Senin, 10 Agustus 2015

Revolusi Mental Keagrariaan



MENEGUHKAN REVOLUSI MENTAL KEAGRARIAAN[1]

Oleh:
Sutaryono*

Pekan ini kita memasuki bulan yang penuh semangat nasionalisme, dimana di hampir seluruh wilayah Indonesia diselenggarakan berbagai agenda memperingati HUT kemerdekaan. Gegap gempita peringatan HUT kemerdekaan dari tahun ke tahun seolah menafikan kondisi bangsa dan negara yang masih banyak persoalan, utamanya persoalan keagrariaan. Realitas menunjukkan bahwa saat ini berbagai permasalahan keagrariaan- termasuk pertanahan- dapat disebutkan antara lain: (1) tumpang tindihnya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan dan pertanahan, baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden sampai pada peraturan menteri/kepala badan; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah dan sumberdaya agraria; (3) banyak terdapatnya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang hak; (4) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh di wilayah Indonesia; (5) tingginya ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, dimana indeks GINI (indeks ketimpangan penguasaan tanah) mencapai angka 0,413; (6) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan; (7) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan hutan adat; (8) belum tersedianya peta tunggal untuk mewujudkan visi one map on policy; dan (9) belum adanya lembaga penilaian tanah yang mampu memberikan penilaian secara adil, transparan dan mendukung penguatan sistem perpajakan dan penilaian ganti rugi atas tanah. 
Berkenaan dengan hal di atas, momentum peringatan kemerdekaan ini perlu kita didorong untuk meneguhkan kembali Revolusi Mental Bidang Agraria. Visi misi Presiden Jokowi-JK di bidang agraria adalah menuju Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui pengelolaan bidang keagrariaan. Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) yang dicita-citakan oleh Jokowi–JK, tiga di antaranya bertautan sangat kuat dengan bidang keagrariaan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3)  mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.
Visi misi di atas dituangkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019, ke dalam sasaran program peningkatan kesejahteraan rakyat melalui Program Indonesia Kerja yang meliputi: (a) Penyediaan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah dan legalisasi aset, melalui identifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan sedikitnya sebanyak 4,1 juta ha dan  identifikasi tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya, tanah terlantar, dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat, yang berpotensi sebagai TORA sedikitnya sebanyak 1 juta ha; dan (b) pengelolaan aset tanah (reforma aset) yang meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset sebanyak 9 juta ha dengan rincian: (i) redistribusi tanah sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha yang meliputi tanah pada kawasan hutan yang dilepaskan, dan tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya dan tanah terlantar; dan (ii) legalisasi aset sedikit-nya sebanyak 4,5 juta ha, yang meliputi tanah transmigrasi yang belum dilegalisasi dan legalisasi aset (sertifikasi) masyarakat dengan kriteria penerima reforma agraria.
Persoalannya adalah, apakah berbagai persoalan keagrariaan di atas dapat terselesaikan melalui agenda yang tertuang dalam RPJMN? Tampaknya masih jauh panggang dari api. Perwujudan visi misi di bidang keagrariaan memerlukan revolusi mental bagi seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan tanah.  Apa yang tertuang dalam konstitusi kita yang menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang  terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", perlu dijadikan basis dalam pengembilan kebijakan dalam pengelolaan keagrariaan dan pertanahan. Amanat konstitusi untuk mempergunakan agraria dan tanah oleh negara harus ditindaklanjuti dengan memastikan bahwa struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria lebih berkeadilan dan berorientasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Peningkatan kelembagaan sekaligus perubahan nomenklatur kementerian dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementeriaan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, tidak hanya sekedar berkenaan dengan tugas dan fungsi kementerian berikut struktur organisasinya yang berubah, tetapi juga ‘ruh’, semangat bahkan ideologi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga berubah.
Penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah suatu hal yang a-historis, tetapi ‘senapas’ dengan konstitusi. Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi yang kemudian dijabarkan dalam UUPA. Makna ini inherent dengan makna ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang. Dengan demikian penggabungan bidang agraria dan tata ruang pada satu kementerian adalah hal yang tepat, mengingat: (a) pengaturan pertanahan, agraria dan sumberdaya alam selama ini dilakukan secara sektoral, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik; (b) keterbatasan kelembagaan BPN pada nonkawasan hutan, menjadikan pengelolaan pertanahan, agraria dan sumberdaya alam lainnya tidak dapat menjangkau kawasan hutan; (c) amanat konstitusi (UUD 1945) dan regulasi (UUPA) tidak dapat dijalankan secara utuh oleh kelembagaan pertanahan selama ini.  
Hal di atas menunjukkan bahwa perubahan kementerian ini bukan hanya sekedar merubah BPN menjadi kementerian dan meluaskan lingkup kerjanya, tetapi juga merubah mainstream ‘pertanahan’ menjadi ‘agraria’ serta melengkapinya dengan tata ruang. Tampak sekali bahwa kementerian ini berkehendak mengembalikan ‘ruh agraria’ setelah sekian lama tereduksi hanya sebatas ‘pertanahan’, itupun hanya diluar kawasan hutan. Inilah yang disebut sebagai revolusi mental dalam pengelolaan agraria dan sumberdaya alam di Indonesia, yang perlu dikukuhkan kembali pada momentum 70 th Indonesia Merdeka..


[1] Dimuat di Kaltim Post, 4-8-2015 hal 2
* Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar