Selasa, 25 September 2018

Tanah dan Ruang untuk Keadilan


Tanah dan Ruang untuk Keadilan[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

‘Tanah dan Ruang untuk Keadilan dan Kemakmuran’, merupakan tema Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (Hantaru) Tahun 2018. Mengapa? Karena pemerintah menyadari bahwa tanah dan ruang sebagai satu kesatuan utuh merupakan faktor utama yang dapat memberikan keadilan dan kemakmuran dalam penggunaan dan pemanfaatannya untuk seluruh rakyat Indonesia.
Meskipun ahistori, peringatan Hantaru dimaksudkan untuk mengingat integrasi urusan pemerintahan di bidang tata ruang dan bidang keagrariaan-pertanahan ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang melahirkan agenda strategis nasional di bidang agraria dan pertanahan. Rentang peringatan Hantaru dimulai tanggal 24 September hingga tanggal 8 November. Tanggal 24 September dimaksudkan sebagai peringatan kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) sekaligus yang diperingati sebagai Hari Tani, sedangkan tanggal 8 November diperingati sebagai Hari Tata Ruang Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013.  
Permasalahan yang Berkelindan
Terlepas dari serimoni Hantaru, hal yang lebih esensial adalah adanya pemahaman bahwa tanah dan ruang adalah satu kesatuan yang mampu memberikan keadilan dan kemakmuran. Pemahaman ini sangat penting, mengingat selama ini yang dipandang sebagai matra utama yang mampu memberikan keadilan adalah tanah. Padahal penguasaan dan pemanfaatan ruang yang mempunyai dimensi lebih luas justru sangat berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Hal itu secara praksis ditunjukkan oleh berkelindannya permasalahan penataan ruang dan pertanahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain (Sutaryono, 2017): (1) pengajuan pemecahan sertifikat oleh pengembang di Kawasan RTH tidak dapat diproses; (2) perpanjangan izin pemanfaatan ruang tidak dapat diproses karena pola ruangnya berbeda; (3) penguasaan tanah oleh masyarakat yang sudah turun-temurun tidak dapat diproses karena berada dalam kawasan hutan; (4) masyarakat mengusai atau memiliki tanah di kawasan ruang terbuka hijau; (5) pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW lama, tetapi berbeda dengan RTRW hasil perubahan; (6) terjadi pergeseran  antara pemberian izin lokasi dan IMB antara RTRW lama dan RTRW baru; (7) kawasan lindung (sesuai RTRW) yang dikuasai masyarakat dengan hak milik atau alas hak lainnya.
Berbagai permasalahan di atas menunjukkan bahwa nuansa keadilan menjadi berkurang bahkan tidak ada, akibat ketidaksinkronan antara urusan pertanahan dan tata ruang. Oleh karena itu, berbagai agenda strategis telah, sedang dan akan terus dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN untuk memastikan bahwa tanah dan ruang adalah sumber keadilan dan kemakmuran.
Agenda Strategis

Sesuai dengan Tema Hantaru Tahun 2018, beberapa agenda strategis yang sedang dijalankan antara lain: (1) penguatan hak rakyat atas tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), yang ditargetkan 7 juta bidang pada tahun 2018 ini; (2) merealisasikan agenda reforma agraria melalui redistribusi 350.000 bidang tanah di berbagai wilayah; (3) percepatan pengadaan tanah untuk mendukung 245 proyek strategis nasional dan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum; (4) penanganan sengketa dan konflik pertanahan dan tata ruang; (5) menjalankan perijinan secara terintegrasi melalui Online Single Submission (Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik); (6) penataan dan pengendalian penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang secara terintegrasi; dan (7) melakukan upaya-upaya modernisasi tata kelola dan pelayanan pertanahan dan tata ruang kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Ketujuh agenda strategis yang sedang dijalankan ini merupakan komitmen Kementerian ATR/BPN untuk menunjukkan bahwa integrasi kelembagaan pertanahan dan tata ruang dalam satu kementerian adalah langkah produktif yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan sektoral secara terintegrasi.
Berbagai agenda strategis di atas, apabila dapat direalisasikan akan mampu: (1) menguatkan hak rakyat atas tanah; (2) meminimalkan sengketa dan konflik pertanahan /ruang; (3)  memetakan seluruh bidang tanah di Indonesia; (c) mendukung kebijakan one map policy; (3) mengatasi permasalahan batas administrasi desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten; (4) memfasilitasi penerimaan pajak yang lebih efektif; (5) mempercepat ketersediaan instrumen penataan ruang; (6) mempercepat proses perijinan; serta (7) memastikan terwujudnya keadilan dan kemakmuran dalam penggunaan, pemanfaatan, pemilikan tanah dan ruang untuk seluruh rakyat.


[1] Dimuat dalam OPINI SKH Kedaulatan Rakyat, 24-09-2018 hal 4
[2] Dosen pada STPN dan Prodi Pembangunan Wilayah, Fak Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar