Selasa, 12 Agustus 2014

PENGARUSUTAMAAN TATA RUANG



PENGARUSUTAMAAN TATA RUANG[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

Salah satu persoalan yang dapat ‘menjerumuskan’ kepala daerah ke bui adalah kebijakan yang berhubungan dengan tata ruang, sebagaimana telah terjadi di beberapa daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman pidana sebagaimana tertuang dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang belum dipahami sepenuhnya, atau bahkan sama sekali tidak diketahui. Kondisi ini diperparah dengan adanya kenyataan bahwa tata ruang belum menjadi mainstream (arus utama) dalam pengambilan kebijakan pembangunan oleh pihak-pihak terkait. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum menjadi guidence dalam pembangunan. Lebih memprihatinkan lagi ketika dokumen tata ruang sudah ada, tetapi belum menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan.
         Kondisi demikian, tidak boleh terjadi di DIY sebagai daerah dengan predikat istimewa. Namun demikian isu ‘Yogya Berhenti Nyaman’ (KR, 6-1-2014) dan munculnya statemen pelaku usaha yang menyatakan bahwa pengaturan tata ruang melalui zoning hanya menyulitkan upaya-upaya investasi, adanya beragam produk rencana tata ruang belum ditetapkan dengan perda/pergub- sehingga memunculkan disparitas kebutuhan pengaturan penataan ruang dengan ketersediaan regulasi semakin tinggi-  serta belum diterapkannya prinsip-prinsip one area, one plan, one management dan one regulation dalam pengembangan wilayah DIY, menunjukkan bahwa tata ruang belum menjadi mainstream dalam kebijakan pembangunan. Apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian, maka kekhawatiran ‘Yogya Berhenti Nyaman’ akan terwujud dan upaya meneguhkan keistimewaan tata ruang menjadi terhambat.
          Mengapa? Salah satu  kewenangan istimewa DIY berdasarkan UU 13/2012 adalah urusan tata ruang. Artinya, keistimewaan urusan tata ruang ini harus bisa dimanifestasikan ke dalam kebijakan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Momentum revisi Perda DIY 2/2010 tentang RTRW DIY yang sedang berproses merupakan saat yang tepat untuk melakukan sinkronisasi RTRW berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 13/2013 tentang Keistimewaan DIY. Sinkronisasi untuk mewujudkan Penataan Ruang Istimewa di DIY membutuhkan beberapa prasyarat penting yang perlu diinisiasi, didiskusikan, dan disepakati dalam kerangka kebijakan pembangunan di DIY.
          Pertama, pengarusutamaan (mainstreaming) tata ruang dalam implementasi kebijakan pembangunan di DIY. Mainstreaming tata ruang dalam pembangunan ini diorientasikan agar setiap proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan pembangunan yang mengalokasikan dan memanfaatkan ruang harus menempatkan aspek tata ruang sebagai pertimbangan utama. Ketaatan terhadap rencana tata ruang adalah mutlak diperlukan agar upaya mewujudkan visi pembangunan DIY dapat dilakukan secara berkelanjutan. Mainstreaming tata ruang ini perlu dilakukan terhadap seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap pembangunan wilayah di DIY, baik pada jajaran pemerintahan (ekskutif dan legislatif), pelaku usaha maupun masyarakat luas.
Kedua, Pembangunan Sistem Penataan Ruang Istimewa. Sistem Penataan Ruang Istimewa dimaknai sebagai sistem proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang taat azas, terintegrasi dan dapat terimplementasi secara berkelanjutan pada seluruh wilayah Provinsi DIY, termasuk seluruh wilayah kabupaten/kota. Taat azas dimaksudkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini mengacu pada UU 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Terintegrasi diorientasikan mencakup seluruh sektor pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat umum yang terkontrol melalui sistem informasi yang terintegrasi langsung dengan Sistem Aplikasi Jogja Plan. Dalam hal ini, setiap bentuk alokasi dan pemanfaatan ruang untuk pembangunan akan terkontrol oleh sistem ini dan terpantau langsung kelayakannya pada domain Sistem Aplikasi Jogja Plan. Dengan demikian, maka ketaatan terhadap RTRW baik dalam proses perijinan pemanfaatan ruang maupun dalam alokasi ruang untuk pembangunan dapat dikendalikan secara tersistem, tidak tergantung pada orang per orang atau pada pejabat tertentu.
       Ketiga, penguatan seluruh pengaturan penataan ruang melalui kerangka kebijakan (perda/pergub) yang mengikat seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap pemanfaatan ruang, termasuk seluruh pemerintah kabupaten/kota di DIY.
        Apabila ketiga hal tersebut dapat diwujudkan, maka agenda keistimewaan-khususnya keistimewaan tata ruang- dapat berproses secara produktif, konstruktif & semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 12 Agustus 2014
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar