Selasa, 21 Oktober 2014

Jogja Istimewa untuk Indonesia



JOGJA ISTIMEWA UNTUK INDONESIA[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

“Jogja Jogja tetap istimewa, istimewa negerinya istimewa orangnya, Jogja Jogja tetap istimewa, Jogja istimewa untuk Indonesia”.
Sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Jogja HipHop Foundation di atas, sarat makna dan menginspirasi bagi kita semua warga DIY, bahwa keistimewaan Yogyakarta- istimewa negerinya dan istimewa orangnya- sejatinya adalah untuk Indonesia, bukan untuk kita sendiri. Hal ini mengingatkan bahwa Yogyakarta harus menjadi barometer & menjadi ‘spirit’ untuk Indonesia lebih baik. Momentum peringatan Hari Jadi Kota Yogyakarta ke-258 ini, menjadi titik tolak bagi DIY untuk segera berbenah, memperbaiki diri menuju visi “Daerah Istimewa Yogyakarta Yang Lebih Berkarakter, Berbudaya, Maju, Mandiri dan Sejahtera Menyongsong Peradaban Baru”.
Secara filosofis dan konseptual, upaya perwujudan peradaban baru tersebut oleh Gubernur diterjemahkan dalam gagasan Renaisans Yogyakarta yang mengedepankan basis budaya dalam pembangunan DIY. Basis budaya unggul masa lalu yang kuat, tetap eksis dan lestari pada saat ini dan masa depan melalui internalisasi nilai-nilai kearifan lokal dan memperkokoh identitas dan karakter DIY untuk membangun DIY sebagai daerah yang maju, mandiri dan berkembang menuju masyarakat sejahtera.
Hal ini perlu menjadi perhatian, ketika kondisi politik nasional yang terpolarisasi menjadi kutub KIH dan KMP telah berimbas pada kondisi politik lokal, tidak terkecuali di DIY. Dinamika politik ‘perebutan kekuasaan’ yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di DIY, telah mengabaikan kewajiban sebagai wakil rakyat dalam membahas APBD Perubahan. Mereka juga lupa bahwa saat ini seabreg permasalahan di DIY telah mengoyak kesadaran batin kita sebagai warga dan masyarakat istimewa, seperti: (1) isu sara yang termanifestasi dalam bentuk kekerasan terhadap warga minoritas dalam setahun ini perlu mendapatkan perhatian agar pluralisme di DIY tetap terjaga; (2) isu Yogya ‘Berhenti’ Nyaman yang ditunjang fakta semakin tingginya intensitas kemacetan, sampah visual yang semakin tidak karuan, tindak kriminal yang belum berkurang serta turunnya peringkat Kota Yogyakarta ke peringkat 4 dalam the most livable city; (3) fakta turunnya muka air tanah dari tahun ke tahun akibat eksploitasi yang berlebihan, yang berkorelasi dengan maraknya pembangunan hotel, apartemen, mal serta menjamurnya perumahan permukiman mewah; (4) tingginya alih fungsi lahan pertanian yang diikuti dengan tidak sinkronnya regulasi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dengan RTRW; (5) maraknya budidaya tambak dan tertekannya laboratorium alam gumuk pasir di pantai selatan menunjukkan tidak jelasnya kebijakan pengaturan penataan ruang di DIY.
Kondisi demikian, tidak mungkin menempatkan DIY sebagai daerah istimewa yang menjadi barometer dan inspirasi bagi wilayah lain di Indonesia. Dengan kata lain, mungkinkah Jogja istimewa untuk Indonesia?
Apabila realitas permasalahan di atas, secara sadar dijadikan sebagai sebuah refleksi dan titik masuk bagi seluruh pemangku kepentingan bagi keistimewaan DIY, maka Renaisans Yogyakarta adalah sebuah keharusan untuk memastikan bahwa Jogja istimewa untuk Indonesia.
Beberapa hal yang dapat dilakukan menuju istimewa untuk Indonesia adalah: (1) internalisasi nilai dan filosofi keistimewaan yang meliputi hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi, dan manunggaling kawula lan Gusti kepada semua stake holder yang berkepentingan terhadap keberlanjutan DIY; (2) mendorong politisi di wilayah DIY, khususnya para anggota dewan yang terhormat untuk kembali memikirkan rakyat dan warga serta menghindarkan diri dari jebakan koalisi parpol yang tidak produktif; (3) konsolidasi seluruh warga DIY yang plural melalui apresiasi dan gelar budaya nusantara untuk keistimewaan; (4) momentum revisi RTRW DIY, dipastikan menghasilkan produk RTRW Istimewa yang mengatur penataan ruang secara baik, berkeadilan dan berkelanjutan; serta (5) menempatkan perijinan investasi bagi hotel, aparteman, perumahan dan mal sebagai mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang, bukan sebagai media berburu ‘rente’.
Agenda di atas hanyalah salah satu pintu masuknya, mengingat masih cukup banyak agenda yang dapat dilakukan dalam rangka meneguhkan keistimewaan DIY menuju masyarakat istimewa yang sejahtera serta mewujudkan Jogja istimewa untuk Indonesia.


[1] Dimuat di SKH KR, 21-10-2014
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

4 komentar:

  1. Terimakasih... Kapan yahh saya ke JOgja lagi ...

    BalasHapus
  2. Silahkan, setiap saat Jogja terbuka untuk siapa saja yang berkenan berkunjung

    BalasHapus
  3. Saya kurang nyaman dengan di bangunnya puluhan mall di jogja pak, secara tidak langsung ini akan berpengaruh kepada pola hidup masyarakat jogja yang cenderung akan lebih konsumtif.
    Saya rindu jogja yang dulu, dimana pusat perbelanjaan hanya ada di jl. Malioboro dan jl. Solo.

    BalasHapus
  4. iya mas....jogja sudah semakin tidak nyaman, terutama banyaknya mall, hotel & apartemen yang dibangun

    BalasHapus