Kamis, 10 Juli 2014

Tanah Keistimewaan Untuk Rakyat



MENEGUHKAN TANAH KEISTIMEWAAN UNTUK RAKYAT[1]

Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

          Akhir bulan lalu, untuk kali kedua draf Perdais Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten direlease di harian ini (KR, 30-06-2014). Perdais ini adalah perdais yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas pasca terbitnya Perdais Nomor  1  Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan DIY. Ditunggu-tunggu karena berhubungan dengan hajat hidup banyak orang yang berkepentingan terhadap penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan, khususnya tanah bukan keprabon.
          Apapun bentuknya draf perdais ini patut diapresiasi sebagai hasil kerja produktif yang mengedepankan spirit keistimewaan untuk kesejahteraan rakyat. Mengapa? Karena realitas menunjukkan bahwa berdasarkan subjek pengelolanya, tanah keistimewaan (bukan keprabon) saat ini dimanfaatkan oleh pemerintah, desa, badan hukum dan masyarakat untuk berbagai keperluan. Bentuk pemanfaatannya bervariasi dengan pemanfaatan paling tinggi terdapat pada institusi pemerintah, baik untuk perkantoran, fasilitas umum, usaha komersial, gedung sekolah, balai desa, kantor polisi dan kantor TNI (koramil). Hal ini menunjukkan bahwa tanah keistimewaan sejatinya telah memberikan kontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam pelayanan institusi pemerintah kepada masyarakat.
          Spirit untuk kesejahteraan rakyat tercermin pada asas kearifan lokal, kesejahteraan masyarakat dan diskriminasi positif yang ditempatkan sebagai asas dalam pengelolaan dan pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Pengaturan penatausahaan terhadap tanah keistimewaan sebagai satu bab tersendiri menunjukkan kehati-hatian sekaligus sebagai upaya penertiban dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah SG/PAG. Dalam hal ini penatausahaan yang meliputi inventarisasi, identifikasi, verifikasi, pemetaan dan pendaftaran tanah adalah titik krusial dalam pengelolaan dan pemanfaatan SG/PAG.  Menjadi titik krusial karena saat ini beragam permasalahan berkenaan dengan tanah keistimewaan, baik permasalahan fisik, sosial, budaya dan permasalahan yuridis masih menggelayuti eksistensi tanah SG/PAG.
Secara fisik permasalahan yang ada antara lain: batas fisik tanah keistimewaan belum sepenuhnya dapat diidentifikasi secara jelas; belum adanya peta objek dan subjek serta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pemanfaatan tanah keistimewaan; dan sebagian tanah keistimewaan adalah tanah-tanah marjinal. Permasalahan sosial yang dihadapi meliputi sebagian besar SG/PAG sudah dimanfaatkan oleh subjek hak, baik pemerintah, TNI, POLRI, badan hukum, desa dan masyarakat; belum adanya persepsi yang sama terhadap keberadaan tanah keistimewaan oleh stake holder yang berkepentingan; serta upaya inventarisasi dan identifikasi tanah keistimewaan, diinterpretasikan sebagai upaya menarik kembali tanah-tanah SG/PAG ke Kasultanan dan Kadipaten.
Permasalahan budaya berkenaan dengan nilai-nilai dasar keistimewaan tampaknya belum terinternalisasi secara baik, ketika masih beragamnya persepsi masyarakat terhadap tanah keistimewaan, bahkan hal ini terjadi pula pada aparat birokrasi. Pengakuan eksistensi budaya kraton dan kadipaten berproses secara dinamis, sehingga pemaknaannya menjadi berkembang dan memungkinkan munculnya berbagai perbedaan persepsional antar pemangku kepentingan. Perbedaan persepsi ini perlu mendapatkan perhatian agar tetap berkontribusi dalam meneguhkan keistimewaan DIY.
Permasalahan yuridis yang perlu segera ditangani adalah: belum adanya definisi yang jelas dan operasional tentang tanah keistimewaan, terutama tanah bukan keprabon; terdapatnya tanah keistimewaan yang sudah diberikan hak kepada subjek hak berdasarkan UUPA, yang secara legal formal terpenuhi segala persyaratannya; dan terbitnya perdais ini tidak serta merta membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan terhadap SG/PAG yang pada saat perbuatan hukum itu dilakukan dianggap sebagai tanah negara. 
Beberapa permasalahan di atas menunjukkan bahwa betapa strategisnya pengaturan pertanahan dalam raperda istimewa ini, yang berimplikasi pada terakomodasinya seluruh elemen masyarakat, baik perorangan, kelompok masyarakat, pemerintah, pemerintah desa maupun badan hukum yang selama ini telah menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah kasultanan dan kadipaten.
Mengingat secara substansial, raperdais ini diorientasikan untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat, maka ruh ‘Tahta untuk Rakyat’ betul-betul menjiwai raperdais. Hal ini untuk memastikan bahwa pengaturan tanah keistimewaan tetap memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana telah ditunjukkan selama ini bahwa sejatinya tanah-tanah kraton dan kadipaten telah memberikan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas.


[1][1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 8-7-2014 hal 10
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar