Rabu, 19 April 2017

Selamatkan Tanah dan Air



Selamatkan Tanah dan Air[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Baru saja kita memperingati Hari Air Sedunia (22/3), merayakan Earth Hour (25/3) dan sebentar lagi akan memperingati Hari Bumi (22/4). Moment-moment tersebut menunjukkan bahwa penduduk dunia sudah memahami kondisi tanah dan air sudah semakin kritis, hingga perlu diagendakan gerakan-gerakan penyelamatan. Gerakan-gerakan ini tidak cukup hanya dilakukan dalam bentuk kampanye atau serimonial belaka, tetapi harus ditindaklanjuti secara nyata melalui berbagai kebijakan penyelamatan tanah dan air. Kebijakan penyelamatan tanah dan air merupakan kebijakan yang integral dan tidak bisa dipisahkan, mengingat sebagian besar air berada pada tubuh tanah.

Kebijakan yang Paradoks

Pada dasarnya, pemerintah telah menerbitkan regulasi yang diorientasikan untuk penyelamatan tanah dan air, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Meskipun regulasi ini tidak secara eksplisit diorientasikan untuk penyelamatan air, tetapi secara substansial perlindungan lahan pertanian akan berdampak pada penyelamatan air.
Namun sayang, pada tahapan implementasi regulasi tersebut masih terkesan ‘memble’, bahkan di banyak daerah undang-undang tersebut belum ditindaklanjuti dengan peraturan daerah yang merupakan kebijakan operasionalnya. Hingga saat ini baru 11 provinsi dan 18 kabupaten/kota  yang sudah menetapkan perda tentang PLP2B, salah satu di antaranya adalah DIY.
DIY sebagai penyelenggara pemerintahan terbaik tingkat provinsi saja masih kesulitan untuk menerapkan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Perda DIY Nomor 10/2011 tentang PLP2B yang mengamanatkan lebih dari 35 ribu hektar untuk penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan, belum diikuti dengan Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B).
Pada tahun 2015 saja alih fungsi lahan pertanian untuk permukiman, industri maupun jalan mencapai 1.814 ha (KR, 6-3-2017). Untuk Kabupaten Sleman yang merupakan kawasan resapan air, alih fungsi lahan pada tahun tersebut mencapai 506 ha atau sebesar 3,54%.
Tidak berbeda dengan kondisi lahan pertanian, kondisi airpun sudah semakin kritis. Kajian Dinas PUP-ESDM beberapa waktu lalu menemukan bahwa penurunan muka air tanah terjadi secara permanen, dengan rata-rata 20 – 30 cm pertahun.
Di luar hal di atas, ancaman rusaknya tanah dan air yang segera datang adalah rencana jalan tol Yogya – Bandara, Yogya – Bawen dan Yogya – Solo. Berdasarkan Disain Rencana Jalan Bebas Hambatan di Yogyakarta versi Kementerian PUPR yang beredar di masyarakat, sekurang-kurangnya akan melalui 15 kecamatan (37 desa) di wilayah Kabupaten Kulon Progo, Bantul dan Sleman. Jalur yang direncanakan sebagian besar berada pada lahan pertanian produktif.

Agenda Bersama

Beberapa hal di atas, apabila tidak disikapi secara kritis maka hilangnya lahan pertanian dan semakin kritisnya sumberdaya air akan menjadi kenyataan. Oleh karena itu beberapa agenda bersama dapat segera dilakukan. Pertama, pemerintah kabupaten/kota segera menetapkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan, secara ketat mengendalikan alih fungsi, menjaga zona-zona resapan air dan RTH serta menertibkan pihak-pihak yang melanggar RTRW maupun melakukan alih fungsi lahan tanpa ijin. Kedua, pemerintah pusat memfasilitasi percepatan penetapan KP2B dan memastikan bahwa disain dan konstruksi jalan tol, seminimal mungkin mengurangi lahan pertanian produktif.
Ketiga, masyarakat secara aktif dan partisipatif membuat zona-zona resapan air secara mandiri, ikut mengawasi pihak-pihak yang mengalihfungsikan lahan pertanian, memanfaatkan air secara bijaksana dan memelihara saluran-saluran air dari limbah serta mengamankan sempadan sungai dari bangunan ataupun hunian yang mengganggu aliran sungai. Keempat, kalangan akademisi dan NGO secara kritis memberikan pandangan dan masukan untuk kebijakan, mengedukasi masyarakat untuk ikut dalam agenda penyelamatan tanah dan air serta melakukan pendampingan-pendampingan pada masyarakat untuk menata wilayah dan huniannya. Kelima, pelaku bisnis menjalankan usahanya secara tertib, taat azas dan menghindarkan dari perilaku spekulatif yang merugikan banyak pihak.
Nah, peringatan hari air dan perayaan earth hour yang baru saja dilakukan serta peringatan hari bumi yang akan datang, perlu dijadikan momentum untuk secara aktif menjalankan agenda bersama dalam penyelamatan tanah dan air di lingkungan masing-masing.      


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 30 Maret 2017
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar