mampu menanggung kebutuhan masyarakat rumah vertical. Selain itu limbah rumah tangga perlu untuk direncanakan pengolahannya. Ruang untuk masyarakat berkumpul bersama pun paling tidak harus terpenuhi. Dan yang terpenting perencanaan vertical housing ini perlu memperhatikan faktor keamanan, mulai dari bahan bangunan yang dipakai agar tidak mudah retak/roboh/bocor, system keamanan yang ekstra ketika bahaya datang, misalnya kebakaran, banjir, serta desain rumah susun, terutama balkon harus memperhatikan kebutuhan anak-anak, karena beberapa rumah vertical di Indonesia kurang memperhatikan hal itu, sehingga terdapat anak-anak yang menjadi korban akibat jatuh dari lantai sekian rumah vertical.
    Sumber:
    http://uty.ac.id/2012/10/inovasi-mahasiswa-uty-untuk-bataran-sungai-code-kampung-susun-solusi-masalah-banjir/
    urplan.wordpress.com/2010/06/05/evaluasi-kebijakan-dan-rencana-strategis-pembangunan-rumah-susun-di-kawasan-perkotaan-tahun-2007-2011/
    2007.Agung Sutarto. Tinjauan Aspek Tata Ruang Perkembangan Kawasan Taang Mas Kota Semarang.Jurnal.Semarang:Universitas Negeri Semarang

    BalasHapus
  51. INDIRA CHAIRUNNISA
    12/ 330901/ GE/ 07287

    Kota pada dasarnya memiliki pengertian yang sangat banyak, menurut UU No 22 Tahun 1999 Kota merupakan kawasan yang memililki kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pelayanan jasa pelayanan pemerintahan, jasa pelayanan sosial dan merupakan pusat kegiatan. Kota identik dengan fasilitas yang lengkap, sarana dan prasarana yang memadai serta memiliki aksesibilitas yang mudah. Hal tersebut merupakan faktor pendorong sebuah kota yang banyak menarik masyarakat khusunya masyarakat pedesaan untuk beralih ke kota. Sebagai contoh adalah Jakarta, Jakarta banyak disebut sebagai gudangnya pekerjaan, banyak masyarakat yang ingin bekerja di Jakarta untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi. Dapat dicontohkan adalah lulusan sarjana, banyak lulusan sarjana yang bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di kemetrian yang ada di Jakarta. Hal inilah yang menyebabkan kepadatan penduduk yang ada di Jakarta tinggi. Semakin tinggi kepadatan penduduk maka kebutuhan akan suatu hunian juga sangat tinggi namun hal ini tidak didukung dengan ketersediaan lahan yang ada sehingga mengakibatkan banyaknya permukiman kumuh. Keterbatasan lahan ini diakibatkan luas wilayah yang kecil dengan jumlah penduduk yang banyak. Keterbatasan inilah yang akan berujung pada alih fungsi lahan yang marak terjadi pada saat ini. Sebagai contoh lahan kosong yang digunakan untuk perumahan.
    Menurut Chapin dan Kaiser fungsi ruang kota sebagai ruang kerja, ruang tempat tinggal, ruang belanja, pusat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan. Kriteria Chapin dan Kaiser tersebut hampir tidak ditemui di Indonesia. Fakta yang ada di Kota saat ini adalah maraknya pembangunan pusat perbelanjaan, hotel dan lain-lain yang menyebabkan kurangnya kenyamanan hunian, serta keberadaan ruang terbuka hijau (RTH). Sebagai contoh di Yogyakarta, di Yogyakarta hampir tidak ditemui RTH hal ini terjadi karena keterbatasan ruang. Oleh karena itu untuk mengatasi keterbatasan ruang banyak Kota yang menerapkan konsep Vertikal housing atau Hunian Vertikal.

    BalasHapus
  52. lanjutan... INDIRA CHAIRUNNISA 12/330901/GE/07287

    Hunian Vertikal merupakan bangunan berbentuk vertikal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal masyarakat yang nyaman dengan jumlah banyak. Konsep vertikal housing ini pada umunya sangat bermanfaat bagi masyarakat kecil yang membutuhkan tempat tinggal yang nyaman namun disisi lain ada sisi negatif dari konsep ini salah satunya adalah merusak lingkungan. Namun fakta yang ada pada saat ini pembangunan hunian vertikal banyak dipermainkan oleh developer. Kecerdikan developer membaca peluang bisnis demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Macam-macam hunian vertikal beragam antara lain adalah rusun, apartemen, kondominium dan lain-lain. Rusun digunakan untuk hunian kalangan msyarakat menengah kebawa sedangkan apartemen digunakan untuk masyarakat kalangan menengah keatas dan sebagai investasi. Pada dasarnya saya setuju dengan adanya konsep ini karena sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan hunian yang layak dan dapat pula digunakan untuk peremajaan kota karena dapat mengurangi permukiman kumuh yang ada, namun perlu diingat bahwa pembangunan hunian vertikal ini perlu adanya perencanaan yang matang. Setiap daerah memiliki karakteristik masing-masing baik jenis tanah, tingkat kerawanan bencana, dan lain-lain yang perlu diperhatikan untuk pembangunan hunian vertikal tersebut. Sebaiknya konsep housing vertikal ini diterapkan sesuai dengan karakteristik dari masing-masing wilayah karena hal ini yang akan berdampak kepada kekuatan bangunan tersebut dan dampak terhadap lingkungan yang ada seperti yang sudah di sampaikan kawan yang lain. Pada dasarnya konsep vertikal housing ini sangat wajar apabila mendapat pro dan kontra dari masyarakat, tidak sedikit orang yang melakukan penolakan dengan adanya pembangunan hunian vertikal tersebut. Penolakan yang dilakukan masyarakat pada dasarnya belum adanya kesiapan masyarakat untuk berpindah dari rumah asal ke rumah susun yang baru dengan alasan mereka sudah nyaman dirumah sekarang meskipun sempit selain itu ada kekhawatiran yang dirasakan masyarakat. Sebagai contoh adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki budaya yang sangat kental, seperti yang dikatakan saudara Eva dan Dewi bahwa masyarakat Jogja kental akan budaya dan beranggapan dengan banyaknya bangunan tinggi akan merubah Jogjakarta seperti Jakarta sehingga Yogyakarta tak lagi nyaman.

    BalasHapus
  53. Nama: Ruri Atika Umaroh
    NIM: 12/330921/GE/07295

    Kota (Sullifan, A) yakni daerah dimana jumlah penduduk dengan kepadatan yang cukup tinggi di bandingkan dengan daerah yang lain. Sehingga kota dapat dicirikan dengan kawasan berpenduduk tinggi, yang disebabkan sektor ekonomi lebih tinggi, sektor jasa unggul, dan sebagainya. Ward B menyampaikan daerah urban atau daerah kota adalah kawasan dimana fasilitas mulai dari sarana dan prasarana yang beragam serta lengkap.
    Kota-kota di Indonesia memiliki kondisi seperti pengertian yang diungkapkan oleh beberapa ahli. Kota di Indonesia memiliki pusat-pusat kegiatan perekonomian, jasa dan sebagainya sehingga dapat dengan mudah menarik masyarakat untuk melakukan mobilitas seperti urbanisasi dan lain-lain. Faktor penarik seperti ini yang menjadikan Kota-Kota di Indonesia semakin lama semakin memiliki jumlah penduduk yang tinggi di bandingkan dengan daerah yang lain di Indonesia. Kota-kota di Indonesia seperti contohnya adalah Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain.
    Fungsi ruang Kota jika dikaitkan dengan teori Chapin dan Kaiser jika dilihat semakin sedikitnya ruang di daerah perkotaan akibat adanya faktor penarik seperti yang telah disampaikan, fungsinya sedikit bergeser. Fungsi yang bergeser ini adalah sistem ruang terbuka hijau dan perlindunagn terhadap lingkungan. Ruang terbuka hijau yang awalnya dapat dengan mudah ditemukan (guna menyeimbangkan fungsi penyerapan air), semakin lama ini akan sulit ditemukan karena kebutuhan akan ruang yang semakin besar. Semakin banyaknya kebutuhan akan ruang untuk bertempat tinggal atau beraktifitas maka muculah isu vertical housing.
    Vertival housing menurut pendapat saya adalah sebuah hunian atau tempat tinggal yang pemanfaatan ruangnya dibuat vertical (keatas). Contoh vertical housing adalah kondotel, rusunawa, rusunami, dan lain-lain. Fungsi vertical housing ini adalah untuk mempersempit luas lahan yang di perlukan untuk membangun hunian. Di beberapa kota seperti Jakarta vertical housing ini sudah perlu dilakukan, karena Jakarta merupakan salah satu tujuan masyarakat untuk berpidah tempat. Sehingga semakin padatnya warga Jakarta maka akan semakin banyak ruang yang diperlukan untuk bertempat tinggal. Saya sependapat dengan Saudari Tety, dimana menyampaikan mengenai manfaat vertical housing guna mengurangi permukiman kumuh di bantaran sungai dan bantaran rel kereta api.

    BalasHapus
  54. Lanjutan .....
    Nama: Ruri Atika Umaroh
    NIM: 12/330921/GE/07295

    Akan tetapi vertical housing ini menurut saya belum tepat untuk di terapkan di Yogyakarta, meskipun kota ini semakin lama banyak penduduknya akan tetapi vertical housing belum tepat di terapkan. Penolakan masyarakat terhadap apartemen atau kondotel yang merupaka salah satu vertical housing ini disebabkan masyarakat masih cenderung berpandangan negatif terhadap keberadaan suatu apartemen. Sehingga hal ini yang menjadi salah satu penyebab belum siapnya masyarakat Yogya didalam menghadapi isu vertical housing. Adanya penolakan ini juga karena kurangnya sosialisasi antara pengembang dengan masyarakat, sebagai contoh warga nantinya dijanjikan apa dari terbangunnya hunian apartemen atau kondotel tersebut. Juga dari sisi lingkungan harus diperhatikan air tanah milik warga dan juga dari apartemen atau kondotel. Hal ini perlu di perhatikan karena jika tidak nantinya air sumur warga sekitar akan mengalami kekeringan di waktu tertentu akibat kedalaman sumur mereka dengan kedalaman sumur bor apartemen atau kondotel lebih dalam, dimana air akan menaglir ke daerah yang lebih rendah. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan bahwa “Sebagian kewenangan Pemerintah Daerah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten atau kota meliputi 9 (sembilan) jenis kegiatan” yang meliputi:
    1. Pemberian izin lokasi
    2. Penyelenggaraan sengketa tanah garap
    3. Penyelesaiin sengketa tanah garapan
    4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk kegiatan pembangunan
    5. Penetapan subyek atau obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee
    6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat
    7. Pemanfaatan dan penyelenggaraan masalah tanah kosong
    8. Pemberian izin membuka tanah
    9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten atau kota
    Berdasarkan keputusan Presiden (Keppres) tersebut maka dalam pembuatan vertical housing pengembang haru bernegoisasi dengan masyarakat terlebih jika tanah yang akan di gunakan merupakan tanah milik beberapa warga atau bahkan tanah ulayat.

    Sumber:
    Hayati, Sudjito. Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa di Surakarta.
    Umajah, Siti. 2007. Perbaiakn Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Sosial Serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

    BalasHapus
  55. Nama: Glori Giovani
    NIM: 12/331016/GE/07337
    Mengacu pada teori Chapin & Kaiser mengenai fungsi ruang kota dalam konteks sustainable city, kota-kota di Indonesia dapat dikatakan belum sesuai dengan teori tersebut terlebih dalam hal fungsi ruang kota sebagai open space system dan environmental protection. Kota-kota di Indonesia kini mengalami krisis lahan yang disebabkan oleh pembangunan perkotaan yang berorientasi pada landed housing yang menyebabkan semakin berkurangnya lahan di perkotaan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air. Hal tersebut menyebabkan hilangnya fungsi ruang kota sebagai open space system dan environmental protection karena ruang terbuka hijau yang semakin minim. Tentunya kondisi ini sangat perlu diperhatikan. Perkembangan yang terjadi di perkotaan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya permintaan akan lahan. Hal ini tentu akan menjadi tidak seimbang ketika semakin banyaknya permintaan akan lahan, namun permintaan tersebut tidak dapat lagi terpenuhi karena kota yang semakin mengalami keterbatasan akan lahan.

    Menindaklanjuti hal tersebut, konsep vertical housing dirasa cukup urgent untuk diterapkan di Indonesia, mengingat krisis lahan yang semakin meningkat di perkotaan. Konsep ini perlu dikembangkan di kota-kota yang kepadatan penduduknya relatif tinggi sebagai antisipasi akan keterbatasan lahan. Dengan konsep vertikal housing dapat memberikan keuntungan tersendiri terutama dalam hal meningkatkan intensitas pendayagunaan lahan, infrastruktur maupun ruang baik untuk berusaha, bekerja, berdagang, maupun bertempat tinggal. Selain itu, dengan konsep vertikal housing juga dapat membantu tersedianya jalan yang memadai dan mampu menampung jumlah kendaraan serta tersedianya fasilitas pedestrian yang baik yang pada akhirnya dapat mengurangi kemacetan di perkotaan. Dengan demikian, perkotaan akan menjadi lebih tertata dengan tetap memperhatikan tersedianya ruang terbuka hijau sebagai open space system dan environmental protection dalam pembangunan kota yang berkelanjutan.

    Namun tidak semudah itu vertikal housing dapat diterapkan di Indonesia, mengingat budaya lokal sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung lebih suka tinggal di rumah yang luas dengan halaman luas yang memungkinkan mereka dapat dengan mudah melakukan aktivitas dan sosialisasi secara maksimal dengan keluarga besar ataupun handai taulan. Selain itu, vertical housing untuk beberapa kota di Indonesia seperti misalnya di Yogyakarta, masih terhambat oleh peraturan mengenai ketinggian bangunan yang tidak boleh melebihi ketinggian 32,5 meter. Hal-hal tersebut kiranya perlu diperhatikan terutama mengenai pola pikir masyarakat Indonesia yang kurang senang dengan konsep vertikal housing. Kita perlu banyak belajar dari negara-negara maju yang sudah berhasil dengan vertikal housingnya seperti di Belanda. Oleh sebab itu, dirasa cukup penting untuk memberikan sosialisasi lebih lanjut dan mendalam mengenai pentingnya penerapan konsep vertikal housing di Indonesia.

    BalasHapus
  56. Swastika Nugraheni
    12/334329/GE/07461

    Berdasarkan Teori Chapin & Kaiser (1997), sejauh ini kota di Indonesia belum memiliki fungsi kota seperti yang disebutkan dalam teori. Kota di Indonesia baru menyediakan berbagai fasilitas guna memenuhi kebutuhan manusia. Namun seperti diketahui, kebutuhan akan hunian masih jauh dari kata terpenuhi. Menurut saya, sebagian besar kota di Indonesia baru memenuhi fungsi kota sebagai ruang kerja, ruang shopping (belanja), dan pusat hiburan. Fungsi kota sebagai ruang tempat tingga dan sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan belum sepebuhnya dapat terpenuhi pada kota-kota di Indonesia. Kota banyak dikembangkan pada sisi ekonomi saja seperti banyaknya penanaman investasi di kota-kota tersebut sehingga banyak menjadi factor penarik urbanisasi yang cukup besar. Arus masuknya para tenaga kerja ke suatu kota yang kemudian tinggal di kota tersebut tidak diiringi dengan pemenuhan kebutuhan akan hunian. Salah satu factor penyebabnya adalah adanya keterbatasan ruang di kota tersebut. Akibatnya banyak terbentuk slum dan squatter di kota-kota di Indonesia. Dengan demikian menurut saya, agenda vertical housing sudah urgent untuk dilakukan
    Vertical housing merupakan konsep pembuatan kompleks perumahan secara vertical untuk menghemat lahan dan biasanya didirikan di daerah dengan harga lahan yang tinggi. Wilayah kota yang memiliki keterbatasan ruang tidak mampu memenuhi kebutuhan untuk lahan permukiman sehingga menjadi masalah yang cukup kompleks. Selain untuk mengatasi masalah harga lahan yang tinggi, konsep vertical housing dapat juga diterapkan untuk mengantisipasi adanya alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman yang dapat mengganggu keseimbangnan lingkungan. Dengan adanya alih fungsi lahan maka kemungkinan lahan terbuka akan semakin berkurang. Hal ini akan menjadi permasalahan sehingga kota tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan. Ketidakmampuan kota mewujudkan fungsi sebagai penyedia hunian bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya dapat terjadi karena berbagai factor. Kota yang baik harus mampu memenuhi berbagai fungsi seperti yang telah disebutkan dalam Teori Chapin & Kaiser (1997). Untuk mewujudkan fungsi kota yang beragam tersebut tentunya dibutuhkan ruang yang cukup. Konsep vertica housing dapat dilakukan sebagai upaya penghematan ruang secara horizontal sehingga ruang yang tersisa masih dapat digunakan untuk pemenuhan fungsi kota yang lain.
    Konsep vertical housing menjadi urgen karena seperti diketahui bahwa tidak semua masyarakat kota memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hunian yang layak. Pembuatan vertical housing seperti rumah susun misalnya, dapat menjadi solusi dalam pemenuhan kebutuhan hunian, serta dapat mengatasi fenomena slum dan squatter area yang verdampak buruk terhadap lingkungan.
    Penerapan vertical housing di Indonesia tidak sedikit yang mengalami masalah. Hal ini terutama dikarenakan tidak adanya kesepakatan antara pengembang dengan masyarakat sekitar. Penolakan masyarakat terhadap pembangunan vertical housing beberapa disebabkan oleh masalah lingkungan yang akan ditimbulkan. Strategi dalam pembuatan vertical house ini tidak boleh mengabaikan factor lingkungan seperti ketersediaan air tanah untuk warga sekitar dan penghuni vertical house itu sendiri, masalah kebersihan baik saluran air, lingkungan, maupun udara. Perlu adanya standar yang mengatur kelayakan lahan yang layak digunakan untuk vertical house, seperti misalnya ketinggian lokasi, kondisi tanah, dan dampak yang akan ditimbulkan atas dibangunnya vertical house tersebut.

    BalasHapus
  57. Fattima Choiruni Yasina Murti
    12/330874/GE/07281
    Dalam konsep perkotaan yang dikemukakan oleh teori Chapin & Kaiser (1997) yang menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection memiliki kesamaan maksud seperti pengertian kota yang dikemukakan oleh Hadi Sabari Yunus ( 2005 : 33 ) “ Pengertian kota ditinjau dari fungsinya dalam wilayah nodal adalah suatu wilayah tertentu yang berfungsi sebagai pemusatan kegiatan yang beraneka ragam dan sekaligus berfungsi sebagai simpul kegiatan dalam peranannya sebagai kolektor dan distributor barang dan jasa dari wilayah hinterland yang luas “ .
    Melihat dari fungsi kota dari perspektif teori chapin & Kaiser sendiri pada kenyataannya menurut saya pribadi bahwa beberapa kota-kota di Indonesia memiliki berbagai macam fungsi seperti work areas , living areas , shopping serta entertainment center . Namun kota-kota di Indonesia masih memiliki kekurangan dalam keberadaan ruang terbuka hijau atau open space system . Dalam beberapa artikel ( Dwihatmojo,2010 ; Kompas , 2013 ; Tempo ,2013 ) memiliki pembahasan mengenai keberadaan ruang terbuka hijau yang semakin sedikit di beberapa kota di Indonesia khususnya kota-kota besar seperti Jakarta , Surabaya,dan Bandung . Pada wilayah kota Yogyakarta sendiri menurut saya sudah memiliki fungsi sebagai work areas , living areas , shopping serta entertainment center yang ditandai dengan adanya perkantoran , perumahan yang mulai bermunculan di wilayah kota Yogyakarta , dan pusat-pusat perbelanjaan seperti mall-mall yang dibangun di wilayah sekitar kota Yogyakarta . Untuk ruang terbuka hijau yang disediakan secara khusus oleh pemerintah seperti taman publik di kota Yogyakarta masih sangat sedikit bahkan cenderung tidak ada .
    Kota sendiri yang setiap tahunnya memiliki pertambahan penduduk yang cenderung cepat membutuhkan ruang untuk segala aktifitas manusia di dalamnya , namun kebutuhan ruang tersebut seringkali tidak disertai perluasan wilayah dari suatu kota itu sendiri . Sehingga membuat ruang gerak penyesuaian menjadi terbatas . Sehingga beberapa pemecahan masalah adalah pembangunan rumah tinggal yang dibuat bersusun secara vertical . Pembuatan tempat tinggal susun atau vertical housing dapat membuat efisiensi pemanfaatan ruang pada wilayah kota-kota yang bertambah sesak .
    Kebutuhan akan vertical housing sendiri dapat diterapkan sesuai kebutuhan akan kota itu sendiri dan keadaan dari masyarakat yang akan meninggalinya . Seperti di Jakarta , keberadaan rumah susun sendiri cukup populer di masyarakat karena penduduk yang tiap tahun bertambah dan kebutuhan akantempat tinggal di pusat kota juga bertambah . Harga rumah susun sendiri bervariasi tergantung keadaan masyarakat yang akan meninggalinya . Sementara di wilayah Provinsi DI Yogyakarta sendiri , keberadaan rumah susun sendiri tidaklah cukup populer . Beberapa rumah susun yang ada masih belum dimanfaatkan secara maksimal yang ditandai dengan jumlah masyarakat yang tinggal di rumah susun tersebut . Hal itu dapat terjadi karena wilayah Yogyakarta sendiri masih cukup memiliki ruang untuk pembangunan tempat tinggal atau pemukiman biasa dan juga budaya masyarakatnya yang mengatakan bahwa tempat tinggal yang baik adalah tempat tinggal yang ‘menyentuh/berpijak’ tanah .
    Sebaiknya dalam pembangunan vertical housing sendiri perlu melihat kebutuhan suatu kota dan juga masyarakat yang ada . Apakah masyarakatnya sudah sangat membutuhkan tempat tinggal bertingkat atau belum dan juga keadaan pertumbuhan kota itu sendiri agar keberadaan vertical housing yang ada dapat di manfaatkan secara optimal .

    BalasHapus
  58. Menanggapi mengenai problem penolakan masyarakat terhadap apartemen dan kondotel yang merupakan salah satu dari vertical housing terjadi akibat adanya keadaan masyarakat yang belum siap akan adanya pembangunan apartemen dan kondotel serta pihak pengembang yang tidak melihat keadaan atau kondisi masyarakat setempat . Seperti dapat kita lihat di beberapa media yogyakarta (bisnis.com,2013 ; Jogja.Tribunnews.com,2014) warga masyarakat di wilayah yogyakarta menolak pembangunan apartemen , hotel dan kondotel karena berbagai macam alasan yaitu kebudayaan yang menjadi terganggu serta kesulitan memperoleh sinar matahari serta air tanah yang semakin menurun .
    Pengembang vertical housing sendiri harusnya dapat memperkirakan keberadaan masyarakat dengan tidak merugikan masyarakat sekitar dan mempersiapkan penyelesaian dengan masalah-masalah yang mungkin akan timbul sebelum melakukan pembangunan vertical housing itu sendiri . Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa pembangunan hotel oleh investor-investor tersebut dapat timbul karena mereka menilai keberadaan Yogyakarta yang memiliki pertumbuhan penduduk yang lumayan cepat sehingga pada saat-saat tertentu kebutuhan hotel di musim liburan dibutuhkan .

    BalasHapus
  59. ARISTIA CATUR ANUARI
    12/331006/GE/07330

    Kondisi kota- kota di Indonesia terus mengalami perkembangan ,tentunya perkembangan kearah yang lebih modern. perkembangan kota memiliki multifungsi yang penting dalam peranan kehidupan masyarakat perkotaan. kota dalam fungsi lokasi yang di sebutkan oleh chapin & Kaiser dimana kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai work areas, living areas, shopping and leisure-time/ entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Karena fungsi tersebut menjadikan banyak masyarakat pinggiran yang tertarik untuk tinggal diperkotaan yang memiliki berbagai macam fasilitas pemenuhan kebutuhan. Hal tersebut Menyebabkan pertumbuhan penduduk bertambah setiap waktunya. Keberadaan penduduk yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang ada, dalam hal ini adalah tempat tinggal. Masalah tersebut telah terjadi disetiap kota di Indonesia salah satunya yang terjadi di kota yogya .
    Kota yogya merupakan kota pariwisata budaya dan pendidikan, kelebihan yang dimiliki kota jogja ini menarik banyak penduduk khususnya dari luar kota tidak hanya untuk berwisata atau memperoleh pendidikan melainkan untuk bekerja dan tinggal menetap. Kondisi ini menjadikan kebutuhan akan perumahan di kota ini meningkat. Kebutuhan perumahan di Yogyakarta dapat dibilang cukup tinggi yaitu 100 ribu unit (dilansir pada http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/09/03/warga-diy-butuh-perumahan-100-ribu-unit) . Namun meningkat nya kebutuhan perumahan ini tidak sesuai dengan ketersediaan lahan dan tingginya harga lahan yang ada di kota jogja.
    Pemerintah kota cukup baik menyikapi masalah tersebut dengan mulai mengembangkan konsep vertical housing didukung dengan kerjasama dengan berbagai para pengembang swasta. Mulai terlihat pembangunan apartemen apartemen yang diperuntukan bagi mahasiswa yang kuliah dikota ini. Berbagai macam pengembang mulai bermunculan menawarkan target konsumennya untuk berinvestasi pada bangunan vertical housing ini.
    Sebenarnya apa yang manfaat dari vertical housing ? yang saya ketahui pada dasarnya vertical housing memiliki manfaat cukup baik khususn ya bagi masyarakat modern yang ingin tinggal di wilayah perkotaan. sebelum adanya vertikal housing masyarakat yang tidak mampu membeli rumah di kota karena harganya yang cukup mahal sehingga hanya bisa membeli rumah di daerah pinggiran namun dengan konsekuensi harus mengeluarkan biaya transportasi yang tinggi untuk menuju ke kantor misalnya. Dengan ada nya vertical housing ini penekanan biaya kebutuhan akan transportasi dan bbm dapat dilakukan. Masyarakat dapat tetap memilih tinggal di perkotaan ( rumah susun ) yang jaraknya lebih dekat dengan kantor dan dengan biaya yang dapat dijangkau untuk pembelian/ sewa rumah susun ini. Selain itu Vertical housing ini mampu meningkatkan intensitas pendahayagunaan lahan, yang mencakup semua fasilitas infrastruktur, perdagangan, perkantoran, rekreasi serta tempat tinggal.

    BalasHapus
  60. lanjutan..
    Namun apakah vertical housing menjadi solusi terbaik yang dapat dilakukan ? yang terjadi sekarang ini keberadaan vertical housing yang sulit diterima masyarakat, karena kenyataan nya yang ada vertical housing lebih banyak diperuntukan oleh kalangan menengah keatas dan tidak sesuai dengan kulturasi yang berlaku di masyarakat. Seperti yang terjadi pada jl. Kaliurang km 5,2 pengembang melakukan perencanaan pembangunan apartement utara yang di peruntukkan bagi mahasiswa karena lokasinya strategis dengan kampus ugm, berbagai tindakan warga sekitar dilakukan demi menolak adanya pembagunan apartement di lokasi tersebut. Keputusan untuk menerapkan vertical housing memang tidak sesuai dengan kulturasi masyarakat yang ada, tranformasi kulturasi pun terjadi dimana perbedaan yang ada pada pola permukiman yang sebelumnya merupakan hunian terpadu (landed housing) menjadi hunian vertikal ( vertical housing). Hal ini terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang akan terjadi nanti nya ketika vertical housing terbentuk.
    Urgensi vertical housing di kota kota lain tidak hanya dikota jogja saja menurut saya mulai cukup urgent namun prosesnya harus di perhatikan. Memang vertical housing merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan menyikapi masalah yang ada namun pembangunan vertical housing harus dilakukan secara bertahap, dan strategi konsep ditekankan dalam hal ini adalah subjek dari masyarakat sendiri yang paling pertama mengalami dampak dr vertical housing. strategi pengembangan konsep vertical housing harus dilakukan dan dibentuk disesuai atau tidak terlalu jauh dengan kondisi pola kulturasi budaya masyarakat sebelumnya khususnya dampak yang akan terjadi terkait dengan hubungan sosial masyarakat dan kesenjangan sosial ketika vertical housing ini terbentuk.

    BalasHapus
  61. Chandra Wulan R.
    12/334295/GE/07454

    Chapin & Kaiser (1997) menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai ruang kerja, ruang tempat tinggal, ruang belanja, pusat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan. Kondisi Indonesia apabila dilihat dari konsep sustainable city tersebut secara garis besar sudah sesuai dengan fungsi kota tersebut yaitu digunakan sebagai ruang kerja, tempat tinggal, untuk belanja, serta sebagai pusat hiburan. Sebagian besar kota-kota di Indonesia sudah menerapkan konsep-konsep sustainable city seperti yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser. Namun masyarakat di kota kurang memperhatikan fungsi kota sebagai sistem ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan mengingat semakin bertambahnya kepadatan di kota itu sendiri. Sebuah kota memiliki peranan ganda di dalamnya yaitu memiliki aksesbilitas seperti pusat pemukiman penduduk, pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik, pusat hiburan, dan pusat kegiatan social budaya. Terlepas dari segala kemewahan yang ditawarkan, kota menyimpan banyak permasalahan di dalamnya. Permasalahan di kota jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan desa. Masalah kota yang sering muncul adalah kepadatan penduduk. Jumlah penduduk yang banyak atau bahkan berlebihan akan menimbulkan banyak masalah dan dampak negatif. Kepadatan penduduk terjadi karena banyak hal yaitu tidak seimbangnya jumlah kelahiran dan jumlah kematian, tingginya tingkat kelahiran, banyaknya urbanisasi, dan masih banyak lainnya. Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Indonesia, maka akan berpengaruh pada kebutuhan akan hunian bagi para masyarakat di Indonesia yang akan semakin meningkat. Persentase penduduk kota yang meningkat itu menghasilkan kepadatan bangunan dan hunian yang makin tinggi di kota-kota yang berdampak serius terhadap penduduk perkotaan di Indonesia. Berdasarkan permasalaha lahan dan perumahan, maka pembangunan hunian bertingkat di kota-kotadi Indonesia menjadi salah satu solusi yang baik dalam rangka peremajaan permukiman kumuh ke dalam rumah susun sebagai hunian baru yang lebih layak. Dalam hal ini berarti bahwa pembangunan hunian bertingkat merupakan suatu bentuk perkembangan perumahan dan permukiman yang layak secara vertikal, tidak lagi horisontal yang memakan banyak lahan (landed house).
    Direktur Utama Perum Perumahan Nasional (Perumnas) Himawan Arief menjelaskan bahwa konsep vertical housing atau hunian vertikal adalah solusi guna mensiasati masalah keterbatasan lahan untuk perumahan di perkotaan.Tren pembangunan perkotaan di Indonesia saat ini masih kepada kota terbuka. Hal tersebut dapat dilihat dengan maraknya pembangunan di sepanjang jalan, dan itu tidak bagus. Kalau di luar negeri sepanjang jalan antar kota itu tidak ada bangunan-bangunan seperti ruko-ruko atau perumahan, jadi pembangunan mereka terkonsep. Harusnya ada penataan ruang. Contoh di Tiongkok mereka sudah menerapkan konsep vertical housing, sedangkan kalau kita masih suka mengembangkan landed housing dan baru belajar menerapkan vertical housing. Semua negara membutuhkan itu, karena konsep vertical housing di negara-negara lain terbukti mengefisiensikan penggunaan lahan (http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/08/07/274762/hunian-vertikal-solusi-perumahan-perkotaan).

    BalasHapus
  62. lanjutan..
    Pembangunan perumahan dengan konsep vertical housing merupakan sebuah tuntutan untuk diterapkan di Indonesia sebagai jawaban semakin menipisnya stok lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warganya. Bagaimana pemerintah dapat memanajemen kotanya dalam mengurangi masalah di perkotaan. Sudah seharusnya konsep hunian vertical dipikirkan lebih serius. Bagaimana langkah-langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan pas-pasan dalam menjangkau pusat kota. Perencanaannyapun harus matang, terutama dari segi psikografis dan kultural penghuninya. Umumnya masyarakat lebih suka tinggal di rumah yang luas dengan halaman dan ruang keluarga, sehingga memungkinkan mereka melakukan sosialisasi secara maksimal. Mereka, terutama keluarga besar, merasa kurang nyaman tinggal di apartemen yang space-nya terbatas. Sebaliknya, mereka lebih suka tinggal di rumah dengan konsep landed housing ketimbang vertical housing. (http://metro.kompasiana.com/2011/01/11/pendahayagunaan-lahan-vertical-housing-di-surabaya-333719.html )
    Vertical housing atau hunian bertingkat biasanya dapat berupa apartemen, rusun, kondotel, dan lain sebagainya. Konsep vertical housing kini sudah mulai di terapkan di Yogyakarta. Namun dalam perkembangannya, banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Menurut saya pengembangan konsep vertical housing belum perlu untuk dilakukan di Yogyakarta mengingat pada kultur budaya di masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap adanya apartemen ini masih negatif. Dengan adanya pembangunan ini banyak merugikan masyarakat sekitar. Masyarakat di sekitar area pembangunan merasakan keresahan terhadap gangguan yang ditimbulkan dari apartemen tersebut. Pengembangan konsep vertical housing di Indonesia sebaiknya disesuaikan dengan kondisi morfologi, hidrologi, dan kemampuan lahan karena di setiap daerah akan berbeda-beda, serta memberikan pengertian kepada para masyarakat bahwa konsep vertical housing bukan hanya diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas saja, mengingat banyak masyarakat yang masih beranggapan negatif terhadap vertical housing. Para pengembang yang tidak mempertimbangkan pemilihan lokasi yang tepat sehingga banyak menimbulkan gangguan serta kurang sosialisasi terhadap masyarakat sekitar menjadi salah satu penyebabnya.

    BalasHapus
  63. Faiza Syifa Zahira
    12/331041/GE/07347

    Teori chapin & Kaiser (1997) yang menyebutkan bahwa fungsi ruang kota dalam keberlanjutan adalah sebagai ruang / tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan/untuk menghabiskan waktu, system ruang terbuka dan proteksi lingkungan. Menurut saya, unsur atau komponen kota yang disebutkan oleh Chapin & Kaiser mengenai kota memang sudah seharusnya seperti itu. Hal ini juga terkait adanya beberapa fungsi kota sebagai pusat, baik pusat perekonomian, pemerintahan, perdagangan. Namun kota dan fungsinya tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan kota – kota kecil dan menengah disekitarnya untuk pemenuhan beberapa fungsi mengingat adanya keterbatasan ruang yang ada di wilayah kota.
    Keterbatasan ruang yang ada di wilayah kota menyebabkan banyak orang berpikir untuk menerapkan konsep vertical housing sebagai salah satu solusi untuk mengatasi adanya keterbatasan ruang. Penerapan konsep vertical housing tidak dapat langsung diterapkan dalam sebuah kota, meskipun kota tersebut memiliki kebutuhan akan permintaan yang berbanding terbalik dengan jumlah ketersediaan ruang yang terdapat disuatu kota. Yogyakarta misalnya, menurut saya kota Yogyakarta memiliki keterbatasan ruang untuk pemenuhan fungsi kota yang sesuai dengan kebutuhan. Pentingnya pendirian vertical housing yang ada di Yogyakarta memang sangat penting. Namun, pendirian ini harus dilengkapi dengan komponen yang mendukung seperti system ruang terbuka dan perlindungan terhadap lingkungan.

    Menurut saya, urgensi terhadap penerapan vertical housing yang ada di Indonesia jika menyangkut kota-kota besar yang memang sudah padat seperti Jakarta dan Surabaya, penerapan vertical housing memang sudah sangat perlu untuk diterapkan. Namun jika penerapan vertical housing dilakukan di Yogyakarta, saya rasa hal ini masih perlu untuk dikaji ulang. Sebagian besar pembangunan vertical housing didominasi oleh pembangunan hotel, condotel, dan apartemen kelas mengah keatas. Padahal okupansi hotel bintang hanya 46%. Jumlah ini masih kalah jika dibandingkan dengan permintaan hotel kelas melati yang ada di Yogyakarta (Harian Tribun, 5 September 2014, hal 5). Sebenarnya apa dasar yang dipertimbangkan dalam pendirian hunian kelas bintang yang marak di Yogyakarta akhir – akhir ini ? Jika menilik dari branding Yogyarta yang merupakan kota Budaya, maka jumlah kebutuhan akan hunian kelas bintang yang ada di Yogyakarta perlu ditinjau kembali.

    Pemerintah dapat pula mendirikan vertical housing sebagai rusunawa ataupun rusunami ini justru akan membantu dalam penataan kota dan mengurangi slum atau squatter area yang ditimbulkan akibat minimnya jumlah lahan yang ada di kota-kota di Indonesia termasuk Yogyakarta. Seharusnya solusi akan urgensi vertical housing yang marak dijadikan alasan pendirian hotel berbintang perlu dikaji ulang termasuk dalam aspek wilayah, daerah, dan kebutuhan dalam mengatasi keterbatasan ruang yang ada di kota. Namun memang tidak semua vertical housing yang berupa apartemen menyalahi aturan, apartemen ataupun condotel memang diperlukan dan harus ada dalam sebuah kota, tergantung dari bagaimana pengaruhnya terhadap kota tersebut terhadap aspek-aspek lain seperti lingkungan.

    Terkait permasalahan penolakan yang dilakukan oleh masyarakat, hal ini terjadi akibat tidak adanya sinkronisasi yang dilakukan pihak pengembang, pemerintah dan masyarakat dalam pendirian housing. Adanya kesepakatan antar beberapa pihak seperti masalah ganti rugi, lingkungan, ijin pendirian bangunan, dan dampak sosial yang akan diterima tentu sangat dibutuhkan untuk meminimaliasir adanya penolakan. masyarakat.

    BalasHapus
  64. Tatik Triyanita (12/334026/GE/07391)
    Sustainable city, sebagaimana telah disebutkan yakni sebagai “works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, open space system and environmental protection” (Chapin&Kaiser, 1997). Ketika ditanya soal kondisi mayoritas kota-kota di Indonesia, masih ada aspek lingkungan yang belum dapat terpenuhi, yakni meliputi open space and environmental protection, dikatakan demikian tidak lain sebagai dampak dari kebutuhan akan lahan perkotaan yang tak pernah ada habisnya. Seperti yang kita tahu bahwa kota-kota di Indonesia sudah disulap menjadi ladang investor (dengan hadirnya berbagai macam fasilitas pemuas kebutuhan mulai dari hunian, pusat perbelanjaan, hiburan, dll) yang dampaknya kini adalah semakin minimnya open space di perkotaan terutama sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Jika menilik dari segi kebutuhan, kota sebagai supplier berbagai kebutuhan sudah sangat memadai, tapi ketika dikaitkan dengan aspek lingkungan yang kemudian mengarah pada konsep kota berkelanjutan tentunya keterbatasan RTH tersebut masih menjadi penghambat.
    Keterbatasan lahan tersebut dapat disiasati dengan konsolidasi lahan dalam bentuk hunian vertikal (vertical housing), contohnya rumah susun, apartemen, dsb. Misal untuk rumah susun sendiri selain dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sebagaimana pasal 3 UU No 20 Tahun 2011 tentang rumah susun, bahwa tujuan dari pembangunan rusun salah satunya guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh; serta mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif. Demikian tujuan rusun jika dilihat dari aspek nilai kepetingan umum atas tanah yang berkiblat pada perbaikan kehidupan bermasyarakat, berbeda halnya dari segi aspek nilai sosial tanah yang berdasar dari perilaku masyarakat yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dsb. Urgensi implementasi hunian vertikal tersebut bisa jadi akan berbenturan dengan sikap masyarakat yang masih menganggap memiliki sebidang tanah adalah sebagai aset berharga. Karena nantinya penghuni hunian vertikal (misal rusun) hanya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah Negara atau dengan kata lain, penghuni tidak memiliki hak atas tanah (hak milik) melainkan sebatas hak pakai.
    Berbagai urgensi yang telah disebutkan sebelumnya menjadikan hunian vertikal sebagai alternatif solusi keterbatasan lahan dalam menghadapi densifikasi (pemadatan) permukiman sudah cukup urgen untuk diimplementasikan di daerah perkotaan, namun kembali lagi pada segi sosial masyarakat (tradisi) yang dapat saling berbenturan dengan kepentingan umum demi perbaikan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya kesepakatan antar pemilik kepentingan supaya dalam penerapannya tidak terdapat pihak-pihak yang dirugikan. Selanjutnya, masalah keterbatasan lahan dapat sedikit demi sedikit teratasi dan pengalihan open space dapat diarahkan untuk RTH guna mewujudkan kota yang berkelanjutan.

    BalasHapus
  65. (Ryan Devantara_12/334015/GE/7390)

    Fungsi lokasi (ruang) kota yang dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection (Chapin & Kaiser, 1997). Kondisi kota-kota di Indonesia beberapa belum memenuhi fungsi kota dalam konteks sustainable city. Hal ini dikarenakan terbatasnya ruang kota akibat jumlah dan pertumbuhan penduduk kota yang pesat. Ruang yang ada lebih banyak digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan housing/perumahan. Oleh karena itu, vertical housing dipandang sebagai pilihan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan keterbatasan lahan yang ada di kota. Sehingga dengan adanya penataan ruang perumahan berupa vertical housing, dapat memberikan ruang baru untuk fungsi kota lain salah satunya pemenuhan fungsi open space system and environmental protection yang sering terabaikan.

    Konsep Vertical Housing adalah memindahkan bentuk dan fungsi yang ada dalam perumahan horizontal/mendatar kedalam bentuk vertical/meningkat. Hal ini bertujuan untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan akan rumah/perumahan akibat pertumbuhan dan penambahan penduduk kota yang tinggi, sedangkan lahan yang ada terbatas. Mengenai urgensi vertical housing, untuk kota-kota yang sangat besar/metropolitan sudah pasti memerlukannya karena kebutuhan akan perumahan terus meningkat. Strategi penerapan vertical housing di Indonesia adalah dengan memperhatikan terlebih dulu kebutuhan akan adanya vertical housing di suatu kota, daya dukung wilayah, daya dukung lahan, serta penentuan lokasi yang tepat.

    Menanggapi penolakan pembangunan Vertical Housing di Yogyakarta, hal tersebut karena kurangnya kajian kebutuhan kota Yogyakarta akan adanya vertical Housing terutama apartemen dan kondotel. Sudah terlihat banyaknya apartemen dan kondotel yang dibangun akan tetapi memiliki tingkat okupansi yang rendah. Selain itu pembangunan yang ada masih kurang memperhatikan kondisi lingkungan sekitar sehingga merugikan masyarakat.

    BalasHapus
  66. ROSWITA DHARMASANTI (12/334163/GE/07408)

    Saat ini, di Indonesia sedang giat – giatnya melakukan perkembangan pembangunan. Pemerintah dan berbagai pihak melakukan perbaikan di berbagai sektor agar pembangunan yang diusahakan dapat berjalan dengan lancar. Dengan adanya usaha – usaha tersebut maka akan banyak sekali hal atau sektor yang akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi di kota besar akan tetapi juga di kota – kota kecil juga. Di kota besar hal ini sangat jelas terlihat pada sektor perekonomian, fasilitas, dan pemukimannya.

    Masyarakat yang hendak memperbaiki tingkat perekonomian keluarganya banyak mengambil posisi pekerjaan di kawasan - kawasan perkotaan. Akibatnya, kota akan mengalami perubahan tatanan sektor yang ada. Seperti, akan terjadi peningkatan jumlah penduduk di daerah perkotaan akibat adanya urbanisasi yang besar. Selain itu, akan banyak lahan kosong yang diubah menjadi lahan terbangun sehingga luas lahan kosong akan menurun. Hal lain yang juga akan terjadi adalah peningkatan jumlah permintaan hunian untuk masyarakat. Karena adanya persaingan kepemilikan hunian maka harga tanah yang akan digunakan untuk bermukim juga akan mengalami pelonjakan yang sangat signifikan. Untuk masyarakat yang datang dari kota kecil atau pedesaan, akan sulit bersaing dengan masyarakat yang sudah memiliki jabatan pekerjaan yang tinggi di kota untuk menadapatkan hunian yang diinginkan. Oleh karena itu, hal lain yang akan ditimbulkan dari adanya peningkatan jumlah penduduk perkotaan adalah adanya pemukiman kumuh dan banyaknya gelandangan di tengah kota.

    Seperti yang terjadi di Yogyakarta, untuk mengurangi permasalahan penurunan jumlah lahan kosong yang dapat digunakan untuk lahan pemukiman serta meningkatnya jumlah penduduk yang ada di kota, maka pemerintah setempat menetapkan kebijakan untuk mengarahkan pembangunan perumahan yang tumbuh secara vertikal atau seperti rumah susun (http://properti.kompas.com/read/ 2014/09/01/111518121/Yogyakarta.Kembangkan.Hunian.Vertikal.Pembangunan.Hotel.Mulai.Distop). Pertumbuhan pemukiman secara vertikal merupakan usaha untuk membangun pemukiman secara keatas bukan mendatar atau horizontal. Dengan menggunakan konsep pembangunan vertikal maka lahan yang digunakan untuk menjadi kawasan pemukiman tidak terlalu luas dan dapat diterapkan pada lahan yang sempit. Dengan menggunakan konsep ini pula maka pemukiman yang dibuat dapat menampung jumlah yang banyak. Rusun yang dibangun di Yogyakarta bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari pembangunan ekonomi yang sedang diusahakan. Di daerah ini, pembangunan seperti rusun sangat dibutuhkan karena dapat mengurangi kawasan pemukiman kumuh akibat ketidakmampuan masyarakat membeli lahan. Rusun yang dibangun disediakan utnuk masyarakat yang berpenghasilan rendah sehingga mereka dapat memiliki rumah yang layak untuk ditinggali. Selain itu rusun juga sangat bermanfaat untuk menjaga estetika kota agar dapat lebih tertata dalam penggunaan lahan pemukimannya.

    Sesuai dengan teori perkotaan yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1977), bahwasanya kota berfungsi menjadi tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. Maka rusun yang ada di Yogyakarta juga telah dibangun pada kawasan yang sangat strategis agar fungsi ruang yang diharapkan oleh Chapin dapat terpenuhi. Hal ini terbukti dengan adanya rusun yang terletak ditengah kota sehingga pengaksesan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dapat dimanfaatkan secara makasimal. Sesuai dengan teori itu pula, pemerintah setempat juga sedang mempertimbangkan fasilitas transportasi yang disediakan agar masyarakat luas dapat lebih tertarik untuk memanfaaatkan fasilitas publik. Saran untuk pemerintah Yogyakarta, agar dalam menggiatkan pembangunan secara vertikal di sini dapat lebih disesuaikan oleh kebutuhan masyarakat setempat sehingga setelah rusun yang dibuat selesai dibangun dapat langsung dimanfaatkan oleh mereka, tidak “nganggur” begitu saja atau kurang diminati oleh masyarakat sekitar.

    BalasHapus
  67. ELISABETH SIMATUPANG (12/330844/GE/07267)
    Menurut Chapin & Kaisar(1997), fungsi lokasi/ ruang kota dalam sustainable city (kota yang berkelanjutan) adalah sebagai tempat untuk bekerja, tempat tinggal, pusat perdagangan dan hiburan, serta sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. Namun untuk mencapai sustainable city cukup sulit. Kesulitan tersebut terjadi karena adanya permasalah yang selalu dihadapi oleh daerah perkotaan yaitu Urbanisasi. Urbanisasi merupakan proses perpindahan penduduk dari desa menuju kota. Menurut data UNDP (2010), tahun 2000 tingkat urbanisasi Indonesia mencapai 42% dan di perkitakan akan mencapai 50.7% pada tahun 2025 dan 65.9% pada tahun 2050. Dengan tingginya persentase tingkat urbanisasi ini menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan tersebut tidak sebanding dengan ruang yang tersedia sehingga mengakibatkan salah satunya yaitu kota yang tidak nyaman atau tidak sustainable. Tidak sustainable yang dimaksud adalah dikaitkan dengan fungsi ruang kota dalam sustainable city yaitu bahwa kota sudah memiliki fungsinya sebagai tempat untuk bekerja, tempat tinggal, pusat perdagangan dan hiburan, tetapi tidak memiliki fungsi sebagai sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. Dengan jumlah penduduk yang setiap tahun bertambah maka ruang yang di butuhkan juga akan semakin banyak sedangkan luas daerah perkotaan tetap. Hal tersebut yang menimbulkan termasalahan dimana ruang kota yang tersedia tidak mencukupi jumlah penduduk yang ada dan mengakibatkan munculnya lingkungan kumuh dan semakin berkurang atau bahkan tidak tersedianya ruang terbuka hijau di daerah perkotaan. tidak hanya Urbanisasi, munculnya pembangunan-pembangunan gedung-gedung di perkotaan yang terus bertambah juga mempengaruhi ketersediaan ruang yang terbatas untuk ruang terbuka hijau.

    BalasHapus
  68. LANJUTAN
    ELISABETH SIMATUPANG (12/330844/GE/07267)
    Pemanfaatan ruang yang terbatas di daerah perkotaan dilakukan dengan pembangunan kea rah vertical. Semakin langkanya ruang di perkotaan memicu perkembangan pembangunan gedung-gedung perkotaan ke atas atau vertical. Pembangunan kea rah Horizontal di anggap menimbulkan efek negative terhadap kebutuhan ruang, pemakaian energy, dan materi dalam bentuk pemborosan energy. Sehingga perluasan ruang vertical dianggap sebagai salah satu cara mengantisipasi perkembangan kota (Hadi Sabari Yunus, 2005). Salah satu pembangunan ruang vertical yang dapat ditemui adalah pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Kota Jakarta. Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia menjadi Kota Jasa (Service City) bagi pemenuhan kebutuhan penduduknya maupun penduduk di wilayah sekitarnya. Maka tidak heran bahwa Kota Jakarta memiliki bangunan-bangunan sebagai pusat pelayanan jasa seperti perkantoran, hotel, mall, dan lain-lain. Peran Kota Jakarta sebagai kota jasa dan pusat pelayanan menarik penduduk luar di daerah perdesaan untuk tinggal di Kota Jakarta dan mengakibatkan kebutuhan ruang yang tinggi di kota Jakarta. Meskipun dengan adanya pembangunan vertical di kota Jakarta, namun ruang terbuka yang tersedia tetap sedikit. Hal tersebut terjadi karena pendirian pusat pelayanan jasa baru yang terus meningkat seperti pembangunan hotel atau apartemen baru, serta dengan adanya penduduk luar kota yang melakukan urbanisasi memanfaatkan ruang terbuka kota Jakarta untuk mendirikan permukiman kumuh seperti di bantaran sungai, sepanjang pinggiran rel kereta api dan menimbulkan lingkungan yang tidak sehat di kota Jakarta. Sehingga ruang terbuka hijau di kota Jakarta terus berkurang dan mengakibatkan kota Jakarta tidak menjadi sustainable city. Tidak hanya Jakarta, Kota semarang juga demikian dengan adanya pembangunan permukiman dan industry yang terus meningkat, tidak tersedianya ruang terbuka hijau dan mengakibatkan permasalahan lingkungan seperti banjir rop. Bahkan Kota Yogyakarta hampir tidak memiliki ruang bebas terbuka hijau. Begitu pula dengan kota-kota lainnya di Indonesia, masalah terbesarnya adalah kurangnya ruang terbuka hijau dan kurangnya perlindungan terhadap lingkungan yang sehat.

    BalasHapus
  69. Heni Ma’rifah
    12/330896/GE/07286
    Kota merupakan suatu daerah yang digunakan sebagai pusat pelayanan jasa, social, ekonomi dan pemerintahan. Terdapat banyak fasilitas yang mudah untuk didapatkan apabila kita berada di daerah perkotan. Hal tersebut menyebabkan banyak penduduk yang tertarik untuk tinggal didaerah kota. Daerah kota pada umumnya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan daerah yang lainnya. Permasalahan di daerah perkotaan sangatlah komplek. Salah satu permasalahan yang menonjol di daerah kota yaitu permasalahan kepadatan penduduk. Secara umum daerah kota memiliki fasilitas yang memadahi dan mudah untuk dijangkau. Pertambahan penduduk dari tahun ke tahun menyebabkan lahan yang terdapat diperkotaan akan semakin berkurang dan menyebabkan daerah kota sesak dengan pemukiman.
    Daerah kota yang identik dengan kepadatan pemukiman dan kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan ruang terbuka hijau untuk daerah kota sangatlah minim. Seperti yang telah dikemukakan Chapin dan Kaiser (1997) daerah kota merupakan daerah sebagai ruang terbuka dan sebagai perlindungan lingkungan. Oleh karena itu penataan di daerah kota harus memiliki ruang terbuka hijau untuk tetap menjaga keseimbangan alam di daerah kota.
    Konsep vertical housing memang perlu diterepakan di daerah kota sebagai salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan lahan di kota. Penerapan vertical housing tidak serta merta asal dibangun, tetapi harus memperhatikan kebutuhan dan RTRW dari kota tersebut.. Setiap daerah akan memiliki tingkat kebutuhan dan kapasitas lahan yang berbeda-beda. Untuk menerapkan konsep vertical housing harus memperhatikan keadaan lingkungan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis daya dukung lingkungan di daerah kota dan sekitarnya.
    Pembangunan vertical housing sangat dibutuhkan ketika suatu kota sudah mulai mengalami peningkatan kepadatan penduduk. Sebagai contoh yaitu daerah Jakarta yang memiliki kepdatan yang sangat tinggi. Daerah Jakarta sebagai ibu kota negara saat ini sudah mulai menerapkan konsep vertical housing untuk mengatasi permasalahan keterbatasan lahan. Adanya konsep verikal housing menyebabkan keindahan lingkungan akan terlihat indah karena pembangunannya lebih tertata.
    Penerapan konsep vertical housing memerlukan strategi yang harus ditempuh untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pemerintah harus membuat kebiajakan dalam pembangunan vertical housing. Kebijakan yang dibuat pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan setiap kota. Strategi yang harus diperhatikan yaitu komposisi antara bangunan dengan ruang terbuka hijau. Sebagai contohnya yaitu setiap rumah susun/apartemen yang dibangun harus memiliki satu ruang terbuka hijau dengan luasan sesuai dengan peraturan yang ada.

    BalasHapus
  70. Nihayatul Muniroh
    12/333063/GE/07380

    Pengertian kota menurut Bintarto, 1987 dalam tinjauan geografi merupakan suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya. Dan jika kita melihat fenomena kota maupun perkotaan di indonesia akan terlihat cukup jelas perbedaannya dengan daerah perdesaan salah satunya dilihat dari jumlah penduduk di perkotaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan. Sebagian besar kota-kota di indonesia telah memenuhi fungsi lokasi (ruang) kota seperti works area, living area, shopping and leisure-time/entertainmen center area namun kota-kota di indonesia masih belum bisa dikatakan sebagai kota dalam konteks sustainable city seperti yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1997) karena fungsi lokasi untuk open space system and environmental protectionnya masih belum mencukupi dari standar ruang terbuka hijauh yang diperklukan yaitu 30%. Kota-kota di indonesia lebih mengutamakan penggunaan lahannya untuk kegiatan yang lebih bersifat komersil yang bernilai ekonomi lebih tinggi seperti pusat perbelanjaan, pusat hiburan maupun jasa. Hal ini menjadikan adanya suatu arus yang menarik bagi masyarakat untuk datang ke kota karena pusat-pusat tersebut memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dari daerah perdesaan maupun daerah sekitarnya sehingga kota-kota tersebut semakin memadat ditandai dengan penduduk yang semakin meningkat. Masyarakat yang berpindah ke kota tersebut tentunya memerlukan tempat untuk tinggal, perubahan penggunaan lahan yang ada di perkotaan yang dahulunya lahan terbuka hijau akan diubah untuk kepentingan manusia yaitu tempat tinggal bagi penduduk kota, jika hal ini terus terjadi maka konsep sustainable city akan semakin jauh dari kota-kota yang ada di Indonesia.

    Konsep Vertical Housing adalah memindahkan bentuk dan fungsi yang ada dalam perumahan horizontal/mendatar kedalam bentuk vertical/meningkat. Hal ini bertujuan untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan akan rumah/perumahan akibat pertumbuhan dan penambahan penduduk kota yang tinggi, sedangkan lahan yang ada terbatas. Melihat dari konsep Vertical Housing tersebut menurut saya hal ini merupakan strategi yang pas untuk mengatasi permasalahan permintaan tempat tinggal bagi masyarakat perkotaan tadi. Menanggapi pertanyaan urgensi vertical housing di indonesia menurut saya vertical housing memang sudah seharusnya diterapkan pada kota-kota besar di indonesia dan kota-kota yang memiliki potensi perkembangan kota yang tinggi, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya perubahan penggunaan lahan terbuka hijau didaerah perkotaan. Seperti yang tercantum pada UU no. 20 tahun 2011 pasal 3 bahwa tujuan vertical housing (rumah susun) adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijauh di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selain itu vertical housing juga bertujuan untuk mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, simbang, efisien, dan produktif. Dari undang-undang tersebut memperjelas bahwa vertical housing dapat dijadikan salah satu strategi yang pas untuk mengatasi permasalahan penggunaan lahan untuk perumahan bagi masyarakatnya dan jika vertical housing ini dapat diterapkan di kota-kota besar di indonesia maka konsep sustainable city akan terwujud.

    BalasHapus
  71. (Lanjutan..)
    Nihayatul Muniroh
    12/333063/GE/07380

    Tetapi permasalahan baru muncul ketika vertical housing akan dikembangkan di kota-kota besar di indonesia yaitu adanya penolakan dari warga sekitar yang merasa terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung yang merugikan mereka dari pengembangan vertical housing. Penolakan oleh warga ini menurut saya terjadi karena belum adanya pemahaman yang mendalam dan urgensi pengembangan vertical housing yang dimiliki masyarakat perkotaan, mereka belum sepenuhnya memahami bahwa vertical housing merupakan salah satu strategi yang pas untuk menyelesaikan permasalahan pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat perkotaan. Namun masyarakat bukan salah satu pihak saja yang menjadi penyebab sulitnya penerapan vertical housing di indonesia, pihak pengembang dan sang penentu kebijakan juga memiliki peran yang sama. Seharusnya pihak pengembang sudah mendapatkan izin dan memberikan pemahaman pada masyrakat sekitar sebelum vertical housing tersebut dibangun agar terciptanya keselarasan dan tidak terjadinya penolakan-penolakan oleh masyarakat. Perlunya peninjauan kembali RTRW perkotaan oleh para SKPD dan perencana daerah yang sesuai bagi perkembangan kota, kemudian perlu adanya sosialisasi RTRW tersebut pada masyarakat agar mereka bisa lebih mengerti dan dapat menerima bahwa pengembangan vertical housing ini adalah untuk kepentingan umum bukan semata-mata karena komersialisasi saja. RTRW juga perlu disosialisasikan pada para pengembang agar mereka tau batasan-batasan daerah mana sajakan yang dapat mereka kembangkan agar tidak merusak keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan lingkungannya dengan begitu maka akan terciptalah Sustainable City di Indonesia.

    BalasHapus
  72. siti baroroh
    12/331081/GE/07355

    Kota-kota di Indonesia memiliki ciri yang berbeda. Terdapat kota yang sudah maju da nada pula yang sebaliknya. Chapin dan Kaiser menyebutkan bahwa fungsi kota dalam konteks sustainable city. Dalam sudut pandang ini terdapat ciri environmental protection yang mana lingkungan yang menjadi proteksi. Kota-kota di Indonesia merupakan cerminan Negara berkembang. Kemajuan infrastruktur tidak dibarengi dengan aspek lingkungan. Walaupun LTH sudah mulai dicanangkan. Untuk menjadi kota yang sesuai dengan pendapat Chapin dan Kaiser Indonesia belum sampai ketahap environmental protection.
    Keterbatasan ruang di kota-kota besar memberikan tantangan bagaimana sustainable city dapat terwujud. Apabila memandang dari works area, shoping and entertainment sudah terpenuhi. Namun, bagaiman degan living area? Dan environmental protection. Ini menjadi tugas besar kita semua untuk menumbuhkan dua hal tersebut.
    Vertical housing merupakan salah satu pemecahan masalah dari minimnya lahan di kota. Namun apakan itu menjadi urgent? Pada kota-kota besar seperti Jakarta Vertical housing menjadi sorotan. Ditambah lagi dengan kebutuhan tempat tinggal dengan harga terjangkau. Namun melihat urgensinya, melihat wilayah Indonesia yang masih luas, dan terkumpul dalam kota menurut saya masih belum urgen. Atau melakukan program transmigrasi agar persebaran lebih merata. Terutama apabila mendirikan vertical housing dibutuhkan subsidi tambahan dan lain-lain e.g rusunawa yang bagi penduduk pun masih belum diterima. Vertical housing sebenarnya dapat menjadi solusi apabila di kota tersebut kebutuhan RTH sudah terpenuhi dan aderah di pinggiran kota sudah tidak ada. Namun tetap memperhatikan kondisi fisiografi ruang tersebut.

    BalasHapus
  73. Eka Dyana Yulandari - 12/330812/GE/07258

    Menurut Peraturan Mendagri RI No.4/1980, kota adalah suatu wadah yang memiliki batasan administrasi wilayah seperti kotamadya dan kota administratif. Kota juga berarti suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamtan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan. Kota juga merupakan pusat dari kegiatan ekonomi, sosial, dan politik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, lebih dari setengah populasi dunia tinggal di kota (UNFPA, 2007).
    Tingginya jumlah masyarakat yang tinggal di kota menyebabkan kemampuan kota untuk memenuhi fungsinya menjadi berkurang. Padahal menurut Chapin & Kaiser (1997) fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Kasus yang terjadi adalah jumlah lahan yang tersedia di kota tidak sebanding dengan jumlah permintaan lahan. Padahal lahan tersebut akan dibangun sebagai tempat kerja, tempat tinggal, tempat berbelanja, serta tempat rekreasi, yang menyebabkan pemenuhan fungsi dari kota tersebut tidak dapat dipenuhi.
    Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tantangan terbesar saat ini adalah penyediaan ruang di kota-kota yang berkembang dengan pesat. Solusi yang ditawarkan pemerintah adalah dengan menerapkan vertical housing. Vertical housing adalah suatu bentuk pembangunan permukiman yang tidak dibangun mendatar di permukaan bumi, melainkan dibangun vertikal ke atas. Sehingga dengan jumlah ketersediaan ruang yang tetap sama, pemenuhan fungsi kota dapat menjadi lebih tinggi.
    Vertical housing di Indonesia telah diterapkan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Kedua kota ini memiliki jumlah penduduk yang tinggi, sehingga menuntut ketersediaan permukiman dalam jumlah yang tinggi pula. Vertical housing yang diterapkan oleh pemerintah adalah melalui pembangunan apartement untuk kalangan menengah ke atas, dan rumah susun untuk kalangan menengah ke bawah.
    Vertical housing sendiri memiliki kelemahan. Apabila pembangunan dan pengelolaannya tidak dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, vertical housing dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti turunnya muka tanah. Selain itu pembangunan vertical housing juga dapat menyebabkan persediaan air tanah menipis, kualitas air terganggu, dan daerah resapan air berkurang.
    Lingkungan memiliki daya dukung yang terbatas. Apabila melewati batas daya dukung maka lingkungan akan memberikan dampak negatif pada aktifitas manusia. Sehingga, menurut saya pembangunan Vertical Housing di Indonesia memang diperlukan, terutama di kota-kota besar, agar fungsi-fungsi dari kota tersebut dapat dipenuhi dan masyarakat dapat menikmatinya. Tetapi dalam pembangunan tersebut memerlukan perhatian pada aspek lingkungan dan daya dukung lahan. Dengan harapan selain fungsi kota yang terpenuhi juga lingkungan dapat tetap terjaga dari kerusakan.

    BalasHapus
  74. Sabrina Tsalasa
    12/330842/GE/07266
    Seperti yang telah dikemukakan dalam teori Chapin & Kaiser, bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. Fungsi lokasi tersebut harus ada dalam kehidupan manusia, karena manusia pada dasarnya mempunyai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut merupakan pangan, sandang, papan, kesehatan dan kebutuhan batin. Wujud dari fungsi lokasi (ruang) tersebut adalah bentuk dari pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Dalam perkembangannya permukiman yang ada dalam masyarakat mengembangkan konsep permukiman yang tetap dalam konteks sustainable agar nyaman untuk di huni dan dapat terjaga kelestarian lingkungannya.
    Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau yang sangat banyak dan memiliki beberapa pulau besar. Sehingga dengan keadaan yang demikian membuat persebaran penduduk yang tidak merata, terutama untuk wilayah yang merupakan perkotaan. Banyak wilayah Indonesia yang sangat padat akan penduduk tetapi secara fisik lahan yang ada tidak mencukupi untuk sebuah hunian. Sehingga dari kepadatan penduduk yang tidah merata tersebut muncul berbagai permasalahan. Mulai dari permasalahan social, ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan fakta yang ada tersebut, untuk tetap mencukupi ketersediaan permukiman tersebut sudah seharusnya digunakan konsep urban vertical housing.Urban Vertical Housing(perumahan vertikal perkotaan) adalah bagian dari gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpisah yang berfungsi sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M2007). Urban Vertical Housing merupakan salah satu respon yang muncul dari permasalahan perkotaan dimana lahan yang terbatas namun bertolak belakang dengan kebutuhan hunian yang semakin meningkat pesat. Sehingga dengan menerapkan konsep tersebut pemenuhan kebutuhan dalam rangka membangun suatu kota dapat dilakukan dalam membangun fungsi ruang tersebut.

    BalasHapus
  75. Nama : Elizabet Trijayanti
    Nim : 12/331115/GE/07362
    Kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang yang ditinggal dipendasaan/ orang perantau untuk melakukan urbanisasi karena kota adalah puasat perekonomian. Urbanisasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan populasi penduduk menjadi bertambah. Contoh nyata bahwa kota telah memilki kepadatan ynag dapat dibilang tinggi adalah kota yogyakarta. Kota yogyakarta dikatakan sebagai kota pendidikan , hal ini yang menyebabkan banyak pendatang yang ingin mencari ilmu datang dan sebagian dari mereka melakukan urbanisasi untuk pilih tinggal diyogyakarta. Populasi penduduk ini yang bertambah menyebakan kebutuhan lahan untuk pemukiman banyak , sedangkan lahan yang tersedia pada perkotaan sangat terbatas. Dalam teori Chapin dan Kaiser (1997) bahwa kota harus yang memilki fungsi keruangan yang memadai. Fungsi keruangan kota yang dimaksud adalah mempunyai fungsi sebagai area kerja, area hiburan, dan area perumahan. Menurut saya kota yogyakarta sendiri belum memilki fungsi keruangan kota yang memadai karena tidak terdapat ruang terbuka hijau (RTH), hal ini seharusnya dimiliki oleh setiap daerah 30% untuk area terbuka hijau agar tercipta sustainable city . Area ini juga memilki manfaat untuk area hiburan yang di peruntukan untuk umum. Area pemukiman yang terdapat di daerah ini menurut saya kurang memadai karena banyak bangunan perumahan ynag ada di bantaran sungai, dan banyak bangunan rumah yang memilki lokasi kurang nyaman. Mengatasi permasalahan ini kebijakan yang mengatakan vertical housing sangat tepat karena untuk meminimlkan lahan pemukiman sehingga lahan yang tersisa dapat digunakan sebagai ruang terbuka hiajau.
    Pembangunan verical hosing dapat disesuikan oleh perekonomian masayarakat yang ada didaerah tersebut. Rusnawa/ rumah susun merupakan salah satu contoh dari pembangunan vertical housing yang dapat digunakan bagi masayrakat keals bawah – masyarakat kelas menengah atau pembanguna apartemen yang dapat digunakan oleh masyarakat kalangan menengah-atas. Pembanguan ini harus dipkirkan secara matang karena keadaan geografis yogyakarta yang memilki kemungkinan besar bencana alam yaitu gempa bumi dan gunung meletus. Dalam pembanguan mengaharuskan adanya bahan pokok yang kuat/ bangunan ynag tahan akan dampak gempa bumi atau mempunyai jalur efakuasi yang efisien jika suatu saat terjadi adanya bencana alam.
    Pembanguan vertical housing tidak jarang mendapat penolakan oleh masyarakat ini dikarenakan masyarakat mendapatkan kerugian jika marak diadakan pembangunan ini. Kerugian yang mereka kuatirkan adalah menurunnya pendapatan dari hasil penyewaan rumah / kontrakan / kos-kosan ynag diperuntukan untuk mahasiswa, penolakan ini tidak akan terjadi jika adanya sosialisai dengan baiak anatar perncana dengan masyrakat yang mengatakan adanya tujuan yang penting dalam bengunan vertical hosing. Perencana dalam membangun juga harus memperhatiakn keadaan alam lokal dan tetap harus memperhatikan keberlangsungan lingkungan sekitar agar terciptanya keseimbangan lingkungan. Vertical hosing boleh diterapkan tetapi juga harus memperhatikan peraturan daerah yang mengacu karena untuk menciptakan keindahan dan kerapian dalam penataan keruangan dalam kota.

    BalasHapus
  76. Elyana Rizqie Dhovairy
    12/331162/GE/07368
    Rapoport dalam Zahnd (1999; 4) mendefinisikan kota sebagai suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial. Definisi tersebut menyimpulkan bahwa perkmukiman/kota digambarkan sebagai objek yang mempunyai elemen-elemen (aspek sosial) yang mempengaruhi kegiatan yang ada didalamnya serta mempengaruhi tatanan fisik dari kota itu sendiri. Secara fungsional Chapin dan Kaiser mendifinisikan bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai area kerja, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection. kedua teori diatas menjelaskan bahwa aspek yang paling dominan adalah aspek sosial, sedangkan aspek fisik dan aspek lingkungan merupakan hasil dari aktivitas sosial masyarakat. sehingga, dengan demikian yang memiliki andil besar dalam mewujudkan sustainable city tersebut adalah masyarakat di kota itu sendiri yang ditunjang dengan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Kota-kota di Indonesia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menjadi sustainale city seperti yang dikemukakan oleh Chapin & Kaiser, jika saja RTRWK yang telah dibuat betul-betul dijadikan sebagai acuan dalam penataan ruang dan acuan pembangunan. Kendala saat ini, RTRWK, musrenbang, dan berbagai jenis regulasi penataan ruang hanya dijadikan sebagai dokumen untuk kebutuhan formalitas semata, sedangkan pada tahap implementasinya banyak sekali yang menyimpang dari regulasi tersebut.

    ketika melihat kondisi kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya serta kota-kota besar lainnya yang memiliki tingkat kepadatan pendusuk yg tinggi dan keterbatasan lahan, maka vertical housing menjadi hal yg urgent untuk dilakukan demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan tersedianya hunian yang layak. Konsep utama dari vertical housing yaitu sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan di daerah perkotaan atau daerah dengan tingkat kepadatan penduduk dan tingkat kebutuhan lahan permukiman yang tinggi. Keberadaan vertical housing pada dasarnya merupakan penaganan dari permasalahan keterbatasan lahan untuk pemenuhan kebutuhan hunian masyarakat. konsep ini menekankan pada vertical housing yang berorientasi pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. vertical housing dengan konsep ini menghasilkan output berupa pembangunan rumah susun yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah dan relokasi kawasan permukiman yang bermasalah.

    Konsep keberadaan vertical housing di kota-kota yang ada di Indonesia saat ini kemudian berkembang menjadi suatu konsep perkembangan budaya dimana vertical housing dijadikan sebagai gaya hidup seperti yang terjadi di negara-negara maju. Vertical housing yang dijadikan sebagai gaya hidup ini menghasilkan berbagai jenis hunian vertikal berkelas seperti apartemen, hotel, kondotel dan lain sebagainya. Vertical housing dengan konsep tersebut di Indonesia seringkali menuai banyak permasalahan, karena dianggap bertentangan dengan kebutuhan masyarakat, mengingat vertical housing jenis ini hanya dapat dijangkau oleh kalangan ekonomi menengah ke atas serta berbagai masalah lain yang berkaitan dengan penyalahgunaan fungsi lahan dan masalah lingkungan.
    Jika dikaitkan dengan teori mengenai fungsi kota yang dikemukakan Chapin & Kaiser, Menurut saya vertical housing pada dasarnya juga bisa dijadikan sebagai salah satu upaya menuju sustainable city asalakan penerapannya dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat yang diimbangi dengan penerapan manajemen pelestarian lingkungan.

    BalasHapus
  77. Lanjutan..
    Elyana Rizqie Dhovairy
    12/331162/GE/07368

    Strategi pembangunan vertical housing yang sesuai untuk kondisi kawasan perkotaan di Indonesia diantaranya adalah strategi manajemen lingkungan. Dalam hal ini strategi yang dapat digunakan adalah pembangunan vertical housing dengan cara mempersempit lahan yg digunakan untuk area permukiman dan memperluas lahan untuk ruang terbuka hijau. Dalam hal ini, vertical housing dapat di terapkan dalam hal relokasi permukiman kumuh, yaitu dengan menyediakan rumah susun bagi warga di kawasan permukiman kumuh tersebut. dengan demikian, kawasan permukiman kumuh tersebut dapat kembali pada fungsi aslinya. misal daerah sempadan sungai dll. Strategi lainnya yaitu Vertical housing untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat. dalam hal ini lebih ditekankan pada pembangunan rumah susun sesuai dengan fungsi utamanya yaitu untuk memecahkan masalah keterbatasan lahan di daerah perkotaan dan fungsi sosial yaitu untuk penyediaan permukiman yang layak bagi masyarakat yang perekonomiannya menengah kebawah. Dengan demikian, urgensi dari vertical housing dapat sesuai dengan tujuan utamanya yaitu untuk menangani permasalahan keterbatasan lahan guna memberikan fasilitas dan layanan bagi masyrakat.

    (+) Indonesia pada dasarnya tidak begitu membutuhkan adanya vertical housing jika saja pembangunan dan distribusi persebaran penduduk di Indonesia merata. Indonesia merupakan negara yang luas dan hingga saat ini masih memiliki lahan yang mampu untuk memenuhi kebutuhan lahan di Indonesia.

    BalasHapus
  78. Usil Riama
    12/330909/GE/07290


    Kota merupakan tempat kegiatan masyarakat yang sangat kompleks dengan permukiman yang cenderung padat yang telah mengalami proses interelasi antar manusia dan juga antar manusia dengan lingkungannya . saat ini kondisi kota sangat perlu untuk diperhatikan karena mengingat perkembangan kota yang terjadi sudah sangat carut marut (khususnya di Indonesia) tanpa ada penataan yang terstruktur. Hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat kenyamanan bagi penghuni kota – kota tersebut, karena kondisi yang kota tidak terstruktur. Hampir di seluruh kota – kota di Indonesia mengalami penurunan tingkat kenyamanan. Dimana dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai aspek tata kota, kualitas lingkungan serta transportasi yang memadai bagi penghuni kota – kota tersebut.
    Menurut saya agenda vertical housing sudah urgent untuk dilakukan. Hal ini mengingat bahwa pertambahan penduduk akan terus terjadi seiring dengan berjalannya waktu sedangkan ketersediaan lahan atau ruang untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal tidak bertambah sehingga vertical housing ini dapat dikatakan sebagai salah satu solusi untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal dengan ketersediaan lahan yang terbatas. Akan tetapi, adapun hal yang perlu diperhatikan yaitu mengenai kebijakan serta kualitas dari vertical housing itu sendiri. Penting adanya suatu kebijakan untuk mengatur adanya batasan – batasan pembangunan yang dilakukan dan juga pembangunan yang tetap memperhatikan lingkungan. Sedangkan untuk kualitas vertical housing, penting adanya karena hal ini bertujuan untuk tetap memberikan kenyamanan serta fasilitas yang memadai bagi penghuni vertical housing tersebut.
    Sedangkan menanggapi mengenai masalah penolakan masyarakat terhadap pembangunan apartement dan kondotel yangmana kedua bangunan tersebut termasuk bagian dari vertical housing kemungkinan dipengaruhi oleh ketidaksiapan masyarakat terhadap adanya apartement dan kondotel tersebut. Selain itu adapun persepsi masyarakat bahwasanya pem bangunan apartement dan kondotel tersebut cenderung memihak atau lebih menguntungkan pada pihak pengembang apabila dbandingkan dengan keuntungan masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi terhadap masyarakat lebih lanjut.

    BalasHapus
  79. Dwita Ayu Darmayanti (12/330881/GE/07283)
    Kota secara internal pada hakikatnya merupakan suatu organism, yakni kesatuan integral dari tiga komponen yang meliputi penduduk, kegiatan usaha dan wadah atau tempat ruang fisiknya. Ketiganya saling terkait dan saling mempengaruhi , oleh karena itu suatu pengembangan yang tidak seimbang antara ketiganya akan menimbulkan kondisi kota yang tidak positif, antara lain semakin menurunya kualitas hidup masyarakat kota. Dengan kata lain pengembangan kota harus mengarah pada penyesuaian lingkungan fisik ruang kota dengan pengembangan social dan kegiatan usaha masyarakat kota.( http://koeeko.wordpress.com/2010/10/28/pengertian-kotadesa-dan-permasalahannya/)
    Dapat di katakan pula bahwa kota adalah suatu habitat manusia yang merupakan lingkungan alam yang telah berubah drastis menjadi lingkungan buatan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.Seperti yang telah dikemukan Chapin dan Kaiser (1977), bahwasanya kota berfungsi menjadi tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan. Apabila ditanyakan apakah fungsi ruang kota yang ada di indonesia sudah sesuai dengan konsep Chapin dan Kaiser, tentu saja belum karena menurut saya fungsi ruang kota yang ada di indonesia masih melupakan fungsi ruang kota sebagai ruang terbuka perlindungan lingkungan.
    Sebagai contoh kota Yogyakarta yang dijuluki sebagai kota pelajar dan kota pariwisata memiliki permasalahan terkait dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh pencemaran udara yang semakin meningkat akibat semakin tingginya laju pertumbuhan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak, dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra- produktif dan individual sehingga menurunnya tingkat kepedulian terhadap lingkungan. Peningkatan kepadatan lalu lintas di Kota Yogyakarta juga berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat polusi udara, selain itu, masalah penurunan kualitas udara sehat dan bersih di Kota Yogyakarta juga disebabkan karena semakin berkurangnya pepohonan sebagai akibat dari adanya alih fungsi lahan menjadi kawasan budidaya baik untuk kawasan permukiman maupun kawasan komersial.
    Menurut saya vertical housing sangat penting dilakukan mengingat semakin terbatasnya lahan dan meningkatnya jumlah penduduk. Vertical housing sebaiknya diterapkan dengan strategi perencanaan yang benar-benar matang, memperhatikan lingkungan, serta dengan dasar kebijakan yang tegas dari Pemerintah Daerah agar tidak ada yang merasa dirugikan. Namun hal ini kembali kepada kebijakan pemerintahan daerah tersebut. Penerapan vertical housing diindonesia telah dilaksanakan dengan adanya apartemen dan rusunawa, namun kadang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuan/ rencana awal. Seperti halnya di Yogyakarta, terdapat kebijakan bahwa pemerintah kota tidak mengizinkan bangunan dikembangkan secara vertical, sebab bangunan yang tumbuh secara vertical menyebabkan kota Yogyakarta akan kehilangan identitas budayanya. Namun pada kenyataannya banyak hotel dan apartemen yang berdiri untuk memenuhi kebutuhan akan jasa penginapan mengingat Yogyakarta sebagai salah satu tujuan pariwisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal tersebut sangat membingungkan, sehingga seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap kebijakan yang telah dibuat.
    (Sumber buku : Perencanaan Pembangunan Kota dan Perubahan Paradigma, 2010)

    BalasHapus
  80. Elsa Puspaningtyas
    12/330799/GE/07250

    Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh stuasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara komprehensif . Namun beberapa unsur eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan kota. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota adalah :
    1. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul jalur transportasi, dipertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai, misalnya akan cenederung berbentuk setengah lingkaran, dengan pusat lingkaran adalah pelabuhan laut.
    2. Tapak (Site) merupakan faktor-faktor ke dua yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang berlokasi didataran yang rata akan mudah berkembang kesemua arah, sedangkan yang berlokasi dipegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota.
    3. Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi lainnya;
    4. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karekteristik fisik dan sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu.
    5. Unsur-unsur umum seperti misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota kearah tertentu.
    Kebutuhan lahan untuk permukiman di Indonesia terus meningkat seiring dengan perkembangan kota-kota yang sangat pesat. Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat mendorong kegiatan ekonomi juga berkembang, baik dalam bidang barang dan jasa. Akibat adanya peningkatan kegiatan ekonomi yang sangat pesat, maka akan terjadi beberapa perubahan fisik dari kota tersebut, salah satunya yaitu berubahnya kawasan permukiman menjadi kawasan pusat kegiatan ekonomi, dan membuat sedikitnya lahan yang tersedia untuk permukiman sistem landed housing.
    Berdasarkan data dari BPS kebutuhan perumahan Indonesia dalam jangka waktu 20 tahun mendatang meningkat hingga 31 juta unit. Menurut Direktur Utama Perum Perumahan Nasional Himawan Arief menjelaskan bahwa konsep vertical housing di Indonesia menjadi solusi untuk mensiasati keterbatasan lahan untuk kawasan permukiman, karena tren pembangunan di perkotaan di Indonesia menerapkan konsp kota terbuka, dimana pembangunan marak dilakukan di sepanjang jalan dengan bentuk horizontal. Menurutnya, Indonesia masih dalam tahap belajar untuk menerapkan konsep vertical housing, karena Jakarta termasuk dalam salah satu kota terburuk dalam penataannya.
    Vertical housing dapat diterapkan dalam bentuk pembangunan rumah susun. Menurut BPS, dengan menggunakan rumah susun, penyediaan lahan untuk vertical housing lebih hemat 430% dibandingkan dengan horizontal housing. UU No. 41/2009 yang menjelaskan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang mengatur daerah untuk memproteksi lahan. Sehingga, vertikal housing dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebutuhan lahan untuk permukiman, serta dapat menyelamatkan lahan pertanian yang harus diproteksi. Oleh karena itu, dibutuhkan kesepahaman antara pemerintah dengan masyarakat untuk menerapkan sistem vertical housing, terutama di perkotaan yang sangat padat untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan produktif.

    BalasHapus
  81. Septi Purnama Sari (12/330965/GE/07311)
    Seperti yang sudah dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser (1997) bahwa fungsi lokasi (ruang) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works areas, living areas, shopping and leisure-time/entertainment center areas, dan open space system and environmental protection, sehingga ketika suatu kota sudah berhasil menerapkan kotanya memiliki seluruh fungsi yang seperti dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser diatas, maka kota tersebut berhasil menjadi kota yang dinamis dan seimbang untuk memfasilitasi sekaligus memenuhi kebutuhan dan kehidupan masyarakatnya. kota yang penggunaan lahannya sudah sedemikian rupa, maka kota tersebut memiliki tingkat perkembangan yang lebih maju dibandingkan dengan kota-kota yang lainnya yang belum sepenuhnya menghadirkan fungsi ruang seperti yang dikemukakan oleh Chapin dan Kaiser, karena fungsi lokasi ruang yang dikemukakan oleh mereka memang sangat urgent dihadirkan di suatu kota karena seluruh fungsi tersebut merupakan kebutuhan dari seluruh masyarakat yang ada di perkotaan. Sementara untuk rata-rata kota besar di Indonesia belum begitu mampu menerapkan dengan baik fungsi-fungsi seperti yang dikemukakan Chapin dan Kaiser, sebab rata-rata kota di Indonesia belum memiliki keseimbangan antar fungsi lokasi ruang (penggunaan lahan) yang ada. Untuk di daerah pusat kota, mayoritas hanya difungsikan sebagai lahan-lahan terbangun dan sangat sulit saat ini ditemukan lahan terbuka di daerah pusat kota. Padahal pada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mensyaratkan Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Sehingga idealnya 30% lahan yang kita tempati merupakan lahan terbuka hijau. Namun kenyataannya hal ini belum dipenuhi oleh kota. Kota yang dapat saya contohkan adalah Semarang, dimana di Semarang sangat sulit ditemukan lahan terbuka hijau atau taman-taman di daerah kota. Yang ada hanyalah taman-taman kecil di tengah kota dimana keberadaannya kurang efektif karena luasnya yang terlalu kecil untuk dijadikan sebagai sebuah taman.
    Ruang terbuka sangat dibutuhkan agar warga bisa berkumpul, bersosialisasi, dan bergembira bersama-sama (Eko Laksono, 2013). Sehingga seharusnya taman-taman di kota harus memiliki luas dan suasana yang mampu memberikan rasa nyaman bagi masyarakatnya. Sementara kota yang memiliki ruang terbuka hijau berupa taman yang indah adalah taman Bungkul yang berkonsep “All in One Entertainment Park” (olahraga, pendidikan, dan hiburan). Taman ini sangat menyenangkan karena dilengkapi dengan akses internet gratis, sesuatu yang jarang ada di kota lain sehingga kota Surabaya ini dijadikan contoh bagi kota-kota lain di seluruh Indonesia.
    Banyak kota-kota besar di Indonesia yang belum mampu menghadirkan ruang terbuka hijau dengan baik dan efisien meskipun sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentnag peraturan ruang terbuka hijau. Banyak di daerah perkotaan yang saat ini sulit ditemui RTH sehingga penggunaan lahan yang ada menjadi kurang ideal karena yang ada justru semakin banyaknya lahan-lahan terbangun. Dengan kondisi seperti ini, maka sangat urgent bagi pemerintah untuk menerapkan kotanya dengan vertical housing dimana konsep pembangunan ini adalah meminimalkan kebutuhan lahan untuk dibangun. dengan konsep tempat tinggal secara vertikal, maka kebutuhan lahan untuk dijadikan lahan terbangun akan dapat diminimalisir sehingga inilah efisiennya dari konsep vertical housing. konsep ini sangat urgent dilakukan terutama untuk kota-kota besar di Indonesia yang mana pembangunan yang terus-menerus akan semakin mempersempit lahan perkotaan, sehingga vertical housing harus diterapkan. Strategi yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang lengkap bagi para penghuni dan tentunya hal yang paling penting adalah akses menuju lokasi kerja yang cepat karena lebih dekat tempat tinggal menuju tempat kerja tentu akan menghemat banyak waktu.

    BalasHapus
  82. Rizki Renes
    12/334149/GE/07405

    Pengertian kota menurut Prof. Drs. R. Bintarto adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Chapin dan Kaiser (1997) menyatakan bahwa dalam sistem jaringan kehidupan tersebut memiliki fungsi lokasi (ruang) dalam konteks sustainable city adalah sebagai work areas, living areas, shopping and leisure-time/entertaintment center areas, dan open space system and environtmental protection. Menurut European Commission (2009), sustainable city adalah kota yang mengkonsumsi sumber daya terbarukan tidak lebih cepat daripada kapasitas regenerasinya. Ia juga mampu berkontribusi pada penggantian sumber daya yang tidak terbarukan, khususnya melalui penghematan, penelitian, dan inovasi. Suatu kota diharapkan dapat memenuhi fungsi-fungsi yang sesuai dengan teori Chapin dan Kaiser karena fungsi-fungsi tersebut saling berkaitan dan merupakan kebutuhan dasar dari penduduk suatu kota dalam memenuhi kehidupan baik ekonomi, sosial, dan budaya.
    Kota Yogyakarta belum dapat memenuhi semua fungsi lokasi ruang tersebut. Fungsi yang belum terdapat pada kota Yogyakarta ialah pada fungsi open space system and environmental protection. Keterbatasan lahan yang ada di Kota Yogyakarta tidak sebanding dengan kebutuhan lahan bagi para penduduk yang semakin hari semakin bertambah. Dengan jumlah penduduk yang kian bertambah maka kebutuhan akan ruang khususnya untuk pemukiman semakin bertambah dan berakibat pada timbulnya pemukiman-pemukiman yang berada disekitar tempat kurang layak dan semakin sempitnya ruang. Dengan kondisi seperti ini mengingat akan semakin bertambah kebutuhan akan ruang maka vertical housing dapat dipertimbangkan untuk diterapkan pada kota ini karena dengan vertikal housing dapat menghemat atau mengurangi kebutuhan luasan ruang yang lebih luas karena pembangunannya yang ke atas dan ruang-ruang lainnya dapat digunakan untuk menambah ruang terbuka hijau mengingat Kota Yogyakarta tidak memiliki taman kota yang dapat digunakan sebagai open space system and environtmental protection. Tetapi, perlu dipertimbangkan juga dengan kondisi fisik lingkungan di Kota Yogyakarta seperti apakah tanahnya layak dan kuat untuk didirikan bangunan dengan konsep vertical houshing, apakah lokasinya sudah tepat, dll.
    Salah satu bentuk nyata dari vertical housing ialah keberadaan rumah susun. Menurut UU No.1 Tahun 2011 Pasal 22 Ayat 2 mengenai Perumahan dan Kawasan Permukiman, Yang dimaksud dengan “rumah susun” adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Dengan keberadaan salah satu vertical housing ini maka dapat menanggulangi keterbatasan ruang tetapi kebutuhan manusia akan ruang yang semakin meningkat. Keberadaan bangunan yang kurang layak dapat dikurangi ataupun dialihkan dan menggunakan ruang yang seharusnya merupakan ruang yang dapat digunakan untuk open space system and environtmental protection dapat dikurangi dan dapat terpenuhi kebutuhan akan ruang terbuka serta kepadatan akan bangunan dapar dikurangi karena pembangunannya tidak secara horizontal.

    BalasHapus
  83. lanjutan..
    Nah, untuk mewujudkan konsep tersebut maka beberapa strateginya adalah sebagai berikut:
    1. Perhitungan kebutuhan perumahan perkotaan yang rinci. Walaupun angka backlog kebutuhan perumahan perkotaan nasional sangat tinggi, tidak serta-merta dapat digeneralisir. Perlu adanya data mengenai berapa jumlah kebutuhan tempat bermukim bagi penduduk kelas atas, menengah, maupun yang berada di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian pembangunan vertical housing dapat disesuaikan jumlah dan jenisnya agar lebih tepat guna dan tepat sasaran.
    2. Jika dalam penerapannya membutuhkan relokasi karena ada sejumlah penduduk yang bermukim di atas lahan yang tidak semestinya, maka proses relokasi menuju rumah susun tersebut harus tetap memperhatikan aspek sosio-cultural. Sebagai contoh ialah rusun dekat Kali Code Jogja yang kini ditinggali oleh sekelompok masyarakat yang tadinya sudah lama hidup bersama dalam satu kampung di lingkungan bantaran kali code. Dengan demikian, sekelompok masyarakat yang direlokasi tetap merasa nyaman karena tidak perlu mengalami proses adaptasi yang cukup berat pada lingkungan barunya.
    3. Pembangunan vertical housing juga harus tetap memperhatikan aspek estetika, keamanan, dan ketahanan terhadap bencana sesuai dengan karakteristik wilayah perkotaan tersebut. Seperti halnya yang telah tertulis dalam Perda Kota Yogyakarta nomor 24 tahun 2009 tentang Bangunan Gedung, di wilayah administrasi Kota Yogyakarta hanya diperbolehkan membangun gedung dengan jumlah maksimal 10 lantai pada setiap unitnya.

    BalasHapus
  84. KARTIKA PANGAYOMAN
    12/331112/GE/07361

    Kota selalu tumbuh dan berkembang setiap tahunnya, salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Akibat dari perkembangan tersebut, kota membutuhkan lahan yang tidak sedikit demi terpenuhinya segala macam kebutuhan untuk menampung segala aktivitas masyarakat, seperti permukiman, pusat pelayanan dan jasa. Pembangunan di sebuah kota selalu diikuti dengan meningkatnya tuntuan akan lahan, hal ini menyebabkan bertambahnya lahan terbangun di kota. Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi menyebabkan perkembangan guna lahan serta tingginya kebutuhan pelayanan perkotaan bagi masyarakat. Semua kegiatan pembangunan membutuhkan tempat di atas tanah, sehingga diperlukan kebijakan penggunaan dan pemanfaatan tanah, maka pemerintah menerbitkan PP No. 16/2004 tentang Penggunaan Tanah dalam rangka melaksanakan Pasal 16 ayat (2) UU No. 24/1992 yang menyatakan perlu adanya ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah.
    Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk, kota tidak lagi sebagai ruang yang berfungsi untuk bekerja, ruang untuk hidup atau tinggal, pusat belanja dan menghabiskan waktu luang/pusat hiburan dan untuk ruang terbuka dan untuk melindungi lingkungan dalam konteks kota yang berkelanjutan seperti yang tertera dalam teori Chapin & Kaiser (1997). Perkembangan di perkotaan yang menyebabkan keterbatasan lahan akan berpengaruh pada tingginya harga lahan. Melonjaknya harga lahan menyebabkan semakin terpinggirkannya orang-orang yang berpenghasilan rendah. Mereka memilih tinggal jauh dari pusat kota, hal ini akan menyebabkan semakin besar pula pengeluaran mereka untuk dapat menjangkau pusat kota dimana mereka bekerja. Agar kota dapat memiliki fungsi seperti yang tertera dalam teori Chapin & Kaiser maka diperlukan penataan ruang kota.
    Direktur Utama Perum Perumahan Nasional (Perumnas) Hirmawan Arif dalam Metrotvnews.com, Jakarta (7/8/2014) menjelaskan bahwa konsep vertical housing atau hunian vertikal adalah solusi guna mensiasati masalah keterbatasan lahan untuk perumahan di perkotaan.
    Vertical housing dapat meningkatkan intensitas daya guna lahan, infrastruktur, perdagangan, perkantoran, rekreasi dan tempat tinggal. Dengan adanya vertical housing, waktupun dapat dimanfaatkan dengan optimal. Masyarakat hanya perlu berjalan kaki untuk sampai tempat tujuan, misalnya tempat bekerja yang berada di pusat kota. Vertical housing merupakan solusi bagi masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan dalam menjangkau pusat kota.

    BalasHapus
  85. MITRAWAN FAUZI
    12/334217/GE/07421

    Teori Vertical Housing (Chapin dan Kaiser, 1997) merupakan teori yang berkembang akibat terbatasnya lahan yang dapat digunakan dalam suatu daerah tertentu (khususnya perkotaan). Konsep Vertical Housing ini muncul disebabkan oleh permasalahan perkotaan dimana lahan yang terbatas namun bertolak belakang dengan kebutuhan hunian yang semakin meningkat pesat. Secara konsep, Vertical Housing adalah bagian dari gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki dan digunakan secara terpisah yang berfungsi sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Selain itu, penyebab munculnya Vertical Housing adalah kebutuhan akan tempat tinggal berbanding lurus terhadap bertambahnya populasi manusia, dan seperti tercantum dari data prediksi populasi manusia yang akan terus bertambah.

    Fakta-fakta yang mendukung akan Teori Vertical Housing ini di Indonesia adalah berkembangnya hunian bertingkat khususnya di daerah perkotaan/urban space (Jakarta dan Surabaya sebagai contoh) dampak dari kurangnya lahan dan mahalnya harga lahan dan rumah jika dibangun secara horizontal serta banyaknya penduduk yang menghuni kota-kota besar. Perkembangan hunian vertikal mengerucut menjadi model hunian apartemen yang cenderung mewah dan tuntutan gaya hidup/lifestyle masyarakat perkotaan dan rumah susun yang identik dengan kelas menengah kebawah yang mendapat subsidi dari pemerintah.

    Penerapan Vertical Housing di Indonesia melihat kondisi kota-kota di Indonesia saat ini belum seharusnya dilakukan oleh pemerintah (kecuali Jakarta dan Surabaya). Hal ini dikarenakan masih banyaknya lahan yang dapat digunakan sebagai hunian akan tetapi kendalanya ada pada masalah harga lahan yang tinggi. Selain itu salah satu penyebab Vertical Housing ini adalah populasi penduduk yang padat. Hal ini dapat diatasi dengan pemerataan penduduk ke daerah pedesaan atau daerah yang lebih jarang penduduknya. Jadi, penerapan Vertical Housing belumlah urgent untuk dilakukan saat ini di Indonesia (kecuali Jakarta dan Surabaya).

    Fungsi ruang kota di Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan teori Chapin dan Kaiser (1997). Hal ini disebabkan karena masih timpangnya perkembangan kota sehingga ruang kota tidak sesuai dengan fungsinya. Perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya tidak memperhatikan Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) yang menyebabkan adanya ketidakstabilan/ketimpangan perkembangan kota.

    BalasHapus
  86. Nama :RahmaFitriayu Sari
    NIM : 12/330991/GE/07322
    menaggapi problem penolakan........
    Terkait perihal penolakan masyarakat terhadap adanya pengembangan apartemen atau sejenisnya, menurut pandangan saya, pada dasarnya masyarakat memang kurang suka dengan adanya vertical housing, termasuk rumah susun, terutama apartemen atau kondotel. Hal ini karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa sejak dahulu mengenal dan menggunakan rumah joglo sebagai model huniannya, beserta teras milik sendiri serta halaman rumah sendiri, meskipun bangunannya sederhana. Kemudian, terkait dengan fasilitas sendiri, keberadaan apartemen atau kondotel ini di beberapa tempat cenderung menyebabkan sumber air tanah di sekitar berkurang dan berdampak pada cadangan air tanah masyarakat sekitar, seperti yang dikemukankan Mbak Diana. Mungkin hal ini dapat diatasi dengan menggunakan air PAM atau dapat pula seperti sumur air yang dikemukakan oleh Mbak Diana. Selain itu mungkin pembuangan sampah rumah tangga jangan sampai menggganggu masyarakat sekitar. Pengembang rasanya perlu juga melakukan analisis dampak lingkungan serta mendiskusikannya bersama tokoh masyarakat setempat. Hal ini seperti yang disampaikan oleh masyarakat Kelurahan Bintaro yang baru-baru ini menolak adanya pembangunan apartemen dikarenakan Belum ada analisis dampak lingkungan akibat belum adanya diskusi dan musyawarah dengan warga dari RT 01 satu sampai 03 di RW 03 Bintaro. Selain itu warga merasa terganggu dengan proyek pengerjaan paku bumi yang dilakukan setiap malamnya. Saya rasa hal yang paling memberat kan masyarakat sekitar apartemen adalah dari aspek lingkungan dan kenyamanan selama proyek berlangsung, di samping masyarakat pemilik tanah yang berhubungan langsung dengan pengembang. Khusus untuk masyarakat pemilik tanah, mungkin masalahnya adalah pada ganti rugi yang diberikan. Karena pengembang akan membuat bangunan dengan beberapa lantai, sementara masyarakat pemilik lahan memiliki sepetak lahan dan harganya tentu tidak bias disamakan dengan harga tanah untuk kepentingan di luar pembangunan apartemen. Sehingga mungkin pengembang perlu untuk mengembangkan solusi mengatasi keberadaan air tanah yang akan semakin berkurang. Perlu pula menambahkan agar pembuangan limbah rumah tangga tidak sampai merugikan warga sekitar. Namun, bila kendala kendala di atas tersebut sudah dipenuhi namun masyarakat tetap menolak, dapat dianalisis bahwa masyarakat di wilayah tersebut kurang siap terhadap pembangunan apartemen atau kondotel, mungkin dari segi social karena ada kesenjangan social atau hal lainnya. Semestinya masyarakat mendukung adanya pembangunan ini, karena seperti apapun bentuknya, vertical housing cukup memberikan dampak positif bagi optimalisasi pemanfaatan ruang. Pemahaman inilah yang perlu diberikan kepada masyarakat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sumber bacaan: http://beritajakarta.com/read/4108/Warga_Bintaro_Tolak_Pembangunan_Apartemen#.VA8T_kC__IV

      Hapus
  87. Irene Caroline S.
    (12/330826/GE/07261)
    Kota yang baik dan sesuai untuk masyarakat di dalamnya adalah kota yang dapat mendukung aktivitas masyarakat di dalamnya secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga meningkatkan kesejahteraan sampai mendukung perekonomian kota atau wilayah. Kegiatan masyarakat meliputi bekerja, rekreasi, tempat tinggal, dll. Tetapi, semakin berkembang suatu kota maka akan menjadi masalah tersendiri bagi kota tersebut. Kota yang bertumbuh dan berkembang menjadi kota besar dapat menjadi kota tujuan bagi para urban dan pendatang ke kota besar dengan harapan agar dapat hidup dengan lebih baik dibanding di kota asal mereka, yang disebut sebagai daya tarik kota itu sendiri. Semakin banyaknya penduduk yang tinggal sementara atau bahkan menetap di kota besar akan meningkatkan permintaan akan adanya tempat tinggal, sedangkan semakin banyaknya permintaan akan lahan untuk permukiman tidak dapat diimbangi dengan adanya ketersediaan lahan yang dimiliki oleh kota besar tersebut. Contohnya adalah kota Jakarta yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan menjadi kota penumpu dari kota lain disekitarnya menarik para pendatang untuk menetap dengan keperluan untuk bekerja, dll. Dampak yang ditimbulkan dari para pendatang adalah bertambahnya kawasan permukiman di kota Jakarta, karena lahan terbatas, maka sebagian pendatang memilih untuk tinggal di kawasan kumuh atau liar yang semakin memperburuk keadaan di kota Jakarta dan kota besar lainnya. Tindakan kriminalitas dan adanya penurunan kualitas lahan serta air pun semakin marak terjadi akibat lahan yang terbatas untuk perumahan, sedangkan penggunaan lahan tidak hanya untuk permikiman saja, tetapi untuk pemanfaatan pembangunan lain, seperti ruang hijau terbuka, taman kota, sekolah, gedung pemerintahan, dll. Masalah tersebut dapat diatasi dengan adanya konsep vertical housing yaitu pembangunan perumikiman ke arah atas atau bertingkat, karena selama ini permukiman di Indonesia sebagian besar berkembang secara menyebar atau ke samping. Pemerintah mengaharpkan, dengan berkembangnya vertical housing dapat membantu memenuhi kebutuhan permukiman untuk seluruh masyarakat, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah, seperti rumah susun.
    Pembangunan permukiman secara vertikal sangat urgen atau penting dilakukan di Indonesia, terutama di seluruh kota-kota besar seperti Jakarta yang memiliki keterbatasan lahan sehingga dapat memenuhi kebutuhan papan masyarakat di dalamnya. Permukiman vertikal sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan kondisi lahan yang dimiliki setiap kota, karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan penggunaan yang berbeda pula, seperti di kota Yogyakarta yang pembangunannya tidak boleh melebihi delapan lantai karena merupakan daerah vulkanik rawan gempa, yang ditunjukkan adanya gunung Merapi yang masih aktif. Pengadaan pembangunan permukiman vertikal di Indonesia sebaiknya dilakukan berdasarkan evaluasi lahan setiap daerah dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku di kota tersebut agar pembangunan dapat berhasil dilakukan untuk pengembangan masyarakat secara berkelanjutan.

    BalasHapus
  88. Yunita Dyah N (12/334379/GE/07468)
    Menurut Bintarto, 1987 kota dalam tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah di belakangnya.
    Melihat pada teori yang diungkapkan oleh chapin & Kaiser (1997) yang menyebutkan bahwa fungsi lokasi (ruang ) kota dalam konteks sustainable city adalah sebagai works area, living areas, shopping and leisure- time/ entertaiment center areas, open space system and enviromental protection. Apabila melihat dari kondisi kota- kota yang ada di Indonesia saya rasa belum sesuai dengan teori tersebut. Kota- kota besar di Indonesia yang ada lebih banyak berfungsi sebagai area bekerja, area untuk tempat tinggal, area pusat perbelanjaan dan tempat hiburan. Sedangkan fungsi kota sebagai system ruang terbuka dan perlindungan bagi lingkungan saya rasa masih dikesampingkan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. hal ini dapat terlihat dari sedikitnya ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kota yang tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 26/2007 yang menyebutkan bahwa RTH setidaknya bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30 % dari ruang atau wilayahnya untuk RTH, dimana 20 % diperuntukan bagi RTH publik yang merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, serta 10 % diperuntukan bagi RTH private pada lahan-lahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat. namun apabila melihat dari keadaan pada lapangan pada kota- kota besar yang ada RTH yang ada cenderung tidak mencapai 30 % dari luas area yang dimiliki. RTH sendiri memiliki fungsi sebagai perlindungan bagi lingkungan. Dengan tidak adanya RTH pada daerah perkotaan maka perlindungan bagi perkotaan sendiri saya rasa tidak ada. Yang terjadi pada sebagian besar kota yang ada di Indonesia adalah RTH yang ada lebih banyak berganti fungsi sebagai area- area komersil yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
    Chapin dalam Soekonjono 1998 menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang mempengaruhi terhadap tuntutan kebutuhan ruang yang kemudian menyebabkan perubahan penggunaan laha yaitu; adannya perkembangan penduduk dan perekonomian, serta pengaruh sistem aktivitas, sistem pengembangan, dan sistem lingkungan. Indonesia memiliki perkembangan penduduk dan perekonomian yang cukup tinggi. perkembangan penduduk di Indonesia apabila melihat ada sensus penduduk dari tahun ke tahun meskipun mengalami penurunan namun pertumbuhan penduduk dirasa masih cukup tinggi. sedangan pekembangan perekonomian juga terus meningkat dapat dilihat dari banyaknya investor asing maupun lokal yang mendirikan pabrik- pabrik di Kota- kota besar. Sistem aktivitas yang terpusat pada kota serta sistem pengembangan wilayah yang tidak merata seperti pada aksesbilitas menyebabkan investor lebih memilih menanamkan modalnya pada kota- kota besar yang sudah memiliki aksesbilitas dan fasilita- fasilitas yang memadahi. Hal- hal tersebut menyebabkan adanya pemusatan pada daerah perkotaan sehingga area- area yang seharusnya dapat dimanfaatkan sbagai ruang tebuka dan pelindung lingkungan dirubah menjadi area- area komersil yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

    BalasHapus
  89. Lanjutan...

    Yunita Dyah N (12/334379/GE/07468)
    Disisi lain perkembangan penduduk yang cukup pesat di Indonesia mendorong tingginya permintaan terhadap tempat tinggal padahal lahan yang ada lebih banyak diggunakan untuk kegiatan- kegiatan perekonomian karena hal tersebut muncul lah konsep vertical housting. Konsep ini menurut saya menerapkan konsep rumah yang dibangun keatas untuk mengatasi permintaan tempat tinggal yang tinggi namun lahan yang ada terbatas. Contoh dari vertical housing adalah apartemen, rusunawa, kondotel. Urgensi dari pembangunan vertical housing menurut saya disesuaikan dengan kondisi masing- masing wilayah karena kota satu dan lainnya yang ada di Indonesia memiliki kondisi yang berbeda- beda. Di Jakarta misalnya banyaknya jumlah penduduk yang tinggal disana serta keterbatasan lahan yang ada maka vertical housing sangat diperlukan hal ini juga untuk mengatasi semakin banyaknya slum area yang dapat menganggu lingkungan karena didirikan dibantaran sunga, dipinggir waduk, dll. Sedangkan pada kota- kota yang masih memungkinkan dilakukanya pemerataan pembangunan sebaiknya vertical housing didirikan seminimal mungkin. misalnya pada kota- kota kecil yang baru akan berkembang, hal ini selain dapat mempengaruhi keadaan kultural dan sosial yang ada pada masyarakt kota tersebut serta pemertataan pembangunan antar wilayah sekitarnya.
    Pembangunan vertical housing seperti dua sisi mata uang. Satu sisi vertical housing mulai dibutuhkan pada kota- kota besar seperti jakarta, bandung, surabaya namun di sisi lain masyarakt pada beberapa kota belum siap menerima adanya vertical housing seperti yang terjadi di Yogyakarta dimana banyak terjadi penolakan terhadap pembangunan vertical housing. Maka strategi penerapan vertical housing yang tepat menurut saya adalah melihat pada kebutuhan dari kota itu sendiri. Selain itu pembangunan vertical housing seharusnya tidak banyak dipusatkan pada pembangunan aparteman yang ditujukan pada kalangan menengah keatas namun sasaranya lebih kepada kalangan menengah kebawah untuk mengatasi menjamurnya slum area pada kota besar yang berdampak pada lingkungan. Pembangunan dari vertical housing sendiri juga harus memperhitungkan pada lingkungan bagaimana kondisi ari tanah, kondisi lingkunagn sekita, kondisi masyarakta sekitarnya, izin, melihat pada RTRW, dan sebagainya. Kajian lingkungan sangat penting dalam pembangunan vertical hosing agar pembangunan vertical housing dapat sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat.

    BalasHapus
  90. ADITYA HERMAWAN SIREGAR
    12/334212/GE/07417

    Kehidupan kota besar di Indonesia, semakin tidak nyaman akibat dari meningkatnya kepadatan penduduk, kurangnya wilayah hijau dan ruang-ruang terbuka, dan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dengan cepat. Oleh karena itu, masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang terkendali. Kelangkaan prasarana dan sarana dasar, ketidakmampuan memelihara dan memperbaiki lingkungan permukiman, baik secara fungsional, maupun visual wujud lingkungan, merupakan isu utama bagi upaya menciptakan lingkungan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Hal ini merupakan prinsip utama pembangunan perkotaan yang harus ditingkatkan dan diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana umum tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan usaha dan lingkungan kerja, serta kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien dan tercipta lingkungan yang sehat, rapi, aman, dan nyaman.

    Menurut Chapin dan Kaiser (1979, dalam Priyandono,2001:5) kebutuhan penggunaan lahan dalam struktur tata ruang kota/wilayah berkaitan dengan 3 sistem yang ada :
    a) Sistem kegiatan, manusia dan kelembagaannya untuk memenuhi kebutuhannya yang berinteraksi dalam waktu dan ruang.
    b) Sistem pengembangan lahan yang berfokus untuk kebutuhan manusia dalam aktivitas kehidupan.
    c) Sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik dengan air, udara dan material.

    Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 %, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Tingginya tingkat urbanisasi ini, membutuhkan jenis perumahan khusus yang tidak hanya dibangun secara horizontal, tetapi juga vertikal, dengan mekanisme pembiayaan khusus. Mekanisme pembiayaan khusus ini, antara lain dapat dilakukan dengan memberikan suku bunga yang affordable atau bisa dijangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.

    Urbanisasi yang berjalan pesat ini juga menimbulkan beban tinggi pada lingkungan dan berakibat turunnya kualitas lingkungan kehidupan perkotaan. Hal ini menuntut semua pihak untuk memulai menerapkan prinsip pembangunan perumahan dan rumah susun yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi dampak terhadap perubahan iklim global. Aplikasi konsep green design dan green building, termasuk diantaranya bangunan dan kawasan perumahan yang hemat energi dalam sebuah eco-zone atau eco-city perlu diupayakan untuk memberikan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan identitas bagi warga penguhuninya.

    Vertical housing karena sifatnya yang dibangun secara vertikal dan dihuni bersama dalam jumlah relatif besar di lokasi yang relatif sempit, dapat menjadi pilihan baru sebagai salah satu instrumen untuk membentuk struktur tara ruang perkotaan dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi (high density development) dan memberikan pilihan baru untuk mengarahkan pola pengembangan kota dan wilayah sekitarnya dalam suatu pola pengembangan yang lebih dinamis sesuai dengan tuntutan kebutuhan.

    BalasHapus
  91. Lanjutan....

    Selain itu perlu adanya pertimbangan akan daya tampung dan daya dukung wilayahnya. Kawasan perumahan melebihi daya tampung dan daya dukungnya, menghadapi dampak saling keterkaitkannya dengan kawasan lain disekelilingnya, serta masalah keterpaduannya dengan sistem prasarana dan sarana, baik perkotaan maupun perdesaan, sehingga diperlukan solusi alternatif melalui pembangunan dengan konsep vertical housing atau rumah susun. Hal ini dilakukan untuk menghindari dampak dari menurunnya daya dukung lingkungan seperti meningkatnya lingkungan permukiman kumuh pertahunnya.

    Dalam konteks tersebut berarti bahwa pembangunan rumah susun telah secara tidak langsung mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup atau telah secara tidak langsung menerapkan prinsip berkelanjutan untuk menjamin keutuhan, keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan.

    Pembangunan perumahan dan rumah susun merupakan satu program/kegiatan yang dapat mengubah bentuk lahan dan lingkungan. Pembangunan perumahan dan rumah susun juga mempunyai dampak penting tidak hanya terhadap lingkungan hidup secara fisik, tetapi terhadap perubahan kultur berkehidupan suatu komunitas pada wilayah tersebut. Untuk itu Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi kewajiban yang harus dipenuhi sebelum pembangunan perumahan dan rumah susun dilakukan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 22 bahwa ‘setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal’.

    Pembangunan rumah susun, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan, merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus. Pengelolaan pembangunan rumah susun harus senantiasa memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut. Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan, disamping dampak pembangunan rumah susun terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya dukung lingkungannya yang harus senantiasa dipertimbangkan.

    Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan, pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar arah perkembangannya tetap selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN.

    Vertical housing tersebut permasalahan selain menyangkut fisik juga terkait dengan penataan ruang. Di dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung.

    BalasHapus
  92. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  93. Elson G. Budi Susilo 12/334136/GE/07402

    Ruang adalah objek kajian utama dalam ilmu geografi. Dewasa ini, ruang dipandang bukan hanya sebagai sesuatu yang dijadikan tempat hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, melainkan juga sebagai suatu sumberdaya yang dapat memberikan dan mendukung penghidupan. Sayangnya (atau untung?), kini ruang sebagai sumberdaya--terutama di kawasan perkotaan--sama berharganya seperti sumberdaya-sumberdaya lain yang bersifat nonrenewable (tidak terbarukan). Hal tersebut dapat dilihat dari semakin melejitnya harga ruang-ruang untuk penghidupan di kawasan urban.

    Keadaan mulai terbatasnya ruang sebagai sumberdaya ini membuat ranah perencanaan ruang/wilayah/kota semakin dipandang sebagai ranah yang dapat berkontribusi maksimal dalam menyiasati persoalan ini. Berbagai macam ide dan gagasan baik yang bersifat konvensional ataupun memiliki unsur-unsur terobosan pun bermunculan. Salah satu yang sedang marak dibicarakan adalah konsep hunian vertikal (vertical housing).

    Hunian vertikal sebenarnya bukanlah konsep yang benar-benar baru, karena penerapannya sudah banyak dilakukan terutama di negara-negara dengan wilayah yang tidak begitu luas dan/atau di negara-negara dengan perekonomian baik. Namun, ketika "dibawa" ke Indonesia, konsep ini seperti sebuah benda asing yang masyarakat sebagai objek tanggung jawab pemerintah enggan mengenalnya. Pertanyaan paling rasional yang mungkin timbul adalah, mengapa?

    Penerapan konsep hunian vertikal di Indonesia bukan hanya berbicara dalam aspek keruangan dan menyiasatinya, tetapi juga berbicara dalam koridor kultur dan kebiasaan. Rakyat Indonesia merupakan sekelompok masyarakat yang bersifat interaktif, membutuhkan orang lain sebagai kawan walau hanya sekedar untuk ngobrol, dan terbiasa dengan kolektivisme (lawan individualisme?). Bahkan, interaksi sesama tersebutlah yang mendasari timbulnya kesamaan rasa dan cita-cita yang akhirnya membawa bangsa ini bisa terbebaskan dari penjajahan. Sedangkan konsep hunian vertikal yang telah berhasil dilaksanakan di negara-negara lain selalu identik dengan individualisme karena penghuninya yang lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan pekerjaan dan hanya memfungsikan rumah mereka sebagai "tempat singgah" untuk beristirahat, bukan tempat untuk berpulang. Oleh karena itu, wajar apabila hadirnya konsep hunian vertikal ini mengakibatkan culture shock bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa hidup landed yang kemudian selalu membentuk suatu komunitas kemasyarakatan seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga.

    Terlepas dari apapun konsekuensi yang akan dialami oleh masyarakat Indonesia terhadap konsep hunian vertikal yang nampaknya kini sedang digalakkan oleh pemerintah-pemerintah kota (Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta contohnya), hunian vertikal--mau tidak mau--harus diakui adalah jalan keluar bagi permasalahan terbatasnya sumberdaya ruang yang sedang terjadi saat ini.

    BalasHapus
  94. Heni Ma'rifah
    12/330896/GE/07286

    Menanggapi tentang penolakan apartemen atau kondotel. Saya setuju dengan pendapat teman teman bahwa masyarakat di Indonesia masih memiliki nilai nilai budaya yang tinggi. Masyarakat yang masih memiliki budaya yang tinggi tidak begitu suka dengan adanya kondotel dan apartemen. Hal tersebut dikarenakan apartemen atau kondotel hanya dimiliki oleh masyarakat dengan ekonomi menengah keatas dan bukan penuduk asli. Masyarakat yang asli malah terkadang tergusur dan merasa dirugikan dengan adanya pembangunan kondotel atau apartemen. Selain dari segi budaya, keadaan lingkungan juga harus diperhatikan. Masyarakat merasa dirugikan karena air dan RTH yang berada di sekitar apartemen atau kondotel akan terus berkurang. Ketersedian hunian menyebabkan banyak pendatang dari luar daerah sehingga menyebakan kepadatan. Permasalahan hunian dapat diatasi tetapi menimbulkan permasalahan baru berupa kemacetan lalu lintas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika boleh saya bertanya, Heni, apa hubungan antara masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dengan ketidaksukaan mereka terhadap keberadaan kondotel dan apartemen? Apakah hanya karena kondotel dan apartemen identik dengan gaya hidup bagi mereka dengan kelas sosial tinggi kemudian masyarakat tersebut langsung menghakimi atau bagaimana? Karena jika begitu, menurut saya itu justru tidak menunjukkan masyarakat yang berbudaya.

      Hapus
  95. Ulfatun Ni’mah
    (12/333965/GE/07386)
    Kondisi kota di Indonesia cenderung memiliki pola yang terkonsentrasi di beberapa wilayah saja. Terdapat beberapa kota yang lebih berkembang dibanding kota lain di sekitarnya. Keenam fungsi lokasi ruang kota seperti yang disebutkan Chapin dan Kaiser masih dapat terpenuhi di beberapa kota kecil dan menengah. Namun, keenam fungsi tersebut belum tentu dapat dipenuhi oleh kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Samarinda, Semarang, Bandung, Medan dll. Kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami keterbatasan ruang yang kemudian menyebabkan tidak terpenuhinya satu atau dua dari enam fungsi lokasi ruang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pola perkembangan wilayah di Indonesia yang kurang merata. Perkembangan wilayah cenderung banyak terpusat di kota-kota besar tersebut. Kota-kota besar cenderung sangat padat penduduk. Ketersedian fasilitas dan kegiatan ekonomi yang lebih beragam menjadi magnet tertariknya manusia ke kota besar tersebut. Kota besar yang padat penduduk belum mampu memenuhi keenam fungsi lokasi ruang kota yang dikemukaan Chapin dan Kaiser. Kota cenderung hanya mampu memenuhi empat fungsi lokasi ruang kota yaitu living areas, work areas, shopping and leisure time/entertainment center areas. Sedangkan fungsi open space system dan environmental protection cenderung belum terpenuhi. Terkadang ruang untuk “hidup” dalam pengertian kepemilikan bangunan rumah masih kurang, hingga terdapat lokasi-lokasi pemukiman kumuh yang berdesak-desakan hingga banyak yang menjadi gelandangan tidak memiliki tempat tinggal. Selain kebutuhan rumah yang tinggi akibat padatnya jumlah penduduk, ruang yang ada digunakan untuk pembangunan infrastruktur umum seperti kantor, jalan, pasar, dll. Hal ini menyebabkan fungsi open space system dalam bentuk ruang publik , ruang terbuka hijau, maupun fungsi environmental protection belum mampu tercapai. Padatnya pemukiman terkadang juga menggunakan lahan di sekitar bantaran sungai. Hal ini menjadi bentuk belum tercapainya environmental protection.
    Adanya desakan kebutuhan ruang untuk hidup di kota besar menimbulkan pembangunan rumah susun. Rumah susun merupakan salah satu alternative untuk mengatasi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Rumah susun tidak hanya diindikasikan dengan lokasi permukiman bagi kalangan menengah ke bawah, tapi juga dapat digunakan untuk kalangan menengah ke atas, yaitu berupa apartemen. Berdasarkan UU No. 21 Pasal 2 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, penyelenggaraan rumah susun berasaskan pada:
    a. kesejahteraan;
    b. keadilan dan pemerataan;
    c. kenasionalan;
    d. keterjangkauan dan kemudahan;
    e. keefisienan dan kemanfaatan;
    f. kemandirian dan kebersamaan;
    g. kemitraan;
    h. keserasian dan keseimbangan;
    i. keterpaduan;
    j. kesehatan;
    k. kelestarian dan berkelanjutan;
    l. keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan; dan
    m. keamanan, ketertiban, dan keteraturan.
    Namun, pada kenyataannya kondisi lingkungan rumah susun, khusunya rumah susun untuk kalangan menengah ke bawah belum mampu memenuhi asas kesehatan, kelestarian dan keberlanjutan, serta keselamatan, kenyaman, dan kemudahan. Misalnya saja kasus keterbatasan air di salah satu Rusunawa di DKI Jakarta (sumber : http://www.merdeka.com/jakarta/pengelolaan-air-di-rusunawa-tumpang-tindih-warga-kesulitan.html). Maka dari itu keberadaan vertical housing membutuhkan penangan dan pengelolaan yang berkelanjutan agar kondisi lingkungan di sekitar tetap terjaga baik. Sedangkan untuk kota menengah dan kota kecil yang ada di Indonesia cenderung belum membutuhkan pembangunan rumah susun karena ketersediaan ruang yang masih ada untuk memenuhi enam fungsi lokasi ruang kota berdasarkan Chapin dan Kaiser.

    BalasHapus
  96. Mengenai permasalahan yang ditunjukkan oleh kenyataan terkait dengan pembangunan hunian vertikal di Kota Yogyakarta, menurut saya ini sudah berada pada ranah yang berbeda dari konsep hunian vertikal yang saya bicarakan di atas, karena yang membawa masalah sebenarnya bukanlah hunian vertikal-nya, tetapi komersialisasi ruang. Saya sepakat dengan fakta bahwa hotel/apartemen/kondominium yang marak dibangun di Yogyakarta adalah bagian dari hunian vertikal, namun itu tidak sejalan dengan konsep dari hunian vertikal itu sendiri. Karena konsep hunian vertikal seyogyanya lahir untuk menyelamatkan ruang sebagai sumberdaya agar tidak habis tereksploitasi, namun pembangunan hotel/apartemen/kondominium itu menurut saya justru memperparah kondisi keterbatasan ruang dengan mengomersialisasikan ruang tersebut. Itulah mengapa pembangunan hotel/apartemen/kondominium--yang memang termasuk dalam koridor hunian vertikal--mendapat reaksi keras dari warga Yogyakarta yang terbiasa hidup damai berdampingan dengan tetangga yang "njawani". Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana harus hidup berdampingan dengan gedung tinggi yang penghuninya saja tidak tetap. Jadi, reaksi keras mereka menurut saya lebih ke arah ketidaksiapan terhadap kondisi baru yang harus mereka alami pasca pembangunan hunian vertikal komersial tersebut, bukan penolakan terhadap konsep hunian vertikal itu sendiri.

    BalasHapus
  97. Amatullah Mufidah
    12/332940/GE/07375

    teman-teman saya sudah banyak menjelaskan berbagai permasalahan yang banyak ditemukan di sebagian besar kota-kota yang ada di Indonesia. dimulai dari perkembangan yang pesat akibat berkembangnya sektor jasa dan perdagangan, kebutuhan akan ruang yang semakin meningkat sedangkan angka kelahiran dan jumlah penduduk semakin bertambah. hal paling utama yang dibutuhkan manusia atau yang menjadi kebutuhan pokok adalah sandang, pangan dan papan. bila ruang semakin terbatas maka akan semakin sulit bagi penduduk untuk dapat memenuhi salah satu kebutuhan pokoknya, yakni papan.

    menurut UU no 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, permukiman merupakan lingkungan diluar kawasan lindung, baik di desa maupun kota, yang memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat tinggal hunian dan tempat kegiatan mendukung penghidupan dan perikehidupan. kebijakan perumahan yang ada di Indonesia adalah penduduk memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumahnya, sedangkan peran pemerintah dalam penyediaan rumah sangat kecil. hal inilah yang kemudian menjadikan tidak adanya regulasi yang jelas dalam membangun rumah dan terciptanya lingkungan permukiman yang tidak teratur, liar dan bahkan kumuh seiring semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

    perumahan vertikal menjadi salah satu alternatif dikarenakan perumahan ini ditekankan untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah hunian masyarakat dengan mengefisiensikan lahan yang ada. conohnya adalah rumah susun (rusun). keberadaan rusun ini dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan menengah-kebawah.

    Menurut Wakil Ketua DPD REI Jateng Bidang Promosi, Publikasi, Pameran dan Humas, Dibya K Hidayat, perumahan vertikal dapat menekan efisiensi penggunaan lahan.(http://ekbis.sindonews.com/read/863951/34/pembangunan-hunian-vertikal-di-semarang-jadi-solusi)

    BalasHapus
  98. Amatullah Mufidah
    12/332940/GE/07375

    mengenai adanya penolakan masyarakat Yogyakarta terkait dengan pembangunan hotel serta kondominium yang semakin marak, saya setuju dengan pendapat teman diatas saya (Elson). penolakan yang dilakukan masyarakat terkait pembangunan hotel lebih dikarenakan hotel dan condotel/condominium yang ada bukanlah diperuntukan untuk masyarakat dan penduduk sekitar. melainkan untuk menarik dan menjadi 'hunian sementara' turis yang datang berkunjung dan berwisata di Yogyakarta.

    terlihat dari definisi hotel sendiri dalam Peraturan Walikota Yogyakarta No77 tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel, 'hotel merupakan merupakan fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan...'. hal inilah yang kemudian mencemaskan masyarakat sekitar, hal ini mungkin dapat sedikit dijelaskan dengan sindrom NIMBY (Not In My Backyard). hal yang sering ditemukan adlaah masyarakat takut pembangunan tersebut akan merusak lingkungan sekitar permukiman mereka,s elain itu hal ini akan menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebar dimana keuntungan dari adanya hotel tersebut hanya dirasakan segelintir pemilik hotel dan tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

    BalasHapus
  99. Handaru Aditya K
    12/334237/GE/07431

    Fungsi Kota Menurut Chapin dan Kaiser (1997) sebagai sebuah konsep sustainable city menurut saya sangatlah tepat dimana ruang yang ada di kota berfungsi tidak hanya menjadi pusat-pusat perekonomian maupun pusat yang lainnya melainkan juga sebagai enviromental protection atau pelindung lingkungan dan open space atau ruang terbuka, hal inilah yang menurut saya cukup menarik dari teori ini. Hal ini berkaitan dengan makin berkurangnya kualitas lingkungan yang ada di daerah perkotaan dari tahun ke tahun membuat teori ini sangat lah menarik. Kaitannya dengan Makin terbatasnya ruang yang ada di daerah perkotaan sebagai dampak dari makin berkembangnya suatu kota yang dimana penduduk serta kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat membuat banyak sekali kota-kota yang ada di indonesia belum sepenuhnya mempunyai fungsi ruang yang disebutkan oleh CHapin dan Kaiser (1997) tadi. Namun banyak juga kota-kota yang ada di indonesia mulai giat untuk merubah kota mereka menjadi nyaman seperti misal pembangunan taman-taman kota yang ada di surabaya sebagai bentuk dari kesadaran akan perlunya RTH dan open space namun masih banyak pula kota-kota di indonesia yang belum maksimal memiliki fungsi seperti yang disampaikan oleh Chapin dan Kaiser. Di sisi lain pula perumbuhan penduduk serta jumlah penduduk yang ada di indonesia yang kian meningkat menyebabkan kota makin penuh disesaki oleh penduduk baik itu pendatang maupun penduduk asli. Karena di daerah kota sendiri terdapat berbagai macam pusat-pusat yang menguntungkan yang menyebabkan banyak orang tertarik untuk ke kota Sebagai contoh adalah kota jakarta dimana banyak lowongan pekerjaan yang ada menyebabkan banyak pendatang yang datang kesanan menyebabkan makin menumpuknya penduduk yang ada di kota tersebut menyebabkan makin sedikit ruang yang dapat digunakan untuk fungsi ruang kota yang diterangkan oleh CHapin dan Kaiser (1997) tersebut.

    Konsep Vertikal Housing atau hunian vertikal sendiri pada dasarnya ialah sebuah konsep dimana rumah atau hunian tidak dibangun ataupun disusun secara mendatar atau horisontal lagi namun disusun vertikal atau keatas sehinggan dapat dikatan bahwa hunian-hunian ditumpuk dalam sebuah bangunan vertikal. Konsep ini sangatlah bagus terutama diperuntukan untuk kota yang memiliki jumlah penduduk yang besar baik itu karena penduduk asli yang memang banyak maupun dikarenakan masuknya para pendatang yang menyebabkan makin menumpuknya penduduk di suatu kota.

    Urgensi mengenai Vertikal Housing sendiri menurut saya cukup mendesak apabila melihat jumlah penduduk yang ada di suatu kota, dimana hunian atau rumah sendiri bagi kebanyakan orang merupakan kebutuhan primer menyebabkan sangatlah perlu untuk dipikirkan yang mana ruang secara fisik sendiri secara alami tidak dapat bertambah melainkan terus berkurang dan berkurang untuk kepentingan dan aktivitas manusia menyebabkan vertikal housing atau hunian vertikal ini harus diperhatikan mengingat bahwa hunian atau rumah atau papan ini merupakan kebutuhan primer dari manusia. Oleh karena itulah vertikal housing menjadi solusi yang tepat untuk menyediakan sebuah kebutuhan mendasar yaitu papan dimana realita bahwa ruang yang ada di kota semakin berkurang dan penduduk juga semakin bertambah baik itu dari dalam maupun dari luar (pendatang).

    BalasHapus
  100. Amatullah Mufidah
    12/332940/GE/07375

    sehubungan dengan masalah yang ditemukan dalam pembangunan perumahan vertikal di Yogyakarta ada beberapa kasus menarik yang saya dapatkan. diantaranya adalah keengganan warga miskin menempati rusun yang telah dibangun oleh pemerintah (http://properti.kompas.com/index.php/read/2010/04/14/22181115/pemkot.yogyakarta.siapkan.empat.rusun.baru). hal ini dikarenakan harga sewa yang terlalu tinggi dan keterbatasan waktu menyewa. masalah ini dapat diselesaikan bila pemerintah memberikan kebijakan terkait perubahan rusunawa menjadi rusunami, peningkata kualitas rusun dan fasilitas yang ada serta merubah mindset masyarakat yang menganggap rumah harus berdiri diatas tanah.

    permasalahan lainnya adalah penolakan masyarakat terkait pembangunan apartemen dengan contoh kasus perencanaan pembangunan apartemen 19 lantai di Caturtunggal (http://regional.kompas.com/read/2014/04/30/0612224/Khawatir.Sebabkan.Banjir.Pembangunan.Apartemen.di.Sleman.Ditolak). permasalahan ini disebabkan oleh tidak terbukanya pihak hotel terhadap warga sekitar terkait kondisi lingkungan apabila apartemen jadi dibangun. masyarakat mungkin belum siap untuk menerima adanya pembangunan tempat hunian vertikal, tapi dalam hal ini investor juga harus mampu memberikan transparansi kepada masyarakat sekitar yang akan terkena dampak dari pembangunan.

    BalasHapus
  101. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  102. Handaru Aditya K
    12/334237/GE/07431

    Mengenai Penolakan atas salah satu implementasi dari vertika lhousing berupa apartemen dan kondotel yang ada di yogyakarta sendiri menurut saya dikarenakan kurangnya penelitian atas tanah dimana kondotel maupun apartemen dibangun maupun pendekatan secara sosial dengan para warga yang ada di sekitar daerah tersebut yang mana banyak pihak pengembang yang langsung saja membangun kondotel maupun apartemen ini tanpa menganalisis efek dari pembangunan baik secara sosial maupun secara fisik. Dimana salah satu kasus dari pembangunan ini ialah mengeringnya sumur-sumur warga didaerah sekitar pembangunan apartemen maupun kondotel, maupun gerakan massa warga yang menolak pembangunan atas apartemen dan kondotel tersebut. Selain itu pula hal ini dikarenakan budaya orang yogya sendiri yang lebih suka apa adanya dan tidak terlalu suka dimana yogya menjadi tempat gedung-gedung bertingkat yang mewah dan megah yang mana dimata penduduk yogya menjadi kurang nyaman

    Apartemen maupun kondotel sendiri menurut saya tidak terlalu diperlukan dalam urusan urgensi makin meningkatnya penduduk serta berkurangnya ruang yang ada di kota untuk kebutuhan akan hunian dikarenakan target dari pengembangang ialah untuk masyarakat kalangan atas serta kapasitas yang juga tidak dapat menampung banyak penduduk yang ada di suatu kota yang membutuhan hunian sebagai solusi untuk kebutuhan akan papan atau hunian ini. Pembangunan rusunawa maupun rusunami sendiri menurut saya lebih baik untuk mengatasi masalah akan kebutuhan hunian serta makin sempitnya lahan serta ruang yang ada di kota

    BalasHapus
  103. Diskusi yang luar biasa dan sangat inspiratif. Banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran dari diskusi di atas, salah satunya adalah yang dikemukakan Elson. Persoalan utama penolakan thd vertical housing, bukan pada hunian vertikalnya tetapi pada komersialisasi ruangnya. Benarkah? Bagaimana dengan persoalan budaya sebagaimana pendapat Rahma, Heni & teman2 lainnya? Bagaimana pula dengan persoalan lingkungan? Masih banyak hal yang tampaknya perlu kita dalam bersama-sama....
    Terimakasih atas respon kawan2...sukses slalu utk anda semua, SALAM

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga atas variasi kelas yang telah Bapak Taryo buat pada sesi kuliah tgl 10-9 kemarin, Bapak. Mengundang elemen masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas perencanaan penggunaan lahan dan memberikan kesempatan mereka untuk bercerita mengenai fakta, menurut saya hal itu sangat berharga. Mari kita sama2 doakan agar Mbak Tety dan Mbak Rani tidak lelah melanjutkan perjuangan mereka untuk membela kebenaran. Semoga Bapak juga sukses dan sehat selalu. Aamiin. Salam hormat untuk Bapak Sutaryono, Mbak Tety, dan Mbak Rani.

      Hapus
    2. thank Mas Elson, sukses selalu utk sampeyan dan teman2

      Hapus
  104. Nama : Corneles Salomo Sikora
    NIM : 11/12655/GE/06979

    Sebelumnya saya mohon maaf Pak, karna saya telat masuk dalam diskusi ini. Atas perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.
    Menurut Chapin dan Kaiser (1979, dalam Priyandono,2001:5) kebutuhan penggunaan lahan dalam struktur tata ruang kota/wilayah berkaitan dengan 3 sistem yang ada :
    a) Sistem kegiatan, manusia dan kelembagaannya untuk memenuhi kebutuhannya yang berinteraksi dalam waktu dan ruang.
    b) Sistem pengembangan lahan yang berfokus untuk kebutuhan manusia dalam aktivitas kehidupan.
    c) Sistem lingkungan berkaitan dengan kondisi biotik dan abiotik dengan air, udara dan material.
    Vertikal housing merupakan salah satu strategi untuk mengatasi keterbatasan lahan ditengah semakin padatnya jumlah penduduk dan tingginya permintaan terhadap bangunan, terutama permukiman. Vertical housing juga dapat menjadi solusi untuk efisiensi ruang di pusat kota mengingat adanya peluang ekonomi yang besar di pusat kota, permintaan lahan di pusat kota yang tinggi, tetapi jumlahanya yang terkadang terbatas, sehingga untuk memperoleh sebidang tanah di pusat kota mahal. Untuk di jogja sendiri berdasarkan informasi dari http://www.solopos.com/2014/09/12/rei-diy-nilai-penerapan-20-rusun-untuk-mbr-memberatkan-535485 dikatakan bahwa pembangunan pemukiman baru dengan konsep vertikal untuk memenuhi kebutuhan pemukiman MBR. Pasalnya, bedlock atau tingkat kebutuhan pemukiman di DIY mencapai lebih dari 100.000 unit. Perkembangan yang terjadi di perkotaan turut diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk. Di samping semakin meningkatnya jumlah penduduk, perkembangan yang terjadi di perkotaan juga menyebabkan keterbatasan lahan yang berpengaruh pada tingginya harga lahan. Tidak mudah untuk mencari hunian di Kota Yogyakarta, apalagi bagi mereka yang hidup pas-pasan. Harga lahan di Kota Yogyakarta sangat tinggi, apalagi di pusat kota. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki cukup anggaran? apakah solusi pemekaran kota di sekitar Yogyakarta menjadi pilihannya. Melonjaknya harga properti mengakibatkan orang-orang yang berpenghasilan rendah semakin terpinggirkan dari pusat Kota Yogyakarta.
    Di tengah langkanya lahan kosong di Kota Yogyakarta, sudah waktunya Kota Yogyakarta merubah paradigma huniannya, salah satunya adalah vertical housing yaitu hunian bertingkat. Vertical housing ini dapat meningkatkan intensitas pendahayagunaan lahan, infrastruktur, perdagangan, perkantoran, rekreasi dan tempat tinggal. Waktupun dapat dimanfaatkan dengan optimal. Pembangunan perumahan dengan konsep vertical housing merupakan sebuah tuntutan untuk diterapkan di Yogyakarta sebagai jawaban semakin menipisnya stok lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal a. Bagaimana langkah-langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan pas-pasan dalam menjangkau pusat kota. Perencanaannyapun harus matang, terutama dari segi psikografis dan kultural penghuninya. Umumnya masyarakat lebih suka tinggal di rumah yang luas dengan halaman dan ruang keluarga, sehingga memungkinkan mereka melakukan sosialisasi secara maksimal. Mereka, terutama keluarga besar, merasa kurang nyaman tinggal di apartemen yang space-nya terbatas. Sebaliknya, mereka lebih suka tinggal di rumah dengan konsep landed housing ketimbang vertical housing

    BalasHapus