Senin, 10 Oktober 2016

Aspek Tata Guna Tanah



Tata Guna Tanah Yang Diabaikan[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, sejatinya adalah bencana yang dapat diprediksikan. Pada dasarnya semua orang dewasa yang waras, sangat memahami faktor-faktor penyebab banjir dan tanah longsor berikut cara mengantisipasinya. Meskipun sebagian di antaranya abai demi hasrat diri yang menafikan kepentingan orang lain dan keberlanjutan lingkungan. Curah hujan yang tinggi, berkurangnya zona resapan air, terbangunnya kawasan perbukitan dan tidak sesuainya potensi fisik wilayah dengan penggunaan dan pemanfaatannya, pasti berakibat pada banjir dan tanah longsor.

Salah satu aspek kunci yang dilupakan atau bahkan diabaikan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan adalah aspek tata guna tanah. Tata guna tanah dimaknai sebagai struktur dan pola pemanfaatan tanah, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan oleh manusia, yang meliputi persediaan tanah, peruntukan tanah dan penggunaan tanah serta pemeliharaannya. Sangat jelas disini bahwa struktur dan pola pemanfaatan tanah terdapat unsur pemeliharaan, yakni mengupayakan keberlanjutan penggunaan dan pemanfaatan. Apabila hal ini diupayakan dalam setiap aktivitas pemanfaatan tanah, niscaya bencana banjir dan tanah longsor akan dapat diantisipasi.
Persoalan utama penyebab abainya terhadap tata guna tanah adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan tanah. Akibatnya, kawasan sempadan sungai berubah menjadi hunian, lereng perbukitan berubah menjadi lahan pertanian atau bahkan menjadi vila-vila mewah. Padahal sesungguhnya setiap kawasan pasti memiliki karakteristik dan kemampuan tanah yang berbeda-beda Secara teknis, kemampuan tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1) kemiringan lereng; (2) kedalaman efektif tanah; (3) tekstur tanah; (4) drainase; (5) erosi; dan (6) faktor pembatas.  Apabila faktor-faktor kemampuan tanah ini diperhatikan dalam pemanfaatan tanah niscaya keberlanjutannya akan terjaga.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, pada dasarnya setiap pemanfaatan tanah  dapat dievaluasi kesesuaiannya. Pemanfaatan yang sesuai (suitable) adalah tanah yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya tanahnya, sedangkan yang tidak sesuai (not suitable) adalah tanah yang mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah terhadap suatu penggunaan tertentu secara lestari. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa wilayah yang mengalami banjir dan tanah longsor sebagian pemanfaatan tanahnya tidak sesuai dengan kemampuannya. Sebagai contoh wilayah-wilayah yang terkena banjir dan longsor adalah wilayah-wilayah perbukitan (KR, 29-09-2016) yang secara tata guna tanah sudah berubah dari kawasan konservasi menjadi kawasan budidaya. Bahkan di Jawa Tengah, dari 35 kabupaten/kota yang ada, terdapat 32 kabupaten yang rawan longsor. Hal ini menunjukkan bahwa aspek tata guna tanah perlu dicermati kembali agar ancaman banjir dan tanah longsor ini dapat diantisipasi.

Pengurangan resiko bencana banjir dan tanah longsor pada dasarnya dapat diantisipasi melalui berbagai agenda, mengingat  agenda pengurangan resiko bencana adalah investasi pembangunan. Prinsip utama pengurangan resiko bencana banjir dan tanah longsor adalah menjaga keseimbangan alam. Keseimbangan alam yang tertata sedemikian rupa sebagai sebuah sistem yang equal, pasti terjaga keberlanjutannya. Tetapi apabila keseimbangan tersebut terganggu, pasti kualitas lingkungan berkurang dan berujung pada terjadinya bencana banjir ataupun tanah longsor.
Secara operasional berbagai agenda untuk mengantisipasi terjadinya banjir dan longsor melalui perspektif tata guna tanah adalah: (1) melakukan penyesuaian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan kemampuan tanahnya, melalui penataan kembali, upaya kemitraan maupun penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada negara atau pihak lain dengan penggantian sesuai peraturan perundang-undangan; (2) menerapkan catur tertib pertanahan dalam penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, yakni tertib hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup; (3) menggalakkan kembali reboisasi (penanaman pohon) pada tanah-tanah di kawasan perbukitan; (4) melarang pemanfaatan tanah di kawasan konservasi dan menindak tegas bagi yang melakukan pelanggaran; (5) menempatkan aspek tata guna tanah dan faktor-faktor kemampuan tanah sebagai ‘ruh’ dalam penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 10 Oktober 2016 hal 1 & 7
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar