Rabu, 30 Januari 2013

Dualisme Pengendalian Alih Fungsi Tanah



DUALISME PENGENDALIAN ALIH FUNGSI TANAH
DAN PERKEMBANGAN WILAYAH[1]

Oleh: Sutaryono

            “Alih Fungsi Lahan Makin Mengkhawatirkan, Tiap Tahun Lahan Pertanian Susut 250 Ha”, (KR, 11 April 2006) merupakan berita yang cukup memberikan gambaran tentang kondisi penataan ruang dan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak mengejutkan memang, tetapi besaran alih fungsi lahan yang mencapai angka 2,3% per tahun untuk Kabupaten Sleman dan 7% per tahun untuk Kota Yogyakarta merupakan angka yang cukup besar dan perlu disikapi secara kritis. Hal ini perlu dilakukan mengingat  perkembangan wilayah yang un control akan memacu terjadinya alih fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian yang bertolak belakang dengan upaya mempertahankan swa sembada pangan dan sustainable development.

            Dalam konteks ini pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah apakah pemerintah bersama masyarakat mampu mengkontrol pesatnya perkembangan wilayah ? Mengingat perkembangan wilayah seakan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi dalam rangka peningkatan peradaban dan proses ‘urbanisasi’ (baca: proses kekotaan).  Pertanyaan tersebut muncul, bukan cerminan pesimisme tentang fenomena pesatnya perkembangan wilayah dan hilangnya tanah-tanah pertanian produktif, tetapi merupakan cerminan dari hebatnya kalangan swasta dan pemilik modal dalam memanfaatkan faktor produksi yang berupa tanah untuk ‘meningkatkan peradaban’.
Permasalahan di atas seakan menjadi sebuah dualisme ketika pengendalian alih fungsi tanah mutlak diperlukan dan  di sisi lain perkembangan wilayah adalah sebuah keharusan. Pertanyaan lanjutan yang kemudian mengedepan adalah mampukah upaya pengendalian alih fungsi tanah dapat mengakomodasi pesatnya perkembangan wilayah?
            Secara umum perkembangan wilayah terbagi menjadi perkembangan wilayah perkotaan dan perkembangan wilayah pedesaan. Meskipun di antara keduanya terdapat satu wilayah yang sering dikaji secara terpisah yakni wilayah urban fringe. Wilayah ini adalah daerah pinggiran kota yang merupakan peralihan kota – desa. Secara definitif wilayah ini sangat sulit dilacak batas-batasnya, mengingat kenampakan fisik dan non fisik daerah ini tidak berhimpit satu sama lain. Apalagi pada wilayah yang sarana transportasi dan komunikasi sudah tersedia dengan baik, ciri-ciri non fisik akan jauh meninggalkan ciri fisik yang dicerminkan oleh pergeseran kenampakan keruangannya. Contoh wilayah urban fringe ini adalah sebagian wilayah Kecamatan Gamping, Godean, Mlati, Depok, Berbah di Kabupaten Sleman, sebagian Kecamatan Banguntapan dan Kasihan di Kabupaten Bantul.  Perkembangan wilayah di daerah ini perlu mendapatkan perhatian khusus, agar perkembangan di kemudian hari tidak menjadi unmanaged growth.
            Perkembangan wilayah di daerah perkotaan menempati posisi yang dominan dalam kajian keruangan, mengingat wilayah ini cenderung lebih dinamis dan mempunyai kompleksitas yang sangat tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Perkembangan kota dalam konteks keruangan (fisik), secara umum dibedakan menjadi tiga model pertumbuhan yang meliputi: (1) Ribbon development, yakni pertumbuhan fisik kota yang mengikuti jalur-jalur transportasi; (2) Concentric development, yakni pertumbuhan fisik kota yang menyebar secara merata pada semua sisi kota; (3) Leap-frog development, yakni pertumbuhan kota yang meyebar secara sporadis di semua daerah pinggiran kota. Model ini sering juga disebut sebagai pembangunan ‘lompat katak’.
Berdasarkan teori-teori di atas tampak bahwa perkembangan wilayah perkotaan  seakan secara sistematis mendesak keberadaan wilayah pedesaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai pemahaman bahwa perkembangan kenampakan fisik kota merupakan simbol bagi sebuah kemajuan. Hal inilah yang kemudian semakin mempertinggi intensitas alih fungsi tanah, di samping ekspansi wilayah kota terhadap wilayah desa.
            Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk dan segala aktivitasnya untuk menopang hidup dan kehidupannya yang secara langsung maupun tidak langsung mempertinggi  permintaan tanah. Faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap struktur penggunaan tanah adalah kebutuhan permukiman bagi penduduk. Namun demikian realitas menunjukkan bahwa di banyak wilayah perkembangan permukiman menjadi tidak terkendali (unmanaged growth). Realitas ini adalah sebuah konsekuensi logis bagi daerah-daerah yang perkembangan wilayahnya relatif cepat.  
            Beberapa upaya regulasi yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian alih fungsi tanah dari pertanian ke non pertanian antara lain diterbitkannya (berdasarkan tahun terbit): (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan; (3) Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri; (4) Peraturan Kepala BPN Nomor 18 Tahun 1989 Kawasan Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Perusahaan Kawasan Industri; (5) Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri; (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; (7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; (8) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; (9) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; (10) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi dan sebagainya yang kesemuanya baik tersurat maupun tersirat dimaksudkan untuk mengendalikan perubahan peruntukan penggunaan tanah-tanah pertanian untuk penggunaan lain.
      Dalam konteks otonomi daerah, patut dicatat terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Izin Peruntukan Penggunaan Tanah di Kabupaten Sleman. Peraturan Daerah ini muncul setelah dirasakan perlunya pengarahan dan pengendalian terhadap penggunaan tanah agar peruntukannya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, mengingat semakin terbukanya peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan. Inilah barangkali satu contoh upaya pengendalian perubahan penggunaan tanah yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagaimana dengan pemerintah kabupaten/kota yang lain?
Dalam konteks Perkotaan Yogyakarta (Greater Yogyakarta), perlu adanya kerjasama antar kabupaten dan kota untuk merumuskan berbagai regulasi yang berhubungan dengan pengendalian alih fungsi tanah. Sekretariat Bersama Kartamantul, perlu dioptimalkan dan diberikan peran yang lebih besar untuk menciptakan sustainable city  bagi wilayah Perkotaan Yogyakarta. Workshop Kerjasama Penataan Ruang Perkotaan Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 23 Pebruari 2006 lalu, perlu segera ditindaklanjuti dengan berbagai agenda aksi yang relevan dengan upaya pengendalian alih fungsi tanah.
Berbagai upaya pengendalian alih fungsi tanah di atas, bukan dimaksudkan untuk menghentikan perkembangan wilayah, tetapi mengarahkan dan mencari alternatif tertentu untuk melindungi tanah pertanian produktif, menjadikan kondisi perkembangan wilayah yang tidak teratur menjadi teratur, mempertahankan kualitas lingkungan dan menjaga keberlanjutan pembangunan. Dengan demikian yang diperlukan bukanlah pengaturan penanggulangan alih fungsi tanah, tetapi pengendaliannya agar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat pada umumnya.  



[1] Pernah dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar