Senin, 22 Oktober 2018

Merealisasikan Reforma Agraria


Merealisasikan Reforma Agraria[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Tujuhbelas tahun sejak diamanatkannya agenda reforma agraria melalui Tap No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, pemerintah saat ini baru secara nyata berkehendak untuk merealisasikannya. Mengapa? Meskipun reforma agraria sudah diamanatkan sejak 2001, namun pemerintah yang berkuasa belum serius berkehendak menjalankannya. Regulasi yang dipandang sebagai dasar penyelenggaraan reforma agraria tidak kunjung diterbitkan. Berbagai versi naskah yang ada hanya sampai pada Rancangan Peraturan Pemerintah maupun Raperpres. Baru pada tahun ini, tepatnya pada Hari Tani (24 September 2018), Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sungguh, ini regulasi yang dinanti-nantikan agar agenda reforma agraria bukan hanya sebagai jargon semata, tetapi benar-benar direalisasikan untuk menyelesaikan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Reforma agraria dalam perpres tersebut dimaknai sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, pengguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat. Adapun agenda RA ini bertujuan untuk: (a) mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (b) menangani sengketa dan konflik agraria; (c) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (d) menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (e) memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (f) meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan (g) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Menepati Janji

Terbitnya Perpres 86/2018 bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan bagian pemenuhan janji politik pemerintah yang berkuasa. Janji politik presiden dalam Nawacita yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha untuk diredistribusikan. Redistribusi tanah sebagai agenda utama RA, dalam pelaksanaannya jauh tertinggal dari program legalisasi asset, yang sering disebut sebagai bagi-bagi sertipikat gratis. Pelaksanaan redistribusi tanah dari target 4,5 juta hektar, saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah  (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa prioritas ke-agraria-an pemerintah yang sudah ditetapkan, utamanya berkenaan dengan redistribusi tanah masih sebatas janji politik.
Problem utama tersendatnya agenda RA yang sering dimunculkan selama ini adalah ketiadaan dasar hukum penyelenggaraan RA. Nah, kelahiran Perpres 86/2018 ini menjawab persoalan tersebut. Artinya, tidak ada lagi alasan bagi penyelenggara Negara, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Pemerintah Daerah untuk tidak menjalankan agenda RA. 
KLHK adalah kementerian yang menguasai tanah terluas yang ditargetkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Tercatat seluas 4,1 juta hektar kawasan hutan yang diorientasikan untuk TORA melalui perubahan peruntukan kawasan hutan serta 12,7 juta hektar yang diorientasikan melalui hak pengelolaan, izin pemanfaatan, hutan adat atau dengan istilah hak kelola perhutanan sosial. Kementerian LHK mencatat bahwa terdapat 25.863 desa dari 75 ribu desa di Indonesia yang berada dalam kawasan hutan dan sekitar 50 juta petani berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan (Sirait, 2017), dengan bentuk penguasaan tanah oleh: (a) masyarakat hukum adat; (b) pemerintah desa; (c) perorangan, baik dengan alas hak atau tidak ada alas hak; (d) badan hukum; (e) badan sosial; (f) badan pemerintahan (Safitri, 2014). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi TORA yang berasal dari kawasan hutan menjadi sangat potensial untuk segera direalisasikan.
Sementara itu Kementerian ATR/BPN adalah kementerian yang mengkoordinasikan penyelenggaraan RA dalam kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) secara nasional. Pada level daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten merupakan koordinator penyelenggaraan RA melalui GTRA di daerah.   
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa, pemenuhan janji politik pemerintah yang berkuasa sekaligus menyelesaikan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia harus segera direalisasikan. Political will sudah ada, regulasi sudah diterbitkan, kementerian/lembaga terkait serta pemda sudah siap, maka saatnya menjalankan agenda Reforma Agraria.  


[1] Dimuat dalam Opini SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 22-10- 2018 hal 11
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar