Jumat, 07 Maret 2014

UU Desa: Berkah atau Musibah?



UU DESA: Berkah atau Musibah?[1]
Oleh: Sutaryono[2]

Berkah atau Musibah? Itulah respon awal sebagian Peserta Diskusi Terfokus tentang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang diselengarakan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) di Yogyakarta, Februari lalu. Dikatakan sebagai berkah, karena UUDesa mengamanatkan adanya alokasi dana APBN yang cukup besar untuk desa. Dana tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Artinya, segala macam kegiatan yang menjadi kewenangan desa dapat direncanakan sekaligus dikerjakan oleh desa.
Mengapa musti ada respon sebagai musibah? Respon ini menunjukkan adanya kekhawatiran dan kurang percayadiri sebagian pemangku kepentingan terhadap desa dalam pengelolaan keuangan. Ketidakmampuan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan bisa berakibat sebagai musibah, bahkan secara ekstrim ada yang menyatakan bahwa bui adalah ujungnya.
Berkah atau musibah berkenaan dengan UUDesa tergantung pada cara pandang dan kesiapan seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap desa dan masyarakat desa. Paling tidak terdapat tiga cara pandang terhadap desa, apabila dikaitkan dengan kelahiran UUDesa, yakni: (1) desa dipandang sebagai sebuah entitas yang mampu memandirikan diri dengan mengembangkan aset-asetnya sebagai sumber penghidupan. Dalam konteks ini maka desa mau dan mampu melakukan pengelolaan kebijakan, perencanaan, keuangan, dan melakukan pelayanan dasar bagi warga masyarakat dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; (2) desa dipandang sebagai institusi pemerintahan terbawah yang perlu mendapatkan pembinaan dan pendampingan intensif dari institusi supradesa apabila akan melakukan penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan desa yang berasal dari Alokasi Dana Desa  dari APBD Kabupaten/Kota dan Dana Alokasi Desa dari APBN; dan (3) desa cenderung dipandang sebagai entitas yang penuh ketidakberdayaan, kemiskinan, dan keterbelakangan, sehingga desa dianggap tidak mempunyai masa depan.
Ketiga cara pandang tersebut berpengaruh terhadap pensikapan terbitnya UUDesa. Cara pandang pertama adalah cara pandang positif, konstruktif dan menganggap UUDesa adalah berkah yang harus direspon dengan mempersiapkan diri lebih baik dalam menjalankan kewenangan desa demi masa depan dan kesejahteraan masyarakat. Cara pandang kedua mengisyaratkan keraguan terhadap kemampuan dan kapasitas desa, tetapi tetap optimis bahwa desa mampu merespon UUDesa dengan baik apabila mendapatkan pembinaan dan pendampingan secara intensif dari institusi supradesa. Pandangan ketiga adalah pandangan skeptis & pesimistik terhadap desa, yang cenderung tidak konstruktif bagi masa depan desa serta menganggap bahwa UUDesa adalah sebuah musibah yang bisa menjerat kepala desa dan perangkatnya untuk terjebak pada perilaku korup.
Survey sebuah media menggambarkan bahwa sebanyak  60% responden memberikan harapan positif terhadap UU Desa, 36% responden tidak begitu yakin kalau regulasi ini mampu memberikan perubahan lebih baik dan 4% menyatakan tidak tahu (Syahrul, 2014). Hasil survey tersebut menunjukkan adanya pandangan optimis bahwa desa mendapatkan berkah dan mampu melakukan perubahan yang lebih mensejahterakan masyarakat desa.
Pandangan optimis, moderat maupun pesimis terhadap kapasitas dan kemampuan desa dalam merespon UUDesa adalah sebuah kewajaran. Namun demikian, yang perlu ditekankan dan dikampanyekan agar UU Desa memberikan nilai produktif bagi desa dan masyarakat desa di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan adalah: (1) UUDesa terlahir melalui proses panjang yang tidak hanya dibicarakan oleh pemerintah dan DPR, melainkan melibatkan masyarakat desa, aktivis & pegiat desa, masyarakat adat, pemerintah kab/kota dan pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap masa depan desa dan masa depan NKRI; (2) UUDesa ini menempatkan desa sebagai subjek yang mempunyai otoritas dalam kebijakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan aset desa serta alokasi anggaran dari APBN maupun APBD; (3) Spirit UUDesa adalah pengakuan dan penghormatan bagi desa atas penguasaan dan pengelolaan aset desa yang diorientasi untuk kepentingan desa dan kesejahteraan warganya, maka pengembalian aset-aset desa yang selama ini dikuasai oleh institusi supradesa adalah sebuah keharusan; (4) penguatan kapasitas desa melalui upaya-upaya pemberdayaan agar desa lebih mandiri dan sejahtera dengan tetap taat azas adalah tanggungjawab kita bersama.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 6 Maret 2014
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar