DUALISME PENGENDALIAN
ALIH FUNGSI TANAH
DAN PERKEMBANGAN
WILAYAH[1]
“Alih
Fungsi Lahan Makin Mengkhawatirkan, Tiap Tahun Lahan Pertanian Susut 250 Ha”,
(KR, 11 April 2006)
merupakan berita yang cukup memberikan gambaran tentang kondisi penataan ruang
dan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Tidak mengejutkan memang, tetapi besaran alih fungsi lahan yang mencapai
angka 2,3% per tahun untuk Kabupaten Sleman dan 7% per tahun untuk Kota
Yogyakarta merupakan angka yang cukup besar dan perlu disikapi secara kritis.
Hal ini perlu dilakukan mengingat
perkembangan wilayah yang un
control akan memacu terjadinya alih fungsi tanah dari pertanian ke non
pertanian yang bertolak belakang dengan upaya mempertahankan swa sembada pangan
dan sustainable development.
Dalam
konteks ini pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah apakah pemerintah
bersama masyarakat mampu mengkontrol pesatnya perkembangan wilayah ? Mengingat
perkembangan wilayah seakan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dalam
rangka peningkatan peradaban dan proses ‘urbanisasi’ (baca: proses kekotaan). Pertanyaan tersebut muncul, bukan cerminan
pesimisme tentang fenomena pesatnya perkembangan wilayah dan hilangnya
tanah-tanah pertanian produktif, tetapi merupakan cerminan dari hebatnya kalangan
swasta dan pemilik modal dalam memanfaatkan faktor produksi yang berupa tanah
untuk ‘meningkatkan peradaban’.
Permasalahan di atas seakan
menjadi sebuah dualisme ketika pengendalian alih fungsi tanah mutlak diperlukan
dan di sisi lain perkembangan wilayah
adalah sebuah keharusan. Pertanyaan lanjutan yang kemudian mengedepan adalah
mampukah upaya pengendalian alih fungsi tanah dapat mengakomodasi pesatnya
perkembangan wilayah?
Secara
umum perkembangan wilayah terbagi menjadi perkembangan wilayah perkotaan dan
perkembangan wilayah pedesaan. Meskipun di antara keduanya terdapat satu
wilayah yang sering dikaji secara terpisah yakni wilayah urban fringe.
Wilayah ini adalah daerah pinggiran kota yang merupakan peralihan kota – desa.
Secara definitif wilayah ini sangat sulit dilacak batas-batasnya, mengingat
kenampakan fisik dan non fisik daerah ini tidak berhimpit satu sama lain.
Apalagi pada wilayah yang sarana transportasi dan komunikasi sudah tersedia
dengan baik, ciri-ciri non fisik akan jauh meninggalkan ciri fisik yang
dicerminkan oleh pergeseran kenampakan keruangannya. Contoh wilayah urban
fringe ini adalah sebagian wilayah Kecamatan Gamping, Godean, Mlati, Depok,
Berbah di Kabupaten Sleman, sebagian Kecamatan Banguntapan dan Kasihan di
Kabupaten Bantul. Perkembangan wilayah
di daerah ini perlu mendapatkan perhatian khusus, agar perkembangan di kemudian
hari tidak menjadi unmanaged growth.
Perkembangan
wilayah di daerah perkotaan menempati posisi yang dominan dalam kajian
keruangan, mengingat wilayah ini cenderung lebih dinamis dan mempunyai
kompleksitas yang sangat tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Perkembangan kota dalam konteks keruangan
(fisik), secara umum dibedakan menjadi tiga model pertumbuhan yang meliputi:
(1) Ribbon development, yakni pertumbuhan fisik kota yang mengikuti
jalur-jalur transportasi; (2) Concentric development, yakni pertumbuhan
fisik kota yang menyebar secara merata pada semua sisi kota; (3) Leap-frog
development, yakni pertumbuhan kota yang meyebar secara sporadis di semua
daerah pinggiran kota. Model ini sering juga disebut sebagai pembangunan
‘lompat katak’.
Berdasarkan teori-teori di atas tampak bahwa perkembangan wilayah
perkotaan seakan secara sistematis
mendesak keberadaan wilayah pedesaan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai pemahaman bahwa
perkembangan kenampakan fisik kota
merupakan simbol bagi sebuah kemajuan. Hal inilah yang kemudian semakin
mempertinggi intensitas alih fungsi tanah, di samping ekspansi wilayah kota terhadap wilayah
desa.
Perkembangan
suatu wilayah tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk dan segala aktivitasnya
untuk menopang hidup dan kehidupannya yang secara langsung maupun tidak
langsung mempertinggi permintaan tanah. Faktor
yang paling dominan berpengaruh terhadap struktur penggunaan tanah adalah
kebutuhan permukiman bagi penduduk. Namun demikian realitas menunjukkan bahwa
di banyak wilayah perkembangan permukiman menjadi tidak terkendali (unmanaged
growth). Realitas ini adalah sebuah konsekuensi logis bagi daerah-daerah
yang perkembangan wilayahnya relatif cepat.
Beberapa
upaya regulasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian alih
fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian antara lain diterbitkannya
(berdasarkan tahun terbit): (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang
Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan,
Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum; (2) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan
Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan; (3) Keputusan Presiden Nomor 53
Tahun 1989 tentang Kawasan Industri; (4) Peraturan Kepala BPN Nomor 18 Tahun
1989 Kawasan Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Perusahaan Kawasan
Industri; (5) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah
Bagi Pembangunan Kawasan Industri; (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman; (7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang; (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun
1994 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum; (9) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional; (10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999
tentang Izin Lokasi dan sebagainya yang kesemuanya baik tersurat maupun tersirat
dimaksudkan untuk mengendalikan perubahan peruntukan penggunaan tanah-tanah
pertanian untuk penggunaan lain.
Dalam
konteks otonomi daerah, patut dicatat terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor
19 Tahun 2001 Tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah di Kabupaten Sleman.
Peraturan Daerah ini muncul setelah dirasakan perlunya pengarahan dan
pengendalian terhadap penggunaan tanah agar peruntukannya sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah, mengingat semakin terbukanya peran swasta dan masyarakat
dalam pembangunan. Inilah barangkali satu contoh upaya pengendalian perubahan
penggunaan tanah yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagaimana dengan
pemerintah kabupaten/kota yang lain?
Dalam konteks Perkotaan Yogyakarta (Greater Yogyakarta), perlu adanya
kerjasama antar kabupaten dan kota untuk merumuskan berbagai regulasi yang
berhubungan dengan pengendalian alih fungsi tanah. Sekretariat Bersama Kartamantul,
perlu dioptimalkan dan diberikan peran yang lebih besar untuk menciptakan sustainable city bagi wilayah Perkotaan Yogyakarta. Workshop
Kerjasama Penataan Ruang Perkotaan Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal
23 Pebruari 2006 lalu, perlu segera ditindaklanjuti dengan berbagai agenda aksi
yang relevan dengan upaya pengendalian alih fungsi tanah.
Berbagai upaya
pengendalian alih fungsi tanah di atas, bukan dimaksudkan untuk menghentikan
perkembangan wilayah, tetapi mengarahkan dan mencari alternatif tertentu untuk
melindungi tanah pertanian produktif, menjadikan kondisi perkembangan wilayah
yang tidak teratur menjadi teratur, mempertahankan kualitas lingkungan dan menjaga
keberlanjutan pembangunan. Dengan demikian yang diperlukan bukanlah pengaturan
penanggulangan alih fungsi tanah, tetapi pengendaliannya agar memberikan
manfaat optimal bagi masyarakat pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar