Jumat, 28 Maret 2014

Pemimpin Pro Agraria



MENCARI PEMIMPIN PRO AGRARIA[1]

Oleh:
Sutaryono*

            Perhelatan pesta demokrasi lima tahunan, secara masif sudah dimulai pada pekan ini. Semarak pesta telah dimulai sejak lama melalui semakin banyaknya pamflet, poster, umbul-umbul, spanduk, bendera parpol, bahkan baliho yang berisi propaganda, janji politik, serta gambar calon pemimpin- yang senyatanya menambah sampah visual yang memperburuk citra keindahan sebuah wilayah, termasuk pula citra keistimewaan DIY. Pun begitu, cara-cara tersebut masih dianggap sebagai cara ampuh bagi para kontestan untuk menjadi seorang pemimpin. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengimbangi propaganda visual tersebut, agar masyarakat secara cerdas mampu memilih pemimpin yang dibutuhkan negeri ini.
“Ayo Cari Pemimpin yang Pro Lingkungan”, begitulah bunyi propaganda yang terpampang di halaman muka salah satu Kantor Kementerian Lingkungan Hidup di Ringroad Barat Yogyakarta. Ajakan yang sangat simpatik, mengingat kondisi lingkungan di negeri ini begitu mengkhawatirkan. Tetapi ternyata ada yang lebih mengkhawatirkan lagi dibanding kondisi lingkungan, yakni kondisi agraria. Kenapa? Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya menggantungkan perikehidupannya dari sektor agraria dan negaranyapun bergantung pada kekayaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya sebagai sumber kesejahteraan. Dengan memiliki sekitar 17.504 buah pulau (7.870 pulau bernama, dan 9.634 pulau belum bernama), panjang pantai mencapai 81.000 km, luas daratan 1,9 juta km2 dan luas perairan mencapai sekitar 3,3 juta km2, merupakan potensi agraria yang luar biasa. Namun demikian, isu-isu tentang keagrariaan ini absen dari benak para calon pemimpin bangsa. Padahal berbagai persoalan yang sedang menggelayuti bangsa ini tidak terlepas dari persoalan dan kebijakan agraria, termasuk kabut asap di Riau yang ‘memaksa’ presiden turun langsung menyelesaikannya.   
Patut dicatat bahwa saat ini berbagai permasalahan keagrariaan dapat disebutkan antara lain: (1) tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan, yang mencapai sekitar 632 regulasi yang tumpang tindih, baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden sampai pada peraturan menteri/kepala badan; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah dan sumberdaya agraria; (3) banyak terdapatnya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang hak; (4) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh di wilayah Indonesia; (5) belum terdaftarnya seluruh bidang-bidang tanah di Indonesia; (6) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan, dari sejumlah 8.307 kasus baru separuh yang terselesaikan; (7) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (8) belum jelasnya teritorial sektor perkebunan, pertambangan, kehutanan dan pertanahan; (9) belum adanya lembaga penilaian tanah yang mampu memberikan penilaian secara adil, transparan dan mendukung penguatan sistem perpajakan dan penilaian ganti rugi atas tanah.
Absen-nya isu-isu keagrariaan dari propaganda calon pemimpin yang bertarung dalam pesta demokrasi ini, mengesankan bahwa mereka abai atau tidak paham makna agraria atau, jangan-jangan tidak paham pula bahwa negeri kita adalah negeri agraris yang membutuhkan pemimpin-pemimpin yang Pro Agraria. Padahal secara jelas dan sangat yakin para calon pemimpin tersebut hapal di luar kepala mengenai Pasal 33 (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa ‘bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Itulah makna agraria secara konstitusional. Makna itu pula-lah yang mengharuskan setiap pemimpin bangsa ini memahami, memperhatikan dan mengambil kabijakan pembangunan yang pro agraria dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.   
Kebijakan pro agraria berarti menjalankan amanah Pasal 33 (3) UUD 1945 dan mengimplementasikan UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lima misi utama UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria, merupakan kebijakan sekaligus cita-cita bersama seluruh bangsa Indonesia. Untuk itu marilah kita bersama-sama secara cermat dan cerdas menentukan pilihan pada calon pemimpin yang Pro Agraria. Pro Agraria berarti pro kesejahteraan rakyat, sekaligus pro keberlanjutan lingkungan dan bangsa Indonesia.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2014
* Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar