Kamis, 31 Januari 2013

Quo Vadis Ansor



QUO VADIS ANSOR[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Tanggal 24 April tahun ini merupakan 78 tahun (1934 – 20112) usia Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Usia yang tidak lagi muda, sebagaimana entitas yang berada di dalamnya. Meskipun tidak lagi muda, Ansor tetap memiliki pesona dan daya tarik yang luar biasa, utamanya bagi kepentingan politik kekuasaan. Pesona dan daya tarik inilah yang memunculkan pertanyaan, kemana Ansor kemudian akan melangkah?

Sebagai sebuah organisasi kepemudaan sekaligus  organisasi sosial keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah, menjadikan Ansor harus menempatkan dirinya secara cerdas dan tepat dalam pusaran kontestasi politik yang semakin sulit ditebak arahnya. Pilihan cerdas dan tepat ini sangat diperlukan untuk menuntaskan cita-cita pendirian organisasi ini sekaligus untuk mengukuhkan idealitas Ansor sebagai pengawal kebhinekaan NKRI.
Pilihan cerdas dan tepat yang diringi dengan penguatan pemahaman dan implementasi nilai-nilai Ahlussunah Wal Jama'ah menjadi sesuatu yang urgent sekaligus emergency bagi pilihan masa depan Ansor. Nilai tasamuh (toleransi) dalam mensikapi perbedaan, baik perbedaan keyakinan dengan non Islam, antar umat Islam maupun antar orang muda NU sendiri akan membawa pada sikap egaliter yang meneduhkan bagi banyak kalangan. Nilai tawazun (keseimbangan), dalam keyakinan, pemikiran intelektual maupun dalam praktek kehidupan akan menuntun Ansor pada kebesaran dan kearifan. Nilai tawassuth (moderat), akan menjadikan diakuinya eksistensi Ansor secara berkelanjutan.  Nilai-nilai utama ini menjadikan Ansor dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan baru yang mengedepankan rasionalitas dan pemikiran kontemporer, tetapi tetap menghargai dan menerima pemahaman dan tradisi keagamaan yang lama, sepanjang memberikan kemaslahatan, manfaat dan kesejahteraan ummat.
Kondisi kekinian Ansor, sebagaimana organisasi kepemudaan lain di Indonesia telah terfragmentasi ke dalam beberapa kelompok. Fragmentasi di Ansor telah melahirkan paling tidak 5 kelompok ‘Ansorian’ (Sutaryono, 2009), yakni: (1) kelompok struktural Ansor yang secara formal menghela organisasi. Kelompok ini terkesan elitis & eksklusif, sehingga ruang interaksi dengan lapisan paling bawah menjadi terbatas; (2) kelompok politik praktis, yakni sekelompok anggota Ansor yang memfokuskan dirinya pada partai politik. Kelompok ini cenderung membawa & mengajak Ansor untuk memperkuat partai politik yang diikutinya; (3) kelompok aktivis pergerakan, yakni kelompok anggota Ansor yang aktif dalam organisasi non pemerintah (ornop, NGO/LSM). Kelompok ini cenderung lebih progresif dan terbuka tanpa memperhatikan keterikatan kelembagaan dengan Ansor; dan (4) Banser, organ inti Ansor yang paling mudah dimobilisasi karena sistem komandonya. Kelompok ini karena over confidence-nya, terkadang bergerak sendiri (baik secara institusi ataupun personal anggotanya) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah berorganisasi; (5) floating mass-nya Ansor,  kelompok yang paling mudah berubah-ubah haluan, tergantung pada situasi dan pergerakan kekuatan sosial politik yang ada di sekitarnya.   
Fragmentasi di atas dikukuhkan dengan tingginya kontestasi politik saat Konggres terakhir di Surabaya. Dapat ditengok bahwa pada konggres tersebut semua partai politik besar menyertakan ‘delegasinya’ untuk bertarung memperebutkan ketua umum. Dan betul, akhirnya terpilihlah seorang politikus muda sebagai Ketua Umum GP Ansor. Berakhirnya konggres bukan berarti kontestasi politik pada tubuh Ansor berakhir, justru pada titik itulah kontestasi politik yang ‘nyata’ dimulai. Statemen Ketua Umum pada berbagai kesempatan menunjukkan terbukanya peluang meningkatnya ekskalasi kontestasi politik pada instituasi yang dipimpinnya. Misal statemen: “silahkan aktivis Ansor bergabung dengan partai politik, apapun partainya, yang penting jadi”, atau juga statemen klasik yang merupakan strategi politik NU, bahwa “Ansor tidak kemana-mana, tetapi Ansor berada di mana-mana”.
Disisi lain ekspektasi yang tinggi juga diletakkan pada Ansor. Bukti ekspektasi yang tinggi ini dikemukakan oleh Presiden pada Pidato Harlah Ansor tahun  2008 di Pasuruan, yang menyatakan bahwa ”GP Ansor tidak cukup menjadi bentengnya ulama, tidak hanya berjuang untuk Nahdatul Ulama- meskipun itu sangat penting-, GP Ansor harus menjadi bentengnya Indonesia, harus menjadi bentengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Myangas sampai Pulau Rote”.
Kemana Ansor akan melangkah, itu sangat tergantung pada segenap fungsionaris dan anggota organisasinya. Berbagai macam peluang dan tantangan, beragam ancaman & kelemahan yang dimiliki, merupakan bekal bagi Ansor untuk menentukan pilihan. Pilihan menuju penguatan semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan terhadap segala macam penindasan, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sebagaimana semangat yang mengiringi kelahiran dan tumbuhnya GP  Ansor. Ataukah menceburkan diri ke dalam putaran kontestasi politik yang kian sengit, dengan harapan mendapatkan multiplier effect dan spread effect dari para politisi dan parpol. Atau memainkan peran sebagai institusi yang asik dengan diri sendiri untuk tidak terbebani pada hiruk pikuk persoalan bangsa dan Negara yang carut marut.
Kesemuanya berpulang pada Ansor dan segenap anggotanya. Semoga pilihan cerdas dan tepat dapat dilakukan oleh Ansor untuk tetap berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah. Selamat Ulang Tahun.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 24 April 2012
[2] Dr. Sutaryono, Pengurus Ikatan Sarjana NU Sleman & PW Ansor DIY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar