Jumat, 15 Februari 2013

TRAGEDI SAPI

Oleh: Sutaryono*

    Sepekan ini, hampir semua media massa mengabarkan sebuah fakta yang erat hubungannya dengan petani & peternak yang berkelindan dengan berbagai kepentingan elit dan pihak yang mempunyai otoritas dalam pengadaan (import) sapi. Kabar itu menyusul setelah harga daging sapi melambung, para penjual daging kelimpungan dan mogok karena tidak bisa ‘kulakan’, sementara petani & peternak sapi di perdesaan tetap tidak mendapatkan keuntungan dari melambungnya harga daging sapi. Pertanyaan yang mengemuka adalah, siapa yang diuntungkan atau siapa yang mengambil keuntungan dari soal per-sapi-an ini?
Jawabannya tentu tidak sederhana, dan tidak bisa langsung menjatuhkan vonis pada sosok presiden sebuah partai yang dijadikan tersangka oleh KPK berkenaan dengan dugaan suap dalam pengadaan import sapi. Tetapi perlu dilihat pada berbagai kebijakan penataan sektor pangan dan pertanian yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kebijakan pemerintah yang menyadari masih besarnya kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan pangan, dilakukan melalui pencanangan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005. Revitalisasi pertanian ini merupakan satu dari triple track strategy dalam rangka pengurangan kemiskinan, pengangguran dan peningkatan dayasaing ekonomi nasional. Triple track strategy dimaknai sebagai strategi pembangunan yang meliputi: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor; (2) menggerakkan sektor riil agar semakin tumbuh dan berkembang; (3) melaksanakan revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan.

Salah satu implementasi strategi tersebut, Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah menyusun ”Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010” berupa arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan utama, yang meliputi: (a) mempertahankan swasembada padi/beras berkelanjutan; (b) menuju swasembada jagung tahun 2007 dan daya saing ekspor tahun 2008 dan seterusnya; (c) akselerasi peningkatan produksi kedelai untuk mengurangi ketergantungan impor menuju swasembada tahun 2015; (d) menuju swasembada gula berkelanjutan mulai tahun 2009; dan (e) akselerasi peningkatan produksi daging sapi untuk mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada tahun 2010.
Pasca kebijakan tersebut, geliat petani dan peternak sapi muncul dengan harapan baru. Dalam rentang waktu tahun 2006 – 2008, pasar sapi lokal dipenuhi oleh sapi-sapi produk petani perdesaan. Berbagai dukungan dan penguatan modal untuk ternak sapi dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai skema. Di tengah bersemangatnya petani dan peternak sapi dalam menikmati pasar sapi yang menguntungkan, tiba-tiba harga sapi turun drastis. Anehnya turunnya harga sapi yang mencapai sekitar 30%, tidak berakibat pada turunnya harga daging sapi. Tiga tahun kemudian, tepatnya di penghujung tahun 2012, kita dikejutkan oleh melambungnya harga daging sapi, yang tidak juga disertai dengan meningkatnya harga jual sapi lokal.
Kelangkaan daging sapi akibat lemahnya produksi menjadi penyebab melambungnya harga, dijadikan argumen pentingnya melakukan import. Persoalannya adalah, import dilakukanpun harga daging sapi tetap tinggi. Setelah ditelisik lebih jauh, ternyata harga daging sapi di Indonesia terhitung sangat mahal bahkan termahal, apabila dibandingkan dengan harga diberbagai negara lain. Harga daging sapi di Indonesia saat ini mencapai Rp. 90 – 95 ribu/kg. Padahal harga di berbagai negara di dunia jauh lebih rendah, misal: Amerika Rp. 37.800/kg, Malaysia sekitar Rp. 38.700/kg, Thailand mencapai Rp. 37.800/kg, India sebesar Rp. 67.400/kg, Jepang Rp. 35.100/kg, Jerman Rp. 38.700/kg dan Australia Rp. 37.800/kg. Timpangnya harga inilah yang menjadikan import daging sapi menjadi objek menarik bagi pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mendapatkan rente dalam pengadaan daging sapi. Keuntungan yang sangat fantastis (hampir 100%) bagi pengusaha yang mendapatkan jatah impor, dimungkinkan dibagi dengan berbagai elit yang berkuasa tanpa mempertimbangkan dampak yang diakibatkan. Inilah yang disebut sebagai Tragedi Sapi, sebuah ironi yang kembali terjadi di negeri ini. Bagaimana tidak, mulanya persoalan beras, minyak goreng, kedelai, garam dan sekarang daging sapi- kesemuanya itu adalah komoditas pangan yang penting bagi masyarakat kita. Sapi yang ditakdirkan untuk mendampingi petani dan peternak dalam mengelola lahan, yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan, ternyata menjadi objek perahan bagi sebagian kecil pengusaha dan elit penguasa yang mempraktekkan cara dagang yang melanggar etika dan kewajaran. Bahkan rela melakukan tindak pidana dengan mengorbankan petani dan peternak sapi di perdesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar