Jumat, 22 April 2016

Hak (Air) Atas Tanah



Hak (Air) Atas Tanah[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

Hingga Medio April ini, kita semua harus tetap waspada menghadapi berbagai ancaman bencana, utamanya bencana banjir dan tanah longsor. Bencana banjir dan tanah longsor sejatinya adalah bencana yang terstruktur, dimana penyebab dan cara penanganannya secara umum sudah diketahui khalayak luas. Hutan dieksploitasi, kawasan yang sejuk di daerah atas dibangun, semakin berkurangnya luasan recharge area, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian marak, menyempitnya ruang terbuka hijau, bantaran sungai yang penuh dengan hunian, menumpuknya sampah di sepanjang sungai, merupakan penyebab utama banjir dan tanah longsor.
Lantas, bagaimana mengatasi ini semua agar intensitas banjir dan ancaman longsor dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan? Persoalan bencana adalah urusan Tuhan YME, tetapi upaya antisipasi dan mengatasi bencana wajib dilakukan oleh manusia. 

Moral Alam

Keseimbangan alam telah tertata sedemikian rupa mengikuti Moral Alam, yang bahasa keren-nya disebut sebagai ekosentrisme, yakni pandangan yang mengutamakan kelestarian alam dan lingkungan. Pandangan ini sering dihadapkan dengan antroposentrisme yang mengagungkan pemenuhan kebutuhan manusia dengan mengeksploitasi alam dan lingkungan. Pergeseran pandangan ekosentrisme ke antroposetrisme inilah menjadikan lingkungan hidup sebagai sebuah sistem equal menjadi ternafikan. Akibat berkurangnya atau bahkan hilangnya keseimbangan lingkungan alam, maka kualitas lingkungan berkurang dan berujung pada terjadinya berbagai bencana.
Berkenaan dengan hal di atas, saatnya kita menengok kembali dan menempatkan moral alam sebagai pertimbangan utama dalam proses-proses pembangunan. Satu hal yang penting adalah berkenaan dengan hak atas tanah. Hak atas tanah sering hanya dimaknai sebagai hak penguasaan dan pemilikan atas tanah, tanpa mempertimbangkan aspek yang lain. Misalnya, hak milik dimaknai sebagai hak yang mutlak, padahal dalam perspektif land administration, hak tersebut mengandung berbagai pembatasan. Sebagai contoh, tanah juga mempunyai fungsi sosial dan harus dilepaskan manakala akan digunakan untuk kepentingan umum.




Mengembalikan Hak Air

Dalam konteks bencana banjir dan tanah longsor, hak atas tanah tidak hanya dimaknai sebagai hak penguasaan dan pemilikan saja, mengingat dalam moral alam, air ditempatkan sebagai entitas yang juga mempunyai hak. Air mempunyai hak untuk menguap, mengalir ke tempat yang lebih rendah dan meresap ke dalam tanah. Persoalannya hak air atas tanah agar bisa mengalir secara wajar telah diambil oleh masyarakat untuk rumah tinggal dan tempat pembuangan sampah. Dalam hal ini adalah hak atas tanah pada sempadan sungai. Tanah pada sempadan sungai, bukanlah hak negara atau bahkan masyarakat, tetapi adalah hak air. Apabila hak air atas tanah (sempadan sungai) diambil dan dihaki oleh pihak lain, maka air akan mengambil haknya melalui banjir.
Demikian pula, hak air atas ruang-ruang terbuka hijau dan zona resapan di daerah atas diambil untuk berbagai macam bangunan, maka air akan mengambil haknya melalui rekahan-rekahan yang masih ada, yang berujung pada tanah longsor.
Dalam konteks DIY, penataan kawasan sempadan Sungai Code, Winongo dan Gajahwong melalui Konsep Mundur, Munggah, Madhep Kali (M3K) (KR, 16-03-2016) merupakan langkah cerdas untuk mengembalikan hak air sungai atas tanah. Tidak sekedar menata kawasan permukiman pinggir kali pada ketiga sungai yang menjadi langganan banjir dan lonsor, tetapi juga melindungi segenap warga yang tinggal di sempadan sungai sekaligus memberikan sempadan sungai pada yang berhak.
Untuk mengembalikan sempadan sungai pada yang berhak, maka penataan hunian harus ‘mundur’ 10 – 15 m dari sungai. Mengingat keterbatasan tanah, maka hunian dibuat ‘munggah’ dalam bentuk rumah susun, dan menjadikan sungai sebagai ‘teras depan’ rumah atau ‘madhep kali’ (KR, 16-03-2014). Penataan kawasan hunian pinggir kali ini, apabila dapat diwujudkan secara bersama-sama, maka beberapa hal dapat dicapai seperti: (a) mengembalikan hak atas tanah sempadan sungai pada air; (b) melindungi warga masyarakat dari ancaman banjir dan longsor; (c) menciptakan lingkungan hunian yang bersih dan sehat. Perwujudan ketiga hal ini, akan semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Semoga.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 22-04-2016 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar