Rabu, 11 Mei 2016

REKLAMASI



Reklamasi[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Persoalan reklamasi di Teluk Jakarta masih terus diperbincangkan. Berbagai pro-kontra reklamasi menyeruak menyusul tertangkap tangannya anggota legislatif yang diduga terkait dengan upaya mempengaruhi kebijakan proyek pembuatan 17 pulau di Teluk Jakarta. Proyek reklamasi, tanpa adanya praktik-praktik suap menyuap dan korupsi-pun sudah pasti menimbulkan pro-kontra. Pengalaman reklamasi, sebagaimana pernah dilakukan di Semarang, Fak-Fak, Makasar, Manado maupun rencana reklamasi di Teluk Benoa selalu riuh dengan pro-kontra. Isu utama munculnya pro-kontra adalah terkait kelestarian lingkungan versus pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pro poor versus pro pemodal.
 
Urgensi Reklamasi
Keterbatasan tanah dan ruang serta beban kota yang semakin berat untuk menopang berbagai proyek pembangunan dijadikan argumen utama untuk pengembangan wilayah daratan melalui reklamasi. Argumen ini dapat dimengerti mengingat kebutuhan lahan yang semakin tinggi serta adanya kewajiban untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, menjadikan reklamasi sebagai pilihannya.
Dengan argumen di atas, Pemda DKI Jakarta berkehendak untuk merealisasikan reklamasi dengan metode terpisah, yakni membuat kawasan reklamasi seperti pulau baru dimana antara kawasan lama dengan kawasan baru masih dipisahkan oleh laut. Tidak tanggung-tanggung pulau reklamasi yang akan dibuat sejumlah 17 pulau (Pulau A sampai Pulau Q), dengan luas total 4.742 ha dengan bekerjasama dengan 8 perusahaan poperty.
Landasan yang digunakan adalah Keputusan Presiden 52/1995 tentang Reklmasi Pantai Utara Jakarta, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden 54/2008. Kontribusi yang akan diperoleh Pemda DKI Jakarta dari proyek itu diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 48 trilliun. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kontribusi sebesar itu sepadan dengan kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat yang terkena dampak? Inilah salah satu penyebab terjadinya pro-kontra terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta.


Dampak Reklamasi
Terlepas dari silang sengketa kewenangan perijinan dan mekanisme amdal yang selama ini diperdebatkan, proyek reklamasi baik metode menempel maupun terpisah pasti memberikan dampak yang besar bagi kondisi lingkungan fisik, biotik maupun lingkungan sosial. Dalam hal ini, menurut PP 16/2004, reklamasi adalah pengurukan wilayah perairan guna memperluas ruang daratan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan RTRW. Meskipun area reklamasi telah sesuai dengan RTRW, tetapi proyek reklamasi tetap memberikan dampak yang besar. Pertama, kerusakan lingkungan fisik. Yakni perubahan permukaan laut dari titik Nol menjadi positif, menjadikan limpasan air permukaan tidak leluasa mengalir ke laut, akibatnya penggenangan di darat meningkat, bahkan mempertinggi intensitas banjir. Apabila material yang digunakan untuk urug berasal dari daratan, berakibat pada hilangnya zona resapan air  yang berimplikasi pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah. Kedua, kerusakan lingkungan biotik. Yakni terancamnya kelestarian dan keberlanjutan ekosistem pesisir dan lautan, pencemaran laut dan degradasi ekosistem yang berakibat pada semakin langkanya berbagai jenis biota laut. Ketiga, terganggunya lingkungan sosial. Dalam konteks ini, wilayah pesisir dan laut yang awalnya merupakan ruang publik dan masyarakat mudah mengaksesnya, berubah menjadi ruang privat yang eksklusif. Ruang hidup dan penghidupan nelayan tradisional menjadi terganggu bahkan terancam hilang akibat masifnya aktifitas yang berkaitan dengan proyek reklamasi. Permasalahan ini akan terus berlangsung hingga pasca reklamasi. Kontestasi ruang dan hak atas tanah pada pulau hasil reklamasi beserta kawasan sekitarnya akan menambah kompleksitas permasalahan reklamasi. Hak atas tanah dan ruang publik akan berhadap-hadapan dengan hak atas tanah dan ruang privat, yang potensial berkembang menjadi konflik
Dalam konteks reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, penghentian sementara proyek reklamasi dengan argumen perlunya sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang bertubrukan patut diapresiasi. Semestinya tidak hanya sinkronisasi regulasi, tetapi kajian secara lengkap dan komprehensif terkait feasibility pembangunan pulau, analisis dampak lingkungan, dan nasib masyarakat lokal perlu dilakukan kembali. Berbagai dampak reklamasi yang sudah terpetakan mesti menjadi pertimbangan utama dalam menentukan keberlanjutan proyek reklamasi 17 pulau tersebut, agar reklamasi benar-benar diorientasikan untuk kepentingan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan.


[1] Dimuat dalam Analisis KR, 07-05-2016 hal 1
[2][2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar