Jumat, 25 September 2015

UUPA & UU Keistimewaan, Pro Rakyat



UUPA & UU Keistimewaan, Pro Rakyat[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Pekan ini, tepat 24 September 2015 adalah 55 tahun kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang sekaligus juga diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Lebih dari setengah abad, Indonesia sebagai nation state telah memproklamirkan diri sebagai negara agraris yang melahirkan kebijakan yang pro rakyat. UUPA terlahir dengan membawa misi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria. Kelima misi ini merupakan bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum agraria nasional, menatakembali penguasaan dan pemilikan tanah demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang dimaknai bahwa UUPA untuk rakyat. Bagaimana dengan UUKeistimewaan DIY, yang seringkali ‘dibaca’ bertentangan dengan UUPA? Apakah UUK juga untuk rakyat?
Secara normatif UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY bertujuan untuk: (1) mewujudkan pemerintahan yang demokratis; (2) mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat; (3) mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhineka-tunggal-ika-an dalam kerangka NKRI; (4) menciptakan pemerintahan yang baik; dan (5) melembagakan peran dan tanggungjawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya yang merupakan warisan budaya bangsa. Lebih lanjut disebutkan bahwa penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan, didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat.
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya ‘spirit’ UUKeistimewaan tidak berbeda dengan UUPA, yakni untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini juga termasuk dalam kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan, yang ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, maka eksistensi UUPA dan UU Keistimewaan DIY tidak perlu diperdebatkan lagi, tetapi didukung dan dikawal agar implementasi kedua regulasi di atas benar-benar diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Problematika Keagrariaan-Pertanahan

Perlu dicatat bahwa, meskipun umur UUPA telah lebih dari setengah abad, tetapi ternyata cita-cita luhurnya belum sepenuhnya terealisasi. Bahkan berbagai persoalan keagrariaan-pertanahan masih menggelayuti bangsa ini seperti: (1) tumpang tindihnya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang keagrariaan dan pertanahan; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah; (3) banyaknya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang hak; (4) belum terselesaikannya pendaftaran tanah di wilayah Indonesia; (5) tingginya ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (6) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan; (7) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan hutan adat; dan (8) belum tersedianya peta tunggal untuk mewujudkan visi one map on policy.
  Ternyata cukup banyak problematika yang berhubungan dengan implementasi UUPA, yang berakibat pada dipertanyakannya komitmen negara dan pemerintah dalam menjalankan UUPA. Tidak berbeda dengan UUPA, implementasi UU Keistimewaan yang baru berumur 3 tahun-pun sudah mulai dipertanyakan, bahkan diragukan. Munculnya berbagai pro kontra terhadap implementasi UU Keistimewaan, utamanya berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan menunjukkan bahwa masyarakat menaruh harapan yang tinggi terhadap kemanfaatan dan kemaslahatan regulasi ini untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Energi Positif untuk Perdais
Pro kontra dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan dan kekhawatiran diambilalihnya SG-PAG yang selama ini didayagunakan oleh masyarakat, termasuk Tanah Kas Desa, merupakan problematika implementasi UU Keistimewaan. Teridentifikasinya berbagai problematika tersebut merupakan energi positif yang dapat digunakan untuk memperkuat pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan tanah keistimewaan. Hal ini menjadi produktif apabila penyusunan perdais pertanahan betul-betul sesuai dengan ‘spirit’ lahirnya UU Keistimewaan, yakni untuk kesejahteraan masyarakat.
Momentum hari agraria dan hari tani ini perlu dijadikan media refleksi untuk mewujudkan pengelolaan agraria-pertanahan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Esensi hamemayu hayuning bawana dan tahta untuk rakyat sebagaimana telah ditunjukkan Ngersodalem Sultan dalam pengelolaan pertanahan selama ini perlu dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan pertanahan, baik secara nasional maupun dalam konteks keistimewaan sesuai dengan undang-undang yang pro rakyat. Semoga.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 25-09-2015 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar