Kamis, 05 April 2018

Sertipikat Gratis


Sertipikat Gratis[1]

Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

Pro-Kontra mewarnai agenda Presiden membagi-bagikan sertipikat tanah kepada masyarakat. Dua pekan ini kita jumpai perdebatan dan silang pendapat di hampir semua media antara kebenaran agenda presiden dengan tuduhan pencitraan hingga ‘pembohongan’ kepada masyarakat. Benarkah bagi-bagi sertipikat gratis ini adalah agenda nyata ataukah hanya sekedar pencitraan belaka? Dalam hal ini sertipikat tanah (bukan Sertifikat) adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Sertipikat gratis dijanjikan oleh Presiden Jokowi akan dibagikan hingga akhir masa jabatannya. Tidak tanggung-tanggung, 7 juta sertipikat akan dibagikan kepada masyarakat pada tahun 2018 dan 9 juta pada tahun 2019. Hal ini direspon oleh lawan-lawan politiknya sebagai sebuah kebohongan atau ‘ngibul’ saja. Argumen yang dibangun adalah mustahil menerbitkan sertipikat sebanyak itu, mengingat urusan tanah adalah urusan yang kompleks, pelik dan melibatkan banyak pihak. Lebih dari itu, fakta menunjukkan bahwa selama ini proses pensertipikatan tanah oleh BPN cenderung lama dan berbelit. Data menunjukkan, selama lebih dari 55 tahun (sejak UUPA terbit tahun 1960) pemerintah hanya mampu menerbitkan sertipikat sejumlah 46 juta bidang. Inilah yang menimbulkan keraguan dan syak wasangka.

Melihat Kembali Nawacita

Janji politik Jokowi – JK dalam Nawacita, yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang selanjutkan akan diredistribusikan. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain merupakan objek redistribusi tanah (tanah terlantar, HGU yang habis masa berlakunya dan dari pelepasan kawasan hutan). Legalisasi aset adalah pendaftaran tanah yang ujungnya adalah sertipikat. Inilah pangkal persoalannya. Janji utamanya adalah reforma agraria dengan agenda utama redistribusi tanah, tetapi yang dilakukan adalah sertipikasi tanah. Argumen yang dibangun pemerintah adalah bahwa percepatan pendaftaran tanah (baca: Prona Zaman Now, Analisis KR 7-3-2018), adalah track menuju atau bagian dari reforma agraria. Problem utama agenda reforma agraria saat ini adalah terbatasnya data-data riil berkenaan dengan objek redistribusi tanah yang akan dibagikan. Objek-objek redistribusi tanah hanya dapat teridentifikasi secara baik dan valid apabila data seluruh bidang tanah telah diketahui.   
Disisi lain, sertipikasi tanah adalah kewajiban pemerintah yang harus dilakukan dalam rangka penguatan hak atas tanah. Pada masa sebelumnya, pemerintah hanya mampu menerbitkan sertipikat 500 ribu – 800 ribu pertahun. Pemerintahan Jokowi – JK mampu mempercepatnya menjadi 4,2 juta sertipikat pada tahun 2017 dari target 5 juta bidang. Pada tahun 2018 ini, ditargetkan selesai sejumlah 7 juta bidang. Keberhasilan pemerintah (dalam hal ini BPN) dalam meningkatkan kinerjanya, diapresiasi sekaligus dimanfaatkan oleh Presiden melalui agenda ‘bagi-bagi sertipikat gratis’.

Apakah benar-benar Gratis?
Jawabannya tentu tidak. Pemerintah hanya menanggung biaya sertipikasi yang ada pada BPN dan teralokasi melalui APBN. Sementara itu, masyarakat harus menanggung biaya- biaya: (a) penyiapan dokumen; (b) pengadaan dan pemasangan patok batas; (c) kegiatan operasional petugas kelurahan/desa; dan (d) biaya pembuatan akte, Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan.
Dalam rangka mendukung pensertipikatan tersebut sekaligus menghindari terjadinya praktik-praktik pungli, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis yang besarannya disesuaikan dengan kondisi wilayah. Untuk wilayah Jawa dan Bali ditetapkan sebesar Rp. 150 ribu.
Jadi pada prinsipnya agenda percepatan pensertipikatan tanah yang sedang berproses ini adalah agenda bersama seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah menyediakan anggaran sesuai kegiatan yang dilaksanakan, masyarakat membiayai kegiatan yang merupakan tanggungjawabnya sebagai pemilik tanah dan pemerintah daerah dan/atau pemerintah desa dapat menyediakan anggaran pendamping untuk fasilitasi persiapan pendaftaran tanah dan sosialisasi kepada masyarakat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 4 April 2018
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar