Selasa, 08 April 2014

Menunggu Sikap Politik ANSOR



MENUNGGU SIKAP POLITIK ANSOR[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Tanggal 24 April ini merupakan 79 tahun (1934 – 2013) usia Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Usia yang sangat layak untuk disebut ‘dewasa’ sebagai sebuah entitas organisasi sosial keagamaan. Dengan demikian maka sudah selayaknya Ansor menentukan sikap politik- dengan tetap tidak berpolitik praktis – agar keberadaan Ansor berikut anggotanya tetap dalam track yang solid, dan tidak mudah terkontaminasi hasrat politik praktis yang cenderung transaksional. Hal ini penting dilakukan, mengingat pesona dan daya tarik yang luar biasa atas diri Ansor, utamanya bagi kepentingan politik kekuasaan. Sikap politik ini akan sangat menentukan bagi Ansor, anggota & simpatisannya, sebagai pegangan dalam menghadapi berbagai ‘rayuan’ pelaku politik.
Sebagai sebuah organisasi kepemudaan sekaligus  organisasi sosial keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah, menjadikan Ansor harus menempatkan dirinya secara cerdas dan tepat dalam pusaran kontestasi politik yang semakin sulit ditebak arahnya. Pilihan cerdas dan tepat ini harus diwujudkan dalam Sikap Politik yang tegas, agar cita-cita pendirian organisasi sebagai pengawal kebhinekaan NKRI ini dapat diwujudkan.
Sikap Politik Ansor harus dilandasi dengan penguatan pemahaman dan implementasi nilai-nilai Ahlussunah WalJama'ah menjadi sesuatu yang urgent sekaligus emergency bagi pilihan masa depan Ansor. Nilai tasamuh (toleransi) dalam mensikapi perbedaan, baik perbedaan keyakinan dengan non Islam, antar umat Islam maupun antar orang muda NU sendiri akan membawa pada sikap egaliter yang meneduhkan banyak kalangan. Nilai tawazun (keseimbangan), dalam keyakinan, pemikiran intelektual maupun dalam praktek kehidupan akan menuntun Ansor pada kebesaran dan kearifan. Nilai tawassuth (moderat), akan menjadikan diakuinya eksistensi Ansor secara berkelanjutan.  Nilai-nilai utama ini menjadikan Ansor dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan baru yang mengedepankan rasionalitas dan pemikiran kontemporer, tetapi tetap menghargai dan menerima pemahaman dan tradisi keagamaan yang lama, sepanjang memberikan kemaslahatan, manfaat dan kesejahteraan ummat.
Sikap Politik Ansor perlu segara diwujudkan, mengingat realitas menunjukkan telah terjadinya fragmentasi di kelembagaan Ansor. Kondisi ini dapat dilihat secara kasat mata pada jajaran pengurus yang mencerminkan beragam ‘bendera politik partai’, baik pada aras pusat, wilayah maupun cabang. Cerminan tersebut pada level akar rumput ternyata mengancam soliditas organisasi berikut anggotanya. Argumen pentingnya Ansor tidak kemana-mana tetapi berada di mana-mana, tidak cukup mampu menetralisir pandangan anggota Ansor terhadap ‘bendera politik’ petingginya. Bahkan agenda kerja yang dijalankan selalu dibaca sebagai penggalangan masa untuk ‘bendera politik’ tertentu. Respon akar rumput ini kontraproduktif terhadap penguatan kapasitas kelembagaan dan penguatan peran politik Ansor secara lebih luas. Penguatan peran politik Ansor dalam penyemaian demokratisasi lokal, penguatan pemahaman pluralisme dan kebhinekaan, dukungan terhadap sikap moderat & tasamuh-nya menghadapi berbagai perbedaan, dan berbagai peran lain di masyarakat, sering dipandang secara skeptis sebagai kampanye terselubung.
Kondisi diatas semakin mengkhawatirkan apabila disandingkan dengan telah terfragmentasinya Ansor menjadi: (1) kelompok struktural Ansor yang elitis & eksklusif, sehingga ruang interaksi dengan lapisan bawah menjadi terbatas; (2) kelompok politik praktis, yang cenderung membawa & mengajak Ansor untuk memperkuat partai politik yang diikutinya; (3) kelompok aktivis pergerakan, yakni yang aktif dalam organisasi non pemerintah (ornop, NGO/LSM). Kelompok ini cenderung lebih progresif dan terbuka tanpa memperhatikan keterikatan kelembagaan dengan Ansor; (4) Banser, organ inti Ansor yang paling mudah dimobilisasi karena sistem komandonya. Kelompok ini karena over confidence-nya, terkadang bergerak sendiri (baik secara institusi ataupun personal) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah berorganisasi; (5) floating mass-nya Ansor,  kelompok yang paling mudah berubah-ubah haluan, tergantung pada situasi dan pergerakan kekuatan sosial politik yang ada di sekitarnya.
Apabila sikap politik tidak segera digariskan, maka perhelatan demokrasi di tahun 2014, akan semakin memperbesar fragmentasi, menjauhkan organisasi dengan kemaslahatan umat, dan menjadikan Ansor tetap sebagai objek & komoditas politik untuk segelintir aktivisnya.      


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 24 April 2013
[2] Dr. Sutaryono, Pengurus Ikatan Sarjana NU & MUI Kabupaten Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar