Senin, 21 Maret 2016

Ruang Komersial



RUANG KOMERSIAL[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

Meningkatnya nilai tanah dan bergesernya makna tanah menjadi komoditas- menjadikan kontestasi ruang sebagai perwujudan tanah semakin meningkat. Hampir semua ruang yang bisa dikomersialisasikan, diperebutkan oleh berbagai aktor yang berkepentingan. Apabila hal ini tidak mendapatkan perhatian dan intervensi dari pemerintah, maka penguasaan atas tanah sebagai ruang-ruang komersial akan semakin memarjinalkan warga masyarakat, termasuk masyarakat Yogyakarta yang istimewa.

Wujud Kontestasi
Kontestasi ruang komersial di DIY telah mewujud ke dalam berbagai bentuk. Maraknya budidaya tambak- yang hingga kini masih terjadi- dan penambangan pasir di kawasan pantai selatan merupakan kontestasi ruang yang bersifat ekstraktif. Kontestasi ruang komersial ini juga dipengaruhi oleh adanya perubahan regulasi yang ‘memindah’ otoritas kelembagaan pemerintah daerah. Misalnya ijin pertambangan dalam skala lokal seperti  penambangan galian C (pasir dan batu) yang semula menjadi otoritas Pemerintah Kabupaten/Kota, berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah bergeser menjadi otoritas Pemerintah Provinsi. Hal ini berdampak pada semakin meningkatnya kontestasi antar stake holder yang berkepentingan terhadap komersialisasi wilayah pertambangan yang sebagian besar merupakan wilayah-wilayah lindung. 
Kontestasi ruang yang bersifat non ekstraktif terjadi melalui maraknya pembangunan hotel, apartemen dan pusat perbelanjaan yang menggeser ruang pertanian, permukiman, ruang terbuka hijau maupun ruang publik lainnya. Pembangunan ruang-ruang komersial tersebut memberikan konsekuensi pada semakin tingginya nilai tanah yang berujung pada komersialisasi ruang. Tumbuhnya bangunan-bangunan hotel, apartemen dan pusat perbelanjaan akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan untuk parkir dan infrastruktur pendukungnya, yang semakin mendesak ruang-ruang publik. Dalam konteks DIY, yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah semakin menipisnya sumber air bersih, utamanya air tanah yang merupakan hajat hidup orang banyak, akibat eksploitasi berlebih untuk kepentingan bangunan-bangunan komersial tersebut.
Dalam konteks ini kontestasi ruang dimaknai sebagai perebutan ruang antar berbagai pihak yang berkepentingan dalam dinamika wilayah. Keterlibatan berbagai pihak dalam kontestasi tidak terlepas dengan pergeseran makna ruang yang cenderung mengarah pada komersialisasi. Komersialisasi ruang menyebabkan terjadinya conflict of interest antar berbagai pihak, yang berkehendak menguasai ruang sebagai komoditas.

Hentikan Komersialisasi Ruang
Untuk mewujudkan visi “Daerah Istimewa Yogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera Menyongsong Peradaban Baru”, dibutuhkan pengelolaan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam bingkai keistimewaan. Salah satu agendanya adalah mengurangi atau bahkan menghentikan komersialisasi ruang yang kian hari semakin tidak beradab.
Dengan segala keterbatasan, Pemkot Yogyakarta dan Pemkab Sleman telah berupaya ‘menghentikan’ komersialisasi ruang melalui moratorium pembangunan hotel dan apartemen. Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Perwal 77/2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel memberlakukan moratorium pembangunan hotel mulai Januari 2014 hingga Desember 2016. Yang perlu dicermati, meskipun ada kebijakan moratorium realitas menunjukkan bahwa pembangunan hotel masih berlangsung.
Pemerintah Kabupaten Sleman juga telah menerbitkan Peraturan Bupati 6/2016 tentang Penghentian Sementara Usaha Hotel, Apartemen dan Kondotel yang merupakan penyempurnaan dari Perbub 63/2015. Secara substansial Pemkab tidak menerbitkan izin baru terhadap permohonan pendirian hotel berbintang, hotel nonbintang, apartemen, dan kondotel sampai dengan 31 Desember 2021.
Kebijakan di kedua wilayah tersebut perlu diapresiasi dan apabila memungkinkan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten lainnya dengan mengatur wilayahnya secara baik dan terhindar dari komersialisasi ruang. Hal ini penting dilakukan, agar kebijakan moratorium di Sleman dan Kota Yogyakarta tidak menyebabkan bergesernya komersialisasi ruang di wilayah Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul. Kebijakan antisipatif komersialisasi ruang yang perlu segera diterapkan adalah di wilayah Kabupaten Kulon Progo yang sebentar lagi ada bangkitan baru yang berdampak luas, yakni terbangunnya bandara. Kebijakan di kedua wilayah tersebut akan semakin kuat apabila Pemda DIY segera mengatur penataan ruang pada seluruh kawasan strategis DIY melalui RDTR & Peraturan Zonasinya. Akan semakin lengkap apabila semangat menghentikan komersialisasi ruang juga terakomodasi dalam penyusunan Raperdais Penataan Ruang dan Pertanahan yang sedang berproses. Apabila ini bisa dilakukan, maka akan semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.


[1] Dimuat di ANALISIS, Kedaulatan Rakyat, 16-03-2016
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar