Selasa, 12 Juni 2018

Mengatasi Ketimpangan


Mengatasi Ketimpangan dengan Kesalehan[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

“Ketimpangan” merupakan fakta nyata yang ada di negeri kita, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara nasional, data Bank Dunia (2015) menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia yang dinyatakan dengan Indeks GINI mencapai 0,39. Lebih parah lagi, ketimpangan tersebut juga terjadi pada penguasaan tanah yang Indeks GINI-nya mencapai 0,64. Dalam konteks DIY, tidak jauh berbeda. Dengan predikat angka ketimpangan tertinggi secara nasional (Indeks GINI 0,44), angka kemiskinan juga di atas rata-rata nasional (12,36%). Tidak berbeda dengan kondisi nasional, penulis berkeyakinan bahwa ketimpangan penguasaan tanah juga terjadi di DIY. Dan predikat Keistimewaan DIY belum secara nyata berkontribusi dalam mengurangi angka kemiskinan dan mengatasi ketimpangan.
Berbagai referensi menunjukkan bahwa untuk mengatasi ketimpangan, sekaligus mengurangi angka kemiskinan, bahkan hingga menyelesaikan konflik, agenda reforma agraria adalah strateginya. Namun demikian, untuk melahirkan kebijakan dan menjalankan agenda reforma agraria bukanlah persoalan sederhana. Dalam konteks ini, agenda reforma agraria akan dapat diimplementasikan sebagai agenda mengatasi ketimpangan apabila dilandasi dengan kesalehan. Momentum ramadhan ini dapat digunakan untuk mendorong kesalehan para pemangku kepentingan untuk melahirkan kebijakan reforma agraria sekaligus mulai mengimplementasikannya.
Landasan utama kesalehan dalam reforma agraria, telah secara eksplisit termaktub dalam Al Quran ‘Harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…..’ (QS. Al Hasyr, 59:7). Dalil tersebut menunjukkan bahwa kelebihan harta (termasuk penguasaan tanah) tidak diperbolehkan dan harus diredistribusikan kepada masyarakat miskin. Dalam hal ini pembatasan penguasaan tanah perlu mendapatkan perhatian.
Upaya mendorong pemerintah untuk segera menjalankan agenda reforma agraria berlandaskan kesalehan sudah dimulai oleh Nahdlatul Ulama. Munas Alim Ulama Dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat 23-25 November 2017 lalu telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengawal agenda reforma agraria, tidak terbatas pada program sertifikasi tanah, tetapi redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani. NU menilai, agenda reforma agraria selama ini tidak berjalan baik karena Pemerintah tidak punya komitmen kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara. Beberapa hal yang harus segera dilakukan pemerintah dalam agenda reforma agraria adalah: (a) pembatasan penguasaan tanah/hutan; (b) pembatasan kepemilikan tanah/hutan; (c) pembatasan masa pengelolaan tanah/lahan; (d) redistribusi tanah/hutan dan lahan terlantar; (e) pemanfaatan tanah/hutan dan lahan terlantar untuk kemakmuran rakyat; (f) penetapan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) harus bersifat partisipatoris, melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak bersifat top down; (g) data TORA harus akurat; (h) perlu dibentuk Badan Otorita ad hoc yang bertugas mengurus restrukturisasi agrarian; (i) perlu dukungan instansi militer dan organisasi masyarakat sipil.  
Dalam konteks mengatasi ketimpangan di DIY, nilai-nilai kesalehan sudah terinternalisasi pada upaya ‘Lima Kemuliaan’ atau ‘Pancamulia’, yang menjadi cita-cita ke depan, yakni: (1) terwujudnya peningkatan kualitas hidup-kehidupan-penghidupan masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban; (2) terwujudnya peningkatan kualitas dan keragaman kegiatan perekonomi masyarakat, serta penguatan ekonomi yang berbasis pada sumberdaya lokal (keunikan teritori ekonomi) untuk pertumbuhan pendapatan masyarakat yang berkeadilan; (3) terwujudnya peningkatan harmoni kehidupan bersama baik pada lingkup masyarakat maupun pada lingkup birokrasi atas dasar toleransi, tenggang rasa, kesantunan, dan kebersamaan; (4) terwujudnya tata dan perilaku penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis; dan (5) terwujudnya perilaku bermartabat dari para aparatur sipil penyelenggara pemerintahan atas dasar tegaknya nilai-nilai integritas yang menjunjung tinggi kejujuran dan nurani.
Tampak jelas bahwa agenda reforma agraria yang merupakan jurus jitu untuk mengatasi ketimpangan harus dilakukan melalui semangat, jiwa dan ruh kesalehan. Tanpa itu, agenda yang dicita-citakan tersebut tidak akan mungkin diwujudkan. Mengingat kesalehan adalah ketaatan beribadah yang tercermin dalam  berpikir, bersikap, berbuat penuh dengan ketulusan, pengertian, dan pengorbanan untuk umat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 12-06-2018
[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar