Senin, 12 Januari 2015

Penataan Ruang Berbasis Bencana



PENATAAN RUANG BERBASIS BENCANA[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

“Pengurangan resiko bencana adalah investasi pembangunan, maka saat ini diperlukan mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan”, demikian pernyataan Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di sebuah stasiun televisi di penghujung tahun 2014. Pernyataan tersebut merespon semakin tingginya intensitas kebencanaan tanah air, khususnya bencana banjir dan tanah longsor, yang tampaknya belum diantisipasi dengan baik. Pertanyaan yang kemudian patut diajukan adalah, apa dan bagaimana bentuk investasi pembangunan yang berupa pengurangan resiko bencana serta bagaimana melakukan mainstreaming pengurangan resioko bencana?Top of FormBottom of Form
Pengurangan resiko bencana, atau lebih populer dengan mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengurangan resiko bencana bersifat preventif dan harus diletakkan pada aktivitas yang berkelanjutan melalui instrumen yang mengikat bagi pelaku pembangunan. Instrumen ini berperan sebagai guidence pembangunan sekaligus memastikan bahwa secara substansial memuat rekomendasi pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi resiko bencana. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat diletakkan melalui penataan ruang.
Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY telah mengidentifikasi sekurang-kurangnya terdapat 16 kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman dengan kategori rawan longsor. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi resiko bencana, BPBD pada tahun 2015 ini akan memasang sekitar 300 alat deteksi untuk mengukur pergeseran tanah atau adanya rekahan tanah sebagai gejala awal terjadinya longsor. Upaya ini merupakan investasi untuk mengurangi resiko bencana, yang diterapkan pada lokasi-lokasi yang potensi bahayanya sudah diketahui.
Upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penataan Ruang Berbasis Bencana dimaksudkan sebagai penataan ruang yang memuat pengurangan resiko bencana sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi pembangunan. Dalam hal ini, dapat diintegrasikan dengan gagasan Penataan Ruang Istimewa (KR, 12-12-2014). Jadi penataan ruang istimewa bukan sekedar penataan ruang wilayah yang mengakomodasi ruang-ruang keistimewaan, tetapi juga berbasis pada pengurangan resiko bencana.
Penataan ruang tidak hanya berkaitan dengan perencanaan dan pemanfaatan ruang, tetapi juga pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya bencana, sehingga mampu berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini dapat dilakukan melalui pengakomodasian kajian dan pemetaan zona kebencanaan sebagai salah satu dasar dalam merumuskan struktur dan pola ruang dalam RTRW. Tidak sekedar menempatkan kawasan rawan bencana sebagai salah satu zona, tetapi juga menempatkan kawasan budidaya dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya bencana pada kawasan tersebut.
Dennis S Mileti, Profesor Emiritus dari University of Colorado, penulis ‘Disaster by Design’ mengemukakan bahwa ‘tidak ada pendekatan yang digunakan untuk mengurangi resiko bencana secara berkelanjutan selain manajemen penggunaan lahan (ruang) yang baik’. Statemen tersebut mengisyaratkan bahwa pengurangan resiko bencana dapat dilakukan secara efektif melalui kebijakan penatagunaan lahan- dalam konteks ke-Indonesiaan adalah kebijakan penataan ruang.   
Berkenaan dengan hal di atas, tepat kiranya bahwa momentum revisi RTRW DIY pada tahun 2015 ini digunakan untuk mewujudkan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan, disamping mainstreaming penataan ruang (KR, 12-08-2014). Hal ini penting mengingat potensi bencana, baik yang telah teridentifikasi maupun yang belum, selalu mengiringi proses kehidupan dan pembangunan di wilayah kita. Harapannya, RTRW DIY adalah tata ruang istimewa yang mampu dan berperan menjadi guidence pembangunan di DIY yang berbasiskan pada pengurangan resiko bencana. Dalam hal ini perwujudan Sistem Penataan Ruang Istimewa sebagai sistem proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang taat azas, terintegrasi dan dapat terimplementasi secara berkelanjutan di seluruh wilayah DIY, adalah sebuah keniscayaan.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 10-01-2015 hal 14
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

95 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Bagaimana menanggapi terhadap wilayah yg sedang dalam tahap pemulihan bencana pak ?
    Cth : sinabung dikabupaten karo

    Mengingat sinabung termasuk wilayah SK.44 yg RTRWnya skrg sdg di revisi , artinya kita belum tau mana wilayah yg akan dilepas atau tdk.trims

    BalasHapus
  3. Justru revisi RTRW menjadi momentum utk memasukkan zonasi rawan bencana sekaligus memberikan arahan ruang untuk relokasi...Jadi perlu didukung dengan kajian kebencanaan agar RTRW yang disusun sudah mengakomodasi upaya mitigasi bencana

    BalasHapus
  4. David Mitchell dalam Training Manual Assessing and Responding to Land Tenure Issues in Disaster Risk Management FAO modul 3 mengulas langkah pengurangan resiko bencana melalui tahapan penting diantaranya: Pra Mitigasi Bencana yang meliputi: Pertama, Kegiatan Pemetaan Resiko Bencana dan Pemetaan Kepemilikan Tanah. Pada kegiatan ini dilakukan pemetaan daerah yang rentan bahaya, seberapa besar tingkat kerentanannya dan seberapa besar kerugian yang disebabkan oleh bencana yang terjadi sebelumnya. Upaya ini untuk membantu memprediksi lokasi, kemungkinan terjadi serta frekuensi bencana pada masa yang akan datang; kedua, Pendidikan Tentang Pertanahan. Setiap orang perlu diberikan pengertian tentang hak atas tanah. Pada saat terjadi bencana mungkin beberapa keluarga akan kehilangan kepala keluarga atau menyisakan anggota keluarganya saja. Hak-hak anggota keluarga yang selamat dari bencana ini perlu mendapat perlindungan, Ketiga, memastikan keamanan dokumen pertanahan. Penyimpanan dokumen pertanahan di kantor pertanahan perlu mendapat perhatian karena semua data tentang status tanah ada pada dokumen ini misalnya dengan pengembangan database pertanahan dan tempat penyimpanan dokumen pertanahan yang kokoh sehingga apabila salinan dokumen terselamatkan dari bencana akan mudah didukung dengan data yang ada pada kantor pertanahan. Hal ini dilakukan karena kantor pertanahann juga tidak dapat luput dari kemungkinan terdampak bencana. Pada kegiatan Pra Bencana meliputi kegiatan: Pertama, menyusun kebijakan pertanahan yang partisipatif untuk menjamin keadilan, Kedua, Pengelolaan tanah dan perencanaan penggunaan tanah. Langkah ini didukung dengan membuat master plan penggunaan tanah yang mengembangkan strategi pengelolaan pertanahan yang memberikan perlindungan terhadap mata pencaharian, mempertahankan ketahanan pangan dan meningkatkan kesiagaan dalam rangka mengurangi kerentanan bencana alam. Hal ini berhubungan erat dengan kemungkinan tersedianya tanah sebagai tempat relokasi dan memastikan tempat tersebut aman sebagai hunian darurat, Ketiga, perlindungan terhadap hak atas tanah. Masyarakat yang direlokasi karena wilayahnya rawan bencana dan dinyatakan sebagai wilayah yang dilarang untuk dihuni wajib menerima ganti kerugian sebagai bentuk penghargaan terhadap hak atas tanah.
    Harry Nurcahya (NIM. 11202569/Manajemen Pertanahan)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus sekali dan menarik Mas, sayangmasih belum anda komparasikan dg tulisan di atas...oya, tlg tulisan Mitchell tsb dishare ke kawan2 ya, agar pengetahuan pertanahan dlm konteks kebencanaan menjadi jelas, oya...cc kan ke emailku taryo_jogja@yahoo.com, terimakasih

      Hapus
    2. aku sudah dapatkan file-nya mas, terimakasih...sekali lagi ini naskah yang bagus dan tlg kawan2 lain baca ya

      Hapus
  5. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga telah mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir yang berbasis mitigasi bencana. Ini artinya, Undang-Undang tersebut harus mempertimbangkan peta geo-spasial yang meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan lempeng bumi. Dalam kaitan ini, misalnya, undang-undang tata ruang pusat perekonomian, lokasi permukiman, daerah perkantoran, dan kawasan industri harus mengacu pada peta geo-spasial (Munawir, 2006).
    Bahwa dengan adanya Keppres RI Nomor 121/P/2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pembentukan Kabinet Kerja 2014-2019, maka BPN RI berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Tindak lanjut dari Keppres tersebut, telah terbit Perpres RI Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja yang mengamanatkan kepada Menteri ATR/Kepala BPN untuk memimpin dan mengkoordinasikan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang tata ruang yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh BPN. Penguatan kelembagaan yang terjadi tersebut harus mampu ditangkap sebagai peluang dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan.
    Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Penataan Ruang, Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan berubahnya BPN menjadi Kementerian ATR, maka setiap tahapan dalam proses penataan ruang di atas menjadi domain dari Kementerian ATR/BPN. Dalam proses perencanaan tata ruang misalnya, Kementerian ATR berkewajiban menyusun dan menetapkan tata ruang nasional, menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penataan ruang sesuai dengan perundang-undangan.
    Pasal 33 UU No. 26/2007 menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Penatagunaan tanah merupakan subsistem dari penataan ruang yang berfungsi untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan ruang disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya. Dalam tahap ini, peran penatagunaan tanah semakin jelas, dimana secara langsung, penatagunaan tanah dapat terlibat langsung dalam proses administrasi pertanahan. Proses-proses administrasi pertanahan mulai dari penerbitan hak, pemindahan hak, pelepasan hak, dan lain-lain, kesemuanya harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah.
    Tahap pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini pula penatagunaan tanah memegang peranan penting yaitu bertugas untuk menyusun neraca penatagunaan tanah. Di dalam neraca ini terdapat evalusai kesesuaian RTRW dengan penggunaan tanah saat ini, serta ketersediaan tanah untuk pembangunan didasarkan pada RTRW, penggunaan, dan penguasaan tanah. Neraca ini tentunya sangat berguna dalam revisi dan evaluasi RTRW. Selain itu, pengendalian pemanfaatan ruang juga dapat dilakukan melalui pertimbangan teknis pertanahan yang menjadi syarat dalam penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi atau Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
    Wiwit Cipto Nugroho
    NIM. 11202630/Perpetaan

    BalasHapus
  6. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga telah mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir yang berbasis mitigasi bencana. Ini artinya, Undang-Undang tersebut harus mempertimbangkan peta geo-spasial yang meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan lempeng bumi. Dalam kaitan ini, misalnya, undang-undang tata ruang pusat perekonomian, lokasi permukiman, daerah perkantoran, dan kawasan industri harus mengacu pada peta geo-spasial (Munawir, 2006).
    Bahwa dengan adanya Keppres RI Nomor 121/P/2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pembentukan Kabinet Kerja 2014-2019, maka BPN RI berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Tindak lanjut dari Keppres tersebut, telah terbit Perpres RI Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja yang mengamanatkan kepada Menteri ATR/Kepala BPN untuk memimpin dan mengkoordinasikan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang tata ruang yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh BPN. Penguatan kelembagaan yang terjadi tersebut harus mampu ditangkap sebagai peluang dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan.
    Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Penataan Ruang, Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan berubahnya BPN menjadi Kementerian ATR, maka setiap tahapan dalam proses penataan ruang di atas menjadi domain dari Kementerian ATR/BPN. Dalam proses perencanaan tata ruang misalnya, Kementerian ATR berkewajiban menyusun dan menetapkan tata ruang nasional, menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penataan ruang sesuai dengan perundang-undangan.
    Pasal 33 UU No. 26/2007 menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Penatagunaan tanah merupakan subsistem dari penataan ruang yang berfungsi untuk mewujudkan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan ruang disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya. Dalam tahap ini, peran penatagunaan tanah semakin jelas, dimana secara langsung, penatagunaan tanah dapat terlibat langsung dalam proses administrasi pertanahan. Proses-proses administrasi pertanahan mulai dari penerbitan hak, pemindahan hak, pelepasan hak, dan lain-lain, kesemuanya harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah.
    Tahap pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam tahap ini pula penatagunaan tanah memegang peranan penting yaitu bertugas untuk menyusun neraca penatagunaan tanah. Di dalam neraca ini terdapat evalusai kesesuaian RTRW dengan penggunaan tanah saat ini, serta ketersediaan tanah untuk pembangunan didasarkan pada RTRW, penggunaan, dan penguasaan tanah. Neraca ini tentunya sangat berguna dalam revisi dan evaluasi RTRW. Selain itu, pengendalian pemanfaatan ruang juga dapat dilakukan melalui pertimbangan teknis pertanahan yang menjadi syarat dalam penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi atau Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
    Wiwit Cipto Nugroho
    NIM. 11202630/Perpetaan

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Salah satu contoh kebijakan pertanahan yang dapat mendukung upaya penanggulangan bencana adalah konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah sebagai salah satu instrumen penataan ruang merupakan salah satu bentuk kegiatan pengelolaan tata guna tanah melalui pengaturan kembali penggunaan tanah dan penguasaan bidang-bidang tanah. Sasaran dari kegiatan ini adalah penataan kembali penggunaan dan penguasaan tanah pada suatu kawasan yang kondisinya kurang memenuhi syarat menjadi kawasan yang lebih baik. Salah satu indikator kawasan yang kurang memenuhi syarat adalah kawasan tersebut merupakan kawasan rawan bencana baik bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial. Oleh karena itu, pemilihan lokasi obyek konsolidasi tanah merupakan kunci sukses dari pelaksanaan konsolidasi tanah itu sendiri. Pemilihan lokasi tersebut harus berdasarkan pada RTRW yang dalam penyusunannya sudah memperhatikan faktor-faktor penyebab terjadinya bencana.
    Wiwit Cipto Nugroho
    NIM. 11202630/Perpetaan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mantap Mas....tulisan bagus, baik redaksi maupun substansinya, tetapi sayang belum membandingkan dg tulisan di atas

      Hapus
  9. Saya mencoba menambahkan dari bahan bacaan yang sama dengan saudara Harry Nurcahya. “Perencanaan strategis yang mengintegrasikan perencanaan penggunaan tanah dan fisik dapat mengurangi resiko bencana, menyelesaikan masalah mengenai relokasi pemukiman penduduk yang rentan terhadap bencana dan juga untuk pembangunan jangka panjang, dengan catatan bahwa dalam proses perencanaannya dibutuhkan peran aktif baik dari instansi pemerintah terkait dan juga masyarakat setempat”. Perencanaan strategis tersebut diwujudkan dalam instrument penataan ruang. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Pak Sutaryono tersebut di atas, yang menyatakan bahwa pengurangan resiko bencana merupakan investasi pembangunan yang diletakkan melalui tata ruang. Melalui Perpres No. 165 Tahun 2014 Tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja Pasal 7 disebutkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN memimpin dan mengkoordinasikan penyelenggaraan tugas dan fungsi dibidang tata ruang yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Ketentuan ini berlaku selama belum dibentuk tata kerja sesuai kementerian yang baru. Dengan bentuk kementerian yang baru ini tentunya diharapkan akan lebih mudah mensinkronkan antara perencanaan ruang dalam sebuah perangkat peraturan dan penggunaan fisik tanah senyatanya di lapangan. Dimana salah satu kerangka kebijakan pertanahan yang harus dikembangkan mencakup pertimbangan masalah kepemilikan tanah dan potensi bencana alam.
    Nova Heviliana/11202579/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  10. Dalam Promoting Use of Disaster Risk Information in Land-use Planning (2011), disebutkan bahwa pengetahuan tentang hubungan pembangunan, penggunaan lahan dan risiko bencana memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor yang mendorong orang untuk menempatkan diri mereka dalam daerah risiko bahaya tinggi. Lokasi pemukiman, industri, fasilitas dan layanan yang umum adalah parameter penting yang menentukan kerentanan masyarakat terhadap bahaya. Di dalam konteks ini, perencanaan penggunaan lahan yang berperan dalam mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh bahaya alam pada lingkungan terbangun. Melalui perencanaan penggunaan lahan, parameter kerentanan dapat dimodifikasi untuk mengurangi risiko. Dengan teknik dan mekanisme peraturan dan non-peraturan, perencanaan penggunaan lahan dapat menjadi alat yang efektif untuk pengurangan risiko bencana.
    Melalui penggunaan informasi risiko bencana dalam perencanaan penggunaan lahan, unit perencanaan akan dapat:
    • Mengidentifikasi daerah yang berisiko tinggi dari dampak bahaya seperti banjir rawan daerah yang perlu mengurangi efek dari kejadian berbahaya seperti daerah retensi air di mana perlu untuk memastikan efektivitas kegiatan respon seperti jalan keluar
    • Identifikasi ini akan membantu dalam membatasi lokasi manusia pemukiman dan memilih kegiatan ekonomi yang sesuai. sebagai contoh daerah rawan banjir mungkin akan diizinkan untuk pertanian tetapi tidak untuk pemukiman manusia.
    • Memahami lokasi lahan yang benar-benar tersedia untuk pengembangan (mengingat pembangunan tidak diperbolehkan di daerah rawan bencana alam) sehingga tetap dapat memenuhi permintaan lahan dari waktu ke waktu dan sesuai tujuan dan sasaran pembangunan yang ditetapkan.
    • Memberikan bimbingan dalam merumuskan kebijakan pengurangan risiko yang sesuai dan peraturan zonasi seperti kode bangunan.
    • Memberikan bimbingan dalam mengadopsi langkah-langkah pengurangan risiko yang sesuai dalam proyek pembangunan di daerah.
    Informasi yang dimaksud di sini salah satunya adalah informasi yang berupa peta diantaranya peta geospasial yang meliputi aspek geologis, demografi dan garis patahan lempeng bumi. Peta ini selanjutnya diolah dan menghasilkan peta lokasi rawan bencana yang diintegrasikan dalam peta tata ruang sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibu Dwikorita, rektor UGM dalam menanggapi bencana longsor Banjarnegara ang terjadi pada akhir tahun 2014. Menurut beliau, kualitas dari peta lokasi rawan bencana ini juga harus diperhitungkan sehingga dapat detail menggambarkan wilayah yang benar-benar rawan bencana.
    Dalam konteks fase tanggap darurat, adanya penataan ruang berbasis kebencanaan diwujudkan dalam pengaturan jalur evakuasi dan kawasan-kawasan yang dijadikan lokasi aman untuk perlindungan.
    Dalam Land and Natural Disasters Guidance for Practitioners dijelaskan bahwa, dalam konteks pasca bencana, penggunaan lahan dan perencanaan permukiman yang telah dipadukan dalam tata ruang, mempemudah dalam proses perencanaan rekonstruksi yang mungkin terjadi secara bersamaan di berbagai tingkatan - komunitas, kota, kabupaten, provinsi / negara bagian dan nasional.
    Menanggapi artikel yang Bapak tuliskan dengan berdasarkan pada beberapa sumber yang saya baca, mengingat banyak sekali manfaat yang akan kita dapatkan dari penataan ruang ruang berbasis kebencanaan, baik pada fase pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana maka menurut saya menjadi suatu keharusan untuk mengintegrasikan informasi kebencanaan ke dalam tata ruang, khususnya di kawasan budidaya sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
    Sukma Octavryna Wridanastiti
    NIM. 11202627
    Semester VII Jurusan Perpetaan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Critical review yg sangat bagus, perspektifnya luas dan langsung merujuk pada kondisi eksisting paling aktual....Selamat!

      Hapus
  11. UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
    Kegiatan pencegahan bencana memang harus lebih dipikirkan, jangan hanya mulai bertindak setelah bencana terjadi. Tulisan bapak di atas “tepat kiranya bahwa momentum revisi RTRW DIY pada tahun 2015 digunakan untuk mewujudkan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan, disamping mainstreaming penataan ruang” sangat bagus untuk dilakukan. Saya sependapat dengan saudara Nova Heviliana, BPN dalam kasus ini memegang peranan penting, selain Kementrian Pekerjaan Umum ,BNPB maupun BPBD DIY. Tanpa sinergi dari semuanya, upaya yang akan dilakukan mungkin takkan pernah dapat terealisasi dan hanya akan menjadi wacana atau gagasan saja.
    Dalam “Gagasan Penataan Ruang Istimewa” yang tidak kalah penting pada zaman yang serba terbuka ini, masyarakat hendaknya juga dilibatkan secara langsung dalam pelaksanaan kebijakan RTRW karena mau tidak mau proyek besar ini pasti akan mendapat sorotan dari semua pihak. Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang dilakukan pengawasan penataan ruang terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan peraturan tersebut (Robert J. Kodoatie & Roestam Syarief,2010:452). Masyarakat juga harus ikut mengawasi jalannya kebijakan sehingga jangan sampai memunculkan celah untuk sebagian orang/kelompok tertentu untuk mencari keuntungan yang merugikan masyarakat atau negara. Dari segi masyarakat DIY sendiri, masih hidupnya nilai-nilai guyub, kerukunan, kerjasama dan gotong royong merupakan suatu kekuatan tersendiri dalam menghadapi risiko bencana yang perlu terus ditumbuhkembangkan (Renstra PB-DIY,2007:5-6).
    Disamping itu karena DIY rentan bencana maka, bagaimana bisa mendirikan bangunan/rumah dengan resiko terkena bencana yang rendah sehingga kegiatan pencegahan bencana dapat terwujud, karena mencegah itu hakikatnya lebih baik tanpa harus menimbulkan dampak lain seperti korban jiwa, kerusakan material, belum lagi biaya besar yang harus dikeluarkan untuk tanggap darurat bencana, rekonstruksi ulang, pemulihan psikologis/traumatis para korban bencana dan lain sebagainya.
    Kalau berkaca pada negara lain, sebut saja Jepang, kemampuan mitigasi bencana yang diterapkan sudah tertata sedemikian rupa, sehingga walaupun Jepang adalah negara yang sering terkena musibah bencana alam tetapi Jepang berhasil meminimalisir dampak dan kerugian yang ditimbulkan, Indonesia bisa belajar dari sana. Semoga Sistem Penataan Ruang Istimewa bisa terlaksana dan bukan hanya DIY namun seluruh Indonesia. Amien.....
    FAUZIANA PANCAWATI
    11202566/ Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  12. Tulisan bapak Sutaryono yang berjudul “Penataan Ruang Berbasis Bencana” telah menjelaskan pengurangan resiko bencana (mitigasi bencana) dengan investasi pembangunan yang dapat dilakukan melalui penataan ruang. Mitigasi bencana yang dijelaskan lebih ke arah pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sehingga upaya mitigasi bencana menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun perlu kita ingat bahwa mitigasi bencana di bidang pertanahan tidak hanya dilihat dari segi penataan ruang saja, melainkan juga mitigasi bencana kearsipan. Dalam hal ini saya hanya akan menambahkan saja dari referensi yang saya baca dalam tulisan “ Records Disaster Management Sebagai Konstruksi Sosial” oleh Azmi. Dalam konteks kearsipan, bencana alam merupakan salah satu faktor perusak arsip. Resiko kerusakan arsip yang disebabkan oleh bencana tersebut sangat besar, karena dalam hitungan detik dapat memusnahkan seluruh fisik dan informasi arsip, sehingga berdampak pada hilangnya memori kolektif masyarakat lokal, nasional. Dalam konteks kearsipan, mitigasi dapat dilakukan dengan membuat disaster recovery plan-seperangkat kebijakan mencakup prosedur dan pengaturan tindakan yang harus diambil oleh sebuah institusi, organisasi, atau lembaga kearsipan saat terjadi bencana baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia. Salah satu contoh penanggulangan bencana kearsipan adalah penanggulangan bencana tsunami aceh dengan globalisasi melalui kerjasama lembaga internasional UNDP, JICA, JICS. Dalam konteks kearsipan, globalisasi tersebut telah menyelamatkan dokumen pertanahan dari Kantor Pertanahan Kota Aceh dan Kanwil BPN Provinsi NAD pasca tsunami 26-12-2004 lalu yang berefek pada peningkatan aksesibilitas dan mutu pelayanan publik terhadap informasi pertanahan di wilayah Pemerintah Provinsi NAD. Terima kasih.
    Rita Puspitasari,
    11202621/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  13. Betul sekali apa yg disampaikan Sdr Rita, bahwa bencana tidak hanya berupa natural disaster saja, tetapi juga social disaster dan dokumen pertanahan....(records/document disasters?).........silahkan teman2 elaborasi lebih jauh tentang hal ini

    BalasHapus
  14. Secara umum pendapat Bapak sejalan dengan pendapat dari Prof. Dr. H.A. Sudibyakto, M.S. (dosen dan Kepala Laboratorium Hidrometerologi Fakultas Geografi UGM) yang terdapat dalam buku beliau yang berjudul “Manajemen Bencana Di Indonesia Kemana?” yang pada intinya sama-sama menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), hanya saja ada sedikit tambahan dari Beliau mengenai aspek dasar yang harus diperhatikan dalam sistem pengelolaan lingkungannya. Beliau berpendapat bahwa untuk menata ulang (merevisi) tata ruang wilayah yang terkena gempa bumi tentunya perlu memperhatikan bahwa wilayah tersebut mempunyai intensitas gempa yang bervariasi, artinya pola tata ruang wilayah harus menyesuaikan dengan aspek risiko bencana. Jadi wilayah yang intensitas gempanya VII-VIII pada skala Merkali (MMI), maka dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi sekarang ini, sistem pengelolaan lingkungannya harus didasarkan pada aspek: (a) Zonasi mikro dampak gempa, misalnya adanya rekahan tanah baru, aktifnya jalur patahan, perubahan sistem akifer, rawan tanah longsor, kondisi tanah masih labil, dst, (b) Jangan menempatkan rumah dan bangunan pada jalur patahan aktif (fault lines), (c) Ketahanan bangunan tahan gempa harus memperhatikan jenis material, ketinggian bangunan, posisi relatif antar rumah (tetangga), (d) Perlu diprogramkan ke depan sosialisasi terhadap upaya menekan jumlah korban, misalnya dengan peningkatan kapasitas masyarakat mengurangi risiko bencana (community based disaster risk management).
    Terima Kasih

    Rizki Indah Bestari
    11202622/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  16. Berdasarkan uraian Bapak, tmn2, dan tulisan Respati Wikantiyoso,berjudul “Mitigasi Bencana di Perkotaan; Adaptasi atau Antisipasi Perencanaan dan Perancangan Kota?”(Potensi Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk Upaya Mitigasi Bencana), saya mencoba menarik benang merah dari permasalahan yang dihadapi dalam upaya menempatkan pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah dari segi normatif.

    Mengacu pada UU 26/ 2007, pasal 5 ayat 2, dijelaskan: penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana, Selanjutnya UU 27/ 2007 pasal 7 ayat 3 mengamanatkan Pemda wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir berbasis mitigasi bencana. Maka pada dasarnya Tata Ruang adalah salah satu bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan wilayah yang mencakup 3 proses utama; perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang pasal 1 (5) UU No 26/2007). Fungsinya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Permasalahannya adalah begitu strategisnya fungsi penataan ruang, sehingga tak aneh kalau banyak oknum yang banyak ingin intervensi terhadap penyusunan tata ruang mengingat peluang yang diberikan, tujuan dan fungsi dari tata ruang.

    Data Dirjen Penataan Ruang 10/2009: 33 provinsi di Indonesia, 11 masih dalam proses revisi, 15 persetujuan substansi, 4 sudah mendapatkan persetujuan Menteri PU dan 3 provinsi masih dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di DPRD masing-masing. Dalam hal RTRW kabupaten; dari 399 kabupaten yang ada; 81 belum merevisi RTR-nya, 264 dalam tahap revisi dan baru 8 Perda RTRW kabupaten yang ditetapkan. Sedangkan untuk RTRW Kota, baru ada 1 wilayah yang sudah ditetapkan (Kota Jayapura), selebihnya dari 98 kota masih ada 15 RTRW yang belum direvisi, 64 dalam proses dan 2 dalam tahap pembahasan DPRD. Kondisi ini tentulah memprihatinkan.

    Pada tataran Perancangan Kota produk penataan ruang harus berperan mengantisipasi bencana dengan menyiapkan ruang evakuasi yang aman dan membebaskan daerah potensi bencana (absolute) untuk tidak boleh dibangun dan sekaligus memberikan arahan-arahan desain bersifat teknis sebagai panduan desain.

    Perlu adanya mitigasi struktur dan non-struktur yang dilakukan dengan kelengkapan perangkat peraturan bangunan (building codes). Mitigasi struktur dilakukan dengan cara menghindari wilayah bencana dalam merencanakan dan merancang bangunan dengan mengantisipasi dampak bencana (melalui pertimbangan dan perhitungan konstruksi). Upaya mitigasi lingkungan non structural dengan tidak mengubah lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan unsur geologi lainnya yang dapat mengurangi dampak bencana. Potensi kearifan local (local wisdom) melalui pemahaman pengetahuan local (local knowledge), teknologi local, budaya lokal dan tradisi-tradisi lokal yang telah “teruji” mampu berkontribusi dalam mitigasi bencana. Juga menjadi pertimbangan penting dalam tata ruang, Contoh kearifan local dalam pemanfaatan ruang adalah pengelolaan lahan pertanian sistem teracerring yang mampu memanage lingkungan lereng gunung agar terjaga stabilitas tanahnya walaupun lereng rawan terhadap longsor, sistem Subak di bali untuk pengelolaan pengairan pertanian terbukti mampu menjaga distribusi dan sistem tatakelola air secara baik, dan menjaga keharmonisan masyarakat petani, Konsepsi Catur-tunggal di Jawa, yang memadukan unsur Ruang terbuka kota (alunalun), kraton (pusat Pemerintahan), Masjid (pusat peribadatan) dan Pasar (pusat kegiatan ekonomi) secara harmonis. Konsepsi ini sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi dari tiga orientasi pembangunan kota (development orientation, environmental orientation, dan community orientation). Catur-tunggal telah mendudukan ruang terbuka kota (alun-alun) dalam posisi dan proporsi yang sangat penting, baik dari sisi penyediaan ruang sosio-cultural, dan sisi penyediaan ruang yang mampu menjaga keseimbangan ekologis.

    RENY RAYMOND DIAZ
    11202582/ Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  17. Mohon ijin komentar pak,

    Penanggulangan bencana dalam UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana, merupakan urusan bersama, hak dan kewajiban semua stakeholder. Pemerintah dan pemerintah daerah merupakan penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, namun tidak lepas dari peran aktif masyarakat dan lembaga usaha. Tanggung jawab tersebut dalam hal pengurangan resiko bencana dan pemaduan dengan program pembangunan, perlindungan masyarakat dari dampak bencana, penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi, pemulihan kondisi dari dampak bencana, pengalokasian anggaran penanggulangan bencana, dan pemeliharaan arsip/dokumen otentik. Tujuan penyelenggaran bencana menurut UU No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaran Penanggulangan bencana adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, resiko, dan dampak bencana.
    Bentuk pembangunan untuk pengurangan resiko bencana adalah dengan membangun kegiatan manajemen bencana mulai dari manajemen resiko ( perencanaan penanggulangan bencana, mengadakan pendidikan dan pelatihan,serta pelaksanaan dan penegakkan rencana tata ruang), manajemen kedaruratan (stabilisasi kondisi korban/pengungsi, penampungan sementara, pengamanan asset vital, penyediaan pelayanan dasar), dan manajemen pemulihan (penilaian kerusakan dan kerugian, pembangunan kembali prasarana dan kelembagaan). Menurut wiwik D Pratiwi dan M Donny Koerniawan (staf pengajar ITB) mengatakan untuk pengurangan resiko bencana maka diperlukan mitigasi dengan penataan ruang. Implementasi antisipasi dan mitigasi bencana ini dilakukan pada dokumen penataan ruang yang berbasis kebencanaan dengan melakukan pengendalian pada daerah rawan bencana, khususnya kawasan dan kota rawan bencana. Kebijakan penataan ruang didasarkan pada keseimbangan ekosistem dan daya dukung serta daya tampung lingkungan. Hal ini akan membantu mitigasi bencana jika dilaksanakan dengan tertib.
    Dalam Pasal 13 UU No.21 Tahun 2008 , Pelaksanaan dan penegakkan rencana tata ruang dilakukan untuk mengendalikan pemanfaatan lahan sesuai dengan RTRW. Pemerintah dan pemerintah daerah secara berkala melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap perencanaan, pelaksanaan tata ruang, dan pemenuhan standart keselamatan. Dalam hal penataan ruang untuk kawasan rawan bencana tanah longsor, memerlukan pedoman atau acuan untuk mewujudkan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota yang operasional dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman longsor. Pedoman tersebut tercantum pada Permen PU No.22/PRT/M/2007 tentang Pedoman penataan ruang kawasan rawan bencana longsor. Terkait dengan RTRW DIY yang berbasis pada pengurangan resiko bencana jika ini dilaksanakan dengan tertib maka akan dapat mengurangi korban bencana tanah longsor mengingat banyaknya kawasan rawan bencana tanah longsor di wilayah Provinsi DIY seperti halnya di wilayah Kabupaten Kulonprogo yang dilalui oleh perbukitan menoreh. Kawasan perbukitan menoreh ini merupakan daerah rawan bencana tanah longsor. Keadaan seperti ini membutuhkan penataan ruang yang serius agar tidak menimbulkan korban yang banyak.

    By. Triwulandani/11202589/Manajemen

    BalasHapus
  18. Menanggapi tulisan bapak di atas, upaya mitigasi bencana memang menjadi langkah yang harus dilakukan mengingat bencana-bencana yang telah terjadi telah menimbulkan banyak korban dan kerugian. Upaya mitigasi bencana juga harus didasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing.
    Menurut, Ahmad Pratama Putra (2011:11) dalam jurnal BNPB yang berjudul Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Kabupaten Kepulauan Mentawai, berusaha memberi masukan dan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam upaya mitigasi bencana dengan melakukan observasi lapang terhadap empat dusun yang terkena terjangan tsunami. Hasilnya adalah didapatkan karakteristik area yang memiliki tingkat kerusakan terparah adalah:
    a. berada pada jarak kurang dari 200 meter dari bibir pantai;
    b. berada pada teluk yang berhadapan langsung terhadap pusat gelombang pasang, serta tidak memiliki pulau lain sebagai barrier (penghalang) gelombang pasang yang terbentuk;
    c. tidak atau kurang memiliki tumbuhan yang cukup rapat sebagai barrier terhadap gelombang pasang akibat gempa;
    d. tidak memiliki sarana evakuasi yang cukup layak dan atau mudah terjangkau.
    Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka diperlukan rencana zonasi berbasis mitigasi, yaitu suatu upaya mitigasi dampak kerusakan akbat bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang berguna dalam aspek pembangunan berbasis mitigasi bencana. Rencana zonasi tentang pengelolaan kawasan Mentawai merupakan rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan yang disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
    Berdasarkan konsep perencanaan zonasi kawasan aman tsunami, dibagi menjadi tiga zona yaitu:
    a. Zona Konservasi
    b. Zona Penyangga
    c. Zona Bebas

    Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat, melakukan kaji ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2020 untuk memasukkan kegiatan berbasis mitigasi bencana. Kaji ulang dilakukan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan kesinambungan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah untuk pemulihan Mentawai pascatsunami 2010 dengan program lanjutan berupa percepatan pembangunan dan perkembangan antarwilayah di kepulauan berjarak sekitar 110 mil laut arah barat, garis pantai Sumatera Barat. Masuknya mitigasi bencana dalam kaji ulang RTRW Mentawai juga terkait dengan adanya UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. RTRW Kabupaten Kepulauan Mentawai 2000-2020 yang sebelumnya ditetapkan dengan Perda No.4/2003. Kaji ulang ini dilakukan sehubungan terjadinya bencana tsunami dan keluarnya UU No.26/2007 dan PP No.26/2008 tersebut.
    Kaji ulang ini juga dengan mempertimbangkan UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No.27/2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau Kecil.
    Ketiga UU itu pada prinsipnya merupakan dasar dalam menentukan strategi dan pengaturan tata ruang wilayah, terutama terkait pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan.
    Berdasarkan informasi yang diperoleh dari website BNPB, muncul prediksi ilmiah yang menyatakan provinsi Sumatera Barat berpotensi mengalami gempa bumi berkekuatan hingga 8.9 skala Richter di masa mendatang. Apabila perkiraan itu benar-benar terjadi, gempa dapat menimbulkan tsunami di pesisir Sumatra Barat dan Kepulauan Mentawai. Atas dasar itu, Idonesia menyelenggarakan International Table Top Exercise (TTX) Mentawai Megathrust pada 22-25 April 2013 di Padang, Sumatra Barat dengan kegiatan pelatihan peningkatan kapasitas dan kesiapan penanggulangan bencana. Terima Kasih.
    Suci Paramita Sari/11202586/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  19. Kiranya tepat apa yang telah Bapak tuliskan, bahwa penataan ruang berbasis bencana dimaksudkan sebagai penataan ruang yang memuat pengurangan resiko bencana sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi pembangunan, kemudian seperti apakah penataan ruang bisa lebih efektif dalam pengurangan resiko bencana?
    Mengutip pernyataan Ibu Estuningtyas Wulan Mei (dari Pusat Studi Bencana UGM), bahwa untuk mengantisipasi bahaya bencana (gunung api), maka diperlukan partisipasi pengurangan resiko bencana melalui pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif merupakan suatu alat untuk membangun masyarakat dalam hal berkomunikasi dengan baik. Lebih lanjut lagi, Bapak Sjarifuddin Akil (dari Dirjen Penataan Ruang Kementrian PU) juga menyatakan bahwa penataan ruang tidak bisa dilaksanakan hanya oleh inisiatif pemerintah atau perencana saja, akan tetapi dalam prosesnya, pelibatan masyarakat menjadi sangat penting. Produk Penataan Ruang yang partisipatif akan mudah dijadikan sebagai pedoman oleh stakeholder apabila disajikan dalam bentuk peta yang partisipatif.
    Dari uraian di atas, saya mencoba menyimpulkan bahwa penataan ruang berbasis bencana melalui pemetaan partisipatif bisa lebih efektif dalam pengurangan resiko bencana. BNPB dalam Jurnal “Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana” Vol 4 No. 3 menyebutnya sebagai Peta Resiko Berbasis Komunitas. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan peta ini dikarenakan masyarakat dinilai memiliki pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya, sehingga peta yang dihasilkan lebih detail dan akurat. Sebagai contoh dalam penyusunan tata ruang mengenai daerah rawan aliran lahar dingin, pemerintah bisa menggali informasi dari masyarakat dalam menentukan aliran-aliran sungai mana yang biasanya paling beresiko terkena aliran lahar dingin berdasarkan pengalaman mereka saat bencana datang. Peta tata ruang yang dihasilkan nantinya diharapkan dapat dijadikan informasi pendukung kebijakan di lapangan, misal mengenai kebijakan larangan penambangan pasir. Atau lebih detail lagi mengenai pembuatan peta jalur evakuasi untuk bencana gunung api, dalam proses pembuatannya, pemerintah bisa melibatkan masyarakat dalam menentukan jalur-jalur mana saja yang mungkin bisa dilalui dengan cepat dan aman saat evakuasi. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih mengetahui wilayahnya dibandingkan dengan pembuat peta (perencana tata ruang) yang kemungkinan orang luar. Terima kasih.
    Anggraini DS/11202555/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  20. Tidak bisa dipungkiri bahwa bencana yang terjadi di muka bumi ini adalah ulah dari tangan-tangan manusia, seperti yang tercantum dalam Al-Quran surah Ar Rum ayat 41-42 mengenai larangan membuat kerusakan di bumi. Manusia perlu beriktiar dalam menanggapi bencana yang terjadi dengan melakukan pengurangan risiko bencana. Untuk model pengurangan bencana yang banyak dianut dan sekaligus menjadi acuan oleh ahli kebencanaan adalah yang tertulis dalam Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015: Building The Resilence of Nations and Communication to Disasters yang menyatakan bahwa pengurangan risiko bencana dilakukan dengan mengintegrasikan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan berkelanjutan salah satunya melalui penataan ruang. Secara yuridis formal, penataan ruang berbasis mitigasi bencana telah diakomodir dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 24/1992, yang kemudian direvisi menjadi No. 26/2007. Dalam UUPR tersebut dijelaskan, Pemerintah Daerah baik provinsi, kabupaten/kota harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur secara teknis dan detail peruntukan ruang sebagai upaya meminimalisasi terjadinya bencana oleh alam dan manusia. Menurut Pengurus Ikatan Ahli Perencana Abdul Alim Salam, beliau menyatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana terletak pada aspek pengendalian. Adanya unsur ketidaktahuan, kemiskinan, maupun keserakahan dari masyarakat menjadi faktor sulitnya menerapkan pengendalian atau pengawasan yang tegas.
    Melihat pendapat ini, menurut saya pemerintah diuji untuk menunjukkan keseriusannya dalam melaksanakan penataan ruang berbasis kebencanaan. Boleh kita berkonsep namun yang paling penting adalah eksekusinya, memang sudah ada beberapa daerah yang berhasil melaksanakan penataan ruang berbasis kebencanaan, salah satunya Kepulauan Mentawai dan Aceh seperti tulisan saudara Rita Puspitasari. Semangat dari Kepualauan Mentawai dan Aceh harus menjadi motivasi bagi daerah-daerah lain yang rentan terhadap bencana. Terima kasih.
    Novita Jumati/11202615/Manajemen Pertanahan.

    BalasHapus
  21.   Berdasarkan Materi teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana, yang disampaikan oleh direktorat tata ruang dan pertanahan Kementerian PPN/ Bappenas Tahun 2014 pada bab 3 Tentang Pengarusatamaan Pengurangan resiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah propinsi bahwa, mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, peran pelaksanaan penataan ruang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama pada tahap prabencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun terdapat potensi terjadinya bencana. Dalam situasi tidak terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan salah satunya melalui pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang (pasal 35). Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar (pasal 42). Dalam pelaksanaan penataan ruang, hal tersebut meliputi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan antara lain melalui mitigasi bencana (pasal 44). Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi bencana ini dilakukan salah satunya melalui pelaksanaan penataan ruang (pasal 47). Dalam hal ini, upaya pengurangan risiko bencana dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
      Dengan demikian terlihat bahwa peran pelaksanaan penataan ruang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama adalah untuk mengurangi risiko bencana, khususnya bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Upaya mengurangi risiko bencana ini dapat dilakukan dengan cara mempengaruhi besaran komponen-komponen yang mempengaruhi tingkat risiko bencana suatu kawasan. Dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, disebutkan bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada: (a) tingkat ancaman kawasan; (2) tingkat kerentanan kawasan yang terancam; dan (3) tingkat kapasitas kawasan yang terancam. Atas dasar itu, maka upaya pengurangan risiko bencana berupa:
    a. Memperkecil ancaman kawasan;
    b.Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam; dan
    c.Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.
      Seperti yang diuraikan sebelumnya bahawa tingkat risiko bencana suatu kawasan diperoleh berdasarkan pengkajian risiko bencana di kawasan tersebut. Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 (tiga) komponen risiko tersebut (ancaman, kerentanan, kapasitas) dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun nonspasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu kawasan. Oleh karenanya pengintegrasian pengkajian risiko bencana ini ke dalam perencanaan tata ruang menjadi sangat penting.
      Dikaitkan dengan tulisan Bapak tentang Penataan Ruang Berbasis Bencana, dalam hal ini menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi ke dalam RTRW sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang, maka hal tersebut akan sangat berkontribusi bagi pembangunan dalam rangka pengelolaan dan penataan ruang serta mengurangi resiko bencana di Indonesia. Didukung dengan peraturan perundang-undangan, maka akan sangat dimungkinkan terwujudnya penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan bencana yang akan digalakkan pada momentum revisi Rencana Tata Ruang Istimewa 2015 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, diharapkan hasilnya nanti dapat dijadikan acuan bagi Provinsi lain dalam upaya mengurangi resiko bencana di daerahnya dengan mengintegrasikan pemetaan pengurangan resiko bencana ke dalam RTRW Provinsi di Seluruh Indonesia.
    Novarini Jumati
    11202614/Manajemen pertanahan

    BalasHapus
  22. Yang menjadi rujukan terhadap berbagai kejadian bencana yaitu peran strategis tata ruang dalam pembangunan kota dan wilayah. Mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 5 ayat (2), dijelaskan bahwa penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana, serta diperkuat oleh UU No. 27 Tahun 2007 Pasal 7 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa Pemda wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah yang berbasis mitigasi bencana. Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia mendorong semakin pentingnya peran pengurangan resiko bencana. Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana {UNISDR, 2005 #340}. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar alokasi pemerintah Indonesia adalah dengan penguatan organisasi dan kapasitas yang terkait dengan fase tanggap darurat atau respon ketika bencana terjadi. Pola-pola manajemen bencana sampai dengan tahun 2007 dikoordinasi oleh Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) atau Satuan Tugas Pelaksanaan Penanggulangan Bencana (Satlak PB). Ini berarti usaha penanggulangan bencana diselesaikan melalui mekanisme koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi. Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang sejatinya adalah suatu instrumen pengurangan resiko bencana yang dilakukan pada saat tidak terjadi bencana, sampai dengan tahun 2007 belum benar-benar mendapatkan tempat sebagai instrumen penting. Untuk konteks perhatian HFA yang pertama, dalam konteks Indonesia memang telah dilakukan usaha integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam penyelenggaraan penataan ruang, yakni dapat dilihat dari keterkaitan antara UU No. 24 Tahun 2007 dan UU No. 26 Tahun 2007. Namun, persoalannya ialah sampai dengan saat ini belum terdapat suatu ukuran baku mengenai bagaimana kajian resiko untuk setiap jenjang perencanan perlu dilakukan sehingga dapat berdaya guna. Perencanaan tata ruang juga bertindak sebagai landasan utama pembangunan di daerah dengan penentuan alokasi ruang dari yang bersifat umum sampai dengan rinci. Selain itu, konteks integrasi dan pengarusutamaan (mainstreaming) pengurangan resiko bencana ke dalam perencanaan tata ruang di Indonesia juga dapat dikatakan terlewatkan karena secara kontekstual pemantauan atas kualitas rencana itu sendiri masih kurang terjamin, bahkan di dalamaspek-aspek umum yang telah dipraktikkan selama bertahun-tahun. Aspek penting lain dari perencanaan tata ruang dan kaitannya dengan pengurangan resiko bencana adalah fakta bahwa perencanaan dapat pula berfungsi sebagai media pengambilan keputusan dalam pembangunan. Dengan demikian, keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk resiko, mulai dari menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, sampai dengan memperkuat kapasitas. Keputusan tersebut dapat dilakukan dengan Sistem Infomasi Geografis (SIG). SIG mampu menciptakan protokol pengambilan keputusan untuk manajemen lahan dengan mengembangkan model hubungan antara environmental values (termasuk komponen pembentuk kerentanan) dengan berbagai data layer pada suatu wilayah perencanaan (Brody, 2004). SIG memiliki peran dalam pembangunan berkelanjutan pasca bencana, pada saat tanggap darurat dapat memberikan quick look yang informatif dan komunikatif sehingga membantu pengambilan keputusan serta pada jangka menengah dan panjang dapat menjadi basis utama dalam pembangunan. Dengan kata lain, perencanaan tata ruang memiliki kemampuan untuk mengurangi resiko dengan cara mengalokasikan peruntukan-peruntukan ruang (zonasi) untuk mengurangi besarnya resiko yang ditimbulkan. Integrasi dengan alat-alat PRB yang lain perlu dilakukan sehingga menghasilkan pengurangan resiko bencana yang komprehensif.
    AGRIN WIDIARTY SINAGA / 11202554 / MANAJEMEN PERTANAHAN

    BalasHapus
  23. Ruchyat Deni Dj dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia mengungkapkan bahwa pendekatan perencanaan pengembangan wilayah di Indonesia bersifat dinamis (periode 1960-an s/d 2000-an).
    1. Periode 1960-an
    Pendekatan pembangunan bersifat parsial dan sektoral. Pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan. Akibatnya terjadi kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan.
    2. Periode 1970-an
    Perumusan program pengembangan wilayah masih didominasi pemerintah (pusat) dan sektoral.
    3. Periode 1980-an
    Dimulai desentralisasi perencanaan (penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang ke-PU-an kepada Daerah) serta pendekatan pembangunan yang berkelanjutan.
    4. Periode 1990-an
    Menekankan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, peningkatan desentralisasi, peranserta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan, pengembangan kawasan strategis dan pembangunan berkelanjutan.
    5. Periode 2000-an
    Penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up approach) dan penyusunan RTRW disiapkan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan masyarakat.

    Perkembangan saat ini, pengurangan risiko bencana menjadi investasi pembangunan. Pengurangan risiko bencana menjadi bagian dari penataan ruang yang berperan dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang.
    Menurut saya, pelaksanaan penataan ruang berbasis bencana harus dilaksanakan sejalan dengan penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam upaya mitigasi, kemudian mengikutsertakan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (kebijakan bottom up).
    Sependapat dengan Anggraini D. S. keikutsertaan masyarakat dalam penataan ruang dapat diwujudkan dengan pemetaan partisipasitif (masyarakat sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai fasilitator).
    Dengan demikian diharapkan kebijakan penataan ruang dapat diterima, dipahami dan dilaksanakan masyarakat.
    MAHARANI WAHYU HAPSARI / 11202574 / PERPETAAN

    BalasHapus
  24. Menanggapi tulisan bapak yang berjudul Penataan Ruang Berbasis Bencana, maka menurut saya dibutuhkan suatu Informasi Geospasial yang mengintegrasikan dan menyinkronkan semua produk peta tematik kebencanaan yang telah banyak dihasilkan oleh berbagai institusi, namun tidak terintegrasi satu sama lain, bahkan seringkali terjadi duplikasi ke dalam satu peta. Untuk itu, maka diperlukan adanya Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang bermakna Satu Referensi, Satu Standard, Satu Database dan Satu Geoportal. Kebijakan ini mengandung arti bahwa peta atau informasi geospasial kebencanaan yang dihasilkan harus menjadi satu-satunya rujukan bagi semua pemangku kepentingan, tanpa ada dualisme ataupun duplikasi data.
    Menurut informasi yang saya peroleh dari http://www.bakosurtanal.go.id/, dengan pertimbangan tersebut, maka pemerintah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) dengan nama Kelompok Kerja Pemetaan Kebencanaan, untuk menangani aktivitas pemetaan kebencanaan secara nasional. Kelompok kerja ini terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga penghasil informasi geospasial kebencanaan antara lain BNPB, BIG, Kemen PU, BMKG, KKP, LAPAN, Kemenhut, Kementan, Kemen ESDM, Bapeten, dan Universitas (UGM, UI, ITB, ITS, dll).
    Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wiwit dan Nova Heviliana, menurut hemat saya, dengan pembentukan kabinet kerja yang merubah BPN menjadi Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI maka dapat menjadi tonggak awal untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ego kementerian dan ego sektoral antar kementerian/sektor dan mampu mengintegrasikan peta-peta tematik kebencanaan dengan Peta RTRW ke dalam satu peta demi terselenggaranya Kebijakan Satu Peta, yang mejadi salah satu Visi dan Misi Jokowi-JK dalam kampanyenya dulu, untuk mengurangi dampak bencana terhadap kerusakan infrastruktur dan korban jiwa. Amiinnnnn ya Rabb….

    Siti Aisyah Fitriyanti/11202585/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  25. Hadir Pak.
    Setelah membaca tulisan bapak dan pendapat semua teman-teman diatas, saya setuju dan bahkan beberapa teori menambah wawasan saya terkait tulisan diatas. Saya jadi ingat sebuah lirik lagu yang di populerkan Ebiet G. Ade
    "Mungkin Tuhan mulai bosan
    Melihat tingkah kita
    Yang selalu salah dan bangga
    dengan dosa-dosa
    Atau alam mulai enggan
    Bersahabat dengan kita
    Coba kita bertanya pada
    Rumput yang bergoyang".
    Seberapa bagusnya konsep atau terobosan yang dibuat terkait penataan ruang berbasis kebencanaan itu, tidak akan maksimal ketika implementasi dilapangan nihil, artinya baik kita sebagai masyarakat, aparat maupun pemerintah pembuat kebijakan, mulailah dari diri pribadi masing-masing bagaimana melakukan penataan terhadap hati kita untuk bisa menjaga alam ini. Terimakasih.

    BalasHapus
  26. Menanggapi tulisan Bapak, Penataan ruang berbasis bencana sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Mengingat, secara geografis Indonesia berada pada kawasan rawan bencana yang sering disebut sebagai “ring of fire”. Menurut Enni Lindia Mayona, ST, MT dalam tulisannya Arahan Pengembangan Kota Berbasis Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Kota Garut, Jawa Barat), beberapa hal mendasar dalam penataan ruang yang berbasiskan mitigasi bencana alam, diantaranya adalah sebagai berikut:
    1. Penataan Ruang didasari pengenalan dan pemahaman atas risiko kebencanaan di kawasan yang akan ditata sehingga diperlukan kajian zonasi kawasan bahaya.
    2. Pengaturan pemanfaatan ruang yang memiliki ancaman bencana melalui pengaturan fungsi ruang, aturan membangun,dan pembatasan penggunaan tanah.
    3. Pengembangan struktur ruang dengan memperhatikan kebutuhan prasarana/fasilitas penting pendukung kawasan rawan bencana.
    4. Penyediaan jalur-jalur dan daerah evakuasi dan bantuan darurat untuk antisipasi keadaan darurat.
    Selanjutnya, penataan ruang berbasis mitigasi bencana harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga tata ruang yang ada dapat mengurangi resiko bencana. Tak lupa pula, pengendalian penataan ruang perlu dilakukan karena saat ini banyak sekali pelanggar tata ruang dan hanya dibiarkan begitu saja, yang nantinya akan berdampak kembali pada pelanggarnya. Sehingga diperlukan penyadaran pada masyarakat, betapa pentingnya upaya pengurangan resiko bencana, dengan menaati tata ruang di wilayahnya. Terima kasih.

    Masfufah/ 11202611/ Manajemen

    BalasHapus
  27. Senada dengan tulisan bapak yang berjudul "Penataan Ruang Berbasis Bencana" serta pendapat teman-teman lainnya bahwa dalam upaya mitigasi bencana diperlukan penataan ruang berbasis bencana dalam skala yang lebih detail, khususnya kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi. Diharapkan upaya mitigasi bencana dapat dilaksananakan maksimal, baik upaya pencegahan & persiapan sebelum terjadinya bencana. Sebagaimana disampaikan Direktur Pembinaan Penataan Ruang Wilayah II Ir. Bahal Edison Naiburhu, MT, dalam acara "Obrolan Tata Ruang Bersama Kementrian Pekerjaan Umum" di Radio Trijaya FM. Edison menyampaikan bahwa, penataan ruang berperan dalam upaya pencegahan dengan memetakan kawasan rawan bencana serta mengatur kegiatan & pemanfaatan ruangnya termasuk menpersiapkan jalur & ruang evakuasi. Sampai saat ini beberapa wilayah telah menerapkan penataan ruang berbasis bencana, namun dalam pelaksanaannya pengaturan kegiatan serta pemanfaatan ruangnya masih sulit untuk diterapkan karena berbagai konflik kepentingan. Selain itu juga masih kurang detailnya tingkat rencana tata ruang yang dibuat & bersifat indikatif. Ke depan perlu diprioritaskan perencanaan detail tata ruang di kawasan rawan bencana. Rencana detail harus dicantumkan pengaturan kegiatan, pemanfaatan ruang serta sarana infrastruktur. Dicontohkan di Jakarta dengan struktur tanah & kontur memiliki banyak daerah genangan sehingga memerlukan pengembangan sistem folder, terkait dengan masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan & menghindari kawasan rawan bencana. Selain itu juga diperlukan upaya merelokasi masyarakat yang menurut masyarakat mereka sudah berada pada zona nyaman atau comfort zone, sebagai contoh masyarakat disekitar Gunung Merapi, dimana mereka enggan untuk direlokasi ke daerah yang lebih aman karena mereka telah merasa nyaman berada di daerah yang selama ini mereka tinggali walaupun daerah tersebut berada pada kawasan rawan bencana. DIAN INDAH SUSANTI/ Manajemen Pertanahan/ NIM. 11202563

    BalasHapus
  28. Mitigasi bencana dan tindakan-tindakan antisipasinya adalah syarat mutlak untuk dapat hidup berdampingan dengan alam. Diperlukan poltical will dari Pemerintah agar dapat memprioritaskan program mitigasi bencana. Sebagaimana tulisan Bapak di atas bahwa salah satu bentuk political will Pemerintah DIY yaitu dengan melakukan revisi RTRW 2015 dan memasukan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan bencana. Perihal penataan ruang berbasis bencana juga diungkapkan Agus Rachmat dalam Manajemen dan Mitigasi Bencana. Dalam tulisannya dinyatakan bahwa mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi non struktural yaitu diwujudkan dengan perencanaan penataan ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana. Sedangkan mitigasi struktral yaitu terkait dengan usaha-usaha keteknikan dengan membangun struktur bangunan yang aman terhadap bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, memperkokoh struktur serta membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai dll. Selain itu Agus Rachmat juga menyatakan bahwa diperlukan mitigasi bencana yang berbasis masyarakat, penguatan kelembagaan baik Pemerintah, masyarakat maupun swasta yang bertujuan agar masyarakat lebih berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan dari bencana. (Agus Rachmat, Manajeman dan Mitigasi Bencana, http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Social-Welfare/Disaster/Manajemen%20dan%20 mitigasi.pdf)
    Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang berbasis bencana yaitu terkait pelestarian lingkungan. Konsep pelestarian lingkungan penting diperhatikan dalam mitigasi bencana, terutama dikota besar yang padat penduduk. Penataan ruang perlu memperhatikan ketersediaan sarana prasarana perkotaan seperti saluran drainase, selokan, TPA sampah, dan RTH (ruang terbuka hijau). (A Hermanto Dardak, Direktur Jendaral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/070315.pdf).

    Nordina Marni/11202578/Perpetaan

    BalasHapus
  29. Mohon izin menanggapi tulisan Bapak...
    Dalam tulisan Dr. Ir. Sujana Royat, DEA yang berjudul Penataan Ruang dan Pengentasan Kemiskinan Daerah Di Era Otonomi Daerah terdapat 3 permasalahan besar di Indonesia terkait dengan penataan ruang, yakni; 1) Konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang; 2) Penurunan daya dukung atau degradasi lingkungan; serta 3) inkonsistensi dalam pengembangan kebijakan penataan ruang.
    Begitu pula dalam konteks kebencanaan, Harus diakui bahwa Indonesia merupakan kawasan yang berpotensi terjadi bencana, baik bencana fisik, maupun bencana sosial. Secara umum, seluruh wilayah Indonesia berada pada daerah rawan bencana alam sedangkan secara sosial, kerentanan bencana sosial di Indonesia banyak disebabkan oleh faktor pruralisme masyarakat baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, ras, dan agama.
    Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan bahwa ruang sebagai wadah yang meliputi ruang darat, laut, dan udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan penataan ruang dipahami sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu ruang tidak didefinisikan dalam arti fisik dan material semata, tetapi sebagai wadah interaksi sosial manusia dan mahkluk hidup lainnya dalam menyelenggarakan aktivitas hidupnya. Untuk menghindari konflik dalam pemanfaatan ruang, maka pengelolaan dan pemanfataan ruang harus direncanakan dan dikendalikan.
    Bencana sosial tidak dapat dipandang sebelah mata, dan harus dipahami bagaimana kekuatan sosial mampu mengubah arah kebijakan politik nasional seperti pada tahun 1998. Oleh karena itu jangan sampai benih-benih terjadinya bencana sosial tersebut tumbuh subur dan berkembang secara meluas serta perlu diupayakan cara untuk mengurangi gesekan-gesekan sosial yang rentan terjadi dalam masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan penataan ruang yang memperhatikan aspek sosial ekonomi seperti pemerataan pembangunan, melalui instrument tata ruang. Diharapkan penataan ruang yang berkeadilan sosial dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial yang dapat memicu terjadinya bencana sosial.
    Terkait hal tersebut, maka diperlukan perencanaan tata ruang pada tingkat nasional, propinsi, serta kabupaten/kota yang harus saling terkait dan terkoordinasi serta memperhatikan perkembangan permasalahan global, pemerataan pembangunan, pertumbuhan, serta stabilitas ekonomi.
    Perencanaan tata ruang tidak hanya memperhatikan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut, tetapi juga memperhatikan rencana strategis penataan ruang secara terintegrasi pada tingkat nasional maupun tingkat propinsi. Selain itu, juga perlu memperhatikan perencanaan tata ruang yang dibuat oleh daerah yang berbatasan dengan wilayahnya. Oleh sebab itu diperlukan koordinasi perencanaan ruang antar wilayah, sehingga tidak menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar wilayah.
    Terima kasih.
    Hayyina A/11202605/Peretaan

    BalasHapus
  30. Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi pembangunan yang multidimensi memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan bentuk kegiatan mitigasi yang akan digunakan akan bergantung kepada jenis bencana dan tujuan kegiatan tersebut. Godschalk (1991) dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis kegiatan mitigasi dan tujuan yang dapat diraih oleh kegiatan tersebut. Kegiatan – kegiatan tersebut dapat digunakan untuk beberapa jenis bahaya alam sekaligus, hal ini memerlukan keterampilan kajian resiko bencana sehingga pilihan intervensi menjadi sesuai. Hal ini sejalan dengan fungsi implementasi perencanaan penggunaan rencana guna lahan untuk manajemen ekosistem yang dapat dilakukan melalui pemutakhiran data, pemetaan data kepemilikan, analisis dampak dari manusia; tujuan guna lahan (kebijakan terdiri atas mekanisme insentif, akuisisi lahan, dan kebijakan lainnya).
    Berkaitan dengan artikel diatas, di dalam menghasilkan tata ruang yang mempertimbangkan unsur-unsur kebencanaan serta menentukan alat mitigasi yang akan digunakan, teknik pertampalan (overlay) antara konsep pembangunan dengan daerah-daerah beresiko bencana hasil analisis resiko perlu dilakukan. Hasil pertampalan dapat digunakan untuk mengoreksi usulan perencanaan, baik struktur ruang, pola ruang, maupun penentuan kawasan – kawasan strategis, yang diatur di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, maupun Kota. Hal yang perlu diperhatikan ialah adanya kebutuhan dan kesesuaian skala kedetailan resiko bencana yang dihasilkan dengan tingkat kedetailan rencana tata ruang yang akan diperkaya dengan resiko bencana tersebut. Sebagai contoh, peta resiko untuk mengoreksi rencana rinci (misalnya RDTR) tentu berbeda dengan rencana umum tata ruang (RTRW). Perbedaan ini juga secara signifikan menentukan seberapa detail rekomendasi pengurangan resiko melalui perencanaan tata ruang dapat dihasilkan. Pada akhirnya, usaha pertampalan harus berorientasi akhir pada keluaran produk rencana tersebut karena rencana tata ruang merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan penataan ruang yang baku. Dengan demikian perencanaan tata ruang hasil pengumpulan dan dan analisis informasi tentang kesesuaian pembangunan dari daerah yang terpapar (exposed) terhadap bencana alam dapat diketahui oleh masyarakat, investor potensial-pelaku usaha, dan pemerintah.

    Jadi Wahyu Hadi
    NIM. 11202609/Perpetaan

    BalasHapus
  31. Penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Aman di sini dapat diartikan sebagai aman dari bencana alam, bencana sosial dan bencana kegagalan teknologi. Sebagai bentuk perwujudan ruang yang aman dan berkelanjutan ini, proses perencanaan tata ruang ini perlu memperhatikan aspek mitigasi bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan pengkajian resiko bencana meliputi tingkat ancaman, kerentanan, kapasitas, resiko serta kebijakan penanggulangan bencana. Untuk itu dalam perencanaan tata ruang harus memanfaatkan hasil kajian dan peta resiko bencana dalam penyusunan materi teknisnya, serta dalam pedoman penyusunan rencana tata ruang harus mengintegrasikan seluruh aspek mitigasi bencana baik secara proses, muatan dan kelembagaan. (sumber: Materi teknis revisi pedoman penyusunan rencana tata ruang berdasarkan perspektif pengurangan resiko bencana)
    Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi pembangunan memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan bentuk kegiatan mitigasi yang akan digunakan akan bergantung kepada jenis bencana dan tujuan kegiatan tersebut. Implementasi perencanaan penggunaan lahan dapat dilakukan melalui pemutakhiran data, pemetaan data kepemilikan, tujuan guna lahan dan kebijakan. Selain itu juga perlu melibatkan peran masyarakat dalam penataan ruang. Saya sependapat dengan apa yang telah disampaikan Anggraini D.S mengenai keterlibatan masyarakat dalam pembuatan peta, dikarenakan masyarakat dinilai memilik pengetahuan mendalam mengenai wilayahnya, sehingga peta yang dihasilkan lebih detail dan akurat. Hal ini dikarenakan masyarakatlah yang lebih mengetahui wilayahnya tersebut. Alasan pelibatan masyarakat yaitu bahwa masyarakat setempat lebih mengetahui karakteristik, keunikan, ancaman bencana, dan pengelolaan ekosistem serta nantinya akan menerima dampak langsung dari berbagai kegiatan pengelolaan wilayahnya. Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah ini mengatur bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.

    Eva Hanora Suryati/11202565/Manajemen

    BalasHapus
  32. Setuju dengan apa yang dituliskan Bapak….
    Penataan keruangan merupakan suatu investasi pembangunan yang berfungsi sebagai guidence dalam perkembangan suatu wilayah. Dalam konteks ini penataan ruang adalah kebijakan dari pemerintah daerah yang berwujud Rencana Tata Ruang Wilayah yang tidak hanya berpedoman pada mainstreaming penataan ruang, tetapi juga berpedoman pada mainstreaming pengurangan resiko bencana. Pernyataan ini senada dengan yang disampaikan oleh Heri Sutanta, Abbas Rajabifard dan Ian D Bishop dalam Integrating Spatial Planning and Disaster Risk Reduction at Local Level in the Contex of Spatially Enabled Government yaitu “spatial planning is responsible for the decision on long term utilization of land”. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa penataan ruang merupakan suatu instrumen untuk melakukan penataan terhadap suatu wilayah guna penggunaan jangka panjang dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah mempunyai peran yang fundamental dalam pengurangan resiko bencana. Menurut Fleischhauer et al (2005) terdapat empat peran Rencana Tata Ruang Wilayah dalam pengurangan resiko bencana yaitu:
    1. Merupakan instrumen untuk melarang pembagunan di daerah rawan bencana. Terutama daerah yang mempunyai sejarah terkena bencana. Area yang dilarang tersebut diperlukan untuk daerah tanggap darurat dan retensi, maka dari itu harus tetap bebas dari pembangunan.
    2. Instumen untuk pengaturan klasifikasi penggunaan lahan. Setiap daerah mempunyai ciri khas topografi yang berbeda-beda. Seperti lereng curam yang sangat rentan dengan bencana longsor tidak boleh dijadikan daerah perumahan atau komersial, tetapi mungkin cocok untuk daerah perkebunan.
    3. Mengatur penggunaan lahan atau rencana zonasi dengan status yang mengikat secara hukum. Di daerah yang rentan terhadap gempa, peraturan tentang kepadatan bangunan sangat penting untuk mengurangi dampak runtuhnya bangunan.
    4. Modifikasi ancaman bencana. Perencanaan tata ruang dapat berperan dalam mempromosikan metode rekayasa untuk mengurangi resiko bencana. Seperti modifikasi retarding basin (kolam retensi) dalam penanganan daerah rawan banjir.
    Di Indonesia secara hukum telah dilakukan usaha integrasi antara penyelenggaraan penataan ruang dan pengurangan resiko bencana, yakni dapat dilihat dari keterkaitan antara UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 35 huruf f UU 24/1997 menyatakan agar melaksanakan dan menegakkan tata ruang dalam upaya penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana. Hal ini dilanjutkan dalam pasal 42 yang menyatakan pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf f dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan dan penerapan sanksi terhadap pelanggar. Sementara dalam UU 26/2007 pada bagian menimbang menyatakan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Penataan ruang berbasis mitigasi bencana sudah menjadi amanat kontitusi dan sangat diperlukan dalam upaya penanggulangan resiko bencana di Indonesia. Sekarang tinggal implementasinya oleh pemerintah daerah guna mewujudkan penataan ruang yang dapat menjadi pedoman dalam pembangunan wilayah dan dapat menjadi suatu instrumen untuk menekan resiko bencana.
    Terima Kasih
    Aang Firdaus / 11202592 / Perpetaan

    BalasHapus
  33. Pada modul yang disusun oleh Cambridge Architectural Research Limited: A.W. Carburn, R.J.S.. Spence, dan A. Pomonis, Mitigasi dari pandangan umum berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari satu bahaya sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang uas dari tindakan-tindakan perlindungan yang dilakukan baik dari segi fisik seperti membangun bangunan-bangunan yang kuat (dilakukan oleh Negara Jepang yaitu bangunan anti gempa), sampai dengan yang procedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan lahan. Berdasarkan pandangan di atas, tindakan mitigasi yang dimaksudkan pada tulisan di ini yaitu tindakan mitigasi bencana dari segi procedural. Pada modul tersebut juga menjelaskan bawha tindakan mitigasi procedural merupakan tindakan yang memerlukan jangka waktu yang lama. Penataan ruang terhadap kawasan rawan bencana memerlukan waktu yang terbilang cukup lama dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik. Sedangkan kita tahu bahwa kebijakan-kebijakan politik terus mengalami perubahan bergantung kepada pemimpin yang menjabat pada saat itu. Apabila ini menjadi prioritas pada saat sekarang ini maka sebaiknya yang dilakukan adalah melembagakan mitigasi bencana itu sendiri. Melembagakan mitigasi bencana memerlukan suatu kensensus pendapat-pendapat bahwa upaya-upaya untuk mengurangi resiko bencana merupakan kepentingan yang harus terus berlangsung.

    Ariesandy Alimuddin / 11202558-manajemen pertanahan

    BalasHapus
  34. Dr. Eko Alvares. Z. MSA (Dosen Arsitektur Universitas Bung Hatta) dalam Seminar Nasional Implementasi Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Bencana di Universitas Bung Hatta memaparkan bahwa setiap wilayah dan kota mempunyai karakteristik yang berbeda, alam dan budaya juga berbeda. Ancaman dan kerentanan akibat bencana juga menjadi sangat bervariasi dan intensitas yang berbeda pula. Menurut beliau selama ini tahapan dan proses penyusunan perencanaan wilayah dan kawasan sering kali cenderung menjadi sama, sehingga karakter dan persoalan khas wilayah dan kawasan kurang mendapat perhatian. Proses perencanaan memerlukan waktu yang relatif panjang, sementara persoalan aktual dan faktual terus berkembang. Peta RTRW Kota, Kabupaten dan RDTR saat ini dianggap masih kurang operasional sebagai rujukan pengendalian pembangunan dan tidak disertai aturan pemanfaatan ruang yang lengkap. Dr. Eko menyatakan diperlukannya zonasi yang merupakan perangkat aturan pada skala blok sepeti di negara maju, sehingga lebih potensial untuk melengkapi aturan dalam pelaksanaan RDTR Kota agar lebih operasional.
    Pemerintah sudah membuat peta resiko bencana melalui BNPB di semua provinsi Indonesia. Namun, dalam praktiknya peta risiko bencana bahkan peta rawan bencana belum dijadikan pedoman dalam penyusunan tata ruang. tata ruang berbasis mitigasi harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan para pihak berkepentingan. Oleh karena itu, penataan ruang berbasis bencana harus dapat diwujudkan dengan pembenahan sistem maupun produk yang dihasilkan.
    Menanggapi tulisan Bapak di atas, penataan ruang berbasis bencana atau yang diistilahkan dengan penataan ruang istimewa harus segera diwujudkan agar dapat mewujudkan pengurangan resiko bencana berkelanjutan. Dengan tentunya memperhatikan karakteristik tiap wilayah baik alam maupun sosial budayanya serta memperhatikan keberadaan peta-peta kerawanan bencana yang sudah dimiliki tiap daerah agar dapat digunakan dan dijadikan acuan pembuatan RTRW dan RDTR di masa yang akan datang.
    Sebagai contoh RDTR yang telah berbasis mitigasi bencana dan memperhatikan kekhasan wilayah adalah RDTR Kecamatan Kuta, Bali (antarabali.com). Dengan memperhatikan topografi Kecamatan Kuta dan tinggi rendahnya permukaan pasang surut air laut serta mempertahankan keberadaan hutan mangrove RDTR Kecamatan Kuta dirancang sedemikian rupa. Selain itu, jalur evakuasi dan tempat-tempat evakuasi yang dilengkapi sarana peringatan dini juga disiapkan dalam RDTR Kuta ini. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi ancaman bahaya tsunami. Dalam rancangan RDTR Kecamatan Kuta pengaturan intensitas pemanfaatan ruang tersebut menjadi fokus sehingga penataan Kuta diharapkan menjadi lebih tertata dan lingkungan menjadi lebih nyaman.
    Terimakasih.
    Renggalita Putri Perdana/NIM. 11202618/Sem.VII/Perpetaan

    BalasHapus
  35. Menanggapi tulisan bapak, upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Undang-undang 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang merubah paradigma perencanaan pembangunan di Indonesia yaitu menjadi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Ada tiga aspek yang mendasari paradigma ini yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Ketiga aspek ini diharapkan mampu berjalan beriringan agar terjadi suatu keseimbangan dalam perencanaan pembangunan. Dengan pembangunan yang berkelanjutan, pengurangan risiko bencana menjadi salah satu aspek penting dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal tersebut menjadi sangat penting, sehingga seluruh proses dan prosedur penataan ruang wilayah dan kota di Indonesia harus mempertimbangkan aspek kebencanaan dan konsep mitigasi bencana, mengingat DIY merupakan daerah yang memiliki tingkat ancaman bahaya yang sangat tinggi.
    Pada saat ini upaya manajemen bencana di Indonesia masih menitikberatkan pada tahap saat terjadi bencana dan pasca bencana saja, sehingga untuk ke depan peran dan fungsi penataan ruang sebagai aspek mitigasi bencana sebenarnya menjadi sangat strategis berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pertimbangan-pertimbangan tersebut merupakan upaya untuk mencegah atau paling tidak dapat meminimalkan korban yang diakibatkan oleh bencana.
    Terima Kasih.
    Randitama T. M. Simanjuntak / 11202617 / Manajemen P.

    BalasHapus
  36. Mohon ijin berkomentar pak
    Menanggapi tulisan bapak saya sangat setuju pak. Saya hanya menambahkan Dalam Pengurangan Resiko bencana (PRB) kuncinya adalah kerjasama dari semua pihak baik dari elemen pemerintah, LSM, Komunitas-komunitas, serta masyarakat itu sendiri seperti yang telah dikatakan Lukman Hakim dari Oxfam. Pemerintah berperan dalam membuat dan menentukan kebijakan regulasi yang terkait dengan PRB seperti yang telah bapak paparkan diatas bahwa dalam kebijakan penataan ruang wilayah dapat dialokasikan tentang PRB. Kemudian masyarakat pun dapat berperan dalam PRB dengan bekerjasama dengan LSM dan komunitas-komunitas dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri yang pada intinya adalah Menangguhkan masyarakat dalam PRB. Terkait tulisan bapak ketika pemerintah sudah menintegrasikan PRB dalam RTRW maka resiko bencana dapat ditekan karena hal ini termasuk dalam penanganan Pra bencana dan sistem penataan ruang istimewa ini dapat diterapkan di daerah-daerah masuk kawasan rawan bencana seluruh Indonesia.

    Sumber: http://oxfamblogs.org/indonesia/mari-budayakan-pengurangan-resiko-bencana/
    http://pusakaindonesia.or.id/page.php?27

    Reynold Emmanuel
    11202619
    Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya setuju dengan komentar anda mas Bege..

      Hapus
  37. Setelah membaca tulisan bapak dan pendapat rekan-rekan lainnya, menanggapi hal di atas, dilihat perlu adanya dukungan oleh semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan, jadi semua harus mampu menjadi pelaku yang harus berperan utama, bukan hanya berperan serta dalam upaya mengurangi resiko bencana. Menurut Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM Sumatra Utara Surono “pemanfaatan tata ruang yang bebrbasis bencana setidaknya dapat mampu menekan resiko sekecil mungkin bila terjadi bencana alam” dengan kata lain dibutuhkan ketaatan dari masyarakat dalam pemanfaatan lahan yang merujuk pada Penataan Ruang Berbasis Bencana yang sesuai dengan RTRW. Ketidak taatan masyarakat dapat mengakibatkan bencana dan kerugian yang besar, sehingga upaya mitigasi yang telah dilakukan oleh pemerintah tidak akan berjalan dengan baik, korban dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana tidak dapat ditekan. Dapat dicontohkan ketidak taatan masyarakat seperti Longsor di Banjarnegara, dengan struktur tanah yang rawan lonsor & kemiringan lereng diatas 40% (Daryono: Peneliti di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) serta ketidak sesuaian dengan RTRW, dimana lokasi bencana tidak diperuntukan untuk pemukiman melaikan untuk hutan lindung. Karena ketidak taatan masyarakat dalam pemanfaatan lahan berdampak pada begitu besarnya korban jiwa dan kerugian material.
    JUNARDI/ NIM. 11202572/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  38. Penataan ruang berbasis kebencanaan yang dikemukakan oleh Bapak di atas merupakan salah satu hal yang jitu dalam upaya pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana. Namun dalam pelaksanaanya tentu tidaklah mudah. Momentum revisi RTRW pada kenyataannya seringkali bertabrakan dengan desakan politik dan ekonomi para pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan. Di sisi lain pelaksanaan perbaikan RTRW menuju penataan ruang berbasis kebencanaan haruslah memikirkan dampak yang diakibatkan dari sisi sosial, budaya, ekonomi dan politik bagi masyarakat.
    Misalnya saja masyarakat yang telah memiliki bangunan permanen dan hidup bertahun-tahun di kawasan rawan bencana tentu tidak mudah untuk menerima kebijakan penataan ruang yang berubah seketika, misalnya perubahan peruntukan dari kawasan pemukiman yang direvisi menjadi kawasan pertanian.
    Oleh karena itu sejalan dengan tulisan Ati Widiati, APLIKASI MANAJEMEN RISIKO BENCANA ALAM DALAM PENATAAN RUANG KABUPATEN NABIRE dalam Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta. Penataan ruang berbasis kebencanaan haruslah diikuti dan berjalan bersamaan dengan kegiatan yang memikirkan faktor psikis masyarakat. Menurut Ati Widiati, Manajemen Resiko Bencana perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen penyusunan RTRW, yaitu:
    a. Pengaturan ruang
    • Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang aman antara lain melalui analisis jenis tanah dan struktur geologi.
    • Mengalokasikan perumahan dan fasilitas umum yang vital (rumah sakit, sekolah, pemadam kebakaran, dan sebagainya) pada area yang aman.
    b. Pengembangan sistem informasi dan keteknikan
    c. Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, serta
    d. Kelembagaan.
    Untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak bencana alam, maka komponen Manajemen Risiko Bencana perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam penyusunan RTRW provinsi/kabupaten/kota. Jika komponen manajemen risiko bencana alam belum dipertimbangkan dalam penyusunan RTRW yang ada saat ini, maka perlu dilakukan revisi untuk mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak dari suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan.
    Anita Hermawashinta Dewi
    11202556/perpetaan

    BalasHapus
  39. Enni Lindia Mayona, ST, MT dalam Seminar Nasional Perencanaan Wilayah Kota menulis mengenai Arahan Pengembangan Kota Berbasis Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Kota Garut, Jawa Barat). Tulisan ini mengulas mengenai pengelolaan bencana alam dapat dilakukan dengan melakukan mitigasi. Mitigasi bencana dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana dapat diterjemahkan dalam konteks penataan ruang sebagai alat untuk mencegah/ menghindari / menghilangkan bahaya (hazard), mengurangi tingkat kerentanan, dan meningkatkan ketahanan dari suatu wilayah/kawasan tertentu. Implementasinya dapat diwujudkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 (UU 24/2007) tentang Penangulangan Bencana mengamanatkan penataan ruang dalam konteks penanggulangan bencana. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi resiko bencana dengan menyerap hasil kajian resiko bencana ke dalam rencana tata ruang, penerapan standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 (UU 26/2007) tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan penataan ruang berbasis bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.
    Buletin tata ruang dan pertanahan dengan judul Tinjauan Kebencanaan: Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur menuliskan bahwa indikasi kerawanan bencana dapat digunakan dan diolah untuk mempersiapkan kemampuan kawasan di masa mendatang dalam menghadapi bencana dan membantu fokus perencanaan tata ruang wilayah dalam mitigasi bencana. Rekomendasi khusus untuk instansi terkait dalam artikel tersebut antara lain:
    1. Badan Informasi Geospasial (BIG) mengusahakan dan mempersiapkan dukungan untuk penyususnan RDTR berbasis mitigasi bencana skala 1:5000 dan 1:10.000 khususnya pada KSN Jabodetabekpunjur,
    2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengintegrasikan sistemnya dengan infrastruktur data spasial nasional yang dikerjakan oleh BIG,
    3. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) juga melengkapi pedoman penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis nasional dan rencana tata ruang wilayah dengan analisis resiko bencana dalam penyususnan rencana tata ruang.
    Menanggapi artikel yang bapak tulis yang berjudul Penataan Ruang Berbasis Bencana dengan beberapa artikel yang sudah saya baca, pengurangan resiko bencana dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan alokasi pemanfaatan ruang. Pemetaan zona kebencanaan berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana dengan cara menginformasikan kerawanan bencana dengan memperhatikan aspek-aspek kebencanaan pada struktur dan pola ruang. Sehingga membutuhkan peta yang memiliki satu referensi (One Map Policy). Buletin tata ruang dan pertanahan dengan judul Tinjauan Kebencanaan: Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabekpunjur yang merekomendasi khusus kepada instansi BIG, BNPB dan Kementerian PU untuk saling berkoordinasi mewujudkan tujuan UU No. 4 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT) dalam One Map Policy dapat terwujud. Menurut saya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dapat berkontribusi dalam menyediakan peta dan data hasil penelitian maupun hasil survei seperti peta tematik dan peta tata guna tanah untuk mendukung kebijakan One Map Policy.
    Vera Novita Mayasari/ 11202629/ Perpetaan

    BalasHapus
  40. Belum lama ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan The International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University, mengadakan Seminar Internasional yang berlokasi di Hotel Borobudur, Jakarta dengan tema: “Toward a Resilient Maritime Nation to Natural Disasters for Ensuring Sustainable Marine Investment and Development”. Pada Seminar Internasional tersebut turut diikuti oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan. Adapun topik seminar yang dikuti oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, yaitu Land use and spatial planning in pre and post disaster situation (best pratices), membahas materi housing after disaster: lessons from the experience in Japan dengan narasumber Dr. Kanoko Luchi (IRIDeS, Tohoku University). Di dalam forum dicapai kesepakatan bahwa upaya pengurangan risiko bencana akan lebih efektif jika dimulai dan dilakukan di tingkat lokal yang melibatkan pemerintah dan masyarakat lokal. Di Jepang, upaya pengurangan risiko bencana dilaksanakan di tingkat lokal (kecamatan/desa). Pelaksanaannya efektif dan lebih mudah jika dibandingkan di Indonesia, karena didukung oleh kapasitas SDM (baik masyarakat, tenaga ahli) yang baik, serta komitmen pemerintah lokal dan masyarakat.
    Sementara di Indonesia, pelaksanaan tata ruang berbasis mitigasi bencana belum mampu mendorong partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan. Upaya penanggulangan bencana partisipatif masih menempuh jalan yang panjang dan harus didukung pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga pemerintah daerah bahkan kecamatan/desa seperti yang terjadi di Jepang. Apabila RTRW menjadi basis utama penanggulangan bencana, maka harus diselesaikan dengan sesegera mungkin mengingat tingkat kerentanan bencana tiap wilayah di negara dengan banyak pulau ini sangat berbeda. Penyusunan RTRW seharusnya tidak hanya menampung kepentingan politik semata namun berperan penting dalam menjamin keselamatan warga Negara.
    DIPTYO BAGAS.D / 11202600 / Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  41. Setuju dengan apa yang Bapak tuliskan, bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat diletakkan melalui penataan ruang. Penataan ruang memang tidak hanya berkaitan dengan perencanaan dan pemanfaatan ruang, tetapi juga pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk pengendalian terhadap kemungkinan terjadinya bencana, sehingga mampu berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana. Penataan ruang berbasis mitigasi bencana juga telah diakomodir dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 24/1992, yang kemudian direvisi menjadi No. 26/2007. Dalam UUPR tersebut dijelaskan, Pemerintah Daerah baik provinsi, kabupaten/kota harus menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur secara teknis dan detail peruntukan ruang sebagai upaya meminimalisasi terjadinya bencana oleh alam dan manusia.
    Namun peluang adanya kendala tentu saja ada. Melihat komentar Sdri. Novita Jumati, diketahui bahwa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana terletak pada aspek pengendalian. Kemudian dari referensi yang ditulis Ummu Hilmi diketahui bahwa terdapat 3 permasalahan besar di Indonesia terkait penataan ruang yang poin pertamanya adalah konflik kepentingan dalam penataan ruang. Dari Keduanya diketahui bahwa faktor manusia menjadi kendala utama.
    Dengan demikian masalah pengendalian sangat penting untuk lebih diperhatikan, maka dalam revisi RTRW DIY 2015 hendaknya menjadikan poin pengendalian sebagai hal yang tidak dilupakan.

    GITA ANGGRAINI / 11202568 / Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  42. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  43. Kebijakan penataan ruang merupakan salah satu bentuk soft infrastructure yang belum banyak tersentuh oleh karena hard infrastructure masih menjadi primadona dalam perencanaan pembangunan. Padahal secara teoritik maupun empiris telah terbukti bahwa penataan ruang merupakan salah satu faktor penting dalam mengurangi resiko bencana. Tata ruang yang terintegrasi dengan kajian resiko bencana mampu mengurangi dampak negatif dari bencana yang diperkirakan terjadi. Hal ini juga berarti memberikan jaminan terhadap resiko dari investasi, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat.
    Melalui kegiatan penataan ruang, diharapkan arahan mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan budidaya dapat diakomodasi dan menjadi dasar guideline development pembangunan berkelanjutan. Dengan melihat fakta bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat potensi tinggi terjadi bencana alam, maka rencana tata ruang melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN telah memuat substansi terkait arahan mitigasi kebencanaan.
    Pada tataran mikro, maka intervensi spasial terhadap kawasan pesisir yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tsunami dan gempa selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut: Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat bencana tsunami dan gempa sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi. Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture); area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar. Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip (working with nature).
    Terkait kompleksitas persoalan bencana dalam dampak makro yang ditimbulkannya, maka kegiatan penataan ruang diperlukan sejalan dengan beberapa isu-isu umum terkait mitigasi bencana, seperti: Belum terdapatnya peta-peta pendukung perencanaan yang berbasis kebencanaan, Belum adanya pertimbangann aspek kebencanaan (tahap pra bencana, kejadian bencana, pasca bencana) yang ditunjang dengan belum lengkapnya data kebencanaan yang ada, Belum optimalnya koordinasi antar sektor terkait penanganan kebencanaan, Belum tersedianya peraturan dan perundangan beserta kebijakan mengenai penanganan bencana berskala nasional, serta Masih rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah dalam mensikapi kondisi alam dikawasan rawan bencana Keberadaan pada berbagai zona kawasan bencana alam geologi.
    Upaya mitigasi bencana dalam merumuskan arahan pengembangan kota diharapkan dapat mewujudkan terciptanya lingkungan kota yang aman, nyaman, dan produktif dan dapat menjadi masukan yang berguna bagi pemerintah daerah dalam perumusan arahan penataan ruang kota dan pengambilan keputusan penanganan bencana.

    Sumber :
    https://prolatpkd.wordpress.com/2012/11/30/refreshing-course-penataan-ruang-berbasis-mitigasi-bencana/ (refreshing course dalam rangkaian acara Ulang Tahun Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM)
    http://www.manajemen-bencana.com/2011/08/konsep-pengurangan-risiko-bencana.html

    YONA DWI LESTARI / 11202591 / MANAJEMEN PERTANAHAN

    BalasHapus
  44. Permisi, izin berkomentar nggih,,,
    Menanggapi tulisan Bapak yang berjudul Penataan Ruang Berbasis Bencana, saya tertarik dengan statement Bapak mengenai mitigasi yang menunjuk pada pengurangan resiko bencana bersifat preventif dan harus diletakkan pada aktivitas yang berkelanjutan melalui instrumen yang mengikat bagi pelaku pembangunan. Lebih lanjut, Instrumen ini berperan sebagai guidence pembangunan sekaligus memastikan bahwa secara substansial memuat rekomendasi pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi resiko bencana.
    Saya sangat setuju bahwa upaya penanganan bencana sangat dapat dilakukan melalui penataan ruang. Penataan ruang yang sesuai dengan RTRW bermuara pada pemanfaatan tanah yang mengikat pada pelaku pembangunan.
    RCC Guideline 3.2 Version June 2011 dalam Promoting Use of Disaster Risk Information in Land-use Planning tentang “Under the Regional Consultative Committee on Disaster Management (RCC) Program on Mainstreaming Disaster Risk Reduction into Development (MDRD)” menyatakan bahwa,
    Hasil Disaster Risk Assessment (DRA) Penilaian Risiko Mainstreaming dalam Rencana Pemanfaatan Tanah membentuk dasar untuk memahami implikasi saat ini dan masa depan dari manajemen penggunaan lahan dan pembangunan. DRA memberikan informasi tentang apa daerah di unit perencanaan rentan terhadap setiap bahaya, dimana kerugian yang lebih tinggi dan kerusakan akan terjadi, berapa banyak bahaya yang mungkin biaya itu terjadi, dan bagaimana kehidupan dan kualitas hidup di unit perencanaan mungkin terpengaruh setelah terjadinya bencana.
    Tujuan dan sasaran dari rencana penggunaan lahan harus mencerminkan analisis ini dan menerjemahkannya ke dalam program-program yang direncanakan dan proyek khusus, struktural dan non-struktural di alam.
    Pendekatan untuk mengintegrasikan informasi risiko bencana dapat bervariasi, tergantung pada status rencana penggunaan lahan. Dalam penyusunan rencana penggunaan lahan baru, informasi risiko bencana sudah dapat dijadikan bagian dari proses penyusunan rencana. Menganai kasus terbaru, perangkat tambahan pada aspek tertentu dapat dilakukan, misalnya, dalam menentukan key issues dan tantangan yang harus ditangani oleh rencana penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan sebagai kerangka informasi risiko bencana yang dapat mengubah pola penggunaan lahan yang diinginkan, dan dalam intervensi penggunaan lahan tertentu, terutama langkah-langkah struktural baru atau kontrol penggunaan lahan yang akan dilaksanakan.
    Memang benar upaya pencegahan bencana dilakukan melalui penataan ruang. Tetapi perlu dicatat bahwa pada masa pasca bencana skala besar, rehabilitasi daerah terkena bencana harus mengikuti prinsip pembangunan kembali yang lebih baik atau resettlement di tempat lain yang berimplikasi penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan pemikiran ulang mengenai rencana penggunaan lahan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya melalui perencanaan yang lebih matang dan updating data dan informasi.
    Matur nuwun,,,,
    Sukma Nurdiana Puspasari/11202626/ Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  45. Perencanaan ruang(spatial plan) memiliki tujuan untuk menghasilkandalam penggunaan ruang yang efisien dan mengurangi resiko terjadinya bencana. Indonesia merupakan suatu negara yang termasuk rawan terkena bencana, baik secara faktor geografis maupun bencana karena pembanguna atau urbanisasi.Banyaknya yang ternyata bencana di indonesia semakin mendorong untuk pentingnya pengurangan dalam resiko bencana. Misal di kabupaten karawang di jawa barat, bantaran sunga citarum ketika volume air meningkat maka daerah disekitarnya akan terkena banjir. Hal ini dirasakan pula oleh beberapa daerah di kabupaten bandung yang terkena kiriman air dari sungai citarum pun akan terkena banjir setiap tahunnya. Ini dikarenakan penataan tata ruang yang tidak baik. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran akan pentingnya perencanaan tata ruang untuk pengurangan resiko bencana. Dan penguatan antara pemerintah dan organisasi yang terkait dengan fase tanggap darurat ketika terjadi bencana oleh Bakornas PB, Satlak PB. Selain itu perencanaan tata ruang merupakan suatu bentuk intervensi pembangunan yang multidimensi untuk mengurangi resiko bencana. Baik ketika terjadi bencana dan ketika belum terjadi bencana.
    Sylvia Widawati Sutedi/NIM11202588/ManajemenPertanahan.
    Sumber : http://perencanaankota.blogspot.com/2013/02/perencanaan-tata-ruang-berbasis.html?m=1

    BalasHapus
  46. Ijin memberi komentar pak .
    Mengacu pada UU no 26 tahun 2007, pasal 5 ayat 2, dijelaskan bahwa penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana.Pada dasarnya Tata Ruang adalah salah satu bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan wilayah/kota yang mencakup 3 proses utama; perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang pasal 1 (5) UU No 26/2007). Fungsinya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
    Saya setuju pada tahun 2015 ini RTRW DIY direvisi untuk mewujudkan penataan ruang yang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana ,kemudian dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah DIY , strategi penataan ruang harus didasarkan kepada arahan yang jelas dan terarah dalam menetapkan kawasan rawan bencana, kawasan budidaya (permukiman, perdagangan, pusat pemerintahan, pertanian, perkebunan, dll) berbasis bencana. Dalam merancang rencana tata ruang wilayah DIY juga harus wajib menyediakan ruang evakuasi bila terjadi bencana. Hal ini juga perlu disertai dengan sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat selalu siap dan waspada apabila sewaktu‐waktu terjadi bencana.Terima Kasih

    Ronny Manurung
    Manajemen Semester VII..

    BalasHapus
  47. Mark Fleischhauer,dkk dalam State-of-the-art of spatial planning and natural risk mapping in European countries menyatakan bahwa perencanaan tata ruang hanya memainkan salah satu dari banyak peran dalam keseluruhan siklus bencana keseluruhan namun ia memainkan peran spesifik yang sangat penting yang meliputi tindakan yang dapat dilakukan pada berbagai tingkat perencanaan baik lokal maupun regional yakni: Perencanaan tata ruang memiliki instrumen untuk menjaga daerah-daerah tertentu bebas dari pembangunan di masa depan seperti daerah yang rentan terhadap bahaya (misalnya daerah-rawan banjir dan longsor), untuk mengurangi efek dari peristiwa bencana (misalnya daerah retensi) dan untuk menjamin efektivitas kegiatan tanggap bencana (misalnya jalur evakuasi); Perencanaan tata ruang digunakan untuk menentukan pengambilan keputusan tipe penggunaan lahan sesuai dengan intensitas dan frekuensi bahaya yang ada; Beberapa rekomendasi dapat dilakukan pada tingkat penggunaan lahan atau rencana tata ruang (misalnya minimum ketinggian elevasi bangunan atas lantai, larangan ruang bawah tanah) serta Perencanaan tata ruang juga dapat berkontribusi pada pengurangan potensi bahaya, misalnya perlindungan atau tingkat retensi banjir akibat meluapnya sungai,dll.
    Pendapat lain mengenai perencanaan tata ruang yakni menurut Stefan Greiving dan Marjory Angignard dalam Disaster Mitigation by Spatial Planning bahwa unsur inti dari perencanaan tata ruang adalah mempersiapkan dan membuat keputusan tentang penggunaan lahan di masa depan.Oleh karena itu, risiko bencana harus dipertimbangkan ketika memutuskan tentang penggunaan atas sebidang tanah.Perencanaan dapat mengurangi risiko bencana misalnya dengan menjaga/melindungi wilayah yang rentan terhadap bencana bebas atau jauh dari pembangunan lebih lanjut serta melindungi bangunan dari bahaya bencana.Hal senada diungkapkan oleh Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ); Division Rural Development, Global Food Security dalam Land Use Planning: a Tool for Disaster Risk Management, negara-negara dan daerah yang memiliki risiko bencana yang tinggi, manajemen risiko bencana harus diintegrasikan ke dalam perencanaan penggunaan lahan.Untuk mengidentifikasi bahaya dan kerentanan di tingkat lokal, perencanaan penggunaan lahan pada suatu daerah harus didasarkan pada analisis risiko yang rinci termasuk pemetaan risiko.Poin-poin yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen risiko bencana dapat dijabarkan dan diintegrasikan ke dalam pedoman penatagunaan tanah secara nasional untuk membantu identifikasi secara memadai dan mempertimbangkan risiko bencana.Perencanaan penggunaan lahan secara signifikan dapat berkontribusi untuk mencegah bahaya baru, seperti tanah longsor dan banjir, yang sering disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak semestinya.Perencanaan tata guna lahan juga dapat mengurangi kerentanan masyarakat dan infrastruktur dengan mengidentifikasi lokasi yang aman untuk pemukiman dan pembangunan dan dengan mendefinisikan serta menerapkan standar bangunan yang memadai selama pelaksanaan rencana.
    Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca tersebut maka saya mencoba menanggapi artikel yang Bapak tulis.Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan rencana penggunaan tanah memiliki kaitan yang erat dengan rencana penataan ruang.Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan tata ruang dapat menimbulkan potensi bencana, misalnya kawasan lindung yang dijadikan pemukiman.Tetapi kita tentu tidak dapat mengabaikan potensi bahaya pada kawasan lain misalnya kawasan budidaya.Oleh karena itu, penataan ruang harus mengintegrasikan manajemen risiko bencana di dalam pembentukan/perencanaannya. Perencanaan tata ruang berbasis bencana diharapkan dapat meminimalisir jumlah korban jiwa dan kerugian lainnya yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.SISCA SKISA/ NIM. 11202623/ MANAJEMEN PERTANAHAN

    BalasHapus
  48. Bapak tuliskan diatas bahwa upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penataan Ruang Berbasis Bencana dimaksudkan sebagai penataan ruang yang memuat pengurangan resiko bencana sebagai dasar dalam alokasi pemanfaatan ruang bagi pembangunan. Harapannya, RTRW yang disusun mewujudkan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan.

    Perlu diingat juga bahwa Penataan ruang memerlukan berbagai jenis informasi seperti : informasi dasar kewilayahan, informasi sosial dan kependudukan, informasi daerah rawan bencana, informasi pertanahan dan sebagainya. Informasi geospasial dasar saat ini masih minim, belum seluruhnya lengkap dan detail untuk seluruh wilayah indonesia. Oleh karena itu, untuk menjawab ketersediaan informasi geospasial tersebut selain usaha pemerintah menyediakan informasi gespasial dasar melalui penyediaan citra satelit resolusi tinggi, dapat melibatkan partisipasi masyarakat sebagai bentuk penjabaran asas demokrasi dalam pemetaan yang diamanatkan UUIG.

    Partisipasi masyarakat diwujudkan melalui pemetaan partisipatif ancaman, strategi coping dan kesiapsiagaan masyarakat dalam upaya pengurangan resiko bencana(Haruman Hendarsah,2012). Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang juga dapat berperan sebagai fungsi pengawasan terhadap pelanggaran terhadap RTRW(Dwi Kusuma).

    Kiranya dalam revisi RTRW yang dilakukan benar-benar disusun mewujudkan penataan ruang istimewa yang partisipatoris dan berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pemetaan partisipatif dan pengurangan resiko bencana dalam pembangunan.

    https://www.academia.edu/8354196/Tata_Ruang_Jogja_Istimewa
    file:///F:/KULIAH-STPN/Script/Skripsi%20PP/inet/Ketersediaan%20Peta%20Dasar%20yang%20Lengkap%20Mesti%20Dipercepat.html
    https://dwikusumadpu.wordpress.com/2014/01/29/pelanggaran-tata-ruang-merajalela/
    CHORINA TRI WICAKSONO/11202560/P

    BalasHapus
  49. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  50. Saya setuju dengan pendapat tuliasn Bapak bahwa upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Seperti halnya pendapat (Marsh, 1991) bahwa untuk mengaplikasikan manajemen resiko bencan ke dalam penyusunan RTRW terlebih dahulu dilakukan analisis beberapa hal diantaranya:
    1) Analisis terhadap zona-zona yang termasuk kategori kawasan rawan bencana alam (gempa, tsunami, longsor, banjir), kategori kawasan rentan bencana alam, dan kategori kawasan resiko bencana alam.
    2) Analisis terhadap rencana kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu untuk menentukan manajemen resiko bencana alam yang sesuai di tiap peruntukan lahan.
    3) Analisis terhadap rencana sistem transportasi, sistem komunikasi, dan sistem utilitas/fasilitas terutama berkaitan dengan jalur evakuasi dan komunikasi jika terjadi bencana alam.
    4) Pertimbangan terhadap berbagai teknologi yang tersedia dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanganan bencana alam.
    Seperti disebutkan pada butir pertama di atas, ada tiga kategori kawasan yang perlu mendapat perhatian khusus dalam aplikasi manajemen resiko bencana alam. Pertama, kawasan rawan bencana alam, yaitu kawasan yang memiliki kemungkinan tinggi terkena bencana. Kawasan rawan bencana gempa dapat dilihat dari data seismisitas, struktur geologi, percepatan tanah puncak (peak ground acceleration), sedangkan kawasan rawan bencana longsor dan banjir dapat dilihat dari kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan sebagainya. Kedua, kawasan rentan bencana alam, yakni kawasan yang rentan bila terkena bencana, misalnya kawasan berkepadatan penduduk cukup tinggi (tempat berkonsentrasi permukiman) dan kawasan yang memiliki fasilitas umum/ sosial dan infrastruktur yang vital seperti bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Ketiga, kawasan resiko bencana alam, berupa hasil tumpang tindih (overlay) dari kedua kategori kawasan di atas. Misalnya, di kawasan rawan bencana ada konsentrasi permukiman, fasilitas umum/ sosial, serta berbagai infrastruktur vital.
    Berkenaan dengan revisi RTRW Provinsi DIY pada tahun 2015 untuk mewujudkan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan, disamping mainstreaming penataan ruang (KR, 12-08-2014), merupakan hal yang tepat mengingat kondisi wilayah Provinsi DIY yang rawan bencana alam.Sebenarnya di dalam Perda Provinsi DIY No. 2 Tahun 2010 tentang RTRW Prov. DIY Tahun 2009-2029, pasal 81 angka (4) , dijelaskan menegenai Pengelolaan kawasan rawan bencana alam (seperti gempa, longsor, banjir dll). Akan tetapi di dalam penjelasan tersebut belum melibatkan peran serta/kapasitas masyarakat tetapi lebih sekedar pemetaan lokasi rawan bencana dan pengendaliannya, padahal masyarakat selaku obyek yang menempati ruang harus mengetahui tentang pengelolaan kawasan bencana alam. Oleh karena itu di dalam revisi RTRW Prov. DIY hendaknya dimuat secara utuh manajemen resiko bancana yang meliputi: pengaturan pemanfaatan ruang (spasial), keteknikan (berupa rekayasa teknis terhadap lahan, bangunan, dan infastruktur yang disesuaikan dengan kondisi, keterbatasan, dan ancaman bencana), peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan (Struktur organisasi dan tata cara kerja yang jelas, fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang aplikatif dan tercukupinya ketersediaan sumberdaya manusia, pembiayaan, dan perlengkapan). Terima kasih.
    Sugiyanto/11202587/Perpetaan

    BalasHapus
  51. Saya setuju dengan tulisan Bapak yang menyatakan bahwa investasi pengurangan resiko bencana (mitigasi bencana) dapat diletakkan melalui instrmen penataan ruang. Sebagaimana yang telah diuangkapkan saudara Rita bahwa tulisan Bpak lebih cenderung mengarah kepada pembangunan fisik yang menempatkan pengurangan resiko bencana ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), di sini saya juga sependapat dengan saudara Rita bahwa terkait dengan kita sebagai aparat pertanahan selian memperhatikan mitigasi bencana dari segi penataan ruang, tentu kita juga harus memperhatikan pengurangan resiko bencana dari sisi kearsipan. Mengingat BPN menghasilkan arsip mengenai hak keperdataan masyarakat.
    Menambahkan dari Saudara Rita, berdasarkan sumber dari tulisan yang saya baca dengan judul “Penanganan Bencana Kearsipan, Sebuah Pengalaman” dari saudara Muhamad Ihwan.
    Bahwa pada kenyataannya menurut pengalaman saudara Ihwan, ketika bencana tsunami terjadi ribuan arsip vital telah hilang dan ruak termasuk arsip Kantor BPN Propinsi Aceh. Dalam tulisannya dijelaskan Arsip NAsional Republik Indonesia (ANRI) menyelamatkan 42.666 surat berharga (arsip pertanahan). Dari penjelasan ANRI, melelui media-media massa memuat arsip-arsip pertanahan yang sedang dijemur di tengah matahari. Sementara hal tersebut akan menimbulkan kerusakan yang bertambah parah terhadap arsip tersebut.
    Dari uraian di atas, dapat saya simpulkan bahwa pengurangan resiko bencana terkait dengan kearsipan sangat kurang dilakukan. Sehingga ketika terjadi bencana yang mengakibatkan kerusakan kearsipan, kita tidak siap dan tidak mempu melakukan antisipasi yang dapat menyelamatkan arsip yang kita hasilkan. Hal tersebut juga dikuatkan dari tulisan Saudara Rita dimana BPN membutuhkan bantuan dari luar untuk menyelamatkan arsip-arsip BPN.
    Uraian ini hanya menambahkan dari apa yang ditulisankan oleh Bapak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya pengurangan resiko bencana untuk bidang pertanahan selain di tempatkan melalui instrumen penataan ruang (terkait dengan pembangunan fisik) juga sangat diperlukan pengurangan resiko bencana terkait dengan arsip vital produk BPN yaitu sertipikat dan warkahnya.
    Tutik Susiati / 11202628 / Manajemen

    BalasHapus
  52. Sedikit mengomentari sdr. Dede Novi M.S diatas. . . . bukan alam yang mulai tak bersahabat dengan kita, tapi sebenarnya kita yang tidak bersahabat dengan alam dengan terus mengambil manfaatnya tanpa memperhatikan kedepan apa yang akan terjadi… dan sekarang apabila kita tidak terus berupaya memperbaikinya, maka kelak generasi penerus yang akan merasakan apa yang telah kita lakukan sekarang.
    Kembali ke persoalan tulisan pak Sutaryono, saya sangat setuju komentar dari sdri. Anggraini D.S. yang memberikan solusi penetapan RTRW dengan pemetaan partisipatif masyarakat. Menambahkan komentar sdri. anggra, dalam jurnal Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 03 Tahun 2012, Haruman Hendarsah menuliskan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan individu sebelumnya dalam menghadapi bencana menjadi faktor penting dalam membentuk penyesuaian persepsi terhadap ancaman bencana. Selain itu, hal ini juga merupakan faktor penting yang dapat digunakan sebagai data dan informasi dalam mengidentifikasi ancaman bencana pada suatu wilayah.
    Penggunaan teknologi penginderaan jauh (citra satelit) melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara partisipatif untuk memberikan kontribusi pemecahan masalah membuka cara baru bagi kelompok masyarakat untuk mengatasi masalah. SIG Partisipatif (P-GIS) membantu membangun kapasitas, meningkatkan hubungan masyarakat dengan pemerintah, dan meningkatkan pembelajaran di antara aktor yang berbeda dengan membawa informasi dan perspektif baru ke dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian upaya pengurangan risiko bencana diupayakan untuk mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
    Danang Ary Ramadhan/11202561/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  53. Mohon ijin berkomentar Pak.
    Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia mendorong semakin pentingnya peran pengurangan resiko bencana. Banyaknya korban jiwa yang timbul akibat bencana alam yang terjadi, baik karena banjir, tanah longsor, gunung meletus maupun tsunami setidaknya telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua terhadap pentingnya keberadaan ruang yang aman. Datangnya suatu bencana tidak lagi boleh kita terima sebagai takdir yang tidak dapat dihindari. Bencana mungkin tidak dapat dihindari, namun jumlah korban jiwa maupun materil dapat kita minimalisir apabila semua pihak mau dan mampu mempertimbangkan aspek kebencanaan dalam melaksanakan segala rutinitasnya, salah satunya yaitu berupa ketahanan ruang terhadap bencana. Ketahanan ruang terhadap ancaman bencana alam memang tidak akan secara mutlak menghindarkan manusia dari bahaya maut, tetapi setidaknya akan mengurangi jumlah korban yang menderita akibat dampak bencana tersebut. Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana. Peran perencanaan tata ruang dalam pengurangan resiko bencana telah banyak diusulkan dalam praktik perencanaan baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.
    Melalui kegiatan penataan ruang, maka arahan mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan budidaya dapat diakomodasi dan menjadi dasar guideline development pembangunan berkelanjutan. Dengan melihat fakta bahwa negara Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat potensi tinggi terjadi bencana alam, maka rencana tata ruang melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN telah memuat substansi terkait arahan mitigasi kebencanaan.Aspek penting lain dari perencanaan tata ruang dan kaitannya dengan pengurangan resiko bencana adalah fakta bahwa perencanaan dapat pula berfungsi sebagai media pengambilan keputusan dalam pembangunan. Dengan demikian keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk resiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, sampai dengan memperkuat kapasitas. Secara umum, praktek mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata ruang yang disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Rencana Tata Ruang seharusnya memuat visi komunitas lingkungan yang aman. Menurut Agenda World Habitat 2008, secara umum, langkahlangkah untuk mengembangkan “lingkungan perkotaan yang aman” (Saver City Process) adalah :
    a. Memperkirakan kebutuhan yang harus dikembangkan untuk “keselamatan perkotaan”
    b. Membentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat
    c. Memformulasikan dan mengimplementasikan rencana tindak (action plan) kolaborasi antara berbagai pihak. Rencana ini harus disusun berdasarkan prioritas, tujuan, indikator, kerangka waktu dan sistem pemantauan. Menurut Koetter (2003),
    Sumber :
    http://perencanaankota.blogspot.com/2013/02/perencanaan-tata-ruang-berbasis.html
    http://www.manajemen-bencana.com/2011/08/konsep-pengurangan-risiko-bencana.html
    http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=226

    Dedy David Napitupulu/11202599/Manajemen

    BalasHapus
  54. Pertrasawacana dalam artikelnya yang berjudul Perencanaan Tata Ruang Dalam Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Dalam fungsinya kawasan yang masuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana Alam mendapat perhatian khusus untuk dikategorikan menjadi Kawasan Lindung (PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 51 huruf (d)). sehingga pengembangan kawasan permukiman harus berada di luar Kawasan Rawan Bencana (PP No. 26 Tahun 20078 Pasal 71 ayat (1a)). Pembatasan zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana alam (PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 98 huruf (c)). Peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam geologi disusun dengan memperhatikan: pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana seperti gempabumi, tsunami, gunungapi, longsor dan bencana geologi lainnya (UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 105 huruf (a)). Pemanfaatan ruang untuk kawasan rawan bencana tsunami ditentukan melalui pengkajian karateristik ancaman dan pembatasan zonasi kawasan rawan bencana meliputi kawasan rawan bencana tsunami tinggi, sedang dan rendah. Ruang yang dapat di manfaatkan di kawasan rawan bencana tsunami sebagai kawasan lindung bencana geologi meliputi ruang untuk pariwisata pantai, infrastruktur mitigasi tsunami, alat komunikasi dan informasi tsunami, alat peringatan dini, penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk dan pembatasan pendirian bangunan dan permukiman, kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum ( PP No. 26 Tahun 2008 Pasal 105 huruf (b dan c)). Tulisan bapak terkait masalah ini saya rasa cukup bagus dan memberi pandangan yang berbeda terkait masalah penataan ruang agar tidak hanya berbasis ekonomi sehingga menyingkirkan masalah kebencanaan ini, namun tentunya harus ada kajian kajian lanjutan mengenai hal ini yang berbarengan dilakukan dengan revisi penataan ruang tersebut. Keadaan ini menjadi wajib agar kedepannya masalah bencana dalam penataan tata ruang ini jangan hanya menjadi kajian teoritis saja namun harus dibarengi dengan langkah nyara pelaksanaannya yaitu melalui kajian kajian terkait potensi bencana dan langkah penyelesaiannya.

    Ilham Jauhari
    11202607
    Perpetaan

    BalasHapus
  55. Mohon ijin berkomentar pak….
    menambahkan komentar dari saudara harry nurcahya bahwa “David Mitchell dalam Training Manual Assessing and Responding to Land Tenure Issues in Disaster Risk Management FAO modul 3 mengulas langkah pengurangan resiko bencana melalui tahapan penting diantaranya: Pra Mitigasi Bencana yang meliputi: Pertama, Kegiatan Pemetaan Resiko Bencana dan Pemetaan Kepemilikan Tanah. Pada kegiatan ini dilakukan pemetaan daerah yang rentan bahaya, seberapa besar tingkat kerentanannya dan seberapa besar kerugian yang disebabkan oleh bencana yang terjadi sebelumnya. Upaya ini untuk membantu memprediksi lokasi, kemungkinan terjadi serta frekuensi bencana pada masa yang akan datang……..”
    dan komentar dari saudara Ronny Manurung bahwa “Mengacu pada UU no 26 tahun 2007, pasal 5 ayat 2, dijelaskan bahwa penataan ruang harus memasukkan kawasan rawan bencana.Pada dasarnya Tata Ruang adalah salah satu bentuk kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan wilayah/kota yang mencakup 3 proses utama; perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang pasal 1 (5) UU No 26/2007). Fungsinya menciptakan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan………”
    berdasarkan uraian diatas menurut hemat saya, upaya mitigasi yang perlu dilakukan provinsi DIY dalam penataan ruang berbasis bencana, menurut hemat saya dapat belajar dari penataan ruang NAD dan SUMUT pasca bencana yaitu dengan konsep penataan ruang makro-strategis dan konsep penataan ruang mikro-operasional. Konsep penataan ruang makro-strategis mencakup penataan terhadap potensi bencana geologi seperti pola pergerakan lempeng aktif. Pola pergerakan lempeng aktif mencakup kawasan yang memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi, Kawasan rawan bencana III gunung api, Zona patahan aktif, Kawasan yang pernah atau berpotensi mengalami tsunami, Kawasan yang pernah atau berpotensi mengalami abrasi, Kawasan yang pernah dan/atau berpotensi mengalami aliran lahar, Kawasan yang pernah dan/atau berpotensi bahaya gas beracun. Konsep penataan ruang mikro-operasional dengan pengembangan/pengelolaan kawasan budidaya seperti:
    1. Relokasi
    apabila dampak ekonomi & lingkungan sangat besar maka kawasan budidaya berada jauh dari garis pantai. Bila kondisi ekstrim, perlu menghindari sama sekali kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
    2. Akomidasi
    penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan pola agriculture.
    3. Proteksi
    melalui hardstructure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat softstructure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment).
    4. Prioritas
    sempadan pantai, sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan yang sensitif atau rentan terhadap perubahan alam.

    Ardiyan Syamsi
    11202597/Perpetaan

    BalasHapus
  56. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  57. Mohon Ijin Berkomentar Pak.
    Setelah membaca dan mencoba mencermati tulisan bapak mengenai "PENATAAN RUANG BERBASIS BENCANA" juga memperhatikan uraian-uraian yang dipaparkan oleh teman-teman. Saya setuju dengan apa yang bapak simpulkan melalui tulisan ini “upaya menempatkan pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan dalam kerangka yang lebih luas, taat azas, mengikat dan berkelanjutan adalah menempatkan substansi pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)”. Hal ini mengacu pada banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia di mana salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY telah mengidentifikasi sekurang-kurangnya terdapat 16 kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman dengan kategori rawan longsor. Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut maka semakin penting peran pengurangan resiko bencana.
    Tulisan yang bapak tulis juga diperkuat oleh adanya Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana {UNISDR, 2005 #340}. Burby dan French (1981) juga menyebutkan bahwa peran perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam.
    Jika dikaitkan dengan konsep pada Hyogo Framework for Action (HFA), maka sebenarnya terdapat 5 fokus integrasi perencanaan tata ruang dengan pengurangan resiko bencana, yakni:
    a) integrasi kajian resiko bencana ke dalam perencanaan perkotaan, termasuk di dalamnya perhatian khusus terhadap permukiman yang rentan terhadap bencana,
    b) pengarusutamaan pertimbangan resiko bencana terhadap kegiatan pembangunan infrastruktur vital,
    c) Pengembangan dan penggunaan alat pemantauan untuk mengukur aspek pengurangan resiko yang diperoleh atas suatu kebijakan perencanaan tata ruang,
    d) integrasi kajian resiko bencana terhadap perencanaan pembangunan perdesaan, terutama di daerah pegunungan dan pesisir, serta
    e) revisi ataupun pengembangan terhadap building code serta praktik rekonstruksi dan rehabilitasi pada tingkat nasional dan lokal. Sampai dengan saat ini, kelima – limanya masih relevan dan belum dipraktikkan dengan optimal di Indonesia.
    Untuk konteks perhatian HFA yang pertama, dalam konteks Indonesia memang telah dilakukan usaha integrasi pengurangan resiko bencana ke dalam penyelenggaraan penataan ruang, yakni dapat dilihat dari keterkaitan antara UU 24/2007 mengenai Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007 mengenai Penataan Ruang. Persoalannya ialah sampai dengan saat ini belum terdapat suatu ukuran baku mengenai bagaimana kajian resiko untuk setiap jenjang perencanan perlu dilakukan sehingga dapat berdaya guna. Hal ini sejatinya dapat dikembangkan karena pada dasarnya dapat dilakukan pengukuran kualitas rencana tata ruang, secara kuantitatif, dan kaitannya dalam konteks mitigasi bencana (Brody, 2003). Perencanaan tata ruang bertindak sebagai landasan utama pembangunan di daerah dengan penentuan alokasi ruang dari yang bersifat umum sampai dengan rinci.
    Pristihadi Halim/11202616/Manajemen

    BalasHapus
  58. Ijin ikut berkomentar pak,
    Menurut Robert Tua Siregar menyebutkan bahwa rumusan gagasan tata ruang wilayah merapi dapat menjadi masukan dan intergrasi kan kedalam RTRW yaitu adanya alokasi ruang untuk pasca bencana. Namun sebenarnya tidak hanya untuk bencana gunung berapi saja, bencana lain juga dapat harus ada alokasi ruang pasca bencana bahkan seharusnya sebelum bencana sudah ada alokasi ruang. Hal ini dimaksudkan untuk kegiataan pengurangan resiko bencana (mitigasi). RTRW yang mengakomodasi adanya alokasi ruang pada daerah-daerah rawan bencana akan sangat bermanfaat di kemudian hari apabila terjadi bencana. Dengan adanya RTRW dengan alokasi ruang maka pembangunan akan lebih terarah sehingga memperhatikan resiko, tidak asal bangun dan asal dapat keuntungan. Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam hal penataan ruang . Untuk itu perlu dilihat peran masyarakat korban bencana dimana menurut UU No. 26 th 2007 tentang penataan ruang telah memberi warna bagi penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang lebih baik. Terkait dengan peran masyarakat dalam penataan ruang dan adanya ruang yang lebih luas untuk peran masyarakat dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yaitu sebagai mitra pemerintah dalam penataan ruang. Lahirnya PP No. 68 Th 2010 tenang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana amanat UU No. 26 Th 2007 diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, pemda dan masyarakat dalam kaitannya dengan penataan ruang. Kebijakan RTRW yang ideal untuk kawasan rawan bencana adalah penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi fisik wilayah yang meliputi bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora faunna, dsb. Proses dan hasil perencanaan alokasi pemanfaatan, pengendalian atas pemanfaatan ruang harus bertumpu pada kepentingan dan perlindungan atas sumber - sumber kehidupan rakyat. Kebijakan tata ruang harus menunjukan adanya keseimbangan antara aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan serta keberlanjutan daya dukung dan daya tampung. Sebenarnya akan lebih baik jika alokasi ruang juga dilakukan sebelum terjadinya bencana. Sebagai contoh penataan ruang sebelum bencana sebagai bentuk investasi pembangunan adalah program konsolidasi tanah di daerah rawan bencana yang merupakan bentuk perencanaan penataan ruang sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi bencana. Dalam konsolidasi tanah akan dibentuk adanya jalur evakuasi bencana dan hal ini sangat bermanfaat digunakan untuk mengurangi resiko bencana. Konsolidasi bisa diterapkan tidak hanya pada bencana gunung berapi tapi bencana yang lain seperti banjir dan tanah longsor misalnya juga bisa. Di Indonesia konsolidasi kebanyakan dilakukan bukan sebelum terjadi bencana tapi malah setelah terjadi bencana (pasca bencana) sehingga menurut saya manfaat konsolidasi tersebut kurang maksimal. Salah satu bentuk mitigasi bencana menurut saya adalah kegiatan konsolidasi tanah khususnya di daerah rawan bencana dengan adanya alokasi tanah untuk jalur evakuasi, penampungan sementara dan tetap, dan sebagainya.
    Irna Harniyati / NIM. 11202570 / Perpetaan

    BalasHapus
  59. Dengan adanya penataan ruang diharapkan bisa sebagai guidence pembangunan sekaligus memastikan bahwa secara substansial memuat rekomendasi pemanfaatan ruang yang mampu mengurangi resiko bencana. Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi pembangunan yang multidimensi memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan bentuk kegiatan mitigasi yang akan digunakan akan bergantung kepada jenis bencana dan tujuan kegiatan tersebut. Di dalam menghasilkan tata ruang yang mempertimbangkan unsur-unsur kebencanaan serta menentukan alat mitigasi yang akan digunakan, teknik pertampalan (overlay) antara konsep pembangunan dengan daerah-daerah beresiko bencana hasil analisis resiko perlu dilakukan. Hasil pertampalan dapat digunakan untuk mengoreksi usulan perencanaan, baik struktur ruang, pola ruang, maupun penentuan kawasan – kawasan strategis, yang diatur di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, maupun Kota.
    Aspek penting lain dari perencanaan tata ruang dan kaitannya dengan pengurangan resiko bencana adalah fakta bahwa perencanaan dapat pula berfungsi sebagai media pengambilan keputusan dalam pembangunan. Dengan demikian keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk mengurangi komponen pembentuk resiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi kerentanan, sampai dengan memperkuat kapasitas. Sistem Infomasi Geografis (SIG) adalah mata rantai yang mampu mengaitkan hal tersebut. SIG mampu menciptakan protokol pengambilan keputusan untuk manajemen lahan dengan mengembangkan model hubungan antara environmental values (termasuk komponen pembentuk kerentanan) dengan berbagai data layer pada suatu wilayah perencanaan (Brody, 2004). SIG memiliki peran dalam pembangunan berkelanjutan pasca bencana, pada saat tanggap darurat dapat memberikan quick look yang informatif dan komunikatif sehingga membantu pengambilan keputusan serta pada jangka menengah dan panjang dapat menjadi basis utama dalam pembangunan.
    Secara sederhana, perangkat kerja perencanaan tata ruang sepertinya hanya berada pada domain tahap pra bencana. Hal ini memang benar dalam konteks bahwa perangkat seperti perencanaan tata guna lahan, pengaturan building codes, peraturan zonasi, kajian resiko, dan sebagainya dapat dikerjakan pada saat tidak terjadi bencana. Namun demikian, hal yang perlu diingat adalah bahwa keluaran dari perangkat tersebut akan terasa manfaatnya ketika berhasil dilaksanakan dan mampu mengurangi resiko dampak dari kejadian bencana. Di sisi lain, tahap pemulihan pasca bencana harus dipandang sebagai titik awal dari kegiatan perencanaan itu sendiri, dimana perencanaan yang dilakukan kemudian haruslah mengambil pelajaran dari kejadian bencana yang baru terjadi untuk meningkatkan kualitas substansi sehingga resiko bencana masa depan dapat dikurangi. Landasan untuk kebijakan ini telah disediakan, dimana pada UU 26/2007 mengenai Penataan Ruang disebutkan bahwa pasca kejadian bencana dimungkinkan untuk melakukan revisi rencana tata ruang.
    Martin Jamal Lilo
    NIM. 11202575/Perpetaan

    BalasHapus
  60. Mohon ijin berkomentar yaa pak. . .
    Saya setuju dengan tulisan Bapak dan berdasarkan “Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir (Departemen Pekerjaan Umum)” mengatakan bahwa dalam proses pembangunan yang berkelanjutan diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dengan prioritas utama untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan. Sehubungan dengan masalah bencana, misalnya: banjir. Langkah yang diambil adalah melalui kegiatan penataan ruang, dengan penekanan pada pengendalian pemanfaatan ruang, serta tata cara teknis yang mendukung proses penanganan dan pengendalian. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan rawan bencana banjir dilaksanakan melalui upaya penanggulangan untuk meminimalkan dampak akibat bencana yang mungkin timbul. Kondisi ini tidak bisa dipisahkan dari pola pengendalian pemanfaatan ruang di bagian hulu, dalam lingkup satuan sungai. Contoh: di wilayah rawan bencana banjir Jakarta-Bogor. Jakarta tidak akan terhindar dari bencana banjir apabila wilayah Bogor belum dibenahi.
    Sasaran yang akan dicapai adalah terwujutnya pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan bencana banjir, termasuk mekanisme perijinan pemanfaatan ruang sesuai dan mendukung upaya penerapan rencana pemanfaatan ruang dan prosedur penanganan yang tepat.
    Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana banjir dilakukan melalui 3 (tiga) kegiatan utama, yaitu:
    1. Sistem perijinan
    2. Pengawasan
    3. Penertiban

    LENI PUTRI MAHARANI/ NIM. 11202610/ MANAJEMEN PERTANAHAN

    BalasHapus
  61. Beberapa wilayah di Provinsi DIY merupakan daerah rawan bencana. Di bagian utara terdapat Gunung Merapi yang menyimpan potensi bahaya letusan/erupsi, guguran awan panas dan banjir lahar dingin. Di sebelah barat terdapat kawasan pegunungan Menoreh yang berpotensi longsor terutama di musim penghujan. Bagian selatan merupakan kawasan rawan banjir dan daerah pantai selatan rawan tsunami. Gempa bumi juga merupakan ancaman bencana yang sudah terjadi pada bulan Mei 2006.
    Mengingat banyaknya daerah rawan bencana tersebut maka salah satu investasi pengurangan resiko bencana dapat dilakukan melalui penataan ruang. Penataan ruang yang baik, yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, merupakan instrumen mitigasi bencana yang amat penting. Hal ini diakui antara lain dalam Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Resiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005, mengamanatkan perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan resiko bencana. Sedangkan di Indonesia, diakomodir dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara bersama-sama merupakan landasan normatif pentingnya penataan ruang dilihat dari perspektif mitigasi bencana. Maka dari itu, setiap keputusan yang salah dalam penataan ruang dapat mengakibatkan berbagai kerugian, baik korban jiwa maupun kerugian ekonomi.
    Kendala yang paling besar dalam pelaksanaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana terletak pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Akan tetapi sebenarnya dapat dihindari apabila masyarakat dan pemerintah bersama-sama dalam melaksanakan, merencanakan tata ruang serta menentukan kawasan-kawasan yang berpotensi rawan bencana. Masyarakat dan pemerintah juga konsisten dalam mengatur struktur dan pola ruang (land use management) sesuai dengan tujuan penataan ruang yaitu mewujudkan perlindungan fungsi ruang serta pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
    Herini Maryanti/11202606/VII M

    BalasHapus
  62. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  63. Saya sependapat dengan tulisan Bapak diatas, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pengurangan resiko bencana. Resiko bencana dapat dirumuskan :

    R = f (bahaya x kerentanan)/kemampuan

    Dari rumus diatas bahwa faktor bahaya sangat sulit untuk direduksi, tetapi faktor Kerentanan dapat direduksi ( Nurjanah, R. Sugiarto, Dede Kuswanda, Siswanto BP, Adikoesoemo, 2012:19). Ditambahkan tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi. Sehingga dalam merumuskan kebijakan penataan ruang yang perlu dikaji dan diklasifikasikan adalah faktor-faktor kerentanan yang ada pada suatu kawasan, sehingga arah kebijakan pembangunan dapat meminimalisir resiko bencana. Dari data kerentanan tersebut dapat dijadikan sebagai SOP (Standar Operation Procedure) dalam setiap pembangunan. Saya rasa dengan membuat SOP merupakan salah satu langkah mainstreaming dalam arah proses pembangunan Pak.

    Ade Putra Suranta Barus/NIM. 11202593/ VII/Manajemen Pertanahan

    BalasHapus
  64. Di dalam menghasilkan tata ruang yang mempertimbangkan unsur-unsur kebencanaan serta menentukan alat mitigasi yang akan digunakan, teknik pertampalan (overlay) antara konsep pembangunan dengan daerah-daerah beresiko bencana hasil analisis resiko sepertinya bisa dilakukan. Selanjutnya hasil pertampalan tersebut dapat digunakan untuk mengoreksi usulan perencanaan, baik struktur ruang, pola ruang, maupun penentuan kawasan – kawasan strategis, yang diatur di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten, maupun Kota. Hal yang perlu diperhatikan ialah adanya kebutuhan dan kesesuaian skala kedetailan resiko bencana yang dihasilkan dengan tingkat kedetailan rencana tata ruang yang akan diperkaya dengan resiko bencana tersebut. Sebagai contoh, peta resiko untuk mengoreksi rencana rinci (misalnya RDTR) tentu berbeda dengan rencana umum tata ruang (RTRW). Perbedaan ini juga secara signifikan menentukan seberapa detail rekomendasi pengurangan resiko melalui perencanaan tata ruang dapat dihasilkan. Pada akhirnya, usaha pertampalan harus berorientasi akhir pada keluaran produk rencana tersebut karena rencana tata ruang merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan penataan ruang yang baku. Dengan demikian perencanaan tata ruang hasil pengumpulan dan dan analisis informasi tentang kesesuaian pembangunan dari daerah yang terpapar (exposed) terhadap bencana alam dapat diketahui oleh masyarakat, investor potensial-pelaku usaha, dan pemerintah.

    Kristian Kusnu Prasetya/11202573/VII/Perpetaan

    BalasHapus
  65. Terimakasih teman-teman.....beberapa hal yang belum direspon adalah non bencana alam, misal kebakaran yang merusak dokumen, hilangnya dokumen dan subjek hak atas tanah karena konflik etnis....ini bagaimana, mungkin ngga diantisipasi dengan penataan ruang?

    BalasHapus
  66. Mohon izin menanggapi, pak

    Records management atau manajemen kearsipan dalam hubungannya dengan penataan ruang, menurut saya substansinya berbeda. Namun dapat diintegrasikan sebagai wujud mitigasi bencana yang dalam hal ini bencana sosial maupun bencana alam. Jika diuraikan, manajemen kearsipan disusun secara terpisah dengan penataan ruang namun dilakukan dengan tujuan yang sama yaitu untuk pencegahan atau pengurangan resiko bencana. Karena arsip vital (vital records) berupa arsip pertanahan seperti gambar ukur, surat ukur dan buku tanah merupakan arsip yang keberadaannya merupakan prasyarat dapat berlangsungnya kontuinitas operasional institusi penciptanya ketika dan setelah musibah serta melindungi kepentingan organisasi, pegawai, pelanggan, stakeholders, dan publik. (Penn 2002:130 dalam Records Disaster Management sebagai Kontruksi Sosial oleh Azmi)[1]
    Apabila penataan ruang tidak didukung dengan adanya manajemen kearsipan, maka program mitigasi bencana tidak dapat berjalan dengan baik.

    Adapun mengenai manajemen kearsipan pertanahan dapat dilakukan seperti yang dipaparkan Saudara Harry Nurcahya di atas, yaitu tidak hanya menyangkut penanganan dan pengamanan arsip pertanahan tetapi juga melalui pembekalan bagi pemegang hak atas tanah mengenai bagaimana melindungi haknya. Langkah ini dapat dilakukan bersama-sama dengan revisi RTRW DIY yang akan dilakukan dalam tahun 2015 ini sebagai mainstreaming pengurangan resiko bencana sebagaimana gagasan Bapak.



    [1]http://www.anri.go.id/download/artikel_online/Artikel_Online_Records_Disaster_Managament_61877419e0595858.pdf


    Nurlia Latif/11202580/VII/Perpetaan

    BalasHapus

  67. Charlotte Benson, John Twigg & Tiziana Rossetto (2007) dalam tulisannya berjudul “Tools for Mainstreaming Disaster Risk Reduction: Guidance Notes for Development Organisations”
    Memaparkan betapa pentingnya melakukan Mainstraming Pengurangan Resiko Bencana di setiap pembangunan. Diantaranya menyebutkan dampak bahaya apabila diabaikan dan itu sangat merugikan dari aspek ekonomi dan social. Kemudian Bagaimana manfaat Pengurangan risiko bencana dan ternyata sangat memberikan suatu keuntungan yang besar contohnya di Karibia, Menurut para ahli teknik sipil, tambahan biaya sebesar satu persen dari seluruh nilai bangunan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang dapat mengurangi kerentanan bangunan dapat mengurangi kerugian maksimum yang mungkin timbul bila terkena badai sampai sekitar sepertiganya, dll.
    Dengan demikian sudah semestinya di DIY pada khususnya dan Indonesia pada umumnya sebagai wilayah yang cukup sering di landa bencana untuk melakukan mainstreaming pengurangan resiko bencana di bidang pembangunan.
    Langkah awal yang cukup mendukung adalah melakukan perubahan kelembagaan, kebijakan di bidang pertanahan dan menciptakan Good Governance. Kurang lebih seperti yang sudah disebutkan oleh saudara wiwit cipto nugroho. Membuat lebih ketat persyarataan, pengaturan sistem kontruksi infrastruktur (seperti pembangunan jalan dan sistem drainase) harus tahan terhadap bencana. Kemudian untuk daerah yang sudah terbangun diperlukan membangun daerah terbuka untuk daerah evakuasi apabila terjadi bencana gempa misalnya.

    BalasHapus
  68. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  69. Beberapa strategi lain untuk melakukan Mainstreaming Pengurangan Resiko Bencana dalam pembangunan yaitu
    Menurut Prof. Dr.Ing. Theo Kötter (2005) melakukan zonasi (zonasi penggunaan lahan seperti zona terbuka, zona rawan bencana, zona bangunan biasa dll) dengan adanya zoning-zoning ini, diharapkan mampu untuk mengakomodasi rencana pembangunan yang minim bencana. Dan setidaknya ketika melakukakan kegiatan tanggap darurat tentunya proses rekontruksi, rehabilitasi bahkan proses evakuasi/relokasipun dapat dilakukan dengan sangat mudah, cepat dan tepat sasaran,Selanjutnya penilaian resiko dalam proses perencanaan tata ruang (Risiko kerugian materi, bahaya, kerentanan) sangat perlu dilakukan. Misal: Bahaya (mengklasifikasikan bencana karenan setiap bencana mempunyai tingkatan bahaya yang berbeda-beda), Kerentanan berkaitan dengan Kualitas kontruksinya, bagaimana standar kesiapannya dan bagaimana kepadatan bangunannya.
    Setelah berhasil membuat suatu perencanaan tata ruang untuk pembangunan yang berbasis bencana maka ada tugas penting yang harus dilakukan,yaitu membangun budaya SADAR melalui pendidikan, pelatihan dan simulasi secara berkala dan berkesinambungan kepada masyarakat mengenai kebencanaan.

    Muhammad Zarnuji/11202576/VII/Perpetaan

    BalasHapus
  70. Saya sepakat bahwa pentingnya peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengurangan resiko bencana sebagai bentuk fungsi pengendalian mitigasi bencana, namun perlu di ingat bahwa perlunya pengawasan secara bottom up dan kesadaran masyarakat tentang Kawasan yang termasuk dalam KRB ( Kawasan Rawan Bencana) sebagaimana yang telah di tetapkan, sebagai contoh relokasi lahar dingin di Kawasan Merapi perlu dilihat dari aspek penguatan kapasitas masyarakat Chaskin (2001) menekankan bahwa dalam usaha penguatan kapasitas masyarakat, termasuk dalam hal kebencanaan, perlu dilakukan bersama tokoh di dalam masyarakat yang memiliki daya kepemimpinan sehingga ide serta konsep dapat diterima dan diimplementasikan. Di sisi lain aspek partisipasi masyarakat itu sendiri dapat dikaji dalam kaitannya terhadap kualitas perencanaan secara umum ataupun dalam konteks manajemen ekosistem termasuk mitigasi bencana di dalamnya (Brody, 2003).
    Sebagai pembanding/ komparasi bahwa Perencanaan pemanfaatan ruang dengan pertimbangan risiko bencana akan jauh lebih baik dibandingkan dengan perencanaan tanpa mengikutsertakan faktor ancaman bencana alamnya yakni dengan melihat tingkat bahaya yang ada, tingkat kerentanan dan penentuan besar risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari terjadinya bahaya / gangguan tersebut serta yang terpenting daya dukung lingkungan yang ada, sebagaimana dalam penelitian penanggulangan Tsunami Aceh dalam Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 11 (Wisyanto,2009: 18-24).Adanya upaya delineasi wilayah-wilayah yang berpotensi menimbulkan bencana tersebut, sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukankebijakan penataan ruang. Perencanaan tata ruang bertindak sebagai landasan utama pembangunan di daerah dengan penentuan alokasi ruang dari yang bersifat umum sampai dengan rinci. Sebagaimana disampaikan Mileti (1999) “tidak ada pendekatan yang mewujudkan mitigasi bahaya secara berkelanjutan yang lebih menjanjikan dibanding peningkatan pemanfaatan dari manajemen penataan ruang yang tangguh".
    Menanggapi tulisan bapak diatas saya setuju tapi melihat konteksnya yakni bahwa dengan adanya manajemen penataan ruang yang tangguh yaitu berupa pengendalian dan pengawasan serta melihat kearifan lokal yang ada (partisipasi masyarakat) tentunya akan berjalan semaksimal mungkin.
    NAMA : AMARSELLA LULUH NURWIKAN
    NIM: 11202595
    JURUSAN : PERPETAAN

    BalasHapus
  71. Mohon izin memberikan komentar:

    Saya sangat setuju dengan tulisan ini, karena seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah sebuah negeri kepulauan yang rentan terhadap bencana. Ini terjadi karena Indonesia terletak pada sabuk gunung berapi yang terbentuk oleh pertemuan lempeng-lempeng bumi. Sabuk gunung berapi aktif ini dibentuk oleh tumbukan lempeng Indian-Australia di sebelah selatan, lempeng Eurasia di sebelah utara barat, lempeng laut Filipina dan lempeng Pasifik di sebelah utara timur. Pergerakan ketiga lempeng ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam yang diakibatkan aktivitas di dalam bumi seperti gempa bumi dan gunung meletus, dan bencana-bencana lain yang mengintai kita seperti tanah longsor, banjir dll.
    Dengan melihat kondisi alam seperti itu, mestinya pemerintah memperkuat lembaga yang berfungsi melakukan mitigasi (untuk serlanjutnya disebut lembaga mitigasi). Ini penting untuk mengurangi jumlah korban gempa dan mengurangi kepanikan penduduk bila sewaktu-waktu bencana itu datang. Lembaga mitigasi tersebut tentu saja harus bekerja sama dengan semua stake holder untuk membangun kebersamaan dan kesiapan menghadapi bencana. Salah satu hal yang terpenting dalam lembaga mitigasi tersebut adalah penataan kembali ruang untuk kehidupan masyarakat. Ini artinya, pemerintah dan DPR sangat perlu untuk membuat UU Tata Ruang (UUTR) yang komprehensif dan integratif untuk meminimalisasi jumlah korban yang mungkin timbul.
    Dari perspektif inilah, pemerintah harus menyusun UUTR secara komprehensif dengan melihat faktor-faktor geologis dan geofisis Indonesia. Dalam penyusunan UUTR tersebut, misalnya, perlu diperhatikan tata ruang berbasis bencana. Ini artinya, UUTR tersebut harus mempertimbangkan peta geo-spasial yang meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan lempeng bumi. Dalam kaitan ini, misalnya, undang-undang tata ruang pusat perekonomian, lokasi permukiman, daerah perkantoran, dan kawasan industri harus mengacu pada peta geo-spasial.
    Seperti kita ketahui, ruang adalah suatu sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh stake holder. Karena itu, jika tak ada pengaturan tata ruang, maka akan terjadi apa yang disebut tragedy of common. Ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya. Kasus rumah-rumah yang tertimbun longsor seperti pernah terjadi di Banjarnegara baru-baru ini merupakan contoh tidak berfungsinya manajemen tata ruang untuk permukiman dan kegiatan perekonomian.

    RUYATNA/11202584/VII/PERPETAAN

    BalasHapus
  72. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  73. saya sependapat dengan tulisan bapak bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan (UU No. 26 Tahun 2007) menempatkan penataan ruang berbasis pengurangan risiko bencana.
    Selain itu kegiatan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan tata ruang adalah pengembangan hutan kota yang dapat mengendalikan potensi bencana atau bahaya lingkungan (landscape hazard) pada kawasan-kawasan tertentu (Gunawan, 2010). Kegiatan ini telah dilakukan di Kota Palu.
    Secara sederhana, perangkat kerja perencanaan tata ruang sepertinya hanya berada pada domain tahap pra bencana. Hal ini memang benar dalam konteks bahwa perangkat seperti perencanaan tata guna lahan, pengaturan building codes, peraturan zonasi, kajian resiko, dan sebagainya dapat dikerjakan pada saat tidak terjadi bencana. Namun demikian, hal yang perlu diingat adalah bahwa keluaran dari perangkat tersebut akan terasa manfaatnya ketika berhasil dilaksanakan dan mampu mengurangi resiko dampak dari kejadian bencana. Sebagai contoh, kombinasi perencanaan tata ruang dan edukasi masyarakat, dapat menghasilkan suatu sistem evakuasi yang baik, dimana jalur evakuasi yang ditetapkan dipertimbangkan dengan seksama serta masyarakat itu sendiri memahami tindakan evakuasi apa yang harus dilakukan pada suatu kejadian bencana. Contoh lain dapat dengan baik disajikan oleh tindakan asuransi; dimana tindakan ini tentu dilakukan pada saat tidak ada bencana, namun demikian pada saat bencana terjadi, para korban bencana yang memiliki polis asuransi telah terjamin dengan adanya mekanisme asuransi yang akan menggantikan kehilangan dan kerugian harta benda yang dialami.

    Di sisi lain, tahap pemulihan pasca bencana harus dipandang sebagai titik awal dari kegiatan perencanaan itu sendiri, dimana perencanaan yang dilakukan kemudian haruslah mengambil pelajaran dari kejadian bencana yang baru terjadi untuk meningkatkan kualitas substansi sehingga resiko bencana masa depan dapat dikurangi. Landasan untuk kebijakan ini telah disediakan, dimana pada UU 26/2007 mengenai Penataan Ruang disebutkan bahwa pasca kejadian bencana dimungkinkan untuk melakukan revisi rencana tata ruang. Kegiatan relokasi juga merupakan salah satu yang paling sering dipertimbangkan pada tahap pemulihan.
    NAMA : HAFIZ YUNI ANDRA
    NIM : 11202604
    PERPETAAN

    BalasHapus
  74. Izin berkomentar pak, terkait langkah-langkah atau upaya yang dapat dilakukan akibat hilangnya dokumen hak atas tanah akibat kebakaran yakni pemulihan data pendaftaran tanah. Upaya yang dapat dilakukan oleh kantor pertanahan. 1) melalui penyuluhan ke desa/kelurahan, 2) pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan 3) melalui media cetak dan elekronik.
    Bardasarkan Peraturan Kepala BPN RI No. 6 Tahun 2010, untuk mencegah rusak atau musnahnya arsip pertanahan karena bencana. Kepala Kantor Pertanahan berkoordinasi dengan instansi terkait seperti pemerintah daerah, unsur penegak hukum, perbankan dan keuangan, peradilan dan PPAT dengan upaya antara lain, 1) Pemberitahuan sebagai informasi dan untuk melakukan langkah-langkah antisipasi seperlunya, 2) Meminta informasi untuk melengkapi data dalam rangka rehabilitasi kerusakan arsip pertanahan, 3) Melakukan langkah-langkah konsolidasi bersama. (Fajar Kemal:2014, pemulihan data pendaftaran tanah pasca becana kebakaran di Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur, hal 64)
    Untuk itu saya sependapat dengan saudari Nurlia latif bahwa antara manajemen kearsipan dan dengan penataan ruang substansinya berbeda namun tujuannya sama yaitu pencegahandan pengurangan resiko bencana . Pemulihan data pasca bencana menjadi lebih mudah apabila Sistem manajemen kearsipan sudah di backup di kantor pertanahan. Dengan cara digitalisasi Daftar Umum (Peta Pendaftaran, Buku Tanah, Surat Ukur, Daftar Tanah dan daftar nama) maupun warkah sebagai alat pembuktian data fisik dan yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah.
    Mohon maaf batas keterlambatan saya, Terimakasih.
    Raden Muhammad Farhansyah/11202581/M

    BalasHapus
  75. Mengkomparasikan antara tulisan Bapak dengan tulisan oleh Dr. Ir. Endang Hilmi, M.Si berjudul “RENCANA TATA RUANG BERBASIS MITIGASI BENCANA” bahwasannya memang perlu untuk melakukan penataan ruang yang berbasis kebencanaan. Bencana yang saat ini terjadi di Indonesia didominasi oleh bencana alam misalnya longsor, banjir, kekeringan. Bencana tersebut disebabkan antara lain adanya penataan ruang dan pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup. Untuk itu, penataan ruang yang berbasis bencana hendaknya memperhatikan aspek lingkungan hidup. Penataan ruang tersebut dapat dilakukan antara lain dengan cara:
    a. Konsep tata ruang yang ditetapkan jangan hanya berbasis pada peningkatan sektor ekonomi namun juga memperhatikan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan
    b. Kawasan konservasi dan lindung harus ditegaskan dalam RTRW dan dijaga eksistensinya.
    Kawasan konservasi dan lindung merupakan sistem penyangga kehidupan baik unsur hayati maupun unsur non hayati. Kawasan tersebut sebagai upaya untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga pada akhirnya dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, dan mencegah terjadinya korban akibat bencana alam.
    c. Membangun areal jalur hijau
    Untuk mencegah dampak yang sangat besar akibat terjadinya bencana alam seperti tsunami maka perlu dibuat suatu arahan kebijakan dengan membangun kawasan hutan mangrove sebagai hutan lindung zone pantai. Jalur hijau hutan mangrove berfungsi sebagai penyangga angin dan gelombang laut. Selain itu, juga untuk perlindungan organisme, stabilisator pengendapan lumpur dan filter pencemaran air laut.
    d. Alih fungsi kawasan pertanian menjadi pemukiman atau non pertanian harus dicermati secara cerdas, agar tidak berdampak pada kekurangan lahan pertanian yang pada akhirnya akan mengkonversi lahan hutan dan perkebunan yang berfungsi sebagai bufferzone/kawasan penyangga terhadap kebencanaan.
    Jadi dalam penataan ruang berbasis kebencanaan, aspek lingkungan hidup menjadi salah satu dasar mutlak penyusunan RTRW mengingat bahwa bencana di Indonesia masih didominasi bencana alam akibat kerusakan lingkungan hidup.

    CATUR YULIANTO
    11202598/Perpetaan

    BalasHapus
  76. Mohon ijin berpendapat pak, karena sudah banyak yang mengkomparasikan dari sisi tata ruang, saya mau coba mengkomparasikan dari sisi yang lain pak. Selalu ada kekhasan khusus ketika membaca beberapa tulisan bapak, yaitu penggunaan kata-kata yang menurut saya renyah ditelinga. Hehe.. untuk tulisan yang ini, ada 1 kata yang saya soroti yaitu mainstreaming. Teringat perjalanan saya beberapa bulan lalu ke Musium Nasional Yogyakarta, pada waktu ini kebetulan ada temu komunitas se DIY yang diadakan disana. disana saya menemukan ada salah satu komunitas yang memfokuskan tentang kepedulian terhadap pengurangan risiko bencana, karena pada saat ini kebetulan ada mata kuliah manajemen pertanahan berbasis kebencanaan, saya sempatkan bertanya-tanya disana. Nama komunitas tersebut Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) yang dilembagai oleh International Organization for Migration (IOM). Dalam buku yang mereka tulis “Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas – Pengalaman di Indonesia”, kegiatan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas ini dapat membantu pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam merancang dan menerapkan inisiatif-inisiatif pengurangan risiko dikalangan masyarakat masing-masing dengan cara yang sederhana, teruji, dan tidak memakan banyak biaya, serta dapat mewudjudkan lingkungan yang lebih aman dan kondusif bagi masyarakat untuk menjalankan mata pencaharian mereka.
    Tanggapan saya mengenai peran pertanahan atau yang sekarang menjadi kementrian agraria dan tata ruang, ternyata sangat besar pengaruh kita dalam upaya pengurangan risiko bencana. Selain kita punya kontribusi mengatur tata ruang khususnya pada daerah-daerah yang rawan bencana, peran pemberdayaan masyarakat pun sangat diperlukan dalam rangka me-mainstreaming-kan masyarakat disuatu daerah dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang memasyarakat, atau menggandeng komunitas-komunitas seperti itu untuk membantu kegiatan kita.
    Nama : Arie Satya Dwipraja
    NIM : 11202557 / Perpetaan

    BalasHapus
  77. Tata ruang yang terintegrasi dengan kajian resiko bencana mampu mengurangi dampak negatif dari bencana yang diperkirakan terjadi. Hal ini juga berarti memberikan jaminan terhadap resiko dari investasi, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat. Penataan ruang harus responsif bencana, karena penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang. Segala pemanfaatan ruang di negeri ini, jika tidak responsif bencana, akan berakibat pada pemanfaatan yang tidak terkendali dan tanpa memperhitungkan resiko-resiko bencana di kemudian hari. Investasi dan pembangunan, selama ini dilakukan tanpa adanya perhitungan atas resiko-resiko itu. Dari berbagai bencana alam yang terjadi selama ini, implikasinya justru tidak dapat ditekan seminimal mungkin. Banjir dan longsor umpamanya, implikasi kerusakannya pada manusia, lingkungan fisik, dan non-fisik, dapat ditekan andai kata kita memiliki konsep penataan ruang yang responsif bencana. Persoalannya ialah sampai dengan saat ini belum terdapat suatu ukuran baku mengenai bagaimana kajian resiko untuk setiap jenjang perencanan perlu dilakukan sehingga dapat berdaya guna. Hal ini sejatinya dapat dikembangkan karena pada dasarnya dapat dilakukan pengukuran kualitas rencana tata ruang, secara kuantitatif, dan kaitannya dalam konteks mitigasi bencana (Brody, 2003). Perencanaan tata ruang bertindak sebagai landasan utama pembangunan di daerah dengan penentuan alokasi ruang dari yang bersifat umum sampai dengan rinci. Sebagaimana disampaikan Mileti (1999) “tidak ada pendekatan yang mewujudkan mitigasi bahaya secara berkelanjutan yang lebih menjanjikan dibanding peningkatan pemanfaatan dari manajemen penataan ruang yang tangguh".
    Nama : Reza Pratama Putra
    NIM : 11202620 / Perpetaan

    BalasHapus
  78. Sejalan dengan tulisan Bapak, Hermanto Dardak yang menjabat sebagai Wakil Menteri PU pada saat itu juga berpendapat bahwa Indonesia perlu beralih dari manajemen krisis (pasca bencana) menjadi manajemen preventif (pra-bencana), dimana salah satunya adalah melalui instrumen penataan ruang. Tujuannya adalah bukan untuk menghapuskan secara keseluruhan risiko bencana, tetapi untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) serta meminimalisasi dampak/kerugian yang potensial ditimbulkan oleh suatu peristiwa (baik yang bersumber dari faktor alamiah, faktor antropogenik, maupun kombinasi antar keduanya). Lahirnya UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang dipicu oleh 3 (tiga) peristiwa bencana besar (tsunami Aceh, 2004; gempa bumi Yogya, 2006; dan banjir Jakarta, 2007), merupakan tonggak sejarah untuk manajemen risiko bencana yang lebih efektif dan efisien di masa mendatang. Upaya yang perlu segera dilakukan adalah penetapan peraturan zonasi di daerah-daerah rentan bencana (banjir, longsor, gunung api, dsb) yang pada gilirannya akan diintegrasikan dalam dokumen RTRW, khususnya pada tingkat rinci di daerah.
    Selanjutnya, dalam sebuah buku berjudul “How to Make Cities More Resilient” yang dikeluarkan oleh Lembaga PBB yaitu UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction) menyebutkan 10 kiat menuju kota tangguh dalam menghadapi bencana yang salah satunya adalah membangun regulasi dan perencanaan penggunaan lahan. Hal tersebut dapat ditempuh dengan cara Membuat peraturan seperti Building Code terhadap bangunan-bangunan dan melakukan pemetaan kawasan-kawasan yang memiliki tingkat risiko rendah untuk dijadikan kawasan pembangunan pada masa yang akan datang. Hal ini sangat cocok jika diterapkan di Negara berkembang seperti Indonesia yang sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan. Oleh karena itu, terkait dengan kebijakan penataan ruang yang berbasis mitigasi haruslah memperhatikan zonasi untuk daerah-daerah rawan bencana maupun daerah yang memiliki tingkat resiko rendah sehingga nantinya pembangunan dapat berjalan seperti yang diharapkan.


    Ertanty Dian Taurisia
    11202564
    Perpetaan

    BalasHapus
  79. Mohon Izin..
    Dengan dibentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam kabinet jokowi saya sangat optimis bahwa penataan ruang berbasis bencana dapat dilaksanakan, hal ini dikarenakan bahwa Penataan Ruang di Indonesia sebagai implementasi dari UU No.26 Tahun 2007 berada pada satu kendali yaitu Kementerian agraria dan Tata Ruang.
    Pengurangan resiko bencana yang akan dimuat dalam RTRW sebagai wujud dari investasi pembangunan senyatanya telah ada yaitu dengan ditetapkannya daerah-daerah kawasan rawan bencana seperti halnya kawasan rawan bencana Gunung Merapi yang kemudian ditindaklanjuti dengan Konsolidasi tanah oleh BPN, tetapi IRONISnya Pemerintah hanya melakukan Upaya Pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan yang akan dituangkan dalam RTRW pada lokasi atau wilayah yang telah terjadi bencana, sedangkan lokasi lain yang mempunyai potensi bencana seperti gunung api lainnya belum ditetapkan RTRW berbasis bencana. Sehingga apabila terjadi bencana maka akan menimbulkan korban jiwa, kemudian apabila kemudian dilakukan mitigasi maka ini merupakan mitigasi atau upaya pencegahan jilid 2 karena jilid I nya pemerintah telah kecolongan.
    Sebagai insan pertanahan, selain pengurangan resiko bencana sebagai investasi pembangunan, kita juga harus memikir INVESTASI PEMBANGUNAN PASCA BENCANA yaitu menginventarisasi subjek dan objek di lokasi rawan bencana dengan baik, pembuatan peta terdampak dll, sehingga dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi BPN seharusnya sebagai Garda Terdepan. Pada akhirnya tata ruang harus menjadi panglima dalam pembangunan (Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernadus Djonoputro)
    Nama : SOFIAN HAJI RASWIN/11202624/PERPETAAN

    BalasHapus
  80. Saya setuju dengan pendapat bapak bahwa perlu untuk melakukan penataan ruang yang berbasis kebencanaan. Indonesia kaya sumber daya alam dan lingkungan, sebagai modal pembangunan menuju kemajuan, tetapi dilain sisi Indonesia adalah negara yang sangat rawan dengan terjadinya bencana. Kualitas lingkungan di Indonesia tahun 2013 ”hanya” menduduki peringkat ke-112 dari 178 negara berdasarkan data Yale University (KLH; 2014). Kelestarian lingkungan terancam dan bencana menghantui akibat malpraktik pembangunan. Pembangunan yang inkonsisten terhadap tata ruang dan tidak ramah lingkungan telah menimbulkan degradasi lingkungan dan kerawanan bencana. Kegiatan pembangunan ini selalu melibatkan pengusaha, penegak hukum, dan pemimpin. Sesuai dengan tulisan Ribut Lupiyanto (sukarelawan erupsi Merapi tahun 2010) pada 16 Desember 2014 Suara Merdeka Cetak, pemimpin mesti melek dan memiliki komitmen ekologi politik. Peta politik lokal kaitannya dengan sumber daya ekonomi patut dicermati. Pendekatan lokal penting dilakukan secara sistematis. Jika berhadapan dengan pengusaha maka tidak bisa tidak harus menunjukkan ketegasan sikap. Iklim investasi perlu dirawat namun jangan sampai mengorbankan ekologi, rakyat, dan masa depan bangsa. Ekologi politik merupakan kata kunci mengantisipasi bencana kemudian hari. Pembangunan berkelanjutan mesti terjamin dengan ditandai keminiman kejadian bencana dengan segala dampak dan korbannya. Kualitas lingkungan merupakan kunci utama mewujudkannya. Realitasnya, kualitas lingkungan negeri ini masih di bawah standar. Berbagai pihak penting melakukan upaya ekstra dan sistematis menapaki peta jalan pembangunan yang melek kebencanaan. Jadi dalam pelaksanaan penataan ruang berbasis kebencanaan sangat dibutuhkan kepemimpinan yang memiliki komitmen tinggi terhadap bencana dan lingkungan hidup.

    Murwan Ahmadi/11202577 Perpetaan

    BalasHapus
  81. Penataan ruang berbasis bencana….
    Kita seringkali melihat atau bahkan ikut serta dalam penataan ruang..
    Kebiasaan yang sering dilakukan yaitu menata ruang berdasarkan potensi dan kemampuan tanah dan untuk lebih lanjutnya lagi bisa berdasarkan bencana (jika di wilayah itu terdapat potensi bencana)…
    Hal yang sama juga dilakukan di daerah asal saya di Maluku khususnya di kota ambon….
    Kota ambon sama seperti wilayah lain di Indonesia yang ditata dengan kriteria kemampuan lahan dan potensi bencana (lebih banyak berdasarkan bencana longsor karena kota ambon memiliki kontur berbukit)..
    Nah….itu yang umumnya yang penataannya hampir sama seperti yang bapak kemukakan di atas…
    Tapi………
    Kota ambon itu unik pak….
    Kenapa saya bilang unik karena kota itu dibangun berdasarkan suku tertentu…
    Saya merupakan suku alifuru yang adalah suku asli dari Maluku,,,,suku alifuru ini memiliki banyak anak suku yang kemudian mendirikan banyak kampong-kampung yang dinamakan negeri….
    Kampong-kampung ini ada d semua provinsi Maluku khususnya kota ambon….
    Saya ambil contoh negeri passo, negeri latuhalat, negeri waai, negeri poka, dll.
    Selain kampong-kampung asli Maluku ada juga kampong-kampung yang berasal dari pendatang….
    Contohnya kampong bugis, makasar, dll.
    Pengkotak-kotakan kampong ini tumbuh subur sejak jaman belanda karena memudahkan mereka untuk mengatur dan mengadu domba antar kampong (inilah awal mula dibuatnya adat pela gandong di Maluku).
    Pengkotak-kotakan kampong dimaluku memiliki 2 dampang, positif dan negative…
    1. Dampak positif….adat n budaya asli tetap utuh antar kampong karena tidak tercampur, budaya semakin kaya karena berapa banyak negeri di Maluku sebanyak itulah budaya yang ada, dll
    2. Dampak negative…..setiap kampong memiliki ciri khas yang sama ( suku sama dan agama sama)…hal ini sangat mampu memicu potensi konflik horizontal dan bisa menjadi konflik vertical….dapat dibuktikan pada jaman penjajahan belanda terjadi konflik salam sarani (konflik agama) yang kemudian dapat dilerai dengan memunculkan adat pela gandong (dimana kampong salam (muslim) mengikat tali persaudaraan dengan kampong sarani (Kristen), tapi di awal millennium muncul kembali konflik horizontal antar masyarakat…sebagai orang asli yang hidup di Maluku saya sangat mengerti betul bahwa salah satu penyebabnya adalah tidak majemuknya masyarakat dalam suatu negeri/kampong…..

    Dua hal (positif dan negative) tersebut terjadi dimaluku karena sejak awalnya penataan ruang dimaluku berdasarkan suku dan agama tertentu…contoh…di passo didominasi oleh anak suku negeri passo yang beragama Kristen dan di batumerah yang didominasi anak suku batumerah dan bugis+makasar yang beragama islam……hal ini berdampak pada hubungan antar masyarakat didalamnya yang selalu berhubungan dengan persamaan diantara mereka dan rentan apabila bertemu dengan perbedaan…..
    Dampaknya konflik horizontal atau biasa disebut konflik agama di Maluku…
    Kesimpulan yang saya dapat bahwa penataan ruang tidak selalu berdasarkan bencana tapi penataan yang salah mampu memunculkan bencana..(contoh yang terjadi dimaluku)..
    Kota ambon sudah tidak bisa lagi ditata agar majemuk karena penataan yang ada sudah mendarah daging…
    Sekarang pemerintah provinsi Maluku sudah memindahkan ibukota Maluku dari kota ambon ke makariki (pulau seram)…harapannya penataan ruang yang ada nantinya tidak hanya melihat kemampuan dan potensi lahan serta potensi bencana alam yang ada tapi juga melihat kondisi sosial masyarakatnya agar tidak homogen dalam suatu ruang tertentu (tetapi majemuk)

    Demikian pendapat saya mengenai penataan ruang berdasarkan pengetahuan saya tentang daerah asal saya di Maluku yang pernah terjadi konflik sosial akibat penataan ruang yang keliru sejak dulu kala….
    Semoga dapat menjadi pelajaran berharga…
    Yohanis Frangky Obije Keimalay
    Nim 11202590
    perpetaan

    BalasHapus
  82. Dalam tulisannya Harrys Pratama Teguh (2010) yang juga merujuk wacana tentang “Perencanaan Tata Ruang Wilayah Berbasis Bencana”. Bencana yang terjadi secara beruntun di Indonesia yang diakibatkan penggunaan tata ruang yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan menyebabkan akumulasi kerusakan yang terjadi terus menerus dan menyebabkan terjadinya bencana. Berbagai bencana yang terjadi dapat diatasi dengan perencanaan keruangan wilayah berdasarkan daya dukung dan kemampuan lingkungan. Berbagai faktor daya dukung dan kemampuan lingkungan dipertimbangkan untuk mengidentifikasi dan mitigasi bencana dalam suatu wilayah. Menurut Harrys

    Menurut Harrys pendekatan spasial pengelolaan lingkungan suatu wilayah berbasis bencana dapat didasarkan konsep pendekatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pesisir. Pembatasan spasial perencanaan berdasarkan DAS dan pesisir akan mempermudah manjemen, mitigasi dan adaptasi bencana yang terjadi disuatu wilayah.siklus aliran air dan pegunungan, perbukitan, untuk kemudian kedaerah yang lebih rendah dan ke lembah dan pada akhirnya kepesisir dan menuju kelaut akan mempengaruhi proses yang terjadi disuatu wilayah berdasarkan karakteristik dan daya dukung lingkungan. Air sebagai agen yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses yang terjadi disuatu wilayah akan lebih baik dan maksimal jika diatur berdasarkan batasan pergerakan silus aliran air yaitu batasab daerah Aliran sungai dan pesisir.

    SRI HANDAYANI
    Nim. 11202625
    Perpetaan / Semester VII

    BalasHapus
  83. Sebagai negara yang terletak di kawasan rawan bencana, Indonesia seharusnya harus sudah lebih siap dalam menghadapi bencana. Kesiapan dalam menghadapi bencana tersebut dapat diwujudkan dengan penataan ruang mitigasi. Dalam hal ini, pemerintah menyediakan sarana dan prasarana mitigasi, contohnya shelter, jalur evakuasi, bahkan sirene tanda bencana. Dalam disertasinya yang berjudul ”Model Adapatasi Masyarakat dalam Penataan Ruang Kota Rawan Bencana”, Henita Rahmayanti (mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia) mengungkapkan bahwa masyarakat harus menyadari dan paham cara mitigasi.
    Masyarakat harus paham tentang keadaan (tata ruang) kota. Misalnya, jalur evakuasi dibangun untuk membantu evakuasi jika terjadi gempa dan tsunami. Shelter berfungsi menyelamatkan diri jika tsunami terjadi. Oleh karena itu, masyarakat harus membiasakan dengan itu, sehingga sarana dan prasarana itu tetap pada fungsinya. Contohnya, jalur evakuasi tidak dijadikan area berdagang kaki lima, penunjang keselamatan di shelterseperti jenjang dan lainnya selalu berada dalam konsidi baik.

    SUBROTO
    11202631
    SMT VII/PERPETAAN

    BalasHapus
  84. Land Use Planning “Concept, Tools and Applications” , BMZ, Federal Ministry For Economic Cooperation and Development, March. 2012 menyatakan bahwa,
    Perencanaan penggunaan lahan secara signifikan dapat berkontribusi untuk mencegah bahaya baru, seperti tanah longsor dan banjir, yang sering disebabkan oleh ketidaksesuaian penggunaan lahan. Perencanaan tata guna lahan juga dapat mengurangi kerentanan masyarakat dan infrastruktur dengan mengidentifikasi lokasi yang aman untuk pemukiman dan pembangunan dan dengan mendefinisikan dan menerapkan standar bangunan yang memadai selama pelaksanaan perencanaan. Dengan demikian, perencanaan penggunaan lahan yang tepat dapat menyelamatkan nyawa manusia dan materi serta mengurangi kerugian ekonomi.
    Kontribusi perencanaan penggunaan lahan untuk manajemen risiko bencana terutama mengacu pada pencegahan dan mitigasi bencana. Perencanaan penggunaan tanah tidak bisa mengcover semua jenis risiko. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang relevan melalui pengenalan sistem peringatan dini dan kelembagaan kesiapsiagaan bencana. Pengenalan sistem peringatan dini termasuk pada teknis pembangunan, identifikasi lembaga yang bertanggung jawab, penentuan jenis peringatan, dan definisi Standar Operasional Prosedur (SOP). kesiapsiagaan bencana mencakup berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pembangunan kapasitas sumber daya.

    Adrian Sapta Putra
    11202553 / Perpetaan

    BalasHapus
  85. Jika kita ikut terlibat dalam perencanaan tata ruang maka sudah siapkah kita menerima gugatan karena tidak melakukan Penataan Ruang Berbasis Bencana....??? untuk lebih jelasnya dapat dilihat sumber berikut.

    Walhi Sultra: Banjir Kendari akibat Kesalahan Tata Kota

    KENDARI, KOMPAS.com- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sulawesi Tenggara menyatakan, banjir yang terjadi di Kendari tak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi hingga menyebabkan meluapnya belasan sungai. Tetapi juga akibat pengelolaan tata ruang kota yang tidak berperspektif lingkungan atau ekologis.
    Direktur Walhi Sultra Susiyanti Kamil mengatakan secara topografi Kota Kendari berada pada bantaran Sungai Wanggu dan dan Teluk Kendari. Sehingga secara otomotis kawasan tersebut adalah daerah resapan yang dapat menimbulkan bencana jika tidak ditangani secara arif dalam penataan ruang.
    Jika kita mencermati penataan ruang Kota Kendari, hampir semua daerah resapan telah berubah fungsi, dipadatkan oleh bangunan rumah toko, perumahan, investasi swasta. Namun di sisi lain kawasan penyangga yang dapat meminimalisir resiko banjir juga dalam keadaaan genting,” ungkap Susi, Rabu (17/7/2013)
    Menurutnya, hutan di seputar Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu juga semakin kritis, begitupun dengan hutan mangrove di sekitar Teluk Kendari yang tersisa 10 persen.
    "Kebijakan perlindungan garis sepadan sungai yang mestinya diterapkan dalam penataan ruang juga diabaikan. Pemerintah juga tidak pernah melahirkan kebijakan soal sitem draniase pada kawasan-kawasan resapan, begitupun juga kebijakan yang mengatur soal ketinggian lahan bangunan pada derah-daerah di dataran rendah,” ucapnya.
    Susi bersepakat dengan pendapat beberapa kalangan yang menyebutkan banjir di Kendari akibat buruknya sistem drainase.
    "Mestinya sejak awal menyusun RTRW (Rencana Tata Ruang Kota) aspek topografi dan ekologi, aspek kesatuan ruang hulu hilir, (DAS hingga Teluk Kendari) menjadi basis dalam menyusun tataruang kota. Dalam penyusunan Perda Tata Ruang Kota Kendari, juga tidak melibatkan masyarakat,” tambahnya.
    Karena itu, lanjut Susi, Walhi Sultra mendesak pemerintah Kota Kendari, mengeluarkan kebijakan perlindungan daerah resapan, kawasan penyangga, dataran rendah dan perlindungan garis sepadan sungai dan kawasan Teluk Kendari. Jika hal itu tidak dilakukan, Kendari kini dan kedepan akan menjadi kota krisis bencana.
    “Walhi Sultra juga akan mengugat Pemerintah Kota Kendari terhadap Tata Ruang Kota yang tidak melindungi warga dari bencana,” Susi menegaskan.

    Mohamat Hasrul Aswit/11202612/Perpetaan/VII

    BalasHapus
  86. Bismillah,
    Izin berbicara mencoba menanggapi tanah-tanah yang tertinggal akibat konflik pak.

    Undang-Undang 7 tahun 2013  tentang penanganan konflik sosial sudah jelas mengisyaratkan adanya

    perlindungan terhadap tanah yang tertinggal akibat konflik sosial. Yang dapat saya lihat dari

    tujuan UU ini salh satunya melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum.

    Contoh yang dapat diambil adalah tanah-tanah yang tertinggal karena konflik dayak-madura

    lalu.Dalam Tesis Fitria Sriyani Tahun 2010 yang berjudul "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK

    ATAS TANAH BEKAS KONFLIK ANTARA SUKU DAYAK DAN MADURA DI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT",

    dia menyebutkan bahwa dampak dari konflik etnik Dayak dan Madura tersebut,
    menyebabkan ribuan etnik Madura melakukan eksodus dan
    meninggalkan segala harta benda baik rumah, tanah, ternak dan
    berbagai macam harta kekayaan-nya lainnya. Pasca konflik yang
    terjadi, tanah, bangunan dan atau rumah terbengkalai pengurusannya
    karena para pemiliknya mengungsi. Ketika konflik mulai mereda,
    mereka ingin kembali ke kampung halamannya, namun keinginan
    tersebut ternyata tidak dapat dengan mudah mereka lakukan. Banyak
    hambatan untuk mendapatkan kembali harta benda yang mereka
    tinggalkan.Luas tanah yang ditinggalkan pengungsi sebesar + 4.827,69
    Ha (hektare).

    Dalam konteks tata ruang, tanah-tanah yang tertinggal akibat konflik menurut mungkin saja

    diantisipasi dengan dengan tata ruang. Selama lokasi tanah-tanah tersebut dapat dipetakan maka

    memasukkannya dalam tata ruang menjadi mungkin. terlebih lagi apabila tanah ini mengelompok.

    Kampung madura yang dalam hal ini berupa wilayah transmigrasi dan area-area lain yang terbentuk

    dari tanah-tanah orang madura yang mengelompok dalam tata ruang dapat dijauhkan dari zona

    rencana investasi, seperti investasi perumahan, industri (pabrik). Hal ini untuk mencegah calo

    liar menjajakan tanah-tanah yang kehilangan subjek tersebut. Walaupun minat investor terhadap

    tanah-tanah bermasalah seperti ini cenderung kurang, namun tetap harus ada antisipasi guna

    menutup celah terjadinya "manipulasi" berupa pemalsuan yang berujung penipuan dan timbulnya

    konflik baru, serta yang paling utama adalah tetap menjaga hak subjek atas tanah-tanah yang

    ditinggalkan. Penjauhan ini dilakukan sembari upaya-upaya pengembalian penguasaan tanah

    tersebut dilakukan, dalam tesis dengan judul di atas, upaya-upaya tersebut dapat dilakukan

    dengan cara antara lain: 1) Peralihan hak melalui jual beli, 2) Peralihan hak melalui warisan,

    3) Peralihan hak melalui hibah. Atau bisa juga dengan Alternatif penyesuaian pada rencana tata

    ruang daerah perkotaan mengingat perkembangan wilayah dan kemungkinan
    terjadinya alih fungsi tanah-tanah eks konflik relatif tinggi. Dalam konteks ini, tanah-tanah

    yang ditinggal warga Madura dapat direncanakan untuk fasilitas umum maupun fasilitas sosial

    lain yang mempunyai hajat hidup bagi orang banyak. Apabila rencana ini nantinya terealisasi

    paling tidak subjek tanah yang tertinggal tersebut masih mendapatkan kompensasi ganti rugi.

    Ixonanthes Ekosandra
    Semester VII/Perpetaan
    11202571

    BalasHapus
  87. Seperti kita ketahui, ruang adalah suatu sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh stake holder. Karena itu, jika tak ada pengaturan tata ruang, maka akan terjadi apa yang disebut tragedy of common. Ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi,bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya. Dengan demikian, maka saya setuju dengan tulisan bapak yang menyatakan bahwa investasi pengurangan resiko bencana dapat dilakukan dengan penataan ruang. . . . . . . Hal tersebut sangat mungkin untuk dilakukan,, mengingat saat ini telah dibentuk Kementrian Agraria dan tata ruang dan juga didukung oleh peraturan perundang undangan seperti UU No. 26/2007 dan UU No. 27/2007
    Almardian Asmar/11202594/P

    BalasHapus
  88. Juru Bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan dalam jaringnews.com (Minggu, 21 Desember 2014 16:40 WIB) bahwa bertambahnya penduduk di daerah rawan bencana adalah konsekuensi dari lemahnya implementasi tata ruang dan penegakan hukum.
    Saya setuju dengan pendapat Bapak bahwa perlu dilakukan penataan ruang berbasis kebencanaan, namun bagaimana mengimplementasikannya dengan baik serta penguatan penegakan hukumnya merupakan hal yang tidak kalah penting.

    Bagus Fan Arly
    11202559
    Perpetaan

    BalasHapus
  89. Sesuai UU Penataan Ruang No.26 Tahun 2007, tujuan penataan ruang ini adalah untuk mewujudkan lingkungan yang aman dari bencana, nyaman untuk masyarakat, bisa lebih produktif untuk menciptakan ekonomi yang lebih baik dan berkelanjutan. Untuk itu penataan ruang seharusnya menjadi instrumen penting sebagai mitigasi terjadinya bencana alam. Hal ini sesuai dengan tulisan bapak diatas sehingga saya sangat setuju dengan pendapat bapak bahwa momentum revisi RTRW DIY pada tahun 2015 digunakan untuk mewujudkan penataan ruang istimewa yang berbasis pada pengurangan resiko bencana serta menginisiasi mainstreaming pengurangan resiko bencana dalam pembangunan, disamping mainstreaming penataan ruang. Disini dapat dilihat dengan jelas bahwa penataan ruang mempunyai andil yang sangat besar dalam proses mitigasi bencana tersebut. Saya hanya ingin sedikit menambahkan bahwa ditingkat implementasi, untuk mewujudkan penataan ruang yang tidak hanya untuk zonasi kawasan rawan bencana melainkan juga untuk kawasan budidaya, dapat dilaksanakan dengan Sistem Informasi Geografis berbasis bencana. Dengan parameter-parameter tertentu, SIG akan dapat menentuka daerah-daerah di kawasan budidaya yang berpotensi bencana, kawasan budidaya yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengungsian yang aman ketika terjadi bencana, ataupun menentukan jalur evakuasi apabila bencana tersebut terjadi.

    Muhammad Andika 11202613/Perpetaan/VII

    BalasHapus
  90. Terimakasih teman2 sekalian, ide, gagasan dan komentar yang sangat bernas dan inspiratif....semoga, bisa terinternalisasi pada diri kita masing2 utk kita dedikasikan pada pengabdian melalui posisi dan tanggungjawab kita sebagai aparat pertanahan....kementerian agraria dan tata ruang

    BalasHapus