Sabtu, 01 September 2018

Penyelesaian Tanah Kawasan Hutan


Penyelesaian Tanah Kawasan Hutan[1]

Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

Di tengah pro-kontra bagi-bagi sertipikat tanah gratis yang dilakukan oleh Presiden, ada agenda presiden yang secara nyata belum menunjukkan progres yang menggembirakan. Dan inilah yang menjadi sasaran tembak lawan-lawan politik presiden. Agenda apakah itu? Jawabnya tentu tidak jauh dari isu-isu yang diperdebatkan, yakni agenda Reforma Agraria, dengan program redistribusi tanah sebagai program utamanya. Reforma agraria sejatinya adalah penataan kembali dan pembaruan struktur pemilikan, pengguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani yang tak bertanah, prinsipnya adalah tanah untuk penggarap tanah (Wiradi, 2009).  Adapun mekanisme penyelenggaraan reforma agraria ini mencakup empat lingkup pekerjaan utama, yakni: (a) penetapan objek reforma agraria; (b) penetapan subjek reforma agraria; (c). mekanisme delivery system; (d) pengembangan acces reform  (Winoto, 2008).
Janji politik presiden dalam Nawacita yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang selanjutkan akan diredistribusikan. Program redistribusi tanah yang merupakan agenda utama reforma agraria, dalam pelaksanaannya jauh tertinggal dari program legalisasi asset, yang sering disebut sebagai bagi-bagi sertipikat gratis.
Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menunjukkan bahwa Pemerintahan Jokowi – JK pada tahun 2017 mampu melakukan percepatan pensertipikatan tanah secara significant. Pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah hanya mampu menerbitkan sertipikat 500 ribu – 800 ribu pertahun,  sedangkan tahun 2017 mampu menyelesaikan sejumlah 4,2 juta sertipikat dari target 5 juta bidang. Sementara itu, pelaksanaan redistribusi tanah sebagai agenda utama reforma agraria berjalan di tempat dan tertinggal dengan agenda legalisasi asset.  Dari target 4,5 juta hektar redistribusi tanah, saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah  (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa prioritas ke-agraria-an pemerintah yang sudah ditetapkan, utamanya berkenaan dengan redistribusi tanah masih sebatas janji politik.
Problem utama tersendatnya agenda reforma agraria saat ini adalah terbatasnya data-data riil berkenaan dengan objek redistribusi tanah yang akan dibagikan. Disamping itu, lambatnya capaian agenda RA terjadi akibat pemerintah, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN cenderung fokus pada tanah-tanah di luar kawasan hutan. Padahal, potensi TORA dari kawasan hutan, utamanya yang sudah dikuasai oleh masyarakat adalah sangat besar.
Kementerian Kehutanan mencatat bahwa terdapat 25.863 desa dari 75 ribu desa di Indonesia yang berada di dalam kawasan hutan dan sekitar 50 juta petani yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (Sirait, 2017). Berbagai bentuk penguasaan tanah di kawasan hutan antara lain penguasaan oleh: (a) masyarakat hukum adat; (b) pemerintah desa; (c) perorangan, baik dengan alas hak atau tidak ada alas hak; (d) badan hukum; (e) badan sosial; (f) badan pemerintahan (Safitri, 2014). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi TORA yang berasal dari kawasan hutan menjadi sangat potensial untuk segera direalisasikan.
Seturut dengan hal tersebut, terbit Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Regulasi ini menjadikan agenda RA pada kawasan hutan dapat dilakukan melalui: (a) perubahan batas kawasan hutan; (b) tukar-menukar kawasan hutan; (c) pemberian akses pengelolaan kawasan hutan dengan perhutanan sosial;  dan (d) resettlemet. Pada tahun 2018 akan dilakukan kegiatan inventarisasi untuk PPTKH  seluas 1,69 juta ha di 26 provinsi, yang hasil tata batasnya akan ditetapkan sebagai TORA. Potensi ini perlu segera ditindaklanjuti melalui berbagai agenda, baik yang berujung pada pelepasan kawasan hutan, perubahan tata batas kawasan, tukar-menukar kawasan hutan, serta pengelolaan kawasan hutan dengan perhutanan sosial.
Apabila agenda di atas dapat terselenggara dengan baik dan Kementerian/Lembaga, utamanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dapat bersinergi secara produktif, maka penyelesaian permasalahan tanah dalam kawasan hutan adalah sebuah keniscayaan. Semoga.


[1] Dimuat dalam SKH Kedaulatan Rakyat, 31-07-2018 hal 11
[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar