Kamis, 31 Januari 2013

Dualisme Pembangunan Perumahan




DUALISME PEMBANGUNAN PERUMAHAN[1]
Oleh: Sutaryono

Pembangunan perumahan untuk hunian merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduk di suatu wilayah. Bahkan dalam konsideran UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman secara tegas disebutkan bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Penyelenggaraan perumahan & kawasan permukiman oleh negara ini mendapatkan dukungan penuh oleh pelaku bisnis property/pengembang. Persoalannya adalah tugas mulia yang dilakukan oleh pengembang untuk menyediakan perumahan permukiman secara layak dengan harga terjangkau, seringkali tidak dilakukan secara baik dan taat azas. Akibatnya masyarakat konsumen dan pemerintah daerahlah yang dirugikan.

          “Dijual, Rumah Berbagai Type Di Kawasan Strategis, Fasilitas Lengkap, 15 Menit Ke Bandara, 10 Menit Ke Kota, SHM”, begitulah kira-kira substansi promosi yang dilakukan oleh pengembang perumahan permukiman di berbagai wilayah. Secara substansi, apakah ada yang salah dengan promosi itu? Jawabannya tentu tidak. Bagi orang awam yang mempunyai cukup uang, promosi itu sangat menarik dan memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan transaksi/pembelian. Hal inilah yang dimungkinkan konsumen awam ‘terjebak’ dengan bahasa promosi yang ditawarkan pengembang. Coba lihat, diakhir promosinya tertulis SHM, yang berarti Sertifikat Hak Milik. Jaminan adanya SHM memberikan kesan kuat bahwa perumahan permukiman yang ditawarkan adalah legal dan pembeli tidak perlu merisaukan persoalan perijinan.
          Tetapi jangan salah, justru persoalan perumahan yang berkembang saat ini salah satunya adalah terbitnya SHM atas nama pembeli, tetapi tidak diawali dengan ijin lain yang dipersyaratkan. Status tanahnya sudah SHM, tetapi legalitas lainnya seperti: (1) Izin lokasi atau izin pemanfaatan tanah; (2) perolehan tanah; (3) penyusunan dokumen lingkungan; (4) penyusunan siteplan; (5) izin mendirikan bangunan (IMB) tidak dipenuhi. Untuk sampai terbit SHM seharusnya melalui tahapan sebagaimana telah ditetapkan. Tetapi realitas menunjukkan bahwa tanpa ada beberapa perijinan yang dipersyaratkan untuk pembangunan perumahan, dapat terbit SHM atas nama pembeli. Artinya mekanisme perijinan yang telah ditetapkan di-bypass untuk langsung pada proses sertifikasi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa status bidang tanah perumahan tersebut legal, tetapi bangunan rumah berikut kawasan perumahannya illegal. Dalam hal ini jelas pihak konsumen yang paling dirugikan. Kondisi ini ternyata menggejala di wilayah DIY, khususnya wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul.
Lebih parah lagi, pada saat ini Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) Kabupaten Sleman  sedang menangani permasalahan yang meresahkan konsumen, yakni: (1) perumahan yang dibeli belum memiliki izin IPPT; (2) pengembang sudah mempunyai IPPT namun belum menindaklanjuti perizinan yang lainnya termasuk IMB; (3) beberapa perumahan yang sudah terbangun dan dihuni sertifikatnya masih atas nama pemilik asal dan belum diproses lebih lanjut sesuai aturan; (4) beberapa perumahan dengan luas kapling tidak sesuai dengan aturan minimal luas kapling; (5) beberapa pengembang sudah tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan proses perizinan; (6) pengembang telah dinyatakan pailit; (7) beberapa pengembang telah gulung tikar dan tidak diketahui keberadaannya. Berbagai permasalahan riil yang dihadapi konsumen dan Pemerintah Kabupaten Sleman ini merupakan permasalahan yang tidak sederhana, saling silang sengkurat antara kepentingan kemudahan perijinan dan retribusi daerah bagi pemerintah daerah, percepatan pengembangan investasi dan keuntungan bagi pengembang dan kemudahan mendapatkan perumahan bagi konsumen dengan harga murah. Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian menjadikan pembangunan perumahan permukiman sebagai sebuah dualisme yang berujung pada perumahan permukiman ‘setengah ilegal’.
Merespon berbagai permasalahan tersebut, DPPD Kabupaten Sleman membentuk Forum Asistensi Permasalahan Perumahan yang berupaya mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai pemasalahan perumahan yang dirasa merugikan konsumen. Masyarakat yang berkepentingan dapat mengadukan permasalahannya melalui www.dppd.slemankab.go.id atau langsung ke kantor DPPD. Langkah taktis yang dilakukan Pemkab Sleman ini diharapkan dapat menyelesaikan dualisme pembangunan perumahan saat ini dan masa mendatang. Semoga.



[1] Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, 23 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar