Kamis, 31 Januari 2013

Pemberdayaan Pemuda



PEMBERDAYAAN PEMUDA:
Masa Depan GP Ansor [1]

Oleh:
Sutaryono

Konteks Kekinian Ansor
Berbicara tentang semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan dan epos kepahlawanan yang mengiringi kelahiran dan tumbuhnya Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), hanyalah romantisme belaka yang dalam konteks kekinian tidak lagi mendapatkan tempat yang memadai bagi masa depan Ansor beserta segenap anggota dan konstituen-nya. Harus diakui bahwa sejarah panjang perjuangan Ansor dan Banser-nya (Barisan Sebaguna Ansor) dengan semangat kebangsaan, kerakyatan dan juga keagamaan pada perjuangan kemerdekaan dan penumpasan gerakan komunis pada waktu itu, merupakan bentuk perjuangan dan prestasi yang luar biasa dan patut menjadi bahan refleksi untuk perjuangan Ansor ke depan.
Dalam konteks kekinian, konsistensi dan soliditas Ansor sebagai organisasi sosial keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah perlu dicermati kembali, mengingat: (a) munculnya berbagai pemikiran kaum muda NU yang didasarkan pada teori-teori kontemporer, yang dianggap ‘kemajon’ oleh sebagian seniornya di NU; (b) di sisi yang lain, pada wilayah basis (di perdesaan) terjadi stagnasi pemikiran kaum muda yang cenderung terjebak pada persoalan-persoalan pragmatis & temporer; (c) dalam pengembangan intelektualitas, sangat kasat mata adanya ‘pembeda’ antara tradisi fiqh dan tradisi pemikiran kontemporer yang kritis dan dianggap lebih modern; (d) tergerusnya Ansor dan NU, baik secara kelembagaan maupun secara personal (orang-orang nahdliyin) oleh massif-nya kampanye dan pergerakan organisasi sosial ataupun organisasi politik yang menawarkan berbagai peluang instan; (e) dikontestasikan identitas ke-NU-an (ke-Ansor-an) dengan identitas-identitas lain yang dianggap lebih modern dan meng-global.   
Beberapa hal di atas, sebuah kewajaran apabila pada aras praksis terjadi fragmentasi di kalangan anggota Ansor (dan organisasi orang muda NU lainnya) dan terbengkelainya persoalan kaderisasi. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman di lapangan (terutama di DIY), fragmentasi yang terjadi telah melahirkan paling tidak 5 kelompok yang ‘Ansorian’, yakni: (1) kelompok struktural Ansor yang secara formal menghela organisasi. Kelompok ini terkesan elitis & eksklusif, sehingga ruang interaksi dengan lapisan paling bawah menjadi terbatas; (2) kelompok politik praktis, yakni sekelompok anggota Ansor yang memfokuskan dirinya pada partai politik. Kelompok ini cenderung membawa & mengajak Ansor untuk memperkuat partai politik yang diikutinya; (3) kelompok aktivis pergerakan, yakni kelompok anggota Ansor yang aktif dalam organisasi non pemerintah (ornop, NGO/LSM). Kelompok ini cenderung lebih progresif dan terbuka tanpa memperhatikan keterikatan kelembagaan dengan Ansor; dan (4) Banser, organ inti Ansor yang paling mudah dimobilisasi karena sistem komandonya. Kelompok ini karena over confidence-nya, terkadang bergerak sendiri (baik secara institusi ataupun personal anggotanya) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah berorganisasi; (5) floating mass-nya Ansor,  kelompok yang paling mudah berubah-ubah haluan, tergantung pada situasi dan pergerakan kekuatan sosial politik yang ada di sekitarnya.    

Idealitas Ansor
Ansor sebagai salah satu tulang punggung, garda terdepan dan penerus Ahlussunah Wal Jama'ah harus memposisikan diri secara cerdas, tegas dan tepat dalam rangka dakwah di dalam bingkai paham Ahlussunah Wal Jama'ah. Fragmentasi yang terjadi, bagi Ansor layak dijadikan amunisi dan argumen riil untuk melakukan konsolidasi dan pembenahan secara serius agar tidak terjebak dalam friksi yang kontraproduktif. Fanatisme kelompok secara sempit hanya akan melahirkan gejala perpecahan yang dapat  melemahkan bangunan Islam dan  ukhuwah di antara umat Islam.
Penguatan dalam pemahaman dan implementasi nilai-nilai Ahlussunah Wal Jama'ah menjadi sesuatu yang urgent sekaligus emergency bagi masa depan Ansor. Nilai tasamuh (toleransi) dalam mensikapi perbedaan, baik perbedaan keyakinan dengan non Islam, antar umat Islam maupun antar orang muda NU sendiri akan membawa pada sikap egaliter yang meneduhkan bagi banyak kalangan. Nilai tawazun (keseimbanGan), dalam keyakinan, pemikiran intelektual maupun dalam praktek kehidupan akan menuntun Ansor pada kebesaran dan kearifan. Nilai tawassuth (moderat), akan menjadikan diakuinya eksistensi Ansor secara berkelanjutan.  Nilai-nilai utama ini menjadikan Ansor dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan baru yang mengedepankan rasionalitas dan pemikiran kontemporer, tetapi tetap menghargai dan menerima pemahaman dan tradisi keagamaan yang lama, sepanjang memberikan kemaslahatan, manfaat dan kesejahteraan ummat. Dalam konteks inilah kaderisasi Ansor dibingkai.

Pemberdayaan Pemuda: Prasyarat Kaderisasi
             Pemberdayaan (empowerment) adalah  kata benda, sedangkan action-nya adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering. Kalau ditilik lebih jauh lagi, pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai empowerment merupakan konsep yang sejalan dengan depowerment terhadap pemikiran-pemikiran mistifikasi keagamaan yang telah berkembang menjadi sebuah mitos yang membelenggu pemikiran-pemikiran rasionalisitik.  Substansi dari konsep empowerment adalah emansipasi dan liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan (Pranarka & Moeljarto, 1996). Implikasi dari adanya emansipasi dan liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan yakni pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya melalui proses empowerment of the powerless.
Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan (Kartasasmita, 1996). Ini berarti bahwa pemberdayaan pemuda adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dapat dimaknai bahwa pemberdayaan pemuda itu salah satunya adalah bagaimana merubah mind set seseorang  dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan perubahan. Adanya pencerahan pada pemuda akan kekuatan dan potensi yang dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa perubahan menuju kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan.   
            Nah, apabila Ansor dengan segala keterbatasannya mampu memberdayakan pemuda secara luas, maka persoalan krusial yang berhubungan dengan kaderisasi telah terselesaikan. Kaderisasi melaui upaya pemberdayaan memberikan berbagai peluang untuk: (1) menguatkan kapasitas pemuda; (2) memberikan visi; (3) mengakui dan menghargai potensi; (4) memberikan tantangan perubahan; (5) menguatkan hubungan emosional dan kelembagaan antara pemuda dan Ansor sebagai aktor yang memberdayakan; dan (6) menumbuhkan sense bergabung dengan Ansor adalah kebutuhan.
            Untuk dapat berperan dalam pemberdayaan pemuda, tampilan Ansor harus mampu memberikan jaminan dinamisasi aktivitas kepemudaan, mewadahi pergulatan pemikiran fiqh dan kontemporer, memastikan runtuhnya elitisitas dan ekslusivisme struktural, mengusung agenda perubahan, responsif terhadap problematika masyarakat dan bangsa, memberikan kontribusi nyata pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tampilan-tampilan yang menimbulkan kekhawatiran, rasa takut, pembebanan sosial dalam masyarakat mesti direduksi secara maksimal agar dapat mempercepat akselerasi dalam pemberdayaan.
Akhir kata, pemberdayaan pemuda adalah sebuah keharusan bagi Ansor apabila akan mengembalikan keemasan Ansor sebagaimana masa perjuangan tempo dulu. Pemberdayaan pemuda dalam hal ini adalah bagian dari kaderisasi Ansor secara berkelanjutan. Semoga.



[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 24 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar