Selasa, 15 Agustus 2017

Daulat Agraria



Daulat Agraria[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Indonesia sebagai sebuah nation state, oleh para founding fathers-nya telah digariskan bahwa kedaulatan negara harus diorientasikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu modal utama untuk mencapai cita-cita luhur itu, secara tegas telah ditetapkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.  Inilah yang saya maksudkan sebagai daulat agraria.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), daulat diartikan sebaga kekuasaan; pemerintahan, sedangkan berdaula adalah mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara atau daerah. Dalam konteks ini, daulat agraria adalah kekuasaan pemerintahan tertinggi terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pertanyaan yang perlu kita ajukan kembali pada momentum 72 tahun Kemerdekaan RI ini adalah apakah kedaulatan negara sudah menjadikan kita memiliki daulat agraria?
Media Refleksi
Pertanyaan di atas patut menjadi bahan refleksi bersama bahwa realitas menunjukkan: (1) ketersediaan pangan kita belum sepenuhnya mampu disediakan secara mandiri; (2) dengan memiliki panjang pantai nomor dua di dunia dan dengan luas laut sekitar 3,2 juta km2, kita bermasalah dengan ketersediaan garam; (3) dengan luas daratan sekitar 1,9 juta km2 kita bermasalah dengan petani landless dan impor pangan yang luar biasa; (4) dikenal dengan gemah ripah lohjinawi kita masih berkutat dengan tingginya konflik agrarian; serta (5) realitas ujungnya adalah  belum terwujudnya daulat agraria untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kondisi di atas sudah sangat dipahami oleh para pemimpin bangsa ini, utamanya oleh Presiden dan wakilnya. Melalui Nawacita, tiga di antaranya sudah diorientasikan untuk menjalankan daulat agraria demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketiga hal tersebut adalah komitmen untuk: (1) menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) mendorong landreform dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar; dan (3) pencetakan 1 juta hektar lahan sawah baru  di luar jawa dalam rangka peningkatan produksi dan kemandirian pangan. Ketiga hal di atas sudah diimplementasikan ke dalam agenda strategis pertanahan yang diemban oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Reforma Agraria (RA), Percepatan Pendaftaran Tanah Sistemtik Lengkap (PTSL) dan percepatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang diorientasikan untuk membuka dan memperluas akses masyarakat terhadap aktivitas perekonomian, kesehatan, pendidikan maupun pelayanan publik lainnya.
Namun demikian, agenda strategis di atas mampu berkontribusi dalam perwujudan daulat agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat apabila mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan, utamanya masyarakat pemilik tanah, kalangan usahawan, pegiat (NGO), akademisi maupun unsur pemerintahan daerah. Tentu dukungan tersebut dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas dan kompetensi masing-masing.
Konteks Keistimewaan
Daulat agraria dalam konteks Keistimewaan, sejatinya telah sejak lama diwujudkan di Daerah Istimewa Yogyakarta. ‘Tanah untuk Rakyat’, yang selama ini digaungkan telah menunjukkan bahwa sejatinya tanah-tanah kasultanan dan tanah-tanah kadipaten telah memberikan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas. Tanah-tanah tersebut telah digunakan oleh pemerintah, pemerintah desa, badan hukum dan masyarakat untuk berbagai keperluan seperti untuk perkantoran, fasilitas umum, usaha komersial, gedung sekolah, balai desa, kantor polisi, kantor koramil, dan lain-lain (KR, 10-10-2012).   
Sejalan dengan itu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY dengan tegas mengamanahkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Pembatasan pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan tanah kadipaten tersebut menunjukkan adanya keberpihakan pada rakyat. Nah, daulat agraria dalam konteks Keistimewaan DIY inilah yang perlu terus menerus dijaga, dikawal dan dipastikan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah di DIY benar-benar untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 10 Agustus 2017 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar