MENEGUHKAN REVOLUSI MENTAL KEAGRARIAAN[1]
Oleh:
Sutaryono*
Pekan
ini kita memasuki bulan yang penuh semangat nasionalisme, dimana di hampir
seluruh wilayah Indonesia diselenggarakan berbagai agenda memperingati HUT
kemerdekaan. Gegap gempita peringatan HUT kemerdekaan dari tahun ke tahun
seolah menafikan kondisi bangsa dan negara yang masih banyak persoalan,
utamanya persoalan keagrariaan. Realitas menunjukkan bahwa saat ini berbagai
permasalahan keagrariaan- termasuk pertanahan- dapat disebutkan antara lain: (1) tumpang tindihnya berbagai
peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan dan pertanahan, baik pada level undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden sampai pada peraturan menteri/kepala badan;
(2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah dan sumberdaya agraria;
(3) banyak terdapatnya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang
hak; (4) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh di wilayah
Indonesia; (5) tingginya ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, dimana indeks GINI (indeks ketimpangan
penguasaan tanah) mencapai angka 0,413; (6) lambatnya
penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan; (7) belum memadainya
perlindungan terhadap hak-hak atas tanah
bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan hutan adat; (8) belum
tersedianya peta tunggal untuk mewujudkan visi one map on policy; dan (9) belum adanya lembaga penilaian tanah
yang mampu memberikan penilaian secara adil, transparan dan mendukung penguatan
sistem perpajakan dan penilaian ganti rugi atas tanah.
Berkenaan dengan hal di atas, momentum
peringatan kemerdekaan ini perlu kita didorong untuk meneguhkan kembali
Revolusi Mental Bidang Agraria. Visi misi Presiden Jokowi-JK di bidang agraria
adalah menuju Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui
pengelolaan bidang keagrariaan. Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) yang dicita-citakan oleh Jokowi–JK, tiga di antaranya
bertautan sangat kuat dengan bidang keagrariaan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas
tanah, penyelesaian sengketa
tanah dan menentang
kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform
dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan melalui
perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.
Visi misi di atas dituangkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019, ke
dalam sasaran program peningkatan kesejahteraan rakyat melalui Program
Indonesia Kerja yang meliputi: (a) Penyediaan
sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi tanah dan
legalisasi aset, melalui identifikasi kawasan hutan yang akan dilepaskan
sedikitnya sebanyak 4,1 juta ha dan
identifikasi tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa
berlakunya, tanah terlantar, dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat,
yang berpotensi sebagai TORA sedikitnya sebanyak 1 juta ha; dan (b) pengelolaan aset tanah (reforma aset) yang
meliputi redistribusi tanah dan legalisasi aset sebanyak 9 juta ha dengan
rincian: (i) redistribusi tanah sedikitnya sebanyak 4,5 juta ha yang meliputi
tanah pada kawasan hutan yang dilepaskan, dan tanah hak, termasuk di dalamnya
tanah HGU akan habis masa berlakunya dan tanah terlantar; dan (ii) legalisasi
aset sedikit-nya sebanyak 4,5 juta ha, yang meliputi tanah transmigrasi yang
belum dilegalisasi dan legalisasi aset (sertifikasi) masyarakat dengan kriteria
penerima reforma agraria.
Persoalannya adalah, apakah berbagai persoalan
keagrariaan di atas dapat terselesaikan melalui agenda yang tertuang dalam
RPJMN? Tampaknya masih jauh panggang dari api. Perwujudan visi misi di bidang
keagrariaan memerlukan revolusi mental bagi seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dan tanah. Apa yang tertuang dalam konstitusi kita yang menyatakan
bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", perlu dijadikan basis dalam
pengembilan kebijakan dalam pengelolaan keagrariaan dan pertanahan. Amanat
konstitusi untuk mempergunakan agraria dan tanah oleh negara harus ditindaklanjuti
dengan memastikan bahwa struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber-sumber agraria lebih berkeadilan dan berorientasi untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Peningkatan kelembagaan sekaligus perubahan
nomenklatur kementerian dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi
Kementeriaan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, tidak hanya
sekedar berkenaan dengan tugas dan fungsi kementerian berikut struktur
organisasinya yang berubah, tetapi juga ‘ruh’, semangat bahkan ideologi dalam
penyelenggaraan pemerintahan juga berubah.
Penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu
kementerian bukanlah suatu hal yang a-historis,
tetapi ‘senapas’ dengan konstitusi. Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara
konstitusi yang kemudian dijabarkan dalam UUPA. Makna ini inherent dengan makna ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang.
Dengan demikian penggabungan bidang agraria dan tata ruang pada satu kementerian
adalah hal yang tepat, mengingat: (a) pengaturan pertanahan, agraria dan
sumberdaya alam selama ini dilakukan secara sektoral, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum dan konflik; (b) keterbatasan kelembagaan BPN pada
nonkawasan hutan, menjadikan pengelolaan pertanahan, agraria dan sumberdaya
alam lainnya tidak dapat menjangkau kawasan hutan; (c) amanat konstitusi (UUD
1945) dan regulasi (UUPA) tidak dapat dijalankan secara utuh oleh kelembagaan
pertanahan selama ini.
Hal di atas menunjukkan bahwa perubahan
kementerian ini bukan hanya sekedar merubah BPN menjadi kementerian dan
meluaskan lingkup kerjanya, tetapi juga merubah mainstream ‘pertanahan’ menjadi ‘agraria’ serta melengkapinya
dengan tata ruang. Tampak sekali bahwa kementerian ini berkehendak mengembalikan ‘ruh
agraria’ setelah sekian lama tereduksi hanya sebatas ‘pertanahan’, itupun hanya
diluar kawasan hutan. Inilah yang disebut
sebagai revolusi mental dalam pengelolaan agraria dan sumberdaya alam di
Indonesia, yang perlu dikukuhkan kembali pada momentum 70 th Indonesia Merdeka..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar