Kamis, 07 April 2022

Perizinan KKPR

Pelayanan Perizinan KKPR

Berdasarkan PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, berbagai perizinan pemanfaatan ruang sebagaimana terdapat dalam PP 15/2010 telah diintegrasikan ke dalam Perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Namun demikian, hingga saat ini perizinan KKPR di daerah masih banyak menghadapi kendala. Bahkan Rekomendasi Rapat Kerja Nasional Kementerian ATR/BPN Tahun 2022 pada bidang tata ruang menyebutkan secara spesifik bahwa masih terdapat beberapa kendala dalam penerbitan KKPR di daerah, yang mencakup regulasi, sistem layanan, dan ketersediaan sumberdaya manusia. 

Berdasarkan hak tersebut, jelaskan kondisi Pelayanan Perizinan KKPR yang ada pada lokasi pemberdayaan, baik di Kementerian ATR/BPN (pusat), pemerintah provinsi (kanwil), maupun di kantor pertanahan (kabupaten/kota), yang meliputi: kondisi sistemnya, pelaksanaan layanannya, SDM-nya, dan kendala yang dihadapinya.

Tuliskan secara berkelompok (berdasarkan lokasi) dan posting pada kolom komentar di bawah. Jangan lupa lengkapi dengan Nama & Kelas.

Rabu, 02 Maret 2022

Kepentingan Umum

 

Kepentingan Umum[1]

 Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum masih menjadi perbincangan hangat. Berbagai sikap pro-kontra yang mengiringi proses-proses pengadaan tanah saling berkelindan dan sulit untuk dipisahkan. Bahkan perbincangan tersebut mengarah ke berbagai persoalan hingga spekulasi, mulai dari persoalan ekonomi, sosial, lingkungan hingga ke persoalan politik.  Terutama setelah ramainya pemberitaan kasus Desa Wadas Kabupaten Purworejo.

Tulisan ini mengelaborasi tanah untuk kepentingan umum dan hal-hal terkait. Secara normatif, berdasarkan UU 2/2012 kepentingan umum dimaknai sebagai kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna ini menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan tanah untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat melalui proses pengadaan tanah. Berdasarkan UU 2/2012, yang dimaksudkan dengan tanah untuk kepentingan umum adalah tanah yang digunakan untuk pembangunan: (1) pertahanan dan keamanan nasional; (2) jalan umum, tol, terowongan, jalur dan stasiun keretaapi, fasilitas operasi keretaapi;  (3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; (4) pelabuhan, bandara, dan terminal; (5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; (6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; (7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; (8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah; (9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; (10) fasilitas keselamatan umum; (11) Tempat Pemakaman Umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; (12) fasos, fasum, dan RTH publik; (13) cagar alam dan cagar budaya; (14) kantor Pemerintah/Pemda/desa; (15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk MBR dengan status sewa; (19) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemda; (2) prasarana olahraga Pemerintah/Pemda; dan (2) pasar umum dan lapangan parkir umum.

Terlepas dari polemik Putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja, tanah kepentingan umum dalam UU 2/2012 diperluas atau ditambah dengan: (1) kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas; (2) kawasan ekonomi khusus; (3) kawasan industri; (4) kawasan pariwisata; (5) kawasan ketahanan pangan; dan (6) kawasan pengembangan teknologi.

 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Beragam pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatas mensyaratkan adanya tanah yang harus dibebaskan, termasuk tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh masyarakat. Dalam regulasi tersebut juga disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, setiap orang wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, bukan berarti pemerintah dapat mengambil tanah masyarakat dengan bebas, tetapi pemerintah juga wajib taat asas dalam pelaksanaannya.

Sangat jelas bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib dilakukan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil serta harus memenuhi berbagai azas yang telah ditetapkan, yakni asas: (1) kemanusiaan, dimaksudkan agar prosesnya  memberikan pelindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga: (2) keadilan, yakni memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak agar dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik; (3) kemanfaatan, dimana mampu memberikan manfaat secara luas; (4) kepastian  tersedianya tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan Ganti Kerugian yang layak; (5) keterbukaan, dengan memberikan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi; (6) kesepakatan, mensyaratkan bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan Bersama; (7) keikutsertaan, yakni dilakukan dengan dukungan dan partisipasi masyarakat sejak perencanaan sampai kegiatan pembangunan; (8) kesejahteraan, yang diorientasikan agar dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan masyarakat secara luas; (9) keberlanjutan, dengan jaminan bahwa kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan; dan (10) asas keselarasan dimana proses Pengadaan Tanah dapat dilakukan secara seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.

Kita bisa membayangkan bahwa apabila untuk kepentingan umum, semua asas-asas pengadaan tanahnya terpenuhi dalam prosesnya, hak-hak masyarakat yang berhak dan terdampak terpenuhi, harmoni sosial dan kelestarian lingkungan terjaga, maka pembangunan untuk kepentingan umum yang mensejahterakan masyarakat adalah suatu keniscayaan. Semoga.

[1] Dipublikasikan pada Kolom OPINI SKH Kedaulatan Rakyat, 25 Februari 2022

[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Selasa, 08 Februari 2022

Ganti Kerugian Pengadaan Tanah

Ganti Kerugian Pengadaan Tanah[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Pekan lalu, diakhir Bulan Januari 2022 telah dilakukan pemberian Ganti Kerugian Pengadaan Tanah untuk Jalan Tol Jogja – Bawen. Pada pekan itu pula beredar di berbagai media, berita tentang demontrasi Warga sekitar Kilang Minyak Tuban yang tengah memperjuangkan untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal setahun sebelumnya warga kampung tersebut diberitakan menjadi miliarder karena mendapatkan ganti kerugian pada pengadaan tanah yang digunakan untuk proyek grass root refinery (GRR) pada Kilang Minyak Pertamina di Tuban.

Agar kasus Warga Tuban tidak terjadi pada Warga Sleman yang mendapatkan ganti kerugian pengadaan tanah untuk jalan Tol, Pemerintah melalui Menteri ATR/Kepala BPN melakukan kunjungan secara langsung dalam proses penyerahan ganti kerugian. Dalam kesempatan tersebut Menteri ATR/Kepala BPN ingin memastikan bahwa penyerahan ganti kerugian dan pelapasan hak atas tanahnya berjalan sesuai prosedur sekaligus memberikan himbauan agar uang ganti kerugian dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat penerima (KR, 31-01-2022).

 Ganti Rugi atau Ganti Untung?

Beredar pemahaman pada masyarakat bahwa ganti kerugian yang nilainya besar disebut sebagai ganti untung. Bahkan saat pemberian ganti kerugian tanah untuk bandara di Kulon Progo, muncul istilah ‘ganti untung tanah bandara’ (Opini KR, 10-02-2014).  Pada dasarnya secara normatif, terminologi ganti rugi atau ganti untung tidak ada, yang ada adalah ganti kerugian. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Besaran ganti kerugian dinilai oleh Penilai yang dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan;  (d) tanaman; (e)  benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang dapat dinilai.

Persyaratan pemberian ganti kerugian adalah layak dan adil. Layak dan adil dapat dimaknai bahwa pemberian ganti kerugian di atas standar minimal, bahkan apabila memungkinkan masyarakat yang terkena dampak justru merasa mendapatkan ‘ganti untung’ bukan ganti rugi. ‘Ganti Untung’ ini sangat mungkin diperoleh oleh masyarakat terkena dampak, apabila tanah yang dibebaskan memberikan implikasi pada tetap terjaminnya: (a) rumah tinggal untuk hunian; (b) sumber penghidupan secara berkelanjutan; serta (c) relasi sosial kemasyarakatan.

Penilaian ganti kerugian sebagaimana dimaksudkan dalam UU 2/2012 adalah Nilai Penggantian Wajar (NPW - fair replacement value), sebagaimana diatur melalui Standar Penilaian Indonesia. Pola pengukuran NPW meliputi nilai kerugian fisik yang setara dengan nilai pasar, nilai kerugian non fisik dan beban masa tunggu. Nilai kerugian fisik secara umum meliputi nilai tanah, bangunan dan tanaman. Tetapi berdasarkan UU 2/2012 terdiri dari tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah.

Nilai kerugian non fisik yang dinilai meliputi: (a) kehilangan pekerjaan/bisnis/alih profesi; (b) kerugian emosional (solatium), yang merupakan kerugian tidak berwujud yang dikaitkan dengan pengambilalihan tanah yang digunakan sebagai tempat tinggal dari pemilik; (c) biaya transaksi yang meliputi biaya pindah, perijinan dan perpajakan; (d) kerugian sisa tanah, yakni turunnya nilai tanah akibat pengambilan sebagian bidang tanah; (e) kerusakan fisik lain, misalnya bagian bangunan yang terpotong akibat pengadaan tanah sehingga membutuhkan biaya perbaikan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Nilai beban masa tunggu atau kompensasi masa tunggu, yakni sejumlah dana yang diperhitungkan sebagai pengganti adanya perbedaan waktu antara tanggal penilaian dengan perkiraan tanggal pembayaran ganti kerugian. Dalam hal ini, nilai kompensasi dihitung berdasarkan suku bunga deposito bank pemerintah untuk masa tunggu kurang atau lebih dari 6 (enam) bulan.

Nilai kerugian non fisik dan nilai kompensasi masa tunggu inilah yang menjadikan nilai ganti kerugian menjadi jauh lebih tinggi dari harga fisik tanah. Inilah yang dirasakan sebagai ‘ganti untung’. Semoga ‘ganti untung’ yang diberikan kepada masyarakat dapat benar-benar memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat terdampak pengadaan tanah.



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, 5 Februari 2022 hal 11

[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM 

Kamis, 20 Januari 2022

Memahami Urgensi Bank Tanah

 

Memahami Urgensi Bank Tanah[1]

 

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Pada penghujung tahun 2021 secara resmi pemerintah memiliki Bank Tanah. Kelahiran bank tanah ini ditandai dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah. Terlepas dari polemik pasca Putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja, naskah ini mencoba mengelaborasi urgensi pembentukan bank tanah.

Pada dasarnya gagasan perlunya pembentukan Bank Tanah sudah ada hampir satu dekade yang lalu, yakni melalui dokumen White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional (Bappenas, 2013). Perlunya pembentukan bank tanah dikarenakan intensitas kebutuhan tanah untuk pembangunan yang semakin meningkat, terbatasnya ketersediaan tanah, harga tanah yang selalu meningkat, serta kurang optimalnya penggunaan dan pemanfaatan tanah, utamanya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Disisi lain badan usaha swasta sudah mempraktikkan ‘bank tanah’ dalam bentuk penguasaan tanah dengan skala luas sebagai pencadangan tanah, yang dapat dimaknai sebagai praktik spekulasi yang di dalamnya ada unsur penelantaran tanah.

Seperti kita ketahui bersama bahwa berbagai pembangunan untuk kepentingan umum, utamanya pembangunan infrastruktur seringkali terhambat pada proses pengadaan tanahnya. Terhambatnya proses pengadaan tanah tersebut disebabkan oleh: (a) lokasi tidak sesuai dengan RTRW; (b) tidak semua masyarakat terdampak Setuju; (c) Hak Atas Tanah tidak jelas (Objek & Subjeknya); (d) ketidaksepakatan dalam Ganti Rugi; (e) kurang terbukanya informasi; (f) munculnya Spekulan; (g) proses penetapan lokasi yang tidak clear & clean; (h) keterbatasan pembiayaan. Berbagai persoalan tersebut menjadikan ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjadi terganggu. Bahkan untuk pembangunan infrastruktur yang bersifat strategispun menjadi terhambat. 

Berdasarkan hal-hal di atas maka keberadaan bank tanah menjadi sebuah kebutuhan yang perlu diprioritaskan. Keberadaan Bank Tanah diperlukan sebagai organ pemerintah yang mampu menyediakan kebutuhan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sekaligus menjadi instrumen utama dalam mencegah terjadinya spekulasi harga tanah. Dalam hal ini bank tanah tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari selisih harga penjualan tanah yang dimilikinya. Selisih harga hanya digunakan sepenuhnya untuk membiayai kebutuhan operasional Bank Tanah. Sehingga penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersedia, tanpa menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan PP 64/2021 disebutkan bahwa Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus  yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Kewenangan khusus bank tanah adalah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: (a) kepentingan umum; (b) kepentingan sosial; (c) kepentingan pembangunan nasional; (d) pemerataan ekonomi; (e) konsolidasi lahan; dan (f) reforma agraria.

Secara normatif Bank Tanah diberikan tugas untuk: (a) melakukan perencanaan kegiatan; (b) melakukan perolehan tanah; (c) melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah secara langsung; (d) melakukan pengelolaan tanah dari kegiatan pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian tanah; (e) melakukan pemanfaatan tanah melalui kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain; dan (f) melakukan pendistribusian tanah.

Objek tanah yang dapat dikuasai oleh bank tanah adalh tanah hasil penetapan pemerintah yang berasal dari tanah negara, seperti: (a) tanah bekas hak; (b) kawasan dan tanah telantar; (c) tanah pelepasan kawasan hutan; (d) tanah timbul; (e) tanah hasil reklamasi; (f) tanah bekas tambang; (g) tanah pulau-pulau kecil; (h) tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang; dan (i) tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya. Disamping itu juga dapat berasal dari tanah-tanah pemerintah, badan hukum, badan usaha ataupun dari tanah masyarakat. Tanah-tanah tersebut dikuasai oleh bank tanah melalui berbagai cara perolehan seperti pembelian, penerimaan hibah/sumbangan, tukar menukar, pelepasan hak maupun melalui perolehan bentuk lain yang sah.

Pada akhirnya, apabila bank tanah ini dapat beroperasi secara baik maka jaminan ketersediaan tanah untuk berbagai pembangunan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, maupun untuk kepentingan pemerataan ekonomi ataupun terkait dengan agenda reforma dapat diwujudkan.



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, 19 Januari 2022 Hal 11

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Senin, 27 Desember 2021

Mafia Tanah

 

Mafia Tanah[1]

Oleh: Dr. Sutaryono[2]

 

Di penghujung tahun 2021 ini, publik disuguhi wacana dan fakta adanya kejahatan yang hingga saat ini masih sangat meresahkan dan masih menjadi ancaman bagi kita semua, yakni mafia tanah. Mafia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Menteri ATR/Kepala BPN, Bapak Sofyan A. Djalil menyebutkan bahwa mafia tanah adalah penjahat yang menggunakan tanah sebagai objek kejahatan. Berdasarkan hal di atas, dapat kita pahami bahwa mafia tanah adalah persekongkolan yang melibatkan berbagai pihak untuk melakukan kejahatan dengan tanah sebagai objek utamanya. Mengapa tanah menjadi sasaran objek kejahatan bagi para mafia?

Paling tidak terdapat 4 (empat) alasan mengapa tanah menjadi objek mafia, yakni: (a) tanah merupakan properti yang paling bernilai, di mana nilainya tidak akan pernah turun seperti properti lainnya; (2) tanah mempunyai sifat scarcity atau langka, artinya keberadaan dan ketersediannya terbatas, sementara hampir semua pihak membutuhkannya; (3) tanah mempunyai sifat transferability atau mudah untuk dipindahtangankan; (4) sistem administrasi pertanahan yang belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan bagi pemegang hak atas tanah.

Adanya keempat hal di atas memunculkan aktifitas mafia tanah yang melibatkan berbagai pihak. Biasanya mafia tanah melibatkan oknum pegawai BPN, oknum kepala desa, oknum notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), oknum aparat penegak hukum, serta oknum pada Lembaga peradilan. Oknum-oknum tersebut menjalankan operasinya menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, yang dilakukan secara terorganisir, rapi dan sistematis. Dalam hal ini jelas bahwa praktik mafia tanah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan pertanahan sangat memadai dan mempunyai berbagai akses terhadap data dan informasi (dokumen) pertanahan.

Hingga Oktober 2021, Business Insight mencatat adanya sejumlah 732 pengaduan mafia tanah yang penanganannya masih berlangsung. Banyaknya kasus mafia tanah yang terlapor mendorong Kementerian ATR/BPN telah melakukan berbagai upaya serius untuk mengantisipasi dan menangani mafia tanah. Salah satunya bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah pada Tahun 2018.

Mengingat praktik mafia tanah selalu berhubungan dengan dokumen kependudukan, maka Kementerian ATR/BPN juga telah bekerjasama dengan instansi yang menangani data kependudukan untuk melakukan pencegahan pemalsuan data kependudukan, utamanya KTP dan NIK.

Untuk memperbaiki sistem administrasi pertanahan guna mengantisipasi adanya praktik mafia tanah Kementerian ATR/BPN telah melakukan upaya-upaya transformasi digital. Dalam hal ini ke depan, seluruh data dan informasi pertanahan diolah dan disimpan dalam bentuk digital. Untuk sertipikat tanahnya-pun ke depan berupa sertipikat elektronik, yang penerapannya dilakukan secara bertahap (Analisis KR, 08-02-2021).

Antisipasi Mafia dari Desa

Antisipasi dan penanganan mafia tanah perlu dilakukan melalui kolaborasi multipihak, yakni seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN, kepolisian, kejaksaan, catatan sipil, pemerintah desa hingga para pemegang hak atas tanah.  Dalam konteks ini upaya antisipasi munculnya mafia tanah lebih dikedepankan.

Antisipasi munculnya mafia tanah dapat diawali dari desa, dengan aktor utama pemegang hak atas tanah dan pemerintah desa. Pemegang hak atas tanah harus memastikan bahwa tanahnya sudah terdaftar dan bersertipikat. Pemerintah desa sebagai organ pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat harus memiliki dan/atau dapat mengakses data pertanahan secara lengkap.

Program Desa Lengkap yang menjadi agenda Kementerian ATR/BPN harus segera diwujudkan. Dalam hal ini Desa Lengkap adalah desa yang seluruh bidang-bidang tanah yang berada di wilayah tersebut sudah memenuhi syarat lengkap dan valid baik secara spasial maupun yuridis. Secara spasial seluruh bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh subjek hak dan seluruh bidang-bidang tanah yang terbentuk dari unsur geografis (sungai, jalan, gang, fasum, fasos, sempadan, dan lain-lain) telah terpetakan. Secara ringkas dikatakan sebagai Desa Lengkap apabila luas wilayahnya sama dengan total luas bidang-bidang tanahnya. 

Apabila pemerintah desa dan masyarakat desa sudah mengetahui pemilik bidang-bidang tanah di seluruh wilayah desanya melalui Desa Lengkap maka peluang munculnya mafia tanah dapat diantisipasi.



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 27 Desember 2021

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM