Senin, 28 Januari 2013

Partisipasi Masyarakat, Otonomi Daerah dan Penataan Ruang



PARTISIPASI MASYARAKAT, OTONOMI DAERAH
DAN PENATAAN RUANG[1]

Oleh: Sutaryono

Dalam konstelasi otonomi daerah, penataan ruang sering dimaknai secara beragam, mulai dari pemahaman bahwa penataan ruang merupakan arahan pola pemanfaatan ruang, instrumen pengendali dalam alih fungsi lahan, sampai pemahaman minor bahwa penataan ruang dipandang sebagai ‘alat’ bargaining antara birokrat dan pihak swasta/investor yang akan menanamkan investasinya atau terkadang malah dianggap sebagai ‘penghambat’ pembangunan. Tulisan ini mencoba mengedepankan peluang otonomi daerah dalam penataan ruang, termasuk di dalamnya adalah partisipasi masyarakatnya, mengingat otonomi daerah mengharuskan setiap pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya dengan baik, khususnya sumberdaya wilayah/ruang yang merupakan basis dalam proses pembangunan.
Peluang Otonomi Daerah
            Era desentralisasi, keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan mengiringi kemunculan dan perkembangan otonomi. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 semakin mengukuhkan peran Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di daerah otonom.  UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan legitimasi kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan penyelenggaraan penataan ruang di wilayah masing-masing, mengingat UU ini secara tegas menyebutkan bahwa  salah satu kewajiban daerah otonom adalah menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih luas untuk melakukan upaya penataan ruang di wilayah territorial-nya.   Kelahiran UU Nomor 32 Tahun 2004 sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan yang lahir pada era UU Nomor 22 Tahun 1999. Dalam Keppres tersebut meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kewenangan dalam penataan ruang tetapi kewenangan dalam pemberian ijin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan  pembangunan dan perencanaan penggunaan tanah di wilayah Kabupaten/Kota memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya-upaya penataan ruang secara otonom. Namun demikian, peluang tersebut seringkali memunculkan berbagai kemungkinan sikap egosentrisme dan primordialisme daerah otonom. Ada kecenderungan masing-masing daerah otonom melakukan penataan ruang berdasarkan kepentingan masing-masing tanpa melakukan sinergi dan koordinasi dengan pemerintah daerah pada wilayah-wilayah yang berbatasan. Hal ini menjadi satu ancaman bagi terwujudnya penataan ruang yang menjamin adanya kelestarian lingkungan. Dengan demikian, penataan ruang yang dilakukan oleh daerah otonom harus tetap mengacu pada kerangka keterpaduan antar wilayah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, pendekatan kewilayahan dan kelingkungan menjadi syarat utama dalam penataan ruang bagi pemerintah daerah tanpa harus mengabaikan wilayah administrasinya.  Hal ini penting dilakukan, agar kegiatan penataan ruang bagi daerah otonom tidak menimbulkan dampak negatif dan kemungkinan munculnya konflik dengan daerah lain. Dalam konteks penataan ruang di daerah otonom, perencanaan  ruang yang dilakukan harus bersifat alokatif, inovatif dengan pendekatan multifungsional dan interdisipliner. Alokatif, artinya dalam perencanaan ruang betul-betul diarahkan pada alokasi keruangan sesuai fungsi ruang itu sendiri. Dalam hal ini karakteristik wilayah dan kemampuan tanah harus sungguh-sungguh diperhatikan, agar rekomendasi yang dihasilkan dalam penataan ruang dapat sesuai dengan peruntukannya. Sifat inovatif diperlukan agar perencanaan itu mampu mengakomodasikan semua komponen yang ada. Terobosan-terobosan perlu dilakukan dan segala kemungkinan perlu dijajaki agar perkembangan wilayah yang berdasarkan pada perencanaan ruang dapat memberikan keuntungan maksimal namun tetap terkontrol dalam bingkai kebijaksanaan penataan ruang wilayah. Pendekatan multifungsional dan Interdisipliner mutlak diperlukan dalam perencanaan ruang. Artinya penggunaan ruang yang direkomendasikan dapat berdaya guna bagi berbagai kepentingan masyarakat penghuninya. Pendekatan ini sekaligus mengupayakan terwujudnya desain penataan ruang yang aspiratif dan akomodatif. Dalam perencanaan ini harus melibatkan berbagai komponen kelembagaan, ahli-ahli di  berbagai bidang ilmu serta partisipasi masyarakat dan swasta, baik secara langsung maupun perwakilan.
Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Proses penataan ruang yang termanifestasi dalam penyusunan rencana tata ruang, selama ini masih bersifat general pada wilayah nasional, wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa rencana tata ruang masih bersifat ‘elitis’ dan kurang ‘membumi’. Artinya rencana tata ruang yang sudah ada kurang melibatkan masyarakat dalam penyusunannya, kuran tersosialisasi kepada khalayak luas dalam operasionalisasinya dan masih terkesan ‘hanya’ sebagai dokumen pelengkap.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang sebagai salah satu aturan pelaksana dari UU Nomor 24 Tahun 1992 telah menjamin adanya keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang. Hal tersebut sudah sejalan dengan yang telah digariskan oleh pemerintah bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang betul-betul sebagai media dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat ataukah ‘hanya sekedar’ formalitas mengikuti trend dan aturan yang berlaku? Hal ini perlu dicermati mengingat banyak kasus yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sering dijadikan formalitas untuk sekedar mendapatkan legitimasi dari berbagai pihak terhadap suatu kegiatan yang dilaksanakan.
Peraturan perundang-undangan tersebut telah memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk memposisikan masyarakat sebagai subyek dalam penataan ruang. Artinya, potensi besar yang dimiliki masyarakat luas dapat dikelola dan diakomodasikan dalam berbagai kegiatan penataan ruang baik pada tahapan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai tahapan pengendalian pemanfaatan ruang secara partisipatif. Hal ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan ke arah partisipatoris berbasiskan masyarakat yang mengutamakan pelibatan masyarakat dalam berbagai tahapan pembangunan.  
Secara operasional partisipasi masyarakat dalam penataan ruang dapat dimulai dari wilayah desa sebagai basis pembangunan masyarakat. Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (berdasarkan UU 32/2004, BPD adalah Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga pemerintahan yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat harus diberikan peran yang cukup dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai tahapan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintahan Desa (Lurah Desa dan BPD) dapat berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang bagi masyarakat. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sebagai wadah munculnya gagasan-gagasan pembangunan di tingkat desa perlu dilibatkan dalam proses ini. Model Rakorbang perlu lebih dikembangkan di tingkat pedukuhan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat terhadap ruang. Berbagai hasil rakorbang pada tingkat pedukuhan dieksplorasi pada rakorbang pada tingkat desa. Pada tahapan inilah akan dihasilkan- meskipun masih sangat sederhana- disain tata untuk wilayah desa. Apabila disain tata ruang desa ini dijadikan embrio dalam kegiatan penataan ruang pada tingkat Kabupaten/Kota, maka partisipasi masyarakat dalam penataan ruang sudah mulai terwujud.  Di samping itu, masyarakat akan ikut bertanggungjawab dalam mengamankan disain tata ruang yang sudah dihasilkan melalui kegiatan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Beberapa hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam penataan ruang antara lain: (a) memberikan ruang interaksi yang lebih luas kepada pemerintahan desa dan masyarakat untuk mengembangkan inisiasi dan daya kreasinya; (b) memfasilitasi berbagai agenda masyarakat yang berhubungan dengan penataan ruang, termasuk meningkatkan kapasitas (capacity building) kelembagaan desa dalam hal penataan ruang; (c) secara berkelanjutan mensosialisasikan pentingnya penataan ruang yang berorientasi pada fungsi wilayah dan kelestarian lingkungan.   

Penutup
            Beberapa upaya perubahan dalam penyusunan disain tata ruang di daerah sebagaimana disebutkan di atas mengharuskan pada semua stake holder yang terlibat dalam pemanfaatan ruang untuk saling berkolaborasi dan menjalin sinergi dalam memanfaatkan peluang otonomi daerah. Dalam konteks ini penataan ruang dalam kerangka otonomi daerah merupakan peluang yang harus dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah dalam menata, mengelola dan menjaga kelestarian ruang dan wilayah yang menjadi kewenangannya.
            Partisipasi masyarakat menjadi suatu keharusan, agar proses penyusunan dan pelaksanaan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan secara formal dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat luas. Di samping itu keterlibatan masyarakat tersebut akan mendorong tingkat partisipasi dalam mematuhi dan mengawasi segala bentuk kegiatan yang terjadi di atas ruang sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya. Dengan demikian tanggungjawab terhadap keberadaan ruang dan kelestariannya dapat dipikul bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat.  Semoga.     



[1] Pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 13 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar